Fikih Kedokteran: Sebuah Pengantar
Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan yang pesat ini selain memberi kemanfaatan yang
besar bagi manusia, ternyata juga diikuti dengan ancaman kerusakan-kerusakan
yang juga di segala bidang, termasuk kerusakan moral. Dunia kedoktran atau
medis juga tak luput dari gelombang perkembangan ilmu dan teknologi. Berbagi
inofasi dalam dunia medis terus muncul. Kedokteran tidak lagi berperan
dalam bidang penyembuhan penyakit, tapi
lebih luas lagi. Melalui tindakan medis, yakni operasi plastik, seorang wanita
bisa merubah wajah dan badannya menjadi lebih cantik dan menarik, kaum pria pun
bisa merubah wajahnya menjadi lebih tampan dan berkarakter. Melalui tindakan
medis pula dimungkinkan adanya transpalntasi organ manusia, bahkan lebih
ekstrim lagi ada operasi yang dapat merubah jenis kelamin seseorang. Kemajuan
ini, di satu sisi bisa dianggap sebagai nilai positif, namun di sisi lain
mempunyai nilai negatif jika memang di salah gunakan.
Selanjutnya, agama di tengah hingar-bingar kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini diharapkan mampu menjadi pengontrol atas dampak
negatif dari kemajuan-kemajuan ini. Karena bisa jadi jika kemajuan ini
dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengontrol, maka akan terjadi ketimpangan
sosial yang masif. Agama dituntut mampu menjawab tantangan-tantangan yang
timbul dari kemajuan-kemajuan tersebut. Jika tidak, maka agama akan benar-benar
ditinggalkan oleh manusia-manusia di muka bumi ini, dengan alasan tidak mampu
lagi menjawab tantangan zaman.
Misalnya, dalam semua agama dikenal istilah pernikahan.[1] Di
mana melalui pernikahan ini kebutuhan biologis (seksual)[2]
bisa disalurkan. Di samping juga sebagai sarana untuk membangun keluarga.
Sebelum menikah, maka hubungan seks tidaklah dibenarkan, dan bahkan merupakan
dosa besar bagi pelakunya. Dalam anatomi perempuan, ada yang dinamakan sebagai
selapu dara, atau hymen, lipatan
membran yang menutup sebagian luar vagina. Dan sama seperti anggota tubuh lainnya, selaput dara ini bisa
mengalami kerusakan, baik keseluruhan atau sebagian, dikarenakan kecelakaan
yang disengaja atau tidak, atau karena perbuatan manusia, dan perbuatan itu
bisa jadi merupakan perbuatan maksiat atau bukan maksiat.[3]
Menurut beberapa adat istiadat serta kebiasaan sosial, keperawanan
ini menjadi tanda atas kehormatan seorang wanita dan sobeknya selaput dara
sebelum nikah menjadi tanda atas rusaknya wanita tersebut. Hal ini
mengakibatkan terjadinya reaksi dari para suami, keluarga si gadis dan
masyarakat. Ada yang hanya berupa keraguan dan sangkaan, hingga sampai
menyebabkan hancurnya rumah tangga dan bencana atas gadis yang dituduh
tersebut.[4]
Di
luar apakah rusaknya selaput dara wanita ini adalah karena kecelakaan atau
karena hubungan seks. Nyatanya, dalam dunia kedokteran saat ini telah ada
operasi selaput dara atau menurut istilah medisnya disebut hymenoplasty, yang mampu mengembalikan selaput dara yang telah
rusak menjadi kembali utuh. Kemajuan ini tentu jika salah disikapi akan membawa
dampak negatif di masyarakat. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika operasi
ini bisa dilakukan siapa dan kapan saja, maka sudah bisa dipastikan seks
bebas/di luar nikah akan semakin meraja lela. Belum lagi jika melihat semakin
maraknya praktik aborsi yang dilakukan remaja. Aborsi atau menggugurkan
kandungan dalam suatu kondisi memang dibenarkan, bahkan ada kalanya sangat
dianjurkan. Akan tetapi, jika kemudian praktik ini dibiarkan bebas begitu saja,
maka sudah dipastikan kakhawatiran untuk mempunyai anak di luar nikah akan hilang, dan akhirnya – lagi-lagi – seks bebas
pun akan lebih merajalela. Jika sudah demikian, maka lembaga pernikahan yang
sangat diagungkan dalam agama-agama, termasuk Islam akan kehilangan substansinya.
Untuk pembahasan Fikih Kedokteran terkait Operasi Selapu Dara (hymenoplasty), silahkan klik di sini
Sedangkan untuk Aborsi dalam pandangan Fikih Kedokteran, bisa dilihat di sini
Klik Refleksi dari Fikih Kedokteran, sekedar refleksi dari Fikih Kedokteran.
[1] Menurut
istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan
yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Lihat Syaikh Hasan Ayyub, Fikih
Keluarga, terj. M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm.
3
[2] Dalam sudut
pandang Islam, nafsu seksual bukan saja sesuai dengan intelektualitas dan
spiritualitas manusia, tetapi juga dinyatakan sebagai watak dan temperamen para
nabi. Menurut hadist, cinta dan kasih sayang terhadap wanita adalah
karakteristik dari perilaku moral nabi (min
akhlâqil anbiyâ’i hubbun nisâ’i). Lihat Murtadha Muthahhari, Etika Seksual dalam Islam, terj. M.
Hashem, cet. ke-6, (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), hlm. 16
[3] Muhammad Nu’aim
Yasin, Fikih Kedokteran, terj.
Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 237
[4] Ibid.,
0 Response to "Fikih Kedokteran: Sebuah Pengantar"
Post a Comment