Bahagia Bersama Keluarga
Jika ukuran kebahagian itu hanya diukur dari harta benda, maka
sudah dapat dipastikan tidak akan kita temui kebahagiaan. Mengapa demikian? Karena
bagaimana pun juga harta bukanlah tujuan hidup. Untuk apa kita punya banyak
harta jika karena harta itu kita jadi tidak damai menjalani keseharian kita. Bahagia
itu, menurut hemat penulis adalah ketika kita selalu berada dalam kebersamaan
bersama keluarga. Kebersamaan bersama keluarga ini disadari atau tidak
merupakan kebahagiaan hakiki yang tak mungkin dapat kita tukar dengan apapun. Ya,
adalah keluarga yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Mungkin sebagian ada yang
menyanggah jika beberapa keluarga bukannya menjadi sumber kebahagiaan melainkan
sumber kesengsaraan. Untuk menyebut salah satu contoh ketika ada anak dianiaya
orangtuanya, ada anak yang diperlakukan tidak senonoh oleh ayahnya, belum lagi
beberapa waktu yang lalu ada orangtua membakar anaknya yang baru lahir bersama
dengan tumpukan sampah. Bukankah ini tanda bahwa keluarga adalah sumber
kesengsaraan? Iya, dengan mengatakan bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan
bukan berarti penulis tidak mau tahu dengan fenomena penganiyaan dalam lingkup
keluarga tersebut. Hanya saja, penulis beranggapan bahwa menafikan peran
keluarga sebagai sumber kebahagiaan dikarenakan beberapa kasus kekerasan dalam
keluarga adalah kurang bijak. Karena bagaimana pun juga, jangan sampai karena
nila setitik rusak air susu sebelanga. Dunia ini selalu berjalan sesuai ketentuan
hukum alamnya (dalam Islam, sunnatullah), tapi di balik itu selalu ada
pengecualian-pengecualian yang berbeda dengan hukum alamnya, sama halnya dalam
kasus kekerasan dalam keluarga.
Allah dalam firman-Nya menekankan, yang kira-kira maksudnya adalah
jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Ini penulis maknai sebagai isyarat
betapa pentingnya keluarga, karena setelah kita menjaga diri kita, maka
keluarga adalah obyek selanjutnya yang harus kita jaga. Apakah perintah itu
datang bukan tanpa sebab? Penulis memang bukan mufassir, namun bukan
berarti tidak boleh menangkap api semangat dari firman-firman-Nya. Perintah menjaga
keluarga ini penulis maknai sebagai bentuk balasn kita atas keluarga yang telah
menyayangi dan merawat kita. Karena jasanya yang besar kepada kita inilah
kemudian kita diperintahkan menjaga keluarga kita dari keburukan yang
disimbolkan sebagai api neraka. Bahwa sudah selayaknya kita membalas apa yang
telah diberikan keluarga kepada kita dengan balasan berupa penjagaan kita
terhadap keluarga.
Kembali kepada harta yang paling berharga adalah kebersamaan
bersama keluarga. Disetujui atau tidak, tapi itulah kenyataannya. Apa gunanya
mempunyai rumah yang besar dan megah, jika tak sekalipun kita berkumpul dengan
keluarga kita? Apa gunanya mempunyai mobil banyak jika karena banyak itulah
kita jarang pergi bersama-sama? Dan mau diapakan juga, harta benda tak pernah
menjanjikan kebahagiaan yang sejati. Iya, katakanlah sekarang kita berlimpah
harta, apa saja bisa kita beli. Kita bosan dengan rumah mewah yang sekarang
kita punya, kemudian kita beli yang baru yang lebih mewah. Mobil juga demikian,
tak cukup satu, lalu beli dua lagi yang lebih mewah, dan seterusnya. Itulah harta
benda.
Apakah kita pernah bertanya kenapa harta benda tak pernah
menawarkan kebahagiaan yang sejati? Karena harta benda tak pernah merasa sampai
di ujung jika kita kejar. Selalu terasa ada jalan di depan yang mengobarkan
nafsu kita untuk mengejar harta benda. Apakah itu salah? Tidak, tidak
sepenuhnya salah karena kita tidak bisa menafikan bahwa kita hidup di dunia
bendawi yang mau tidak mau kita harus mempunyai harta benda untuk bisa tetap
eksis di dunia ini. Tapi apakah dengan demikian, lantas kita menempatkan harta
benda di atas keluarga? Sekarang, apakah ada hal yang lebih tinggi, lebih
membahagiakan di atas kebahagiaan ketika kita bercengkrama, berbagi bersama
keluarga?
Penulis beranggapan bahwa tak apalah jika hanya memiliki rumah yang
kecil, jika dengan demikian kita akan senantiasa dapat melihat keluarga kita. Bukan
rumah yang besar yang setiap harinya terasa kita dan keluarga kita tinggal di
dua alam yang berbeda. Tak apalah jika dalam rumah itu hanya ada satu televise,
jika dengan demikian itu kita bisa menonton televisi bersama dengan selingan
saling berebut chanel TV dibandingkan memiliki banyak televise di rumah
yang pada akhirnya menjauhkan kita dengan keluarga kita. Tak apalah jika
berpenghasilan pas-pasan, jika dengan penghasilan itu sudah lebih dari cukup
menjadikan kita hidup bersama. Tak apalah jika memang Tuhan memberikan rezeki
yang tak terlalu banyak, jika dengan cara itu Tuhan menjadikan kita memiliki
banyak waktu untuk keluarga, kita masih bisa bisa mendengarkan cerita anak-anak
kita, masih bisa membantunya mengerjakan PR di sekolah, masih bisa mengajaknya
rekreasi di waktu senggang kita. Dari pada jika harus mencari pundi-pundi
rupiah yang melimpah,sementara keluarga tak pernah sama sekali merasakan
kehadiran kita selain dalam keadaan sibuk.
Dari pengamatan penulis selama ini, penulis menganggap bahwa
diantara kita akan merasakan betapa pentingnya arti kebahgiaan berkumpul
bersama keluarga adalah setelah kita menua. Iya, bagaimana kita memperlakukan
anak-anak, ke depan perlakuan itu akan berbalik kita terima. Anak yang melihat
orangtuanya sibuk mencari harta dengan melupakan keluarga, kelak akan tidak
peduli terhadap orangtuanya yang sudah berusia lanjut dengan alasan sibuk
bekerja. Begitu pun sebaliknya, ketika saat ini anak-anak dibiasakan untuk
merasakan betapa bahagianya kebersamaan dengan keluarga, maka kelak ia tidak
akan punya alasan untuk membiarkan kita yang telah berusia lanjut merasa
kesepian. Bahwa apa yang kita tanam akan kita petik hasilnya di kemudian hari
juga berlaku dalam hal ini. Bagaimana carai kita membentuk pemahaman anak-anak
tentang arti dari keluarga dan materi akan menentukan bagaimana ia akan
memperlakukan kita di kemudian hari. []
0 Response to "Bahagia Bersama Keluarga"
Post a Comment