Agama Sebagai Terapi: Sebuah Refleksi
Setiap orang pastinya mempunyai pengalaman yang meskipun tak
sengaja terjadi, namun pengalaman itu sangat membekas, tak hanya satu dua
tahun, bahkan seumur hidup pun bisa saja pengalaman itu akan tetap terkenang. Terkenang
bahkan sampai pada detail-detail pengalaman itu terjadi. Begitu pun dengan saya
sendiri. Dari sekian banyak hal terjadi dan berkesan bagi saya selama menempuh
kuliah di S1 adalah salah satu pertanyaan seorang teman dalam sebuah sesi
diskusi mata kuliah tafsir. Kala itu saya sebagai presentator menyajikan makalah tafsir ayat ke 172 QS. Al-A’raf.
Pada kesimpulan presentasi saya itu, saya menekankan bahwa janganlah kita
memeluk Islam hanya karena itu adalah agama turunan dari orang tua kita. Kita memang
tidak bisa memilih saat kita lahir kita dilahirkan dari keluarga muslim atau
tidak, tapi meskipun awalnya kita memeluk Islam dari orang tua kita, tapi
setidaknya untuk seterusnya kecenderungan itu memudar dan berganti suatu
keyakinan yang benar-benar menganggap bahwa Islam inilah agama yang kita yakini
kebenarannya dan kita yakin dengan seyakin-yakinnya inilah agama yang pantas
kita pertahankan hingga akhir hayat kita.
Lantas, saat sesi pertanyaan dibuka. Salah seorang teman bertanya,
yang kurang lebihnya seperti ini: Bagaimana cara kita beragama dan meyakini
bahwa agama Islam itu adalah yang benar? Jujur saja, pertanyaan semacam itu tak
pernah terlintas di benak saya, dan ketika pertanyaan itu terlontar pada saya,
dalam sekian detik saya mengiyakan pertanyaan itu dan juga menanyakan kembali
pada diri saya sendiri, lantas bagaimana agar saya ini tidak beragama Islam
karena agama itu memang yang dikenalkan orang tua pada saya?
Pengalaman saya itu beberapa hari yang lalu dan sampai pada saat
tulisan ini saya buat kembali terngiang dalam benak saya. Pastinya hal itu
bukan tanpa sebab, dan sebab yang membuat saya mengingat pengalaman diskusi
saya saat itu adalah sebuah buku yang telah selesai saya baca, yaitu “Agama
sebagai Terapi, Telaah Menuju Ilmu Kedokteran Holistik”, tulisan Dr. Moh.
Sholeh dan Imam Musbikin, yang di dalamnya membahas tentang dunia kedokteran
yang terpadukan dengan segi ibadah dalam Islam, utamanya shalat.
Jika anda membaca buku ini, maka ketakjuban yang begitu besar akan
anda rasakan. Setidaknya keislaman yang selama ini hanya sebagai agama
keturunan, sedikit demi sedikit/atau bahkan berubah drastis menjadi keyakinan
yang benar-benar yakin bahwa inilah agama yang memang pantas dan harus anda
yakini. Buku ini adalah sebagian kecil fakta sains yang menyibak fakta dibalik
tuntutan dan tuntunan agama Islam yang diberikan kepada manusia. Ternyata, apa
yang diperintahkan oleh Islam bukan semata-mata untuk meghambakan diri kepada
Sang Pencipta, tetapi lebih dari itu, ibadah yang secara kasat mata adalah
bentuk penghambaan makhluk kepada Khaliq ternyata juga mengandung kemanfaatan
bagi diri hamba itu sendiri. Di sini saya bukan hendak membahas isi buku
tersebut, karena memang seperti pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, tulisan
ini juga hanya sebuah refleksi dari apa yang saya dapatkan dari apa yang telah
saya baca.
Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Namun,
ada satu hal yang nampaknya patut saya sajikan dalam tulisan ini. Dinyatakan bahwa
produsen barang-barang misalnya, tentunya lebih paham akan produk yang
diciptakannya tersebut melebihi siapa saja yang bukan sebagai produsennya. Katakanlah
produsen mobil (ini adalah contoh dari saya sendiri), tentu produsen ini yang
paling tahu bagaimana cara mengoperasikan, cara merawat dan menjaga mobil ini
lebih detail dari siapa pun yang bukan produsen. Jika demikian, maka yang paham
betul bagaimana dan seperti apa kinerja tubuh manusia ini adalah Ia yang
menciptakan tubuh ini, siapa lagi kalau bukan Allah SWT.? Allah lah yang tahu
betul bagaimana kinerja tubuh ini, bagaimana cara merawatnya agar tetap prima dan
sebagainya.
Dan ternyata, dibalik semua tuntutan dan tuntunan agama yang
disampaikan melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., terkandung hikmah yang begitu
besar bagi tubuh ini. Silahkan anda search di Google tentang
hikmah-hikmah ibadah yang diwajibkan dalam Islam, maka anda akan menemukan
begitu banyak fakta ilmiah yang menegaskan bahwa ibadah-ibadah tersebut, selain
menjadi wujud penghambaan, ternyata juga mendatangkan/menjadikan tubuh ini
sehat. Persis apa yang juga ditampilkan dalam buku yang saya sebut di atas,
yang ternyata melalui agamalah sebenarnya masalah-masalah kejiwaan manusia bisa
dicegah dan diatasi. Lebih dari itu, ternyata shalat juga bisa menjadi sarana
terapi bagi berbagai penyakit. Bahkan dari penelitian yang telah dilaksanakan,
membuktikan bahwa shalat tahajud yang rutin dilaksanakan akan meningkatkan
sistem imun yang dimiliki tubuh kita, dan ini pada akhirnya bisa mencegah
segala macam penyakit, termasuk jantung dan kanker.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa apa yang dituntut dan dituntunkan
oleh agama yang datang dari Allah bukanlah tanpa kebaikan bagi diri manusia itu
sendiri. Karena bagaimana pun Dia-lah
yang menciptakan manusia, sehingga hanya Dia yang tahu bagaimana seharusnya
manusia ini memperlakukan dirinya agar tetap sehat dan bugar, dan ternyata
itu semua – saya menyebutnya – terionformasikan dalam perintah-perintah atau
anjuran-anjuran yang dinyatakan dalam bentuk ibadah-ibadah yang sebagian
dijelaskan dalam al-Qur’an dan juga Hadist. Sehingga menganggap
perintah-perintah ibadah itu hanya sekedar pengahmbaan saja nampaknya terlalu
sempit, karena ternyata di dalamnya ada manfaat tersendiri bagi diri pelakunya.
Maka benar jika dikatakan ibadah itu bukan untuk Tuhan, tapi kembali ke diri
kita masing-masing. Kebesaran Allah tak akan berkurang sedikit pun andaikan
saja semua manusia tidak beribadah lagi kepada-Nya, begitu pun Allah tak akan
sedih jika semua manusia berpaling darinya, karena ternyata memang pada
dasarnya ibadah yang manusia lakukan adalah untuk dirinya sendiri. Dalam segi
medis misalnya, shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan sebagainya itu dapat
mendatangkan kemanfaatan yang sangat besar untuk kesehatan manusia. Artinya,
ketika seseorang enggan melaksanakan perintah-perintah itu, pada dasarnya ia
telah melalaikan tata cara penggunaan dan perawatan tubuh yang telah diberikan
kepadanya. Jika kita memiliki barang elektronik misalnya, bukankah kita akan
merawatnya dengan menjalankan tata cara atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh produsen? Anda tidak boleh melakukan ini dan itu pada barang
elektronik itu, dn anda harus melakukan ini dan itu agar barang yang anda miliki
itu awet. Kinerja tubuh pun demikian, karena yang menjadikan tubuh ini adalah
Allah SWT, maka hanyalah Dia yang tahu bagaimana kinerja tubuh ini, karena itu
dalam agama ada larangan-larangan dan ada perintah-perintah. Di samping itu
sebagai wujud penghambaan dan ketaatan kita, ternyata itu juga sebagai tata
cara kita untuk merawat tubuh ini.
Akhirnya, untuk menjawab pertanyaan teman saya di atas adalah kita
membuka diri seluas-luasnya terhadap fakta-fakta tersembunyi dari agama ini. Selain
itu, kita jangan mudah puas menerima apa yang diperintahkan pada kita sebatas “ya
kalau al-Qur’an Hadistnya bilang begitu ya sudah dijalnkan saja”. Apakah itu
salah? Tentu tidak! Hanya saja jika kita cukupkan pada taraf itu, ya akhirnya
agama ini sekedar doktrin. Seharusnya kita patut bertanya-tanya dari apa yang
sudah dituntunkan dan dituntutkan oleh Islam ini. Kenapa ya harus shalat? Kenapa
ya harus puasa? Kenapa harus begini dan begitu? Mempertanyakan ini bukan
berarti meragukan, tapi karena kita ingin tahu lebih dalam dari semua itu. Analogi
sederhanya, ketika masuk ke sebuah restoran, kemudian kita merasakan makanan
yang begitu lezat, dan kita bertanya tentang resep makanan yang begitu enak
itu. Apakah mempertanyakan resep itu bagian dari sikap ragu kita atau karena
rasa kagum kita pada makanan itu? Atau kita bisa belajar dari pengalaman Nabi
Ibrahim Khalilullah, ketika meminta agar Allah mendemontrasikan cara
Allah menghidupkan orang yang sudah mati. Atas permintaan itu, Allah sempat
meragukan keimanannya, sehingga Allah bertanya, “Apakah kamu tidak
mengimani-Ku?”. Nabi Ibrahim pun menjawab “Agar imanku lebih kokoh”. Wallaahu
A’lamu bish-Shawaab.
Akhirnya, tidak ada kebenaran yang hakiki selain kebenaran-Nya. Karena
itu, atas kesalahan dan kekurangan dalam tulisan ini semoga Allah mengampun. Dan
semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiiin. []
0 Response to "Agama Sebagai Terapi: Sebuah Refleksi"
Post a Comment