Catatan Kuliah: Tahu Banyak Tentang Sedikit, Tahu Sedikit Tentang Banyak
Dalam perkuliahan Studi Kebijakan Pendidikan Islam sore itu
membahas tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan, baik
pendidikan Islam maupun pendidikan nasional. Setidaknya ada beberapa poin yang
menjadi catatan penulis, antara lain:
1.
Bahwa
perubahan itu akan selalu terjadi, di mana perubahan ini selalu diikuti
tantangan-tantangan yang pada akhirnya tak jarang menimbulkan masalah. Masalah
ini, menurut penulis, jika segera di atasi akan menjadikan perbaikan dalam
sebuah sistem. Penulis menganggap bahwa ada siklus (istilah yang penulis
gunakan) masalah-solusi yang senantiasa melingkupi kehidupan di dunia ini.
Pendidikan pun tak luput dari siklus masalah-solusi, sudah pasti masalah akan
senantiasa ada dan dengan masih adanya masalah ini, maka upaya mencari solusi
harus tetap ada. Jika solusi tak berhasil ditemukan, maka akan terjadi
ketimpangan di dalamnya. Kita bisa belajar dari alam, seperti kita ketahui saat
ini bahwa cuaca yang terjadi saat ini seakan tak menentu, hujan tetap terjadi meskipun
saat itu bukan musim penghujan, begitu sebaliknya, kemarau bisa terjadi di saat
musim penghujan. Meskipun penulis bukan ahli di bidang Meteorologi dan
Geofisika, tapi penulis tahu jika ketidakpastian cuaca ini diakibatkan oleh
kekacauan siklus cuaca (jika penggunaan istilah penulis salah, mohon
dibenarkan). Melihat dari alam ini, kita bisa tarik ke dalam dunia pendidikan,
bagaimana suatu masalah yang tak dapat dicarikan solusi maka akan mempengaruhi
siklus masalah-solusi yang pada awalnya ini akan membawa perbaikan, tapi jika
siklus ini kacau, maka bukan tidak mungkin akan terjadi ketidakpastian dalam
pendidikan.
2.
Pendidikan
Multikultur dan Pluralisme Agama
Mengingat betapa
beragamnya masyarakat Indonesia, maka pendidikan berbasis mutikultur ini sangatlah
penting. Kita tidak bisa membatasi pergaulan peserta didik hanya karena
perbedaan, baik itu suku, ras, budaya, agama atau bahkan status sosial. Terkait
dengan agama khususnya, yang merupakan isu paling sensitive, sensitif
menimbulkan konflik, pendidikan multikultur/pendidikan pluralisme itu
menginginkan bagaimana kita bisa berbaur dan merasa saling memiliki agamanya
sendiri-sendiri. Artinya, menurut penilaian penulis, bahwa kita berbeda memang
iya, Tuhan tiap agama memang berbeda, tapi bukan berarti keberbedaan itu
menjadikan kita saling curiga dan saling menyalahkan. Kita punya keyakinan yang
kita yakin paling benar, tapi di lain pihak juga ada seseorang yang memiliki
keyakinan yang sama kuatnya dengan keyakinan kita tetang Islam, tapi bukan
Islam. Kita yakin jika Islam bisa mengantarkan kita pada ridho Allah dengan
gambaran paling mudah mendapat surga-Nya. Tapi apakah kita tak sadar jika di
sana juga terdapat hati yang meyakini bahwa bukan Islamlah yang bisa
mengantarkan ke surga, tapi Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghuchu dan
lain sebagainya. Jika demikian, lantas apakah kita hendak berlaku egois pada
mereka, dengan mengatakan kitalah yang paling benar dan mereka salah? Sering penulis
tekankan, bahwa menganggap apa yang kita yakini itu paling benar adalah
keharusan, tapi bukan berarti keyakinan itu kemudian menimbulkan pemahaman
kalau kita yang paling benar, maka semuanya salah sehingga kemudian kita pantas
menghakimi mereka.
`Kemudian
yang menjadi catatn penulis adalah bahwa potensi konflik atas nama agama akan
semakin tinggi dan sulit untuk diredakan jika dalam suatu daerah jumlah 2 kubu agama
imbang. Ini bisa kita lihat di Ambon/ Maluku, di mana antara umat Islam dengan
Kristen berimbang. Ini terjadi karena masing-masing diantara keduanya merasa
besar, sehingga mereka merasa tidak mau untuk mengalah. Ini tentu berbeda jika
di suatu daerah, jumlah pemeluk agama tertentu dengan agama lainnya tidak
berimbang, ada mayoritas dan minoritas. Maka yang minoritas pun sadar diri
bahwa mereka kecil, dan yang mayoritas pun akan cenderung tidak perlu melakukan
konfrontasi dengan yang kecil. Hanya saja, sikap seperti menganggap paling
berkuasa dan benar karena mayoritas, sehingga menganggap mempunyai hak menekan
minoritas itu bukanlah sikap yang bijak.
3.
Kebijakan
yang dikeluarkan harus yang menyejahterakan, bukan menyengsarakan.
Pada poin ini,
bapak dosen memberikan contoh polemik yang terjadi dalam Partai Golkar terkait
dengan kisruh kubu Abu Rizal Bakrie dengan Agung Laksono. Apa yang menjadi
kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM, yang memenangkan kubu
Agung Laksono adalah contoh dari kebijakan yang bukannya menyejahterakan, tapi
malah menyengsarakan. Karena, kebijakan yang dibuat sudah selayaknya
menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru.
Kemudian
masuk pada dunia pendidikan. Contoh yang disampaikan adalah terkait dengan
perubahan kurikulum KTSP ke kurikulum 2013. Jika kita mau jujur, kebijakan
perubahan kurikulum ini bukannya menyejahterakan, melainkan menyengsarakan,
setidaknya menyengsarakan para guru. Di luar apakah kurikulum 2013 itu adalah
konsep yang sangat baik atau tidak, tapi dengan – seakan-akan – dianulirnya kebijakan
kurikulum ini dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang setidaknya semakin menguatkan
penilaian bahwa kebijakan penggantian Kurikulum 2013 adalah salah.
Sekali
lagi, bahwa sudah selayaknya kebijakan yang dibuat harus membawa kepada
kesejahteraan. Meskipun tidak serta merta menjadikan paling baik, namun
setidaknya kebijakan yang belakangan di buat itu lebih baik – dalam arti
membawa dampak positif yang lebih – dari kebijakan sebelumnya. Mungkin kita
bisa mencoba membuka sejarah kedaulatan Islam era Umar ibn al-Khattab, melalui
beliau banyak kebijakan-kebijakan penting yang lebih menyejahterakan (silahkan
baca buku “Umar bin Khattab” karya Muhammad Husain Haekal). Namun yang perlu
digarisbawahi adalah kebijakan yang saat ini dibuat bukan berarti
mengindikasikan kebijakan sebelumnya adalah salah atau kurang baik. Karena bisa
jadi kebijakan sebelumnya itu memang terbaik di zamannya. Sama halnya dengan
kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar, apakah kemudian kebijakan itu menjatuhka
kualitas kebijakan yang dikeluarkan oleh Nabi Muhammad SAW atau kebijakan yang
dikeluarkan oleh Abu Bakar sebelumnya? Tentu bukan demikian, karena kembali
pada poin 1, jika zaman ini pasti senantiasa berubah, dan di balik perubahan
itu pastinya ada tantangan yang bukan tidak mungkin menimbulkan masalah. Kebijakan
diambil salah satunya adalah untuk mengatasi masalah yang timbul dari perubahan
zaman.
4.
Kurikulum
adalah menu
Penulis tak
ingin berpanjang lebar membahas kurikulum yang ada di sekolah-sekolah secara definitif.
Karena selain pembahasan itu sudah banyak terdapat di buku-buku kurikulum, juga
karena ini hanya sekedar refleksi perkuliahan saja. Bapak dosen menceritakan
pengalamannya selama berada di New Zealand. Di sana, pemerintah sangat
memperhatikan masyarakatnya. Dalam hal pendidikan, mulai dari Taman
Kanak-kanak, anak-anak sudah diarahkan pendidikannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Karena berlandaskan filosofi bahwa kurikulum ibarat menu, di mana
setiap peserta didik satu sama lain memiliki selera yang berbeda. Hal ini
penting untuk disadari dari awal, karena belajar atas dasar minat dan bakat
akan terasa lebih menyenangkan dibanding dengan sesuatu yang bukan menjadi
minat dan bakat kita, apalagi terhadap sesuatu yang sangat kita tidak sukai. Jadi,
di New Zealand ini, jika seorang anak telah diketahui bakat dan minatnya, ia
akan senantiasa digiring untuk belajar apa yang ia sukai. Katakanlah ia sangat
menyukai fisika, maka ia akan senantiasa diarahkan untuk menekuni bidang
fisika, sehingga ke depannya ia akan benar-benar menjadi fisikawan yang handal.
Pun demikian jika ia suka pada bidang biologi, maka ia akan senantiasa digiring
untuk menekuni biologi, bahkan sampai gelar Doktor pun ia akan tetap pada koridor biologi.
Selain itu, di
New Zealand juga sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah mewajibkan
untuk warga negaranya yang telah mencapai usia 19 tahun untuk berpisah dengan
orangtuanya. Dan pemerintah tidak hanya mengeluarkan kebijakan tanpa ada upaya
meminimalisir tantangan dari kebijakan itu. Kebijakan untuk berpisah dengan
orang tua ini diikuti dengan pemberian rumah kepada mereka yang memang sudah
berusia 19 tahun. Dan di sana, bedasarkan sistem pendidikan yang mementingkan
bakat dan minat menjadikan lulusan setingkat SMA sudah bisa mencari penghasilan
sendiri. Gaji yang didapatkan pun tidak bisa dikatakan sedikit, karena menurut
bapak dosen kerja di sana 1 bulan bisa untuk menghidupi biaya hidup 5 bulan. Itu
baru lulusan SMA, bagaimana jika ia adalah seorang Doktor atau Profesor?
“Kita itu tahu sedikit tentang yang banyak, dan mereka itu tahu
banyak tentang yang sedikit”. Itulah gambaran yang diberikan oleh bapak dosen,
di mana beliau mengatakan jika pendidikan kita saat ini masih belum
berlandaskan filosofi menu makanan. Peserta didik belum diberi kesempatan untuk
memilih mana yang ia sukai dan mana yang tidak. Pendidikan kita ibarat kita
makan, semua menu disajikan, akhirnya yang terjadi adalah kita tidak bisa
menghabiskan apa yang disajikan. Ini tentu berbeda ketika kita diperbolehkan
memilih menu kesukaan kita, maka sebanyak apapun yang kita ambil pasti kita
akan bisa menghabiskannya. Itulah maksud dari:
“TAHU BANYAK TENTANG SEDIKIT,
BUKAN TAHU SEDIKIT TENTANG
BANYAK”
Semoga
bermanfaat. []
Deskripsi
perkuliahan:
Mata
Kuliah : Studi Kebijakan
Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd
0 Response to "Catatan Kuliah: Tahu Banyak Tentang Sedikit, Tahu Sedikit Tentang Banyak"
Post a Comment