Belajar dari Cinta Orang Tua
Sebelumnya, marilah kita sepakati satu prinsip, bahwa tidak ada
satu pun di dunia ini orang tua yang tidak menginginkan yang terbaik buat
putra-putri mereka. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah
hati mereka. Bahkan sampai pada saat di mana menurut pandangan umum apa yang
dilakukan orangtua terhadap anaknya adalah sebuah kebiadaban (sebut saja orang
tua yang tega membuang anaknya ketika masih kecil hingga sampai tega
membunuhnya) tetap saja ada unsur ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya,
hanya saja pemikiran mereka yang dangkal yang mengakibatkan tindakan yang
mereka pilih adalah sebuah kesalahan.
Bagaimana pun juga, jika kita mencoba memasuki dunia para orang tua
yang tega menelantarkan anaknya, mereka beranggapan bahwa itulah yang terbaik
untuk anaknya. Alasan yang sering kita dengar dari pemberitaan-pemberitaan di
media-media tentang kasus pembuangan bayi, bahwa si ibu malu lantaran mempunyai
anak di luar nikah. Malu di sini mungkin saja juga terkait dengan masa depan
anaknya, artinya si ibu khawatir jika ke depan anaknya juga akan menanggung
malu, karena itulah ia kemudian berpikir lebih baik ia membuang anaknya yang
bisa jadi dengan itu akan mendatangkan kehidupan yang lebih baik bagi si anak. Kemudian
dalam kasus membuang anak karena faktor ekonomi, ini juga bisa kita pahami
motif pembuangan ini yang bisa jadi orang tua, selain memikirkan susahnya
perekonomian mereka juga tidak ingin anaknya menderita karena kemiskinan orang
tuanya, yang pada akhirnya ia membuang anaknya dengan asumsi bahwa inilah yang
terbaik untuk anaknya dan yang pasti ada harapan bahwa semoga anaknya ditemukan
oleh orang baik dan mempunyai masa depan. Intinya, tidak ada orang tua di dunia
yang menginginkan keburukan bagi buah mereka. Adapun dengan kasus yang penulis
sebutkan di atas merupakan suatu musibah yang karena ia musibah maka tidak lantas
menggoyahkan prinsip jika tidak ada orang tua yang mennginginkan anaknya
celaka, tapi sebaliknya setiap orang tua ingin yang terbaik buat putra-putri
mereka.
Kembali penulis sajikan fakta bahwa tidak ada cinta yang
menyakitkan, semuanya indah, hanya saja terkadang kita tidak terlalu sabar
untuk menunggu kebahagian yang merupakan buahnya cinta. Kita bisa bayangkan
jika saja para orang tua kita tidak sabar merawat dan membesarkan kita. Sebut saja
ketika ibu kita mengandung kita selama 9 bulan, bayangkan saja jika kesabaran
itu tidak tertanam dalam diri seorang ibu, akankah kita saat ini bisa hadir di
dunia ini? Belum lagi ketika kita dilahirkan, jika bukan karena kesabaran yang
merupakan salah satu ekspresi cinta seorang ibu, tentu ia tak akan mau
mengorbankan nyawanya demi kita. Kemudian ketika kita sudah terlahir, ibu dan
ayah kita senantiasa sabar merawat kita, mereka tak segan-segan menghentikan
makannya di saat mereka tahu kita sedang buang air besar, dan tak jarang mereka
makan bersamaan ketika mengganti popok kita. Di saat kita sakit, merekalah yang
merasakan lebih sakit dari kita, semuanya mereka lakukan demi melihat
kesembuhan kita. pertanyaan yang sama, bayangkan jika orang tua kita tidak
sabar merawat kita, apakah kita yakin bisa menghirup udara sampai saat ini?
Lantas apa yang bisa kita ambil dari ekspresi cinta orang tua
kepada buah hati mereka? Satu kata yang mungkin bisa – setidaknya – mewakili sebagai
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu “Sabar”. Semua akan indah pada waktunya
jika kita sabar dalam segala hal. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah
sabar bukan berarti pasrah. Bayangkan saja jika sabar itu dimaknai pasrah,
ketika kita sakit kemudian orang tua kita bersabar dengan pasrah, tidak membawa
kita ke rumah sakit atau ke dokter, apakah dengan demikian kita yakin kita bisa
hidup sampai saat ini? Penulis tidak ingin mendefinisikan sabar dengan mengutip
pendapat orang lain, sabar menurut penulis adalah ketika kita tetap merasa
bahwa usaha itu perlu tapi juga sadar jika tugas kita hanya berusaha sebaik
mungkin demi mendapatkan yang terbaik, dan di saat usaha yang kita lakukan
tidak mendapatkan hasil yang baik, barulah kita berpasrah diri. Artinya, pasrah
itu juga penting, asal tidak disamakan dengan sabar. Dan yang tak kalah penting
adalah bahwa pasrah bukan berarti menurut semua pintu untuk berusaha lagi dengan
tidak adanya kemungkinan untuk
membukanya kembali. Penulis berangapan bahwa pasrah itu ibarat waktu jeda, jeda
dari sikap sombong kita yang menganggap dengan “usaha keras semua pasti
berhasil.” Dan bisa jadi, kegagalan dari usaha kita adalah bentuk teguran dari
Tuhan jika kita sudah mulai sombong dengan sedikit hasil usaha kita. Di saat
itulah, bisa jadi Tuhan menegur kita dengan kegagalan. Lantas apakah ini
berlaku untuk orang tua dan buah hati mereka? Itu sangat bisa, sebut saja orang
tua yang beruntung memiliki anak yang cerdas, di sekolah selalu menjadi yang
pertama, kemudian ketika kuliah mendapat IPK yang sangat memuaskan, di tambah
ketika selesai kuliah anak mereka langsung mendapatkan kemapanan dengan cepat. Melihat
anaknya begitu sukses, orang tua kemudian bangga jika kesuksesan anak mereka
adalah hasil dari usaha mereka mendidik dan membesarkan anaknya. Ketika Tuhan
melihat unsur kesombongan itu, tiba-tiba kejadian yang tak diinginkan menimpa
anak tersebut yang menjadikan kesukseannya tak berarti lagi.
Sebenarnya penulis enggan menggunakan contoh tersebut, karena
pernah penulis berbicara demikian dengan salah seorang teman, mereka menghardik
penulis bahwa jangan membicarakan Tuhan seperti itu, karena Tuhan bukan
pencemburu, Tuhan bukan seperti kita yang kasih sayangnya sangat terbatas.
Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyanyang, bagaimana mungkin kemudian Tuhan
mencabut kebahagiaan si anak dan orang tuanya karena Tuhan melihat kesombongan
si orang tua? Ya, penulis juga sependapat dengan itu, karena memang dari awal
penulis bukan ingin menuduh Tuhan pecemburu atau apalah itu. Yang ingin penulis
tekankan adalah bahwa pasrah itu perlu, tapi tidak seharusnya pasrah menjadi
pilihan pertama. Ingat, orang tua kita sudah mengajari kita sejak kita dalam
kandungan untuk tidak mudah pasrah dan selalu bersabar. Jika ini kita pahami
dengan benar dan kita bisa bagikan kepada orang lain secara massif, nampaknya
kemungkinan terjadinya kasus bunuh diri, membuang anak dan semacamnya akan
berkurang. Karena tindakan-tindakan bodoh itu didasari oleh ketidaksabaran dan
sikap pasrah yang keliru.
Demikian yang sedikit ini semoga bermanfaat. []
0 Response to "Belajar dari Cinta Orang Tua"
Post a Comment