Galau Pernikahan
Usia 20-30 tahunan – setidaknya menurut penulis – adalah usia-usia
yang dipenuhi kegalauan. Tidak hanya untuk masalah-masalah yang besar, bahkan
untuk masalah yang kecil sekali pun yang kita hadapi pada usia ini mampu
menjadikan kita galau. Apa itu galau? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Online), galau sedikitnya memiliki tiga pengertian, yaitu sibuk berramai-ramai,
ramai sekali, kacau tidak karuan (pikiran). Dari ketiga pengertian tersebut,
dalam tulisan ini penulis akan menggunakan acuan makna galau yang ketiga, yaitu
pikiran yang kacau tidak karuan.
Bukanlah hal yang aneh jika pada kisaran usia 20-30 an ini
seseorang akan merasakan kegalaun yang tak jarang menjadikan ia berada pada
posisi terbawahnya, karena merasa tak mampu menanggung beberapa beban
permasalahan. Perlu penulis garis bawahi di sini bahwa permasalahan yang
disebutkan bukan selalu berkonotasi pada hal-hal yang buruk, dan memang
disadari atau tidak, kegalauan itu sangat dekat dengan hal-hal positif
dibanding dengan hal yang negatif.
Dengan bukan tanpa alasan, penulis katakan bahwa galau adalah salah
satu tanda dari eksistensi manusia. Jangan mengaku jika kita ini manusia jika
kita yakin kita tak pernah galau, pikiran kita tak pernah kacau. Karena bagaimana
pun hidup seorang manusia adalah sebuah pilihan, bahkan untuk memejamkan mata
setiap malam pun adalah pilihan. Sayangnya, pilihan ini tak selamanya hanya
sekedar ya/tidak, benar/salah, lakukan/tidak, di mana pilihan-pilihan ini tak
memiliki konsekuensi, dan bukan tidak mungkin jika sering kali kegalauan yang
kita rasakan bukan terkait dengan pilihan kita, melainkan
konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dalam setiap pilihan yang akan kita
ambil.
Salah satu kegalauan yang sering dihadapi para remaja-dewasa usia
20-30 an adalah pernikahan. Ya, bukankah memang usia-usia ini bisa dikatakan
usia untuk menikah? Jika kita sudah memiliki calon pendamping, kita akan galau
kapan kita akan menikah? Sementara saat ini kita belum mapan, kita belum siap
berumah tangga dan sebagainya. Kemudian, bagi yang belum memiliki pasangan,
ditamnbah mapan pun belum, maka kegalauan akan semkin banyak dirasakan. Dorongan
menikah sudah sangat kuat, tapi dengan siapa dan dengan apa kita akan menjalankan
rumah tangga belum jelas.
Tak dapat dipungkiri jika pernikahan itu gampang-gampang susah. Beberapa
orang begitu mudahnya melangkah ke pelaminan dan seperti hal yang simpel, dan
sebagian lagi memandang pernikahan itu bukanlah hal yang mudah, bukan hanya
sebatas ijab-qabul. Ijab-qabul yang tak sampai memakan waktu hingga 5
menit ini, kedepannya memiliki konsekuensi yang bukan main-main. Penulis mencoba
memahami mereka yang seakan dengan mudahnya melangkah ke pelaminan karena
mereka memiliki satu keyakinan jika semua itu sudah ada garis takdirnya, ketika
ia merasa sudah saatnya menikah maka ia akan menemukan pasangannnya sendiri
baik itu melalui dikenalkan atau temannya dan bisa pula saudaranya sendiri. Kemudian
terkait dengan kemapanan, mereka pun penulis yakini memiliki keyakinan yang
begitu kuat dengan janji Allah sebagai Maha Pemberi Rezeki, yang dari-Nya taka
da satu pun makhluk yang luput dari perhatiannya. Jika sudah demikian, maka
pernikahan pun akan menjadi mudah.
Lantas, apakah yang menganggap pernikahan itu hal yang tak mudah
itu berarti mereka tidak yakin dengan takdir dan juga janji Allah terkait
dengan rezeki? Bukan, yang ingin penulis katakana adalah bahwa mereka melihat
jika pernikahan itu adalah peristiwa agung yang bisa menjadikan hidup kita
mengalami banyak perubahan. Pernikahan, selain menyatukan dua pribadi, namun
juga mempertemukan dua keluarga dengan segala tradisi yang melingkupinya yang
tak jarang memiliki banyak perbedaan antara satu sama lain. Pernikahan,
menjadikan kita harus berkomitmen dengan pasangan kita untuk membangun rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Tidak ada lagi yang perlu
disembunyikan antara suami dan juga istri. Jika sebelumnya kita sangat menjaga
apa yang menjadi privasi kita, maka ketika sudah menikah kita harus berbagi
dengan pasangan kita, meskipun memang tidak semuanya harus kita ceritakan. Kemudian, jika sebelumnya kita adalah orang
yang bebas, bebas dalam arti kita bebas bergaul dan bersikap dengan hanya
berorientasi pada keinginan kita, maka ketika kita sudah menikah, kita akan
dihadapkan pada bagaimana seharusnya kita bergaul dan bersikap layakya seorang
suami dan juga istri.
Singkatnya, pernikahan dipandang bukan hanya sekedar ijab-qabul,
melainkan pertemuan dua pribadi yang berbeda, keluarga yang berbeda dengan
tradisi yang berbeda pula. Inilah kemudian yang menjadikan seseorang menjadi
galau ketika memikirkan tentang pernikahan. Untuk meminimalisir kegalauan ini, beberapa
orang kemudian memilih untuk menjajaki seseorang yang sekiranya ingin ia
jadikan pasangan hidup. Pacaran, adalah salah satu cara yang ditempuh sebelum
melangkah ke pelaminan. Perlu penulis tegaskan bahwa dalam tulisan ini, penulis
mengesampingkan terlebih dahulu terkait dengan kontroversi pacaran yang
beberapa mengatakan sebagai hal negatif, tapi dalam tulisan maksud pacaran yang
penulis munculkan adalah yang positif, dalam arti pacaran yang mempunyai
orientasi menikah. Melalui pacaran ini, seseorang mencoba mengenal pribadi
calon pasangannya, kemudian keluarganya termasuk adat tradisi yang ada di
keluarganya.
Menyambung tentang pacaran yang sebagian menyebutnya negatif, ini
jika memang orientasi pacarannya itu cuma ya sekedar pacaran, tak ada cita-cita
untuk menikah. Lantas apa jadinya jika pacaran hanya sekedar pacaran,
setidaknya pacaran itu akan membuang waktu dan biaya, di samping juga akan
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak seharusnya. Namun, jika pacaran ini
berorientasi ke depannya menikah, maka fine-fine saja. Sebagian mungkin akan membantah, bukankah setiap orang ketika
mengajak pacaran pasti selalu mengatakan pernikahan atau dengan istilah berbeda
dengan maksud yang sama? Ya, memang semuanya ketika pacaran selalu mendambakan
pernikahan. Hanya saja pada kenyataannya, janji untuk menikah ini tak sedikit
yang justru berakhir dengan perpisahan. Dengan berbagai alasan, satu pihak atau
bisa jadi dua belah pihak merasa perlu mengakhiri hubungan mereka.
Sebagian yang menganggap pacaran negatif
tadi akan menggunakan fenomena putusnya hubungan pacaran sebagai justifikasi
tambahan yang mereka gunakan untuk mengampanyekan anti-pacaran. Tapi, di sini
penulis mengampil posisi yang berbeda, justru fenomena putus dalam pacaran
adalah proses berharga yang terkadang keberhargaan itu akan kita sadari
jauh-jauh hari setelahnya. Hingga sampai pada keputusan untuk putus, tentu ada
proses panjang. Proses menjajaki pasangan kita, keluarganya dan sebagainya. Hanya
saja, proses ini tak selalu berakhir dengan happy. Karena bisa jadi kita setelah menjalin hubungan dengannya, kemudian
menyadari bahwa pribadi kita dengannya tak sama atau setidaknya tak bisa
dikompromikan, atau dari pacaran ini kita tahu jika kedua belah pihak keluarga
memiliki cara pandang dan tradisi yang berbeda yang jika tetap dipaksakan akan
mendatangkan kesulitan di kemudian hari. Maka dari berbagai pertimbangan itu
akhirnya ada dua pilihan, tetap lanjut dengan konsekuensi ke depannya akan
banyak mengalami kesulitan, atau pilihan yang kedua yaitu mengakhiri hubungan.
Bukankah dari sini nampak betul bahwa
pacaran itu bukan selalu negatif. Bayangkan saja jika kita tiba-tiba menikah
dengan orang yang baru kita kenal, kemudian juga baru mengenal keluarganya
belum lama namun tetap melangsungkan pernikahan. Syukur kalau ternyata ke
depannya lancar, lha kalau tidak? Ternyata setelah menikah kita baru tahu bahwa
kita memiliki banyak perbedaan dengannya, keluarga juga ternyata tidak begitu
menerima kehadiran kita sementara kita sudah mengikat janji suci. Jika demikian,
maka lagi-lagi kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sama dengan pilihan pacaran
di atas, tetap lanjut atau bertahan. Meskipun pilihannya sama, namun
konsekuensinya pasti berbeda. Putus saat sesi pacaran tentu berbeda dengan putus
pada saat telah mengikat janji suci. Setidaknya dari status yang akan kita
sandang sudah jelas, kita putus dengan pacar paling-paling kita cuma mendapat
status mantan, itu pun status tersebut hanya berlaku bagi pacar kita, bahwa
saya adalah mantannya, dan dia adalah mantan saya. Lha kalau putus saat sudah
menikah?
Bahwa semuanya sudah memiliki takdir masing-masing
itu memang benar, termasuk dengan jodoh kita. Tapi bukan berarti kita hanya
diam menunggu takdir itu mendatangi kita. Dan – sekali lagi – pernikahan adalah
peristiwa agung yang tidak seharusnya kita sembarangan menyambutnya. Jangan sampai
dari pernikahan yang akan kita jalani akan menjadikan salah satu pihak akan
terdlolimi. Bahwa cinta tidak akan memaksa apalagi menyakiti harus kita
jadikan prinsip, apakah prinsip yang kita miliki mampu ia terima, begitu pun
apakah prinsip yang ia miliki bisa kita terima itu penting. Biarkan dia bahagia
dengan kebahagiaan yang ia dapat temukan dalam diri kita, begitu pun buatlah
diri kita bahagia karena dia ada dan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Jangan
sampai cinta yang kita berikan justru menjadikan ia terpaksa bahagia demi kita.
Kesimpulannya? Penulis rasa tidak ada
kesimpulan yang bisa penulis sampaikan. Silahkan anda menyimpulkan sendiri apa
yang anda dapat dari tulisan yang amburadul ini. []
0 Response to "Galau Pernikahan"
Post a Comment