Refleksi Sains dan Isra' Mi'raj


Berawal dari keinginan saya untuk menulis opini di surat kabar dengan tema Hari Kartini dan kemuliaan bulan Rajab. Akhirnya saya mencari buku-buku terkait dengan Kartini dan juga Isra’ Mi’raj, karena bagaimana pun bulan Rajab selalu dikaitkan dnegan peristiwa penting yang pernah dialami Nabi saw. tersebut. Di akhir pencarian, akhirnya untuk tema Isra’ Mi’rajnya saya menemukan buku “Sains dan Isra’ Mi’raj” karya H. Rusydi Luthan.
Dari awal hingga akhir pembacaan buku ini, ada beberapa perasaan yang campur aduk di dalamnya, yang akhirnya di akhir halaman buku ini, perasaan terakhir yang saya dapatkan adalah agak jengkel. Kenapa demikian? Karena ternyata  buku ini bukan seperti buku-buku lainnya yang membahas sains dengan segala tema agama yang serius mengupas fenomena sains yang ternyata dalam agama (Al-Qur’an dan Hadist) sudah dibahas jauh-jauh hari. Memang, awalnya saya beranggapan bahwa buku tersebut akan mengungkap peristiwa Isra’ Mi’raj dari sudut pandang sains, tapi ternyata... (silahkan anda baca sendiri buku ini).

Di awal-awal bab, sebenarnya saya agak jengkel juga dengan pembahasan buku ini. Bukannya apa-apa, tapi karena awal pemb ahasan ini banyak mengkritik – atau lebih ke arah menggugat – tradisi-tradisi yang dikaitkan dengan Isra’ Mi’raj. Penulis buku menganggap bahwa peristiwa Isra’ Mi’aj yang beredar di lingkungan masyarakat adalah berbau mitos, takhayul dan sejenisnya. Sebut saja bahw dalam Isra’ Mi’raj dikatakan bahwa ada negoisasi yang dilakukan Rasulullah saw. dengan Allah SWT. tentang kewajiban shalat 5 waktu yang awalnya adalah 50 waktu dalam sehari. Argumen yang digunakan untuk menggugat cerita negoisasi itu memang masuk akal, yaitu bagaimana mungkin ada negoisasi terkait suatu kewajiban? Bukankah jika demikian menandakan Allah tidak mengetahui kadar kemampuan hamba-Nya? Parahnya lagi, penulis juga menghardik para ulama-ulama dan muballigh yang masih mempertahankan cerita-cerita tersebut.
Apakah yang ditulis itu salah? Saya bukan bermaksud menyalahkan/membenarkan tulisan tersebut, karena kapasitas tulisan ini juga sebatas refleksi. Hanya saja, yang saya tidak suka adalah pemilihan katada dalam mempertanyakan tradisi-tradisi yang sudah ada. Dan saya yakin jika buku ini jatuh di tangan orang awam akan cenderung menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat, apalagi jika pembacaan buku ini tak sampai di halaman akhir, maka sudah dipastikan akan ada perubahan perspektif yang sangat fundamental bagi pembacanya tentang peristiwa Isra’ Mi’raj yang setiap tahunnya diulang di mimbar-mimbar shalat Jum’at atau pengajian-pengajian Isra’ Mi’raj.
Tapi, sementara saya selalu mengernyitkan wajah di awal-awal pembahasan buku ini. Masuk pada tengah-tengah pembahsan, saya dibuat bertanya-tanya dan juga takjub atas apa yang dipaparkan. Pertanyaan saya kala itu adalah “kog yang dipaparkan ini mirip dengan cerita film The Thor ya?” bagi anda yang sudah pernah menonton film ini pasti tahu setting ceritanya (termasuk film the Avanngers). Dalam film itu digambarkan ada tujuh dunia yang memiliki dimensinya masing-masing yang dunia-dunia ini saling terkait. Kedamaian atau kerusakan di salah satu dunia akan mempengaruhi dunia-dunia lainnya. Kemudian, ada cerita bahwa para penghuni dunia satu dengan satunya bisa saling mengunjungi, tentu dengan cara yang tidak mudah. Dunia-dunia ini juga layaknya planet-planet yang ada dalam susunan tata Surna yang memiliki titik edarnya masing-masing, sehingga ada saat di mana ketujuh dunia ini berada pada urutan yang sangat dekat dan sejajar. Sehingga untuk berkunjung ke masing-masing dunia tidak terlalu lama.
Nah, Isra’ Mi’raj yang ditampilkan buku ini pun demikian. Singkatnya, untuk memahami Isra’ Mi’raj perlu pula dipahami bahwa bumi ini adalah bagian dunia pertama atau masuk pad satu gugusan langin. Sementara di luar sana masih ada enam guugsan langit lengkap dengan segala isinya, termasuk bumi yang juga ada penduduknya. Dan kenapa Isra’ Mi’raj nabi dilakukan pada bulan rajab, karena menurut penulis bulan itu adalah waktu dimana tujuh gugusan langit itu terletak pada orbi terdekatnya dan sejajar. Mirip bukan? Dan saya pun kemudian berpikir “jangan-jangan The Thor itu terinspirasi dari sini”.
Kemudian yang membuat saya takjub adalah proyek yang dijabarkan dalam buku itu. Jadi diceritakan bahwa terinspirasi dari peristiwa Isra’ Mi’raj, penulis dan beberapa ilmuwan Islam lainnya mempunya mega proyek yang mereka namai “Misykat Nabi” ata “Meniti perjalanan Nabi” yang bermarkas di Madinah. Jadi, kesimpulan proyek ini adalah bagaimana memanfaatkan energi yang digunakan dalam Isra’ Mi’raj untuk digunakan dalam keseharian, termasuk dalam dunia militer. Awalnya agak heran juga jika memang ada proyek sehebat ini, kenapa saya tak pernah mendengarnya? Apakah saya setertinggal ini dalam mengakses informasi? Tapi sudahlah, jika memang saya tertinggal, setidaknya dengan membaca buku ini ketertingalan saya akan sedikit terkejar.
Dengan seksama saya ikuti alur yang dipaparkan buku ini, dan tiap lembar selesai saya baca ketakjuban saya semakin memuncak. Tapi, setelah 2/3 buku terbaca kog makin aneh ya buku ini. Dikatakan bahwa pesawat dengan nama Buraq, yang merupakan produk mega proyek ini telah dilakukan uji coba, yakni ke bulan dan itu berhasil dengan waktu yang singkat. Lagi-lagi saya bertanya, kog saya tidak pernah dengar hal ini ya? Sungguh keren pikir saya saat itu. Tapi, ketakjuban saya ini mulai tergoyahkan saat diceritakan armada Buraq ini berhasil mengirim para awak yang telah terseleksi di Misykat Nabi ke beberapa langit di luar langit yang kita diami, dan tiap-tiap langit dikunjungi tujuh awak yang bertugas merekam setiap keadaan di bumi yang ada di tiap langitnya. Dan hebatnya ini berhasil! Sungguh parah saya ini, ada peristiwa sehebat ini tapi saya tidak tahu.
Tapi kawan, pernahkah anda dikecewakan oleh sebuah buku? Jika kalian bertanya itu padaku, maka aku jawab: PERNAH! Ya buku ini. Setelah saya membodoh-bodohkan diri sendiri atas ketidaktahuan kemajuan sains dalam Islam di abad ini, ternyata kalimat yang saya dapati di buku ini adalah sebagi berikut:“Astaghfirullah...aku tersadar dari sujudku, ooohh... Rupanya aku bermimpi sampai membayangkan masa depan dunia Sains manusia yang dipelopori umat Islam sudah dapat menterjemahkan dan melaksanakan peristiwa Isra’ Mi’raj.”Jadi, yang membuat saya begitu takjub tadi adalah mimpi saudara-saudara. Lha ya pantas saja jika saya – dan mungkin anda yang belum pernah membaca buku ini – tidak tahu apa itu proyek Misykat Nabi dengan proyeknya pesawat luar angkasa Buraq yang hendak meniru peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi.
Beberapa catatan yang saya berikan pada buku iniadalah:
1.     Jika memang buku ini tidak menampilkan fakta sains tentang Isra’ Mi’raj. Maka setidaknya di awal-awal tidak menampilkan gugatan atas cerita-cerita yang sudah beredar di masyarakat awam. Terlepas dari apakah cerita-cerita yang ada di masyarakat itu benar/tidak yang pasti ada hikmah-hikmah yang hendak disampaikan kepada masyarakat tentang Isra’ Mi’raj. Kecuali, jika memang itu tidak benar maka secara Sains ditemukan fakta yang nyata. Tapi buku ini tidak, di awal menggugat, tapi diakhir gagal memberikan solusi tentang peristiwa Isra’ Mi’raj. Takutnya itu tadi, jika buku ini gagal dibaca sampai akhir akan menimbulkan salah persepsi dan salah pengambilan sikap di masyarakat.
2.     Cita-cita untuk mengurai dan melaksanakan peristiwa Isra’ Mi’raj ini nampaknya perlu dikoreksi lebih lanjut. Iya, saya juga ingin sekali sains di dunia ini dipelopori umat islam. Tapi apakah sampai kepada manusia mampu melaksanakan Isra’ Mi’raj? Mengambil semangatnya saya kira boleh, tapi jika sampai menyamainya dengan melakukan Isra’ Mi’raj nampaknya keluar dari batas. Pasalnya jika manusia mampu melakukan Isra’ Mi’raj, maka akan seperi apa lagi kita memaknai firman-Nya dalam QS. Al-Isra’ ayat 1 yang artinya kurang lebih demikian: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan pada malam hari.....”. Para mufassir berpendapat bahwa dipakainya lafadz Subhaana adalah karena peristiwa Isra’ Mi’raj ini sangat agung. Tapi akankah keagungan itu tetap seagung itu jika manusia bisa melaknsanakan Isra’ Mi’raj?
Meskipun demikian, saya sadari betul bahwa bahwa banyak hal positif yang saya dapatkan dari buku ini. Sekali lagi, bukan maksud saya menyalahkan buku ini, tapi  saya hanya menyampaikan apa yang menjadi refleksi dari apa yang saya dapatkan. Jika refleksi itu negatif, maka itu datang dari ketidaktahuan saya. Namun jikaitu positif, maka itu merupakan karunia Ilahi yang telah saya terima. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, dan mari bersama-sama kita amini mimpi di atas, yakni ke depan semoga dunia sains dipelopori oleh umat Islam. Amiiiiin. Dan satu lagi yang tak kalah penting adalah jangan sampai kita membaca buku hany setengah-setengah. Karena jangan sampai ilmu yang kita dapat itu setengah-setengah.
Wallaahu A’lamu bish-shawaab.

0 Response to "Refleksi Sains dan Isra' Mi'raj"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel