Hidup adalah Pilihan: Idealitas atau Realitas?



Hidup itu memang pilihan, setidaknya kita bisa melacak itu dalam al-Qur’an, lihat saja dalam QS. Al-Syams [91]: 8. Yang artinya kurang lebih demikian “maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.” Perlu sedikit penulis singgung dalam tulisan ini, bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang di dalam memuat teori-teori umum yang ini menjadikan al-Qur’an selalu compatible untuk semua masa dalam ruang dan lingkup yang berbeda (silahkan baca: penciptaan bumi dalam al-Qur’an dan sains). Karenanya, dalam ayat yang penulis sebutkan, makna dari pengilhaman potensi fasik dan takwa dalam diri manusia ini bisa kita maknai lebih luas, salah satunya sebagai dasar jika memang manusia itu sudah seharusnya hidup dalam pilihan. Apakah ia ingin menjadi orang yang baik atau jahat, menjadi penolong atau apatis, menjadi pribadi yang menyenangkan atau tidak, menjadi pintar atau bodoh, semuanya serba dalam pilihan. Ini tentu berbeda dengan makhluk Allah lainnya, katakanalah malaikat, malaikat tak punya pilihan apakah ia harus taat atau ingkar kepada perintah Allah, begitu juga setan, ia yang meskipun awalnya sangat dikasihi Allah, tapi pada akhirnya setan sombong dan menjadikan Allah murka padanya, dan kemurkaan ini tidak memiliki jalan keluar untuk bertaubat. Berbeda dengan manusia yang ketika melakukan kesalahan, kemudian mau bartaubat dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi, maka manusia ini bisa dimaafkan oleh Allah atas kesalahannya.
Terkait dengan pilihan, di sini penulis mengangkat tema pilihan antara idealitas dan realitas. Idealitas – sejauh yang penulis pahami – adalah sebuah konsep yang menjadi nilai tertinggi yang kita yakini sebagai yang terbaik. Karenanya, idealitas ini ada kalanya terkesan sangat utopis, dan terkadang terasa sangat melangit. Ini berbeda dengan realistis, yang dimaknai sebagai sesuatu yang nyata, yang nampak saat ini. Jika idealitas adalah gambaran masa depan, maka realistis adalah kejadiaan ini. Idealis adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan idealitas, sedangkan untuk realistis biasa dipakai istilah realistis. Karenanya kita sering mendengar bahwa orang itu sangat idealis atau sangat realistis.
Apakah kita ingin menjadi orang yang idealis atau realistis itu adalah pilihan, dan sama halnya dengan pilihan-pilihan lainnya, setiap pilihan mempunyai konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi inilah yang biasanya dijadikan acuan untuk memilih. Ketika konsekuensi untuk menjadi idealis sangat berat, maka kita akan menjatuhkan pilihan pada sosok yang realistis. Pun sebaliknya, ketika kita memilih realistis tidak menjadikan kita lebih baik, bahkan sebaliknya maka idealislah yang akan kita pilih.
Penulis ambil contoh, saat mengerjakan tugas akhir kuliah, penulis dihadapkan pada dua pilihan. Di satu sisi penulis ingin sekali tugas akhir ini menjadi sesuatu yang sangat berbobot, sementara di sisi lain tuntutan untuk segera menyelesaikan studi sangat tinggi. Tentu keduanya punya konsekuensi masing-masing. Jika menurut idelaisme, maka kemungkinan untuk lulus tepat waktu akan sulit, sementara jika mementingkan lulus, maka apa yang akan penulis kerjakan tidak akan maksimal karena mengejar yang penting lulus. Lantas maknakah yang lebih baik? Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya akan bervariasi, bisa jadi lebih baik realistis, lebih baik idealis, atau lebih baik semuanya berjalan bersamaan. Terkadang memang kita harus realistis, dan terkadang idealis itu juga perlu. Yang penting sebenarnya bukan itu, tapi bagaimana kita bisa menyikapi idealism kita dan mampu mengkomunikasikan dengan realitas yang ada. Dalam dunia pendidikan misalnya, katakanlah kita seorang guru. Kebetulan kita sangat ahli dalam dunia IT, maka kita mempunyai idealitas bahwa semua materi akan disampaikan dengan memanfaatkan teknologi yang canggih. Hanya saja, kemudian kita dibenturkan dengan realitas di lapangan, di mana sekolah tempat kita mengajar tidak mengakomodir apa yang sudah kita rencanakan. Maka, saat situasi seperti ini terjadi, mau tidak mau idealitas harus tunduk pada realitas.
Sama halnya dengan tugas akhir perkuliahan, terkadang kita begitu ingin menjadikan tugas itu patut untuk kita banggakan. Namun, itu mempunyai konsekuensi akan menunda kelulusan, apakah kita akan menyerah pada idelisme kita? Maka, ada baiknya kita mengetahui kembali konsep opportunity cost, manakah yang akan kita korbankan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik, apakah idealism kita korbankan demi kehidupan yang lebih baik? Atau kita harus pertahankan idealism di atas realitas? Sebelum menjawab itu, ada baiknya kita tanyakan kepada diri kita terlebih dahulu, sebenarnya apa yang kita definisikan sebagai baik buat kita? Karena penulis yakin, konsepsi kita tentang “baik buat kita” akan berimplikasi luas pada pilihan-pilihan yang akan kita buat. Karena bagaimana pun, kita yang lebih tau apa yang terbaik untuk diri kita. Demikian, semoga bermanfaat. []

1 Response to "Hidup adalah Pilihan: Idealitas atau Realitas?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel