Fikih Kedokteran: Aborsi


B.  Aborsi
Berdasarkan nilai-nilai budaya, aborsi atau pengguguran kandungan merupakan perbuatan yang dikecam dan membuat perilaku dikucilkan di masyarakat.[1] Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu.[2] Di lain tempat juga disebutkan bahwa di Indonesia, diperkirakan sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap tahunnya dan kontribusi Angka Kematian Ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman adalah 11,1%.[3] Berpijak pada data tersebut, maka dalam sub pembahasan kali ini akan mengungkap fenomena aborsi dilihat dari dua sudut pandang, yakni kedokteran dan fikih. Dengan harapan bahwa fenomena aborsi bisa dilihat sebagai hal yang positif dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
1.      1.  Aborsi dalam pandangan kedokteran
a.      Pengertian dan jenis-jenis aborsi
Secara istilah, aborsi adalah kematian dan pengeluaran janin dari uterus baik secara spontan atau disengaja sebelum usia kehamilan 22 minggu. Jumlah minggu kehamilan ini secara spesifik dapat bervariasi bergantung pada perundangan setempat.[4] Aborsi ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1)      Aborsi Spontan (Abortus spontaneous), yang terjadi apabila ibu mengalami trauma berat akibat penyakit menahun, kelainan  saluran reproduksi, atau kondisi patologis lainnya.[5] Menurut  Dr Setiawan, seperti yang dikutip Maria Ulfah,[6] bahwa aborsi spontan ini dibagi menjadi:
a)      Abortus Imminens (threatened abortion),[7] yaitu adanya gejala-gejala yang mengancam akan terjadi aborsi. Dalam hal demikian kadang-kadang kehamilan masih dapat diselamatkan.
b)      Abortus Incipiens (inevitable abortion), artinya terdapat gejala akan terjadi aborsi, namun buah kehamilan masih berada dalam di dalam rahim. Dalam hal demikian kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi.[8]
c)      Abortus Incompletus, apabila sebagian dari buah kehamilan sudah keluar dan sisanya masih berada dalam rahim. Pendarahan yang terjadi biasanya cukup banyak, namun tidak fatal. Pengobatannya yaitu dengan pengosongan rahim secepatnya.
d)     Abortus Completus, yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim. Keadaan demikian biasanya tidak memerlukan pengobatan.
2)      Aborsi Disengaja (Abortus provocatus) yaitu pengguguran kandungan yang disengaja. Pengguguran ini dibagi menjadi dua, yaitu:[9]
a)      Abortus provocatus therapeuticus, jika memang terdapat indikasi bahwa kehamilan dapat membahayakan atau mengancam nyawa ibu apabila kehamilan itu berlanjut. Sederhananya aborsi ini dilakukan berdasarkan indikasi medik dan sifatnya legal.[10]
Aborsi legal ini dilakukan oleh tenaga medis yang disetujui oleh hukum disuatu negara, yangmana alasan pengguguran itu yang diizinkan oleh hukum. Terdapat pula syarat-syarat[11] yang harus dipenuhi, yakni terkait dengan prosedur yang disetujui, dan bidan harus mengetahui di negara mereka yang berkenan dengan aborsi. Karena di beberapa negara, ada yang menganggap bahwa aborsi dengan alasan apapun dianggap ilegal.[12]
b)      Abortus Provocatus Criminalis, yaitu pengguguran yang dilakukan secara sengaja tanpa mempunyai alasan dari segi kesehatan (medis).[13] Aborsi jenis ini merupakan aborsi yang ilegal, dimana aborsi ini dilakukan oleh orang yang tidak diizinkan oleh hukum negara yang relevan untuk menjalankan prosedur tersebut. Terdapat resiko sepsis[14] dan/ atau hemoragi[15] serta cedera yang sangat tinggi.[16]
Dari pembagian jenis aborsi di atas dapat dipahami bahwa aborsi tidak selalu mempunyai konotasi yang negatif, yang berangkat dari persepsi masyarakat bahwa aborsi identik dengan hami di luar nikah. Karena bagaimana pun, terdapat beberapa kasus dalam dunia medis, khususnya di bidang kehamilan, bahwa ada saat dimana aborsi atau pengguguran kehamilan itu mutlak dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek terkait dengan keselamatan ibu yang mengandung. Hanya saja, memang patut untuk menjadi perhatian khusus bahwa kasus-kasus medis yang mengharuskan aborsi, dengan kata lain aborsi yang legal itu jauh lebih sedikit dari aborsi yang ilegal. Seperti data yang tersaji di awal sub bab ini adalah data kasus aborsi yang ilegal.
b.      Risiko yang timbul akibat aborsi
Sebelum melihat risiko yang muncul dari tindakan aborsi, perlu diketahui bahwa terkait dengan aborsi ilegal, seorang wanita yang melakukan aborsi ini akan mengalami gejala psikologi sebagai sindro pascaaborsi (post-abortion syndrom), yang antara lain: kehilangan harga diri (82%); berteriak-teriak histeris (51%); mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%); ingin melakukan bunuh diri (28%); mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%); dan tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%).[17] Gejala-gejala ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa aborsi, khususnya yang ilegal mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kejiwaan pelaku aborsi. Adapun beberapa risiko yang akan dialami oleh pelaku aborsi dipetakan ke dalam beberapa aspek, diantaranya:
1)      Risiko kesehatan dan keselamatan fisik:
a)      Kematian yang mendadak dikarenakan pendarahan yang hebat atau karena pembiusan yang gagal.
b)      Kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan.
c)      Rahim yang sobek (uterine perforation).
d)     Kerusakan leher rahim yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
e)      Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen[18] pada wanita, kanker indung telur (ovarian cancer), kanker leher rahim (cervical cancer), dan kanker hati (liver cancer).
f)       Kelainan pada plasenta (placenta previa).
g)      Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan (ectopic pregnancy).
h)      Infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory disease) dan infeksi pada lapisan rahim (endometriosis).
2)      Risiko psikologis
a)      Perasaan sedih karena kehilangan bayi.
b)      Beban batin akibat timbuknya perasaan bersalah.
c)      Penyesalan yang dapat mengakibatkan depresi.
d)     Kehilangan harga diri.
e)      Trauma hubungan seksual.
f)       Hilangnya kepercayaan diri.
3)      Risiko psikososial
a)      Diasingkan oleh masyarakat.
b)      Tekanan dari msyarakat akan beredaannya.
c)      Dikucilkan dari keluarga.
d)     Mendapat celaan dari orang-orang sekita.
4)      Risiko masa depan remaja dan janin yang dikandung
a)      Timbulnya gangguan kesuburan atau infertilitas.
b)      Menjalani hidup dipenjara bila diketahui melakukan aborsi.[19]
c)      Masa depan yang suram
d)     Masa depan janin sendiri terputus sekstika saat aborsi dilakukan.[20]
2.     2.  Aborsi dalam Pandangan Fikih
Setelah mengetahui sekilas tentang aborsi dalam sudut pandang medis, maka akan berikut akan dibahas aborsi dari sudut pandang fikih. Dimana fikih, seperti yang telah dikathui bersama merupakan disiplin ilmu yang menjembatani antara hakikat hukum yang dikehendaki Tuhan (Syari’) dengan realitas kehidupan yang dialami manusia sebagai pelaksana hukum.[21] Dan melihat data-data statistik di atas, maka bisa dikatakan jika aborsi ini menjadi fenomena yang telah menggejala di berbagai belahan bumi ini. Sehingga – sekali lagi – agama harus bisa merespon fenomena aborsi ini.
Aborsi ini jika ditelusuri jauh ke belakang, sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Sehingga kita bisa melacak beberapa pandangan beberapa ulama klasik yang membahas hukum aborsi, meskipun memang pendapat-pendapat yang ada sangat beragama meski dari setiap pendapat tersebut didukung dengan argumentasi dalil naqli (al-Qur’an dan hadist) atau pun dalil aqli. Berikut beberapa pendapat para fuqaha:
a.       Fikih madzhab Hanafiyah berpendapat:
Madzhab Hanafiyah berpandangan bahwa boleh menggugurkan kandungan – sekalipun tanpa seizin suami – sebelum lewat 4 bulan, yakni sebelum ditiupkannya ruh pada janin. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi di sini adalah kebolehan aborsi bukan berarti menghalalkannya, karena menurut madzhab ini aborsi adalah makruh. Seperti seorang muhrim haji yang memecahkan telur binatang buruan, maka ia dikenai dam, sebab telur adalah asal-muasal binatang buruan. Jika muhrim harus dikenai dam, maka demikian pula dengan wanita yang menggugurkan janin tanpa udzur.[22]
Salah satu ulama Hanafiyah kontemporer, Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buti, dalam Maria Ulfah menyebutkan bahwa kebolehan aborsi ini yang dilakukan sebelum usia kehamilan memasuki bulan keempat hanya dalam tiga kasus: pertama, apabila dokter khawatir bahwa kehidupan ibu terancam akibat kehamilan; kedua, jika kehamilan dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit di tubuh ibunya; dan ketiga, apabila kehamilan yang baru menyebabkan terhentinya proses menyusui bayi yang sudah ada dan kehidupannya sangat bergantung pada susu ibunya.[23]
Argumen yang diajukan kaitannya dengan kebolehan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh karena segala sesuatu yang belum diberikannya nyawa tidak akan dibangkitkan di hari kiamat. Begitu pula dengan janin yang belum bernyawa, maka ketika tidak ada larangan baginya, maka boleh digugurkan.[24]
b.      Fiqih madzhab Maliki berpendapat:
Hampir semua ulama Malikiyah tidak ada yang memperbolehkan aborsi, baik itu dilakukan sebelum usia janin 40 hari atau setelah 40 hari, dengan argumen bahwa tidak boleh mengeluarkan air mani yang telah masuk ke dalam rahim,[25] dan ulama Maliki berpandangan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak konsepsi ini.[26]
Meskipun demikian, ada juga ulama Maliki yang membolehkan pengguguran kandungan sebelum berusia 40 hari dan tidak harus mengganti dengan denda apapun. Lebih lanjut, Maria Ulfah mengutip tulisan Gamal Serour yang mengemukakan pandangan Komite Fatwa Al-Azhar, bahwa aborsi dikategorikan aborsi setelah penyawaan (peniupan ruh) sebagai bentuk kejahatan yang terkutuk, tidak peduli apakah kehamilan tersebut hasil dari sebuah pernikahan atau karena zina, kecuali jika itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya.[27]
c.       Fiqh madzhad Syafi’iyah
Dalam madzhab Syafi’i ini terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum dari aborsi sebelum peniupan nyawa. Berikut adalah beberapa pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i:
1)      Pendapat yang paling dipegang oleh madzhab ini adalah menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh adalah boleh. Salah satu ulama yang mendukung pendapat ini adalah Syaikh al-Qayyubi yang menyatakan boleh menggugurkan kandungan walaupun dengan obat sebelum peniupan ruh pada janin.
2)      Penghukuman makruh terhadap aborsi sebelum peniupan roh hingga waktu mendekati peniupan ruh. Karena sulitnya mengetahui secara waktu peniupan ruh tersebut, maka diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Inilah adalah pandangan Ar-Ramli, yang kemudian dijadikan pegangan bagi madzhab ini.
3)      Salah satu ulama Syafi’iyah yang mengharamkan aborsi secara mutlak adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Argumentasinya adalah setelah membolehkan penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, Al-Ghazali mengatakan “penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan pembunuhan, karena pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan wujud uni bertingkat-tingkat, dimana tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani tumpah di dalam rahim dan bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan.
4)      Mungkin perlu disebutkan bahwa dalam madzhab Syafi’iyah tidak ada satu pun ulama yang melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan roh jika kehamilan itu merupakan hasil dari zina yang terjadi pada wanita. Hanya saja pendapat ini tidak dianggap sebagai pendapat yang kuat, sehingga mereka membolehkan jika memang ada udzur.[28]
d.      Fikih madzhab Ahmad bin Hambal berpendapat:
Aborsi menurut madzhab ini boleh selama usia kandungan sebelum 40 hari dan dilakukan dengan obat-obatan. Artinya aborsi dengan meminum obat-obatan yang mubah, hukumnya mubah.[29]
Sampai di sini dapat terlihat bahwa terkait dengan aborsi ini, tidak ada kesepeakatan umum terkait dengan hukum atas aborsi. Bahkan dalam satu madzhab saja, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menghukumi aborsi ini. Dan untuk memudahkan pemahaman terkait dengan hukum aborsi ini, maka akan diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu aborsi sebelum peniupan ruh dan aborsi sesudah ditupkannya ruh yang tentunya didasarkan dari pendapat-pendapat para ulama fiqih.
a.      Aborsi setelah ditiupkannya ruh
Terkait dengan hukum aborsi setelah ditiupkannya ruh, maka tidak ada perselisihan di antara ahli fikih, dan bahwa unsur sengaja dalamaborsi dianggap sebagai tindak kejahatanyang mengakibatkan hukuman, karena aborsi ini menghilangkan nyawa anak Adam yang hidup.[30] Salah satu dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman-Nya, yang artinya: “Dan jangnlah kemu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membu uhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh dengan zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunggunhya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’ [17]: 33

Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Kau menjadikan tabdingan-tandingan bagi Allah, sedangkan Dia menciptakanmu’. Ia bertanya, ‘Kemudian apa?’, beliau menjawab, ‘Kau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu.’ Ia bertanya, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Kau menzinai istri tetanggamu.’
Selain dalil-dalil di atas, masih banyak pula dalil-dalil yang digunakan para ulama dalam menghukumi aborsi, yang meskipun dari segi tekstualnya tidak secara terang-terangan menyebutkan tentang aborsi, namun bisa dijadikan sebagai dasar penghukuman, tentunya mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain aspek tekstualnya.
b.      Aborsi kehamilan sebelum ditiupkannya ruh
Penjabaran hukum ini pada dasarnya juga sama dengan apa yang telah dijabarkan pada pembahasan pandangan-pandangan fuqaha di atas. Hanya saja, pada bagian ini penetapan hukum aborsi bukan diklasifikasikan sesuai madzhab, melainkan lebih kepada klasifikasi hukumnya, disertai argumen sederhana.
1)      Boleh secara mutlak
Pendapat ini dipegang oleh sebagian pengikut madzhab Hanafi, Ibnu Rusydi dari madzhab Maliki dan sebagian pengikut madzhab Hambali. Mereka berargumen bahwa janin sebelum ditiupkan ruh padanya bukanlah merupakan manusia hidup.
2)      Boleh sebelum empat puluh hari pertama kehamilan
Abu Ishaq Al-maruzi dari madzhab Syafi’i, Al-Lakhmani dari madzhab Maliki dan zhahirnya madzhab Hambali berpendpat bahwa janin tidak haram diaborsi sebelum kandungan berusia 40 hari pertama. 
3)      Kebolehan aborsi karena satu alasan
Kesepakatan madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Syafi’i membolehkan aborsi sebelum ditiupkannya ruh jika memang adab alasan yang bisa diterima dan membolehkan aborsi.
4)      Makruh
Ali bun Musa, salah seorang dari ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat bahwa aborsi janian sebelum ditiupkannya ruh adalah makruh, karena bagaimana pun juga sperma yang telah masuk ke dalam rahim kelak akan hidup. Kemakruhan ini pun cenderung kepada makruh tahrim.
5)      Tahrim mutlak
Pendapat ini disepakati oleh madzhab Maliki (pendapat yang kuat), dan kesepakatan madzhab Syafi’i serta madzhab Dhahiriyah.[31]
Tidak adanya konsensus terkait hukum aborsi setidaknya dikarenakan perbedaan sudut pandang yang dimiliki oleh masing-masing ulama. Di samping memang hukum aborsi ini tidak disinggung secara jelas dan pasti dalam dua sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur;an dan Hadist. Ini mempunyai implikasi yang cukup luas, dimana hukum aborsi ini akan senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Pengantar Fikih Kedokteran, silahkan klik di sini
Fikih Kedokteran untuk Hymenoplasty, ada di sini
Refleksi Fikih Kedokteran, silahkan klik di sini

[1] Eny Kusmiran, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, (Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2011), hlm. 49
[2] http://www.aborsi.org/statistik.htm. Diakses tanggal 23 April 2015, pukul 21.20 WIB
[3] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan; Edisi 4, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2012), hlm. 108
[4] World Health Organization, Manajemen Aborsi Inkompet: Modul Kebidanan Edisi 2, terj. Estu Tiar, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012), hlm. 25
[5] Eny Kusmiran, Loc. Cit.
[6] Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 36
[7] Disebut juga sebagai aborsi mengancam. Diperkirakan terjadi pada ketika perdarahan per vagina dialami wanita hamil saat usia kehamilan 22 minggu. Lihat World Health Organization, Op. Cit., hlm. 28
[8] Aborsi tak terelakkan ini sering kali terdapat pendarahan hebat di vagina karena area plasenta yang luas terlepas dari dinding uterus. Aborsi ini disertai nteri akut abdomenyang serupa dengan pola kontraksi uterus pada persalinan (sifatnya tidak teratur). Lihat World Health Organization, Loc. Cit.
[9] Eny Kusmiran, Loc. Cit.
[10] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit, hlm. 107
[11] Beberapa ketentuan aborsi legal ini bisa ditemukan dalam Deklarasi Oslo (1970) dan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya: 1) abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai tindakan tarapeutik yang keputusannya disetujui oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh dokter yang kompeten di instalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut mendapat persetujuan dari ibu hamil, suami dan keluarga; 2) Jika ternyata dokter yang hendak melakukan tindakan tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran, maka ia berhak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada teman sejawat lain yang kompeten; 3) maksud dari indikasi medis dalam abortus legal ini adalah kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan tersebut yang apabila tindakan itu tidak diambil, maka akan membahayakan jiwa ibu atau adanya ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan dilanjutkan, atau resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan lahir menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat; dan 4) hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada ibu hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya dapat dimintakan pada suaminya/wali yang sah. Lihat ibid., hlm 107-108
[12] World Health Organization, Op. Cit., hlm. 29
[13] Eny Kusmiran, Loc. Cit.
[14] Istilah awam untuk sepsis adalah keracunan darah, yang juga digunakan untuk menggambarkan septikemia. Sepsis mencakup spektrum penyakit yang berkisar dari keluhan seperti demam, menggigil, malaise, tekanan darah rendah, dan perubahan status mental. sampai gejala disfungsi organ dan syok. Lihat http://kamuskesehatan.com/?s=sepsis. Diakses pada tanggal 27/04/2015, pukul 12.56 WIB
[15] Hemoragik adalah adanya  perdarahan; infeksi tertentu (demam berdarah) mengakibatkan hilangnya darah dan cairan tubuh. Lihat http://kamuskesehatan.com/arti/hemoragik/. Diakses pada tanggal 27/04/2015, pukul 12.50 WIB
[16] World Health Organization, Loc. Cit.
[17] Eny Kusmiran, Op. Cit., hlm. 51
[18] Estrogen ini dihasilkan oleh ovarium. Dari jenisnya, estrogen ini ada beberapa macam jenisnya, tetapi yang paling penting untuk reproduksi adalah estradiol. Estrogen ini berguna untuk pembentukan ciri-ciri perkembangan seksual pada wanita yaitu pembentukan  payudara, lekuk tubuh, rambut kemaluan dan lain-lain. Selain itu, pada siklus menstruasi, estrogen berguna untuk membentuk kekebalan endometrium, menjaga kualitas dan kuantitas cairan serviks dan vagina sehingga sesuai untuk penetrasi sperma, selain fungsinya untuk mengatur temperatur suhu (sistem saraf  pusat/otak). Lihat Ayu Febri Wulanda, Biologi Reproduksi, (Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2011), hlm. 20
[19] Diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 346, “Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungannya diancam dengan pidana penjara sebesar-besarnya selama empat tahun.”
[20] Eny Kusmiran, Op. Cit., hlm. 51-52
[21] Maria Ulfah Anshor, Op. Cit., hlm. 111
[22] Adil Yusuf al-Izazy, Fiqh Kehamilan Panduan Hukum Islam Seputar Kehamilan; Janin; Aborsi dan Perawatan Bayi, terj. Taufiqurrochman, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007), hlm. 96
[23] Maria Ulfah Anshor, Op. Cit., hlm. 94
[24] Ibid.,
[25] Adil Yusuf al-Izazy,Op. Cit., hlm. 97
[26] Maria Ulfah Anshor, Op. Cit., hlm. 102
[27] Ibid., hlm. 103
[28] Penjelasan lebih lengkap dari pendapat-pendapat ini bisa dilihat di Muhammad Nu’aim Yasin, Op. Cit., hlm. 206-209
[29] Adil Yusuf al-Izazy,Op. Cit., hlm. 96
[30] Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam, terj. Misbah, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2004), hlm. 66
[31] Keterangan lebih lanjut tentang klasifikasi hukum-hukum ini bisa dilihat dalam Abbas Syauman, ibid., hlm. 75-84

0 Response to "Fikih Kedokteran: Aborsi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel