Kartini dan Isra' Mi'raj
Di
Indonesia, setiap tanggal 21 April senantiasa diperingati hari kelahiran Ibu
Kartini. Salah satu pahlawan nasional wanita yang telah memiliki jasa besar
bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para kaum wanita. Kartini lahir di Mayong
Jepara, pada tanggal 21 April 1879, tepatnya pada 28 Rabi’ul Awal tahun Jawa
1808 (Imron Rosyadi, 2010: 9). Menarik untuk diperhatikan, bahwa kelahiran
Kartini ialah pada bulan yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad saw., yakni
bulan Rabi’ul Awal atau bulan Maulud (Jawa).
Kartini
lahir di tengah-tengah masyarakat yang sangat memegang teguh tradisi Jawa, di
mana tradisi saat itu memandang derajat wanita adalah di bawah para lelaki.
Wanita tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan tinggi layaknya kaum
laki-laki, karena tugas wanita hanya melayani suami dengan ketundukan yang
penuh. Namun kartini tak menghiraukan hal itu, ia memandang bahwa wanita juga
mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan ikut berkontribusi dalam urusan publik.
Kelahiran Kartini adalah simbol dari kebebasan, setidaknya ungkapan “habis
gelap terbitlah terang” bisa mewakili bagaimana sosok Kartini ini mampu membawa
perubahan yang sangat berarti di Indonesia.
Tahun
ini, peringatan kelahiran Ibu Kartini jatuh pada satu hari setelah masuknya
bulan Rajab, yangmana bulan Rajab ini sendiri bagi umat Islam adalah salah satu
bulan yang mulia. Di bulan inilah, diperingati peristiwa bersejarah dalam
Islam, yaitu Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., yang tujuan utamanya menurut
kesimpulan umum para ulama adalah menjemput perintah shalat (Rusydi Luthan,
2009: 23).
Dua
peristiwa di atas, yakni kelahiran Kartini dan Isra’ Mi’raj jika diamati lebih
dalam, terdapat semangat yang sama, yakni mengeluarkan manusia dari kesedihan
dan ketidakberdayaan. Dalam sirah-sirah
Nabawiyah diceritakan bahwa Isra’ Mi’raj ini terjadi dalam ‘âmul huzni (tahun kesedihan). Di mana
pada tahun itu nabi Muhammad saw. kehilangan dua sosok penting yang sangat ia
cintai, yaitu istrinya Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Dalam kesedihan ini,
kemudian Allah menperjalankan nabi Muhammad saw. di malam hari dari Masjidil
Haram ke Baitul Maqdis, dan dilanjutkan memuju ke langit ketujuh, yang ketujuh
langit itu berada dalam genggaman Sidratil
Muntaha. Sidratil muntaha ini
sendiri berada dalam genggaman Alam “Malakût”.
Seluruh Alam malakût ini berada dalam
genggaman ‘Arasy, dan ‘Arasy sendiri tergenagng dalam samudera
Al-Ma’ûn. Seluruhnya belum satu
noktah dalam Kursiyun Ilahi (Rusydi
Luthan, 2009: 19). Perjalanan ini
berujung pada pertemuan langsung Nabi Muhammad saw. dengan Tuhan Semesta Alam,
Allah SWT.
Diceritakan,
bahwa dalam perjalanan Mi’raj di setiap langit yang disinggahi, Nabi selalu
disambut oleh para nabi terdahulu beserta umatnya masing-masing dengan penuh
penghormatan. Nabi-nabi tersebut menitipkan doa kepada Allah SWT. Melalui
beliau, yang isinyameminta ampunan atas segala dosa. Selain itu, beliau juga
mendapati beragam budaya dan peradaban saat mengarungi langit (Rusydi Luthan,
2009: 24). Hingga pada akhirnya perjalanan ini sampai puncaknya, yaitu Nabi
Muhammad saw. bertemu langsung dengan Allah SWT. Tidak hanya bertemu, bahkan
Nabi pun bercakap-cakap denganAllah SWT.
Perjalanan
Mi’raj tersebut jika dibandingkan dengan perjuangan Kartini untuk meraih
kebebasan, sedikit banyak memiliki kesamaan. Kita perhatikan bahwa sebelum
peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, nabi sedang di rundung kesedihan yang mendalam.
Bahkan kesedihan itu hampir mencapai titik terbawah, keputusasaan Nabi begitu
besar, mengingat dua orang yang selalu setia menemaninya dan melindungi
dakwahnya telah berpulang ke hadirat Allah SWT. Namun di balik kesedihan itu,
Allah lantas menunjukkan kekuasaan-Nya dengan memperjalankan Nabi dalam suatu
malam yang dalam perjalanan itu Nabi memperoleh banyak pelajaran penting dari
para Nabi yang ia jumpai di setiap langit yang ia singgahi. Setidaknya Nabi
kemudian menyadari bahwa kesedihan yang ia alami adalah bagian dari perjuangan
yang beliau lakukan.
Kartini
pun demikian, di dalam perjuangannya. Kesedihan yang ia rasakan, membuatnya
tergerak untuk melakukan perjuangan. Ia sedih melihat nasib dirinya dan
adik-adik perempuannya yang terpernjara oleh tradisi yang telah mengakar. Tidak
hanya berhenti pada meratapi nasib dirinya sendiri, Kartini juga merasa sedih
melihat realita sosial yang ada di sekitarnya, di mana keadilan dan kebebasan
merupakan perkara yang teramat mahal, sehingga bagi rakyat jelata kedua hal itu
sulit untuk didapatkan. Layaknya Nabi saw. yang kehilangan dua orang tercintanya,
Kartini pun merasa kehilangan sosok yang ia cintai saat ayahandanya, R.M.
Adipati Ario Sosroningrat, melarangnya untuk melanjutkan sekolahnya di usia 12
tahun karena harus menjalani masa pingitan. Keputusasaan saat itu telah
merasuki hati Kartini, hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa meratapi nasib
saja tidak akan mendatangkan perubahan. Berhenti dari sekolah bukan berarti
menjadikannya berhenti pula untuk mendapatkan ilmu. Ia pun kemudian mulai
memebaca buku per buku yang ada di rumahnya, bahkan buku yang berbahasa Belanda
pun ia baca. Selain mengisinya dengan membaca, Kartini juga memanfaatkan masa
pingitannya dengan menulis surat untuk teman-teman korespondensinya di Belanda,
salah satunya adalah Stella Zeehandelaar. Selain itu, Kartini juga menulis lebih
dari 150 surat untuk J.H. Abendanon dan istrinya (Rusydi Luthan, 2009: 20), di
mana Abendanon ini adalah Direktur Kementrian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan
di Hindia Belanda.
Dari
surat-menyurat itulah Kartini memperoleh ilmu dan juga berbagi cerita tentang
kegundahan hatinya terhadap realita yang ada di sekitarnya. Melalui
surat-menyurat ini, Kartini memperoleh banyak hal baru yang menjadikan ia
enggan untuk berhenti memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Sama halnya dengan
Nabi Muhammad saw., yang dalam perjalann Mi’raj-Nya
bertemu dengan para nabi-nabi terdahulu dan memperoleh banyak pelajaran dari
mereka.
Kini,
sudah 136 tahun sejak kelahiran Kartini. Tahun ini, peringatan kelahirannya
bertepatan dengan bulan Rajab yang di dalamnya diperingati peristiwa bersejarah
dalam Islam, yakni Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Pelajaran penting yang bisa
kita ambil dari dua peristiwa penting ini adalah setiap kesedihan pasti tak
selamanya selalu menjadi kesedihan. Habis gelap, terbitlah terang. Habis sedih,
terbitlah senang. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga tidak sepatutnya
menjadikan kita putus asa, tapi justru menjadikan kita lebih tegar untuk
menjadikan diri kita bermanfaat bagi semua.
0 Response to "Kartini dan Isra' Mi'raj"
Post a Comment