Renungan Bagi Para dan Calon Orang Tua
Malam itu sepulang dari JJM (jalan-jalan malam), ada satu papan
iklan yang menarik perhatian saya. Nampak seorang ibu dan putranya sedang
bercengkrama dan keduanya nampak bahagia. Yang menarik perhatian saya adalah
kata-kata yang ada di dalamnya, kurang lebihnya seperti ini “Senyummu membuat
pekerjaanku terasa berarti”. Kesan yang saya tangkap dari kata-kata itu adalah
penekanan bahwa kebahagian seorang anak – yang dalam iklan tersebut digambarkan
dengan senyuman – adalah segalanya. Seakan-akan iklan tersebut ingin menghardik
para orang tua yang kurang perhatian terhadap anak mereka dengan dalih sibuk
bekerja. Dan parahnya, kesibukannya itu dikatakan demi kebiakan anak-anak
mereka.
Meskipun kata-kata itu hanyalah sebuah iklan, tapi nampaknya itu bisa
kita jadikan renungan bersama. Entah kita yang saat ini sudah memiliki anak,
atau mungkin yang insyaallah akan dikarunia anak. Saya kira tak ada satu
kebahagian pun yang mampu menandingi kebahagiaan orang tua yang melihat putra
putri mereka bahagia. Ini sangatlah wajar dan akan menjadi hal yang aneh jika
kemudian ada orang tua yang menjerumuskan putra putri mereka pada keburukan. Karena
bagaimana pun putra putri mereka adalah bagian dari darah dagingnya yang sudah
barang tentu sangat berharga. Jangankan anak, harta benda saja yang kita
dapatkan dengan jerih payah kita sendiri akan kita anggap sebagai sesuatu yang
berharga, padahal di dalamnya tak ada sesuatu yang berasal dari diri kita,
apalagi anak. Anak yang di dalamnya mengalir darah kita, pastinya tak perlu
mencari alasan lain untuk menjawab kenapa anak menjadi sangat berharga.
Sampai di sini marilah kita sepakati satu prinsip dasar, yaitu
bahwa setiap orang tua senantiasa ingin memberikan yang terbaik untuk buah hati
mereka. Meskipun terkadang pemberian itu belum tentu baik dari sudut pandang si
anak itu sendiri. Salah satu kebaikan yang mungkin biasa diberikan – yang di
satu sisi adalah merupakan kewajiban orang tua – adalah menafkahi anak-anak
mereka dengan memberikan sandang, pangan, dan papan yang layak. Untuk itu
orangtua bekerja, dan ini bisa dikatakan demi anak-anak mereka/keluarga.
Maka, berdasarkan logika sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa orang tua bekerja untuk membahagiakan si anak
dengan memberikan kehidupan yang baik. Akan tetapi, jika pada kenyataannya
tidak demikian bagaimana? Yang artinya bukannya anak bahagia malah sedih dengan
pekerjaan orang tuanya. Jika kita kembali pada iklan di atas, maka kegagalan
orang tua membahagiakan putra putri mereka mengindikasikan bahwa apa yang
dikerjakan orang tua itu kurang berarti. Mungkin ada yang menggugat pernyataan
saya ini, dengan alasan yang sama dengan prinsip dasar yang telah kita sepakati
di atas, yakni tidak ada satu orang tua pun yang menginginkan buah hatinya
menderita. Ya, saya tidak menafikan hal itu. Hanya saja, jika kita mau jujur
dengan melihat di sekitar kita, maka akan mudah kita temui para orang tua yang
sebenarnya memiliki maksud yang baik terhadap buah hati mereka, namun menggunakan
cara yang kurang bijak dalam melaksanakan maksud tersebut. Contoh mudahnya ya
itu tadi, mencari nafkah demi keluarga tapi bukannya memberikan kebahagiaan
tapi malah ketidakbahagiaan (saya enggan menggunakan anonim dari bahagia dan
lebih memilih istilah ketidakbahagiaan karena ada rasa ketidaknyamanan jika
saya gunakan istilah seperti kesedihan atau kesengsaraan, karena bagaimana pun
juga tidak ada satu pun lingkungan keluarga yang menyengsarakan atau
menyedihkan, karena bagaiman pun juga meskipun hanya sedikit, tetap ada
kebagahiaan di dalamnya).
Saya jadi teringat salah satu kisah yang sangat mengharukan (saya
lupa di mana saya menemukan kisah ini), yang menceritakan seorang anak yang
rela menyisihkan uang jajannya setiap hari demi membeli waktu ayahnya yang
sibuk bekerja. Dikisahkan ada seorang anak, usia sekitar 5 tahunan. Anak ini
memiliki orang tua yang kaya raya, semuanya ia miliki, hidup dengan bergelimang
kemewahan dengan para pembantu yang siap melayani kebutuhannya. Hanya saja,
orang tua anak ini teramat sibuk. Hampir tiap hari ayahnya berangkat sebelum
anak ini bangun, dan pulang ketika sang anak telah terlelap. Alhasil, anak ini
hampir tidak pernah melihat ayahnya. Rindu akan kebersamaan bersama ayahnya,
akhirnya anak ini berinisiatif untuk mengumpulkan uang jajannya dengan harapan
bisa membeli waktu sang ayah. Hingga pada suatu hari, setelah uang yang
dikumpulkan dirasa sudah banyak, sang anak menunggu ayahnya pulang, meski saat
itu malam telah begitu larut, ia rela menahan kantuk demi menunggu kepulangan
sang ayah. Ketika sang ayah pulang, anak tersebut langsung menghampiri sang
ayah. Sang ayah pun sedikit heran melihat anaknya belum tidur, kemudian ia
bertanya kepada si anak kenapa sampai selarut ini belum tidur? Sang anak pun
menjawab dengan lugu jika ia ingin bicara dengan ayahnya. Kemudian sang ayah
mempersilahkan anaknya itu bertanya, “Ayah, berapa gaji yang ayah dapat setiap
satu jam?”, sang ayah pun heran mendengar pertanyaan dari si anak dan kembali
bertanya, “kog adik tanyanya gitu, ada apa?”. Anak tersebut kemudian
mengulurkan uang yang sebelumnya dipegang dan disembunyikan di balik badannya
kepada ayahnya sambil berkata “besok adik ingin bermain bola dengan ayah,
apakah uang ini bisa menggantikan satu jam gaji yang ayah dapatkan?”. Tak terasa,
air mata pun mengalir dari sudut mata sang ayah. Ia baru menyadari bahwa betapa
selama ini ia terlalu asyik bekerja hingga melupakan buah hatinya. Ia menyadari
bahwa memberikan uang, mainan dan segala fasilitas yang terbaik untuk anaknya
itu saja tidak cukup. Ada satu hal yang begitu berharga selain memberikan
materi, yaitu perhatian dan kasih sayang.
Bercermin dari kisah tersebut, nampaknya akan ada titik temu dengan
iklan yang saya sebutkan di atas. Jadi, yang paling utama adalah memastikan
kebahagiaan sang buah hati terlebih dahulu, dengan demikian apa yang kita
kerjakan akan benar-benar sangat berarti. Sekali lagi, mari kita renungkan
kalimat berikut:
“Senyummu menjadikan pekerjaanku terasa berarti”
0 Response to "Renungan Bagi Para dan Calon Orang Tua"
Post a Comment