Fikih Kedokteran: Aborsi
B. Aborsi
Berdasarkan
nilai-nilai budaya, aborsi atau pengguguran kandungan merupakan perbuatan yang
dikecam dan membuat perilaku dikucilkan di masyarakat.[1] Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada
sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia.
Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa
banyak yang tahu.[2] Di lain tempat juga disebutkan bahwa di Indonesia, diperkirakan
sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap tahunnya dan kontribusi Angka
Kematian Ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman adalah 11,1%.[3]
Berpijak pada data tersebut, maka dalam sub pembahasan kali ini akan mengungkap
fenomena aborsi dilihat dari dua sudut pandang, yakni kedokteran dan fikih.
Dengan harapan bahwa fenomena aborsi bisa dilihat sebagai hal yang positif dan
tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
1.
1. Aborsi dalam pandangan kedokteran
a.
Pengertian dan jenis-jenis aborsi
Secara istilah,
aborsi adalah kematian dan pengeluaran janin dari uterus baik secara spontan
atau disengaja sebelum usia kehamilan 22 minggu. Jumlah minggu kehamilan ini
secara spesifik dapat bervariasi bergantung pada perundangan setempat.[4] Aborsi
ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1)
Aborsi
Spontan (Abortus spontaneous), yang terjadi apabila ibu mengalami
trauma berat akibat penyakit menahun, kelainan saluran reproduksi, atau kondisi patologis
lainnya.[5]
Menurut Dr Setiawan, seperti yang
dikutip Maria Ulfah,[6]
bahwa aborsi spontan ini dibagi menjadi:
a)
Abortus
Imminens (threatened abortion),[7]
yaitu adanya gejala-gejala yang mengancam akan terjadi aborsi. Dalam hal
demikian kadang-kadang kehamilan masih dapat diselamatkan.
b)
Abortus
Incipiens (inevitable abortion),
artinya terdapat gejala akan terjadi aborsi, namun buah kehamilan masih berada
dalam di dalam rahim. Dalam hal demikian kehamilan tidak dapat dipertahankan
lagi.[8]
c)
Abortus
Incompletus, apabila
sebagian dari buah kehamilan sudah keluar dan sisanya masih berada dalam rahim.
Pendarahan yang terjadi biasanya cukup banyak, namun tidak fatal. Pengobatannya
yaitu dengan pengosongan rahim secepatnya.
d)
Abortus
Completus, yaitu
pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim. Keadaan demikian biasanya
tidak memerlukan pengobatan.
2)
Aborsi
Disengaja (Abortus provocatus) yaitu pengguguran kandungan yang
disengaja. Pengguguran ini dibagi menjadi dua, yaitu:[9]
a) Abortus provocatus therapeuticus, jika memang terdapat indikasi bahwa kehamilan dapat membahayakan
atau mengancam nyawa ibu apabila kehamilan itu berlanjut. Sederhananya aborsi
ini dilakukan berdasarkan indikasi medik dan sifatnya legal.[10]
Aborsi legal
ini dilakukan oleh tenaga medis yang disetujui oleh hukum disuatu negara,
yangmana alasan pengguguran itu yang diizinkan oleh hukum. Terdapat pula
syarat-syarat[11]
yang harus dipenuhi, yakni terkait dengan prosedur yang disetujui, dan bidan
harus mengetahui di negara mereka yang berkenan dengan aborsi. Karena di
beberapa negara, ada yang menganggap bahwa aborsi dengan alasan apapun dianggap
ilegal.[12]
b) Abortus Provocatus Criminalis, yaitu pengguguran yang dilakukan secara sengaja tanpa mempunyai
alasan dari segi kesehatan (medis).[13]
Aborsi jenis ini merupakan aborsi yang ilegal, dimana aborsi ini dilakukan oleh
orang yang tidak diizinkan oleh hukum negara yang relevan untuk menjalankan
prosedur tersebut. Terdapat resiko sepsis[14]
dan/ atau hemoragi[15]
serta cedera yang sangat tinggi.[16]
Dari pembagian
jenis aborsi di atas dapat dipahami bahwa aborsi tidak selalu mempunyai
konotasi yang negatif, yang berangkat dari persepsi masyarakat bahwa aborsi identik
dengan hami di luar nikah. Karena bagaimana pun, terdapat beberapa kasus dalam
dunia medis, khususnya di bidang kehamilan, bahwa ada saat dimana aborsi atau
pengguguran kehamilan itu mutlak dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
aspek terkait dengan keselamatan ibu yang mengandung. Hanya saja, memang patut
untuk menjadi perhatian khusus bahwa kasus-kasus medis yang mengharuskan
aborsi, dengan kata lain aborsi yang legal itu jauh lebih sedikit dari aborsi
yang ilegal. Seperti data yang tersaji di awal sub bab ini adalah data kasus
aborsi yang ilegal.
b.
Risiko yang timbul akibat aborsi
Sebelum melihat
risiko yang muncul dari tindakan aborsi, perlu diketahui bahwa terkait dengan
aborsi ilegal, seorang wanita yang melakukan aborsi ini akan mengalami gejala
psikologi sebagai sindro pascaaborsi (post-abortion syndrom), yang
antara lain: kehilangan harga diri (82%); berteriak-teriak histeris (51%);
mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%); ingin melakukan bunuh diri (28%);
mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%); dan tidak bisa menikmati
lagi hubungan seksual (59%).[17]
Gejala-gejala ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa aborsi, khususnya
yang ilegal mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kejiwaan pelaku aborsi.
Adapun beberapa risiko yang akan dialami oleh pelaku aborsi dipetakan ke dalam
beberapa aspek, diantaranya:
1)
Risiko kesehatan dan keselamatan fisik:
a)
Kematian
yang mendadak dikarenakan pendarahan yang hebat atau karena pembiusan yang
gagal.
b)
Kematian
secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan.
c)
Rahim
yang sobek (uterine perforation).
d)
Kerusakan
leher rahim yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
e)
Kanker
payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen[18]
pada wanita, kanker indung telur (ovarian cancer), kanker leher rahim (cervical
cancer), dan kanker hati (liver cancer).
f)
Kelainan
pada plasenta (placenta previa).
g)
Menjadi
mandul/tidak mampu memiliki keturunan (ectopic pregnancy).
h)
Infeksi
rongga panggul (pelvic inflammatory disease) dan infeksi pada lapisan
rahim (endometriosis).
2)
Risiko psikologis
a)
Perasaan
sedih karena kehilangan bayi.
b)
Beban
batin akibat timbuknya perasaan bersalah.
c)
Penyesalan
yang dapat mengakibatkan depresi.
d)
Kehilangan
harga diri.
e)
Trauma
hubungan seksual.
f)
Hilangnya
kepercayaan diri.
3)
Risiko psikososial
a)
Diasingkan
oleh masyarakat.
b)
Tekanan
dari msyarakat akan beredaannya.
c)
Dikucilkan
dari keluarga.
d)
Mendapat
celaan dari orang-orang sekita.
4)
Risiko masa depan remaja dan janin yang dikandung
a)
Timbulnya
gangguan kesuburan atau infertilitas.
b)
Menjalani
hidup dipenjara bila diketahui melakukan aborsi.[19]
c)
Masa
depan yang suram
d)
Masa
depan janin sendiri terputus sekstika saat aborsi dilakukan.[20]
2. 2.
Aborsi dalam Pandangan Fikih
Setelah mengetahui sekilas tentang aborsi dalam sudut pandang
medis, maka akan berikut akan dibahas aborsi dari sudut pandang fikih. Dimana
fikih, seperti yang telah dikathui bersama merupakan disiplin ilmu yang
menjembatani antara hakikat hukum yang dikehendaki Tuhan (Syari’) dengan
realitas kehidupan yang dialami manusia sebagai pelaksana hukum.[21]
Dan melihat data-data statistik di atas, maka bisa dikatakan jika aborsi ini
menjadi fenomena yang telah menggejala di berbagai belahan bumi ini. Sehingga –
sekali lagi – agama harus bisa merespon fenomena aborsi ini.
Aborsi ini jika ditelusuri jauh ke belakang, sebenarnya bukan hal
yang baru lagi. Sehingga kita bisa melacak beberapa pandangan beberapa ulama
klasik yang membahas hukum aborsi, meskipun memang pendapat-pendapat yang ada
sangat beragama meski dari setiap pendapat tersebut didukung dengan argumentasi
dalil naqli (al-Qur’an dan hadist) atau pun dalil aqli. Berikut
beberapa pendapat para fuqaha:
a.
Fikih
madzhab Hanafiyah berpendapat:
Madzhab
Hanafiyah berpandangan bahwa boleh menggugurkan kandungan – sekalipun tanpa
seizin suami – sebelum lewat 4 bulan, yakni sebelum ditiupkannya ruh pada
janin. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi di sini adalah kebolehan aborsi
bukan berarti menghalalkannya, karena menurut madzhab ini aborsi adalah makruh.
Seperti seorang muhrim haji yang memecahkan telur binatang buruan, maka ia
dikenai dam, sebab telur adalah asal-muasal binatang buruan. Jika muhrim
harus dikenai dam, maka demikian pula dengan wanita yang menggugurkan
janin tanpa udzur.[22]
Salah satu
ulama Hanafiyah kontemporer, Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buti, dalam Maria Ulfah
menyebutkan bahwa kebolehan aborsi ini yang dilakukan sebelum usia kehamilan
memasuki bulan keempat hanya dalam tiga kasus: pertama, apabila dokter
khawatir bahwa kehidupan ibu terancam akibat kehamilan; kedua, jika
kehamilan dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit di tubuh ibunya; dan ketiga,
apabila kehamilan yang baru menyebabkan terhentinya proses menyusui bayi
yang sudah ada dan kehidupannya sangat bergantung pada susu ibunya.[23]
Argumen yang
diajukan kaitannya dengan kebolehan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya
ruh karena segala sesuatu yang belum diberikannya nyawa tidak akan dibangkitkan
di hari kiamat. Begitu pula dengan janin yang belum bernyawa, maka ketika tidak
ada larangan baginya, maka boleh digugurkan.[24]
b.
Fiqih
madzhab Maliki berpendapat:
Hampir semua
ulama Malikiyah tidak ada yang memperbolehkan aborsi, baik itu dilakukan
sebelum usia janin 40 hari atau setelah 40 hari, dengan argumen bahwa tidak boleh
mengeluarkan air mani yang telah masuk ke dalam rahim,[25]
dan ulama Maliki berpandangan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak konsepsi ini.[26]
Meskipun
demikian, ada juga ulama Maliki yang membolehkan pengguguran kandungan sebelum
berusia 40 hari dan tidak harus mengganti dengan denda apapun. Lebih lanjut,
Maria Ulfah mengutip tulisan Gamal Serour yang mengemukakan pandangan Komite
Fatwa Al-Azhar, bahwa aborsi dikategorikan aborsi setelah penyawaan (peniupan
ruh) sebagai bentuk kejahatan yang terkutuk, tidak peduli apakah kehamilan
tersebut hasil dari sebuah pernikahan atau karena zina, kecuali jika itu
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya.[27]
c.
Fiqh
madzhad Syafi’iyah
Dalam madzhab Syafi’i ini terdapat
perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum dari aborsi sebelum peniupan nyawa.
Berikut adalah beberapa pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i:
1)
Pendapat
yang paling dipegang oleh madzhab ini adalah menggugurkan kandungan sebelum
peniupan ruh adalah boleh. Salah satu ulama yang mendukung pendapat ini adalah
Syaikh al-Qayyubi yang menyatakan boleh menggugurkan kandungan walaupun dengan
obat sebelum peniupan ruh pada janin.
2)
Penghukuman
makruh terhadap aborsi sebelum peniupan roh hingga waktu mendekati peniupan ruh.
Karena sulitnya mengetahui secara waktu peniupan ruh tersebut, maka diharamkan
penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk berjaga-jaga, seperti
ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Inilah adalah pandangan Ar-Ramli, yang kemudian
dijadikan pegangan bagi madzhab ini.
3)
Salah
satu ulama Syafi’iyah yang mengharamkan aborsi secara mutlak adalah Imam Abu
Hamid Al-Ghazali. Argumentasinya adalah setelah membolehkan penumpahan air mani
di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, Al-Ghazali mengatakan
“penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan pembunuhan,
karena pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan wujud uni
bertingkat-tingkat, dimana tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani
tumpah di dalam rahim dan bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima
kehidupan.
4)
Mungkin
perlu disebutkan bahwa dalam madzhab Syafi’iyah tidak ada satu pun ulama yang
melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan roh jika kehamilan itu merupakan
hasil dari zina yang terjadi pada wanita. Hanya saja pendapat ini tidak
dianggap sebagai pendapat yang kuat, sehingga mereka membolehkan jika memang
ada udzur.[28]
d.
Fikih
madzhab Ahmad bin Hambal berpendapat:
Aborsi menurut madzhab ini boleh
selama usia kandungan sebelum 40 hari dan dilakukan dengan obat-obatan. Artinya
aborsi dengan meminum obat-obatan yang mubah, hukumnya mubah.[29]
Sampai di sini dapat terlihat bahwa terkait dengan aborsi ini,
tidak ada kesepeakatan umum terkait dengan hukum atas aborsi. Bahkan dalam satu
madzhab saja, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menghukumi aborsi
ini. Dan untuk memudahkan pemahaman terkait dengan hukum aborsi ini, maka akan
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu aborsi sebelum peniupan ruh dan
aborsi sesudah ditupkannya ruh yang tentunya didasarkan dari pendapat-pendapat
para ulama fiqih.
a.
Aborsi setelah ditiupkannya ruh
Terkait dengan hukum aborsi setelah
ditiupkannya ruh, maka tidak ada perselisihan di antara ahli fikih, dan bahwa
unsur sengaja dalamaborsi dianggap sebagai tindak kejahatanyang mengakibatkan
hukuman, karena aborsi ini menghilangkan nyawa anak Adam yang hidup.[30]
Salah satu dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman-Nya, yang artinya: “Dan
jangnlah kemu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membu uhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh dengan zhalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunggunhya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’ [17]: 33
Selain itu, Rasulullah saw. juga
bersabda:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA., bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?’
Beliau menjawab, ‘Kau menjadikan tabdingan-tandingan bagi Allah, sedangkan
Dia menciptakanmu’. Ia bertanya, ‘Kemudian apa?’, beliau menjawab, ‘Kau
membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu.’ Ia bertanya, ‘Kemudian
apa?’ Beliau menjawab, ‘Kau menzinai istri tetanggamu.’”
Selain dalil-dalil di atas, masih banyak pula dalil-dalil yang
digunakan para ulama dalam menghukumi aborsi, yang meskipun dari segi
tekstualnya tidak secara terang-terangan menyebutkan tentang aborsi, namun bisa
dijadikan sebagai dasar penghukuman, tentunya mempertimbangkan aspek-aspek lainnya
selain aspek tekstualnya.
b.
Aborsi kehamilan sebelum ditiupkannya ruh
Penjabaran
hukum ini pada dasarnya juga sama dengan apa yang telah dijabarkan pada
pembahasan pandangan-pandangan fuqaha di atas. Hanya saja, pada bagian ini
penetapan hukum aborsi bukan diklasifikasikan sesuai madzhab, melainkan lebih
kepada klasifikasi hukumnya, disertai argumen sederhana.
1)
Boleh
secara mutlak
Pendapat ini dipegang oleh sebagian
pengikut madzhab Hanafi, Ibnu Rusydi dari madzhab Maliki dan sebagian pengikut
madzhab Hambali. Mereka berargumen bahwa janin sebelum ditiupkan ruh padanya
bukanlah merupakan manusia hidup.
2)
Boleh
sebelum empat puluh hari pertama kehamilan
Abu Ishaq Al-maruzi dari madzhab
Syafi’i, Al-Lakhmani dari madzhab Maliki dan zhahirnya madzhab Hambali berpendpat
bahwa janin tidak haram diaborsi sebelum kandungan berusia 40 hari pertama.
3)
Kebolehan
aborsi karena satu alasan
Kesepakatan madzhab Hanafi dan
sebagian pengikut Syafi’i membolehkan aborsi sebelum ditiupkannya ruh jika
memang adab alasan yang bisa diterima dan membolehkan aborsi.
4)
Makruh
Ali bun Musa, salah seorang dari
ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat bahwa aborsi janian sebelum ditiupkannya
ruh adalah makruh, karena bagaimana pun juga sperma yang telah masuk ke dalam
rahim kelak akan hidup. Kemakruhan ini pun cenderung kepada makruh tahrim.
5)
Tahrim
mutlak
Pendapat ini
disepakati oleh madzhab Maliki (pendapat yang kuat), dan kesepakatan madzhab
Syafi’i serta madzhab Dhahiriyah.[31]
Tidak adanya
konsensus terkait hukum aborsi setidaknya dikarenakan perbedaan sudut pandang
yang dimiliki oleh masing-masing ulama. Di samping memang hukum aborsi ini
tidak disinggung secara jelas dan pasti dalam dua sumber hukum Islam, yaitu
Al-Qur;an dan Hadist. Ini mempunyai implikasi yang cukup luas, dimana hukum
aborsi ini akan senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pengantar Fikih Kedokteran, silahkan klik di sini
Fikih Kedokteran untuk Hymenoplasty, ada di sini
Refleksi Fikih Kedokteran, silahkan klik di sini
[1] Eny Kusmiran, Kesehatan
Reproduksi Remaja dan Wanita, (Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2011),
hlm. 49
[3] M. Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan; Edisi 4, (Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, 2012), hlm. 108
[4] World Health
Organization, Manajemen Aborsi Inkompet: Modul Kebidanan Edisi 2, terj.
Estu Tiar, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012), hlm. 25
[5] Eny Kusmiran, Loc.
Cit.
[6] Maria Ulfah
Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 36
[7] Disebut juga
sebagai aborsi mengancam. Diperkirakan terjadi pada ketika perdarahan per
vagina dialami wanita hamil saat usia kehamilan 22 minggu. Lihat World Health
Organization, Op. Cit., hlm. 28
[8] Aborsi tak
terelakkan ini sering kali terdapat pendarahan hebat di vagina karena area
plasenta yang luas terlepas dari dinding uterus. Aborsi ini disertai nteri akut
abdomenyang serupa dengan pola kontraksi uterus pada persalinan (sifatnya tidak
teratur). Lihat World Health Organization, Loc. Cit.
[9] Eny Kusmiran, Loc.
Cit.
[10] M. Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit, hlm. 107
[11] Beberapa
ketentuan aborsi legal ini bisa ditemukan dalam Deklarasi Oslo (1970) dan UU
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya: 1)
abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai tindakan tarapeutik yang
keputusannya disetujui oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi
profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh dokter yang kompeten
di instalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan
tersebut mendapat persetujuan dari ibu hamil, suami dan keluarga; 2) Jika
ternyata dokter yang hendak melakukan tindakan tersebut merasa bahwa hati
nuraninya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran, maka ia berhak
mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada teman
sejawat lain yang kompeten; 3) maksud dari indikasi medis dalam abortus legal
ini adalah kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan tersebut yang
apabila tindakan itu tidak diambil, maka akan membahayakan jiwa ibu atau adanya
ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan dilanjutkan, atau
resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan lahir menderita cacat mental, atau
cacat fisik yang berat; dan 4) hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan
medik adalah pada ibu hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar
atau tidak dapat memberikan persetujuannya dapat dimintakan pada suaminya/wali
yang sah. Lihat ibid., hlm 107-108
[12] World Health
Organization, Op. Cit., hlm. 29
[13] Eny Kusmiran, Loc.
Cit.
[14] Istilah awam
untuk sepsis adalah keracunan darah, yang juga digunakan untuk menggambarkan
septikemia. Sepsis mencakup spektrum penyakit yang berkisar dari keluhan seperti
demam, menggigil, malaise, tekanan darah rendah, dan perubahan status mental.
sampai gejala disfungsi organ dan syok. Lihat http://kamuskesehatan.com/?s=sepsis. Diakses pada
tanggal 27/04/2015, pukul 12.56 WIB
[15] Hemoragik
adalah adanya perdarahan; infeksi tertentu (demam berdarah) mengakibatkan hilangnya darah dan cairan
tubuh. Lihat http://kamuskesehatan.com/arti/hemoragik/. Diakses pada
tanggal 27/04/2015, pukul 12.50 WIB
[16] World Health
Organization, Loc. Cit.
[17] Eny Kusmiran, Op.
Cit., hlm. 51
[18] Estrogen ini
dihasilkan oleh ovarium. Dari jenisnya, estrogen ini ada beberapa macam
jenisnya, tetapi yang paling penting untuk reproduksi adalah estradiol.
Estrogen ini berguna untuk pembentukan ciri-ciri perkembangan seksual pada
wanita yaitu pembentukan payudara, lekuk
tubuh, rambut kemaluan dan lain-lain. Selain itu, pada siklus menstruasi,
estrogen berguna untuk membentuk kekebalan endometrium, menjaga kualitas dan
kuantitas cairan serviks dan vagina sehingga sesuai untuk penetrasi sperma,
selain fungsinya untuk mengatur temperatur suhu (sistem saraf pusat/otak). Lihat Ayu Febri Wulanda, Biologi
Reproduksi, (Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2011), hlm. 20
[19] Diatur dalam
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 346, “Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungannya diancam
dengan pidana penjara sebesar-besarnya selama empat tahun.”
[20] Eny Kusmiran, Op.
Cit., hlm. 51-52
[21] Maria Ulfah
Anshor, Op. Cit., hlm. 111
[22] Adil Yusuf
al-Izazy, Fiqh Kehamilan Panduan Hukum Islam Seputar Kehamilan; Janin;
Aborsi dan Perawatan Bayi, terj. Taufiqurrochman, (Pasuruan: Hilal Pustaka,
2007), hlm. 96
[23] Maria Ulfah
Anshor, Op. Cit., hlm. 94
[24] Ibid.,
[25] Adil Yusuf
al-Izazy,Op. Cit., hlm. 97
[26] Maria Ulfah
Anshor, Op. Cit., hlm. 102
[27] Ibid., hlm.
103
[28] Penjelasan
lebih lengkap dari pendapat-pendapat ini bisa dilihat di Muhammad Nu’aim Yasin,
Op. Cit., hlm. 206-209
[29] Adil Yusuf
al-Izazy,Op. Cit., hlm. 96
[30] Abbas Syauman,
Hukum Aborsi dalam Islam, terj. Misbah, (Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim, 2004), hlm. 66
[31] Keterangan
lebih lanjut tentang klasifikasi hukum-hukum ini bisa dilihat dalam Abbas
Syauman, ibid., hlm. 75-84
0 Response to "Fikih Kedokteran: Aborsi"
Post a Comment