Benarkah Kita Lebih Mulia Dari Tukang Sampah?



Ketika menempuh studi S1 di IAIN Surakarta, salah seorang Profesor – dalam sebuah perkuliahan – mengatakan bahwa yang menjadikan kita ini mulia, baik di mata manusia juga Tuhan adalah ketika kita mau melakukan sesuatu yang tidak semua orang lain mau melakukannya. Dalam literatur fiqih kita tentu mengenal apa yang disebut dengan fardlu kifayah, dimana istilah itu mengacu pada kewajiban yang jika dalam suatu komunitas sudah ada yang mengerjakannya, maka kewajiban itu gugur bagi semuanya. Dan inilah yang ditekankan oleh professor tersebut, jangan bangga karena rajin sholat, karena memang itu sudah suatu kewajiban. Jangan merasa kalian sudah puasa penuh di bulan Ramadlan lantas menjadikan dirimu lebih suci dibanding yang tak berpuasa. Haji? Jangan karena merasa memiliki uang yang melimpah lantas berangkat haji berkali-kali kemudian timbul kesombongan bahwa kalianlah yang memiliki keimanan yang paling sempurna. Itu semua sudah selayaknya dilakukan seorang muslim. Tapi ketika kalian mau melakukan sesuatu yang tidak semua orang mau melakukannya, itulah yang menjadikan kalian berbeda dan mulia. Coba kita lihat acara-acara yang menampilkan para pahlawan-pahlawan sejati, seperti Kick Andy yang biasanya menampilkan sosok-sosok inspiratif yang mau melakukan hal-hal mulia yang tidak semua orang mau melakukannya. Memang, apa yang mereka lakukan terkadang bukannya mendatangkan materi, bahkan cenderung mereka harus mengeluarkan materi, tapi pada akhirnya itu semua amat mulia di mata kita dan pastinya Tuhan pun bangga melihat makhluknya berlaku demikian.
Belakangan saya selalu teringat perkataan Profesor di atas, bahwa yang menjadikan kita mulia sebenarnya adalah ketika kita mau melakukan sesuatu yang tidak semua orang mau melakukannya. Jika demikian, maka kita perlu merasa malu kepada mereka yang setiap pagi berjibaku dengan sampah. Coba kita lihat di beberapa TPA (Tempat pembuangan akhir), ada sosok-sosok yang rela bergelut dengan sampah yang kita buang, tak hanya itu, terkadang kita begitu sombongnya menutup hidung kita, karena merasa terganggu jika menghirup bau sampah. Apakah kita sesombong itu? Mungkin itu masuk kategori sombong yang tak disadari dan tak disengaja.
Berlandaskan apa yang disampaikan Professor di atas, dalam konteks ini, saya mengakui bahwa saya belum ada apa-apanya dibanding mereka yang setiap hari berjibaku dengan sampah-sampah yang menurut kita sangat mengganggu. Mereka rela melakukan sesuatu yang tidak semua orang mau melakukannya. Iya memang, mungkin ada yang membantah bahwa mereka melakukan itu karena terpaksa, karena tidak ada pilihan lagi selain mengerjakan itu. Jika itu bantahan yang diberikan, maka saya akan bertanya, apakah ada seseorang yang mempunyai cita-cita ingin menghabiskan hari-harinya bergelut dengan sampah? Bohong besar jika anda mengatakan ada, karena bagaimana pun juga taka da manusia yang ingin hidupnya menderita, menderita dalam pandangan khalayak umum. Coba saja anda tanya kepada mereka, apakah cita-cita mereka dari kecil adalah memunguti sampah?
Lantas apa maksud dari tulisan ini? Setidaknya yang ingin penulis sampaikan adalah himbaun kepada pribadi penulis khususnya dan kita semua umumnya, bahwa tidak ada yang bisa kita sombongkan dalam hidup ini. Ok, mungkin kita adalah orang yang berilmu, berpendidikan tinggi, tapi sadarkah kita bahwa kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang rela mengurusi sampah tiap hari, rela berjibaku dengan sampah yang bagi kita adalah hal yang menjijikkan. Kita kaya? Iya, kaya dalam hal materi bisa sangat kita ukur, tapi apakah kekayaan itu lantas menjadikan kita mulia jika di kanan kiri kita masih banyak kita temui orang-orang yang kepalaran? Apakah dengan kekayaan yang kita miliki lantas menjadikan kita lupa bahwa hidup ini bukan hanya untuk menumpuk harta? Ok, kita merasa diri kita ahli ibadah, setiap  tiba waktunya shalat kita langsung datang ke masjid ke masjid. Apakah itu yang kita banggakan? Sementara ketika ada orang yang memerlukan bantuan, kita berpaling hanya karena mengetahui ia bukan seiman dengan kita. lantas terkait dengan sosok yang setiap hari berjibaku dengan sampah? Ya, kita seharusnya malu kepada mereka, karena bagaimana pun juga jika kitta bertukar peran dengan mereka apakah kita sanggup? Apakah kita yang saat ini telah hidup dengan nyaman sanggup mengantikan peran mereka? Jika tidak yakin kita mampu, maka sudah selayaknya kita menghormati mereka. Menghormati dengan apa? Minimal kita lebih peduli dengan sampah-sampah kita dengan tidak mencampur sampah yang organik dengan non-organik, dan membungkus sampah dengan baik agar memudahkan tukang sampah untuk mengangkut dan mengurusnya. Bagaimana pun juga mereka telah banyak berjasa bagi kita. Bayangkan saja jika sampah-sampah di sekitar kita terbiarkan begitu saja tanpa ada yang mengurusnya?
Bahwa di langit itu masih ada langit, dan di atasnya lagi ada langit, dan di ujungnya ada Allah swt. Yang Maha Tinggi. Lantas manakah yang akan kita banggakan lagi jika semua kebanggaan itu hanya milik-Nya?
Semoga yang sedikit dan tidak jelas ini bermanfaat. []

0 Response to "Benarkah Kita Lebih Mulia Dari Tukang Sampah?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel