Menggugat Tradisi, Kritis yang Prematur


Dalam salah satu perkuliahan yang penulis ikuti, salah seorang dosen pernah mengatakan bahwa salah satu ciri masyarakat modern adalah kritis dan tidak mudah puas. Karena mata kuliah saat itu terkait dengan penilaian pembelajaran, maka dosen tersebut memberikan contoh terkait dengan kekritisan para orangtua siswa tentang nilai yang didapat oleh putar-putri  mereka. Mereka tidak serta merta menerima apa yang ada dalam raport, terlebih jika terdapat nilai-nilai yang dirasa tidak enak dipandang, maka mereka akan mempertanyakan itu. Mereka kritis dan tidak akan puas, tidak puas jika ternyata jawaban yang diberikan oleh guru terkait nilai anak mereka tidak berlandaskan dengan fakta, karena bisa jadi orangtua ini merasa anaknya pintar sehingga tidak mungkin mendapat nilai jelek.
Apa yang penulis sampaikan di atas adalah sekedar prolog dari tulisan ini. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa ciri masyarakat modern adalah kritis dan tidak  mudah puas. Sadar atau tidak, memang itulah kenyataan yang bisa kita temui di sekitar kita, tak terkecuali dalam kehidupan keberagamaa. Masih seperti pada tulisan yang sebelumnya, penulis akan mengambil latar belakang kehidupan di Solo dan sekitarnya, dengan alasan bahwa penulis pernah tinggal dan berinteraksi di daerah ini, di sampig juga bahwa terdapat fakta jika di daerah Solo dan sekitarnya terdapat berbagai macam paham keagamaan (Islam). Entah benar atau tidak, penulis pernah mendengar bahwa di Solo ini ada lebih dari 50 aliran/paham/organisasi keislaman. Sehingga, dengan begitu banyaknya macam aliran ini, tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan dalam masyarakat sekitar. Diantara sekian banyak aliran tersebut, sebagian berideologi Islam Radikal dengan ciri mudah menyalahkan aliran/paham yang ada di luar mereka, dan tak jarang menggunakan term kafir, sesat, dan neraka. Ada pula yang tidak menggunakan term tersebut secara tersurat, namun dengan tersirat mereka pun menggunakan term tersebut kepada siapa saja yang ada di luar mereka. Semisal penyebutan bahwa tahlilan itu lebih besar dosanya dari pada melakukan zina, dengan argument bahwa jika zina itu sudah jelas dosanya, sehingga yang melakukan itu akan merasa bersalah dan karena menyadari kesalahan itu, maka ada kemungkinan untuk bertobat. Namun, berbeda dengan tahlilan yang tidak jelas bahwa itu dosa atau tidak – dan menurut paham ini, tahlilan, selamatan, dan lain sebagainya adalah salah karena tidak ada tuntunannya dalam Islam – sehingga yang melakukan tahlilan ini tak merasa bersalah dan happy selalu dengan tradisi-tradisinya. Meskipun memang tidak ada penyebutan kafir, sesat atau sejenisnya tetap saja nampak kesan penghakiman atas nama agama terhadap paham lain yang tak sejalan. Dan yang sedikit disayangkan adalah isi kajian-kajian dalam paham keagamaan ini disiarkan secara luas di seluruh penjuru. Sehingga, pemahaman itu menjadi konsumsi publik, entah sepaham atau tidak seiapa saja bisa mendengarkannya.
Selain itu, karena berada dalam masyarakat yang modern, dengan kekritisan dan ketidakpuasan yang menjadi ciri khasnya. Mulai muncul pihak-pihak yang – bisa dikatakan – menggugat tradisi-tradisi keagamaan yang sudah lama dijalankan oleh masyarakat lokal. Mereka mulai mempertanyakan – misalnya – dalil-dalil baik itu al-Qur’an atau pun Hadist yang dijadikan dasar dari pelaksanaan suatu tradisi. Misalnya, acara maulid Nabi (perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw) yang selalu diadakan pada bulan Rabi’ul Awal atau setiap minggi sekali di kampung-kampung. Kemudian tentang peringatan kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan juga peringatan haul (ulang tahun kematian) yang sudah mengakar di kampung-kampung. Ada juga tradisi pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jaelany. Semuanya itu mulai dikritisi terkait dengan dalil-dalil al-Qur’an-Hadistnya.
Pertanyaannya, apakah kritis itu salah? Tentu tidak, bahkan kritis ini bisa dikatakan adalah sebuah kemajuan intelektual, dengan asumsi bahwa sikap kritis ini menandakan penggunakan akal pikir manusia, di mana kita sekalian telah mengetahui bahwa akal pikir inilah yang menjadikan manusia lebih mulia disbanding makhluk-makhluk Allah lainnya. Namun, sikap kritis ini pun bisa menjadi sebuah kemunduran intelektual jika kekritisan yang dipakai adalah kritis yang prematur. Kenapa prematur? Karena argumen kritis yang dibangun masihlah sangat kerdil. Semisal dalam kasus tradisi-tradisi yang penulis sebut di atas. Bahwa kemudian menyebutkan jika tradisi-tradisi tersebut itu adalah tradisi yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist adalah benar, namun jika kemudian dengan mengatakan dengan percaya diri jika dengan tidak menjalankan tradisi ini kemudian menganggap sudah menjalankan Islam dengan benar, yang artinya mafhum mukholafah-nya mengatakan bahwa yang melaksanakan tradisi tersebut adalah tidak menjalankan Islam dengan benar, lebih-lebih menganggap mereka sesat, ya nanti dulu.
Penulis tidak akan terlalu panjang lebar membahas terlalu panjang lebar tentang tradisi tersebut. Hanya saja penulis perlu menyampaikan di sini bahwa suatu ketika terdapat seseorang (sebut saja Ahmad) yang menggugat tentang ziarah kubur, juga tentang tahlilan, termasuk juga prosesi tahlilan yang ada makan-makannya/berkat. Meskipun besar di lingkungan yang kenal menjaga dan melesatrikan tradisi tersebut, pada akhirnya kini ia mulai menggugatnya. Ahmad menanyakan tentang dalil-dalil yang melatarbalakangi tradisi-tradisi ini, dan karena ia tidak – lebih tepatnya belum – menemukan dalil-dalilnya, maka ia pun mengatakan bahwa tradisi itu salah karena tak ada dalilnya. Namun, ketika salah seorang (sebut saja Hasan) menanggapi gugatan Ahmad dengan menyodorkan kitab hadist yang sudah diakui kesahihan riwayat-riwayat hadistnya tepat di beberapa baris hadist yang kurang lebih isinya menunjukkan bahwa tradisi seperti tahlilan, dan sebagainya itu pada dasarnya ada landasannya dalam al-Qur;an dan Hadist. Merasa gugatannya terbantahkan, kemudian Ahmad pun mengalihkan pertanyaan tentang status hadist tersebut, dan Hasan pun menjelaskan status Hadist tersebut, bahwa hadist tersebut shohih, maka kemudian Ahmad pun mencoba menyimak lagi dan mengatakan ia akan megkroscek hadist itu pada ustadznya.
Apakah sikap Ahmad ini salah? Sekali lagi tidak, tidak ada kritis yang salah, karena kritis ini sama dengan menggunakan akal. Tapi jangan sampai kritis yang kita miliki adalah kritis yang premature. Seperti yang banyak penulis temui, ternyata sikap kritis yang menjamur di sana-sini adalah kritis yang prematur, setidaknya itu penilaian pribadi penulis. Bagaimana tidak prematur? Hanya didasarkan kitab-kitab terjemahan, baik al-Qur’an atau kitab-kitab hadist lainnya sudah berani menghakimi ini benar-itu salah, ini islami-itu tidak islami, ini ada dalilnya-itu tidak ada. Kemudian dalam memahami al-Qur’an dan Hadist kita jangan sampai lupa, bahwa al-Qur’an dan Hadist ini hadir dan akan senantiasa berlaku pada semua waktu, ia tak terbatas ruang dan waktu dan bisa senantiasa berdialog dengan segala masa dan tempat di mana keduanya berada. Dan karena itu, memahami al-Qur’an tak bisa hanya dengan membaca terjemahannya saja. Ada banyak disiplin ilmu yang perlu dikuasai untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dari al-Qur’an dan Hadist itu. Nah, kalau dengan hanya berpedoman terjemahannya saja kemudian berani menggugat dan menyalahkan orang lain, apa namanya jika bukan (maaf) prematur?      
Menarik apa yang penulis dapatkan dalam buku “Shalawat dan Salam untuk Manusia Teragung; Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Sosok dan Kenabian Muhammad” karya Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq, dkk. Ada satu tulisan yang penulis tandai sangat tebal, yakni ketika berbicara tentang tuduhan bahwa Rasulullah pernah mencoba bunuh diri, berikut pernyataannya:
“Adapun tudingan mereka bahwa Nabi saw. tidak memiliki mukjizat menunjukkan kebodohan dan ketololan mereka. Dalam sumber yang dapat dipercaya ditegaskan, bahwa beliau memiliki mukjizat dari sisi Allah, seperti mkeluarnya air dari ujung jari-jemarinya, kemampuan Nabi mendengar rintihan batang kurma di hadapan orang-orang pada hari Jum’at, memperbanyak makanan hinga cukup dimakan oleh orang banyak, dan mukjizat al-Qur’an yang dijamin akan dijaga oleh Allah dan akan dijelaskan maksudnya, sehingga pada setiap generasi, muncul pemahaman yang belum terungkap pada masa-masa sebelumnya.”

Kita perhatikan kalimat yang tercetak miring, ini secara tidak langsung mematahkan argument yang sering dilontarkan oleh para pengkritik tradisi-tradisi lokal yang dimasuki unsur Islam, bahwa dikatakan jika tahlilan, maulid Nabi itu baik, tentu Nabi Muhammad saw. dari dulu sudah mengajarkannya. Bahwa al-Qur’an, juga Hadist bisa dan akan senantiasa mampu berkomunikasi dengan manusia di setiap generasi dan segala tempat. Jika memang demikian, kenapa kita justru membatasinya dengan hanya memahaminya secara teksnya saja? Seperti salah satu tulisan penulis yang berjudul Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains, di mana dari situ penulis mengambil kesimpulan bahwa meskipun al-Qur’an itu secara teksnya tidak akan berubah, namun maknanya akan senantiasa relevan dengan penemuan-penemuan mutakhir tentang sains, khususnya dalam tulisan itu tentang bumi. Penulis pun akhirnya berkeyakinan bahwa tidak hanya dalam hal-hal terkait dengan alam semesta saja di mana al-Qur’an memiliki makna yang bisa dan relevan dengan penemuan mutakhir saat ini, bahkan terkait dengan ibadah pun atau tentang keislaman juga al-Qur’an akan tetap relevan di setiap zaman dan tempat di mana ia diberlakukan. Al-Qur’an tidak berhenti berkomunikasi dengan kita, meskipun turunnya ayat-ayat al-Qur’an sudah berhenti sepeninggal Rasulullah saw.
Kesimpulan dari tulisan yang agak semrawut ini adalah bahwa kritis dan tidak mudah puas itu penting, apalagi terkait dengan ilmu. Hanya saja, jika kritis yang kita miliki tidak didasarkan dengan argument yang kuat, apalagi jika menyangkut tentang agama yang merupakan isu paling sensitif karena kaitannya dengan kehidupan akhirat, hendaknya kita lebih hati-hati. Al-Qur’an memang mudah dipahami, tapi bukan berarti al-Qur’an bisa seenaknya saja dimaknai dengan sekehendak hati. Al-Qur’an dan Hadist adalah pedoman umat Islam, sedangkan kita tahu bahwa umat Islam tidak berdiam diri dalam komunitas tunggal, tapi ia tinggal dalam berbagai tempat yang memiliki tradisi yang berbeda-beda. Bahwa Rasulullah diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107) adalah sinyalemen bahwa al-Qur’an dan Hadist bisa berkomunikasi dengan semua umat di segala penjuru. Terkait dengan tradisi-tradisi yang penulis bahas di atas, memang tidak akan kita temui dalil yang mengajarkan itu, karena bagaimana pun tradisi-tradisi di atas memang lahir bukan pada zaman Rasulullah masih hidup, seperti peringatan Maulid Nabi, ini muncul pada abad ketiga Hijriyah, kemudian tradisi 3 harian, 7 harian dan seterusnya juga lahir dari akulturasi budaya Hindu-Budha yang ada di Nusantara dengan nilai-nilai keislaman yang pastinya tak ada di Jazirah Arab di mana Islam pertama kali turun.
Akhirnya, di akhir tulisan ini memohon ampun kepada Allah swt., jika apa yang ada dalam tulisan ini terdapat kesalahan. Jika ada kebaikan di dalamnya, itu semua berasal dari Allah swt., dan jika ada keburukan semua itu berasal dari diri pribadi penulis. Wallaahu A’lamu bish-showaab

0 Response to "Menggugat Tradisi, Kritis yang Prematur"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel