Catatan Kuliah: Mengenal Konsep Opportunity Cost
Tulisan ini dimaksudkan untuk sedikit berbagi ilmu dari apa yang
telah penulis dapatkan di perkuliahan. Siang itu, sedang dijelaskan beberapa
hal terkait dengan sebagian konsep dasar tentang kualitas/mutu, karena memang
perkuliahan ini terkait dengan sistem penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam. Menjelnag
akhir perkuliahan, ternyata muncul pembahasan yang yang cukup menarik, yakni
terkait dengan konsep “opportunity cost” yang belakangan penulis
memaknai sebagai sesuatu yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kesempatan yang
lebih baik, entah itu biaya, tenaga, pikiran atau lainnya. Meskipun pemahaman itu bisa jadi sangat jauh dari pemaknaan
aslinya.
Penulis tidak ingin panjang lebar membahas tentang pemaknaan dari opportunity
cost ini. Yang pasti, sebelum dosen menjelaskan konsep tersebut, ada
pertanyaan yang diajukan kepada kami (mahasiswa), pertanyaan itu kurang
lebihnya “kenapa kalian tidak mencukupkan diri hanya menjadi lulusan S1? Tapi juga
mengambil jenjang pendidikan s2?” beberapa alternative jawaban kemudian muncul.
Kemudian dari beberapa alternative itu, hanya dua jawaban yang diulas oleh
dosen, yaitu: 1) meningkatkan pola piker yang kritis, dan 2) peningkatan
ekonomi. Jadi, dengan mengambil jenjang pendidikan s2, setidaknya dapat meningkatkan
pola piker yang kritis dan meningkatkan tingkat perekonomian. Kira-kira
begitulah kurang lebihnya.
Jawaban pertama, terkait dengan pola pikir yang kritis. Artinya,
kita mengambil jenjang pendidikan S2 ini karena menganggap bahwa apa yang kita
dapat di S1 belum menjadikan pola pikir kita kritis, sehingga kita perlu
melanjutkan S2 agar bisa lebih kritis, dengan konsekuensi ada beberapa hal yang
kita korbankan, setidaknya terkait dengan biaya (jika kuliah yang diambil bukan
beasiswa), kemudian tenaga, waktu dan juga pikiran. Pengorbanan inilah yang
dimaksud dengan opportunity cost, di mana kita rela mengorbankan
beberapa hal demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Kemudian jawaban kedua, terkait dengan peningkatan ekonomi. Artinya,
dengan meneruskan pendidikan pada jenjang S2, kesempatan untuk memperoleh
kemapanan ekonomi lebih tinggi di banding dengan hanya menyandang gelar S1. Tapi,
untuk meraih kesempatan itu, sama halnya dengan jawaban pertama, ada beberapa
hal yang perlu dikorbankan demi meraih sesuatu yang lebih baik. Saat itu, bapak
dosen membuat hitung-hitungan sederhana antara pendapatan lulusan S1 dengan S2.
Namun perlu penulis tegaskan – dan ini juga berkali-kali ditegaskan oleh bapak
dosen – bahwa perumapamaan ini bukan berarti merendahkan satu pihak dan
mengungulkan pihak lain. Tapi, karena pada awalnya konsep opportunity cost ini
dipakai dalam dunia marketing, maka penjelasan yang dipakai pun agar mudah
dipahami harus memakai perhitungan yang pasti. Karenanya sekali lagi,
perhitungan sederhana ini bukan berarti menyudutkan lulusan S1 yang
diidentikkan dengan guru atas lulusan S2 yang proyeksinya menjadi dosen.
Katakanlah, tahun ini Ahmad dan Budi lulus S1. Si Ahmad memutuskan
untuk langsung menjadi guru, dan si Budi melanjutkan S2. Kebetulan Ahmad
langsung diterima sebagai guru dengan pendapatan perbulan – katakanlah – 5 juta
rupiah. Di lain sisi, Budi menempuh S2 yang sudah barang tentu bukannya
mendapatkan penghasilan tapi malah herus mengeluarkan biaya. 2 tahun kemudian,
Ahmad yang berpenghasilan 5 juta perbulan ini bisa mengumpulkan uang 120 juta,
anggaplah demikian. Sedangkan Budi, untuk biaya semesteran dan biaya hidup
selama 2 tahun sebesar 50 juta. Dari sini, memang terlihat jauh tertinggal dari
Ahmad yang telah berhasil mengantongi uang 120 juta, sedangkan Budi malah kehilangan
170 juta, yakni 120 juta dari gaji jika ia memilih jalan yang sama dengan Ahmad,
ditambah biaya dia kuliah S2.
Kemudian, setelah dua tahun berlalu, akhirnya Budi lulus dan
mendapatkan gelar S2. Maka coba kita hitung pendapatnyanya kemudian antara Ahmad
dan Budi. Setelah lulus, Budi memiliki nasib yang sama dengan Ahmad, yakni setelah
lulus langsung diterima sebagai tenaga kependidikan, hanya saja karena Budi
lulusan S2 ia diterima sebagai dosen, dengan pendapatan – anggap saja – 10 juta
perbulan. Maka kita lihat 5 tahun ke
depan. Anggap saja gaji keduanya tidak mengalami kenaikan, Ahmad 5 tahun ke
depan berhasil mengumpulkan uang 300 juta rupiah, sedangkan Budi 5 tahun ke
depan berhasil mengumpulkan 600 juta. Jika demikian, maka 7 tahun setelah lulus
S1, Ahmad berhasil mengumpulkan uang sebesar 420 juta rupiah dengan perhitungan
120 juta di dua tahun pertama ditambah 300 juta pada 5 tahun setelahnya. Sementara
Budi berhasil mengumpulkan 430 juta rupiah dengan perhitungan 600 juta di 5
tahun terakhir dikurangi biaya yang hilang selama menempuh S2 sebesar 170 juta.
Untuk memudahkan perhitungan ini, berikut penulis sajikan dalam tabel, pertama
adalah tabel 2 tahun setelah lulus S1:
Tingkat
Perekonomian
|
Total
|
||
Tahun 1
|
Tahun 2
|
||
Ahmad
|
60.000.000,-
|
60.000.000,-
|
120.000.000,-
|
Budi
|
(-) 25.000.000,-
|
(-) 25.000.000
|
(-)
50.000.000,-(**)
|
Ket:
(**)
Perhitungan ini kemudian ditambah dengan kesempatan mendapatkan
uang sama dengan Ahmad jika Budi mengambil jalan sama dengan Ahmad, sehingga
total akhir perekonomian Budi 50.000.000,- + 120.000.000,- = 170.000.000,-
adalah uang yang dikorbankan untuk S2.
Kemudian
berikut perhitungan 5 tahun ke depan:
2 Tahun
Setelah Lulus S1
|
Tingkat
Pendapatan Perekonomian
|
Total
|
|||||
Tahun ke – 3
|
Tahun ke – 4
|
Tahun ke – 5
|
Tahun ke – 6
|
Tahun ke – 7
|
|||
Ahmad
|
120 Juta
|
60 Juta
|
60 Juta
|
60 Juta
|
60 Juta
|
60 Juta
|
420 Juta
|
Budi
|
(-) 170 Juta
|
120 Juta
|
120 Juta
|
120 Juta
|
120 Juta
|
120 Juta
|
430 Juta
|
Dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa Budi rela mengorbankan
uang 170 juta untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik, dan dari
perhitungan sederhana di atas, nampak bahwa pada akhirnya apa yang diperoleh
oleh Budi jauh di atas perolehan Ahmad, meskipun start keduanya berbeda.
Budi, selain mengorbankan biaya, juga mengorbankan waktu, tenaga dan
pikirannnya untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dengan menempuh S2. Bapak
dosen juga menambahkan bahwa kesempatan di luar pendapatan keduanya, Budi lebih
memiliki kesempatan lebih banyak dibanding Ahmad. Karena bagaimana pun, ketika
menjadi dosen, ada banyak kesempatan seperti penelitian-penelitian yang bukan
tidak mungkin penelitian-penelitian ini, di samping menambah keilmuan juga
menambah pundi-pundi rupiah. Belum lagi ketika dijadikan sebagai narasumber di
berbagai acara, meskipun bukan satu-satunya motivasi mendapat amplop, tapi
tetap saja tidak ada narasumber yang ketika pulang hanya tangan kosong. Kemudian,
bisa jadi dosen menjadi konsultan dan kesempatan-kesempatan lainnya.
Opportunity cost, sekali
lagi bisa disederhanakan sebagai sebuah pengorbanan untuk mendapatkan
kesempatan yang lebih baik. Dan nampaknya, ini sangat sering kita alami dalam
keseharian, termasuk jika di atas dicontohkan terkait dengan pendidikan, di
mana pendidikan yang tinggi akan mendatangkan kesempatan yang lebih baik. Ada pula
pengorbanan yang mengorbankan pendidikan (formal) demi mendapatkan kesempatan
yang lebih baik. Itulah mengapa banyak kita jumpai seseorang yang sukses (bahkan
beberapa teramat sukses) dari segi ekonomi dengan latar belakang pendidikan yang
rendah. Itu karena memang orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pendidikanlah
yang ia korbankan demi meraih sukses sebagai pengusaha.
Dari dunia pendidikan dan pengusaha, kita bisa melompat ke dunia
anak muda, dalam hal ini cinta. Karena seperti dalam film-film, terlepas apakah
itu ber-genre horror, komedi, atau apapun itu akan terasa hambar jika tak
dibumbui dengan kisah percintaan. Begitu pun dengan konsep opportunity cost,
yang bisa diterapkan dalam percintaan. Dosen saya mencontohkan bahwa jika
kita ingin merebut hati seseorang yang kita cintai, maka harus ada yang kita
korbankan untuk meraih kesempatan yang lebih baik, yang dalam hal ini tentu
dapat meluluhkan hati sang pujaan hati, entah itu pengorbanan berupa materi,
perhatian, tenaga atau pikiran. Misalnya, ketika kita dihadapkan pada pilihan
harus mengerjakan tugas kuliah atau mengantarkan dia berbelanja. Tentu, ketika
kita menganggap untuk menolak ajakannya dia itu akan menjauhkan kesempatan kita
untuk menjadi pasangan hidupnya, maka pastinya tugas kuliah akan kita
korbankan. Demi apa? Ya demi mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Kesempatan
apa? Ya kesempatan kita mendapatnya pujaan hati kita. Kenapa demikian? Ya, bisa
jadi kita yakin bahwa dialah sosok yang terkandung dalam kata bijak “di balik
keseuksesan seorang suami, terdapat istri yang hebat”. Tak apalah kita sedikit
mengabaikan tugas kuliah, asalkan kita tak diabaikan doi karena lebih memilih
tugas. Kira-kira begitulah catatan perkuliahan untuk kali ini, semoga
bermanfaat. []
luar biasa kang ... hemmmm
ReplyDeleteHehehehe
ReplyDelete