Kartini: Simbol Perlawanan
Kalau
seorang wanita pada akhirnya hanya berkarir sebagai ibu rumah tangga, lantas
kenapa harus sekolah tinggi-tinggi? Kenapa harus menghabiskan banyak uang? Toh akhirnya ia hanya akan berada di
rumah mengurus keluarganya. Kalau memang ingin belajar, kenap harus susah-payah
ke sekolah, ke kampus-kampus? Bukankah hanya dengan membaca saja bisa cerdas?
Setidaknya
pemikiran saya yang – belakangan baru saya sadari – sangat dangkal ini tidak
muncul begitu saja. Karena kebetulan saya sempat berada di lingkungan yang –
bisa dikatakan – penganut agama Islam yang fundamen, di mana salah satu doktrinnya
bahwa seorang istri itu tugasnya di rumah, taka da istilah wanita karir. Entah
pemikiran itu berangkat dari mana, saya tidak begitu tahu. Intinya, paham
keislaman seperti itu menghendaki kader-kader wanitanya ketika tiba saatnya
mereka menikah, maka ia harus sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Meskipun memang
tidak semuannya demikian, karena ada juga yang meskipun sudah menikah, wanita
itu tetap menjadi seorang guru, dosen, dan sebagainya. Namun, jika memang benar
seorang wanita harus di rumah dan hanya berkarir sebagai ibu rumah tangga, maka
itu tadi, kenapa harus pakai sekolah-sekolah tinggi segala?
Namun,pikiran
saya yang menjijikkan itu, yang menganggap wanita tak perlu membuang-buang
waktu untuk sekolah tinggi jika ke depannya ia hanya di rumah ini terbantahkan
setelah halaman terakhir novel “The
Chronicle of Kartini” karya Wiwid Prasetyo rampung terbaca. Saya akhirnya
sadar betapa pemikiran saya itu sangat kolot, sama kolotnya dengan pemikiran
yang mewujud dalam tradisi Jawa tempo dulu, khususnya pada masa Kartini.
Kita
semua tentu tidak asing dengan Kartini, pejuang wanita kelahiran Jepara 21
April 1879, yang tiap tanggal 21 April kita peringati hari kelahirannya. Meskipun
demikian, ternyata tidak dari kita yang tahu kenapa Kartini begitu spesial,
bahkan diantara pahlawan-pahlawan yang dimiliki Indonesia, ia satu-satunya
pahlawan yang tanggal lahirnya senantiasa dikenang dan diperingati sebagai Hari
Kartini. Bahkan tidak jarang di sekolah-sekolah pada tanggal kelahiran Kartini
ini para siswinya diminta memakai kebaya, tanpa lupa juga memakai konde. Selain itu, dari sekian banyak
pahlawan, nampaknya hanya ibu Kartini yang ada lagunya, dan ini juga senantiasa
dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sekedar perbandingan saja, apakah kita pernah
mengenal Hari Soekarno? Padahal beliau – seperti yang kita ketahui – adalah pahlawan
proklamator. Namun kenapa kita tidak pernah mendengar adanya Hari Soekarno.
Perbandingan
tersebut bukan berarti saya mengatakan pak Karno tidak berjasa sebanyak ibu Kartini,
bukan. Namun, itu hanya sekedar sebagai renungan saja, yang dari renungan itu
sebenarnya akan memunculkan beragam pertanyaan. Secara pribadi saya bertanya,
sebenarnya apa hebatnya ibu Kartini sehingga ia menjadi begitu diagung-agungkan
bangsa ini? (kita anggap saja demikian, meskipun jika kita mau jujur, sebenarnya
banyak dari kita yang sudah – jangankan mengagungkan – lupa siapa itu ibu
Kartini, atau kita hanya tahu sebatas ia adalah pahlawan nasional). Kemudian apa
yang ibu Kartini lakukan Selama hidupnya yang singkat itu sehingga ia tetap
dikenal dan dielu-elukan sampai hari ini setelah lebih dari satu setengah abad
lebih dari kelahirannya?
Terlepas
dari pertanyaan-pertanyaan yang ada, setidaknya dari novel yang telah saya
baca. Anggapan saya tentang tidak perlunya seorang wanita sekolah tinggi-tinggi
jika dari awal dia tahu bahwa dirinya hanya harus berlaku sebagai ibu rumah
tangga akhirnya terbantahkan. Karena bagaimana pun juga, entah itu laki-laki
atau perempuan, semuanya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Meskipun term
pendidikan ini untuk saat ini dan saat masa Kartini sangat berbeda, namun tetap
saja pembedaan dalam segi pemberian pendidikan tidak pernah dapat dibenarkan. Soal
apakah nantinya perempuan ini menikah dan ia tidak diperkenankan oleh suaminya
berkarir itu urusan lain. Tapi yang pasti setiap manusia yang berakal maka ia
berhak memperoleh pendidikan, dan inilah yang diperjuangkan oleh ibu Kartini.
Ada
perumpaan yang saya kira pas untuk setidaknya mampu menjawab kenapa Kartini
begitu diagungkan sampai sekarang. Coba kita bayangkan, kita sedang berada di
gurun yang tandus dengan panasnya yang begitu menyengat, dan bekal air kita
sudah habis. Kemudian bayangkan pula kita sedang berada di daerah yang dingin
dengan air yang meilmpah. Saat kita berada di gurun tadi kemudian ada seseorang
yang memberi kita satu botol air, sedangkan saat kita berada di daerah yang
dingin tadi ada orang yang memberi kita air satu jerigen. Kira-kira bantuan mana yang lebih berarti? Satu botol air
minum di bawah terik matahari di tengah gurun ataukah satu jerigen air namun kita berada di daerah yang dingin dengan limpahan
airnya? Itulah setidaknya yang dilakukan oleh ibu Kartini, ia memberikan
secangkir air kepada bangsa ini (khususnya kaum wanita) yang tengah berada di tengah
gurun tandus kebodohan dan di bawah terik penindasan atas nama tradisi. Ia berani
mempertanyakan tradisi yang mengungkung wanita. Ia tak peduli jika dianggap
hina oleh kaumnya karena melawan tradisi saat itu. Memang, jika kita membawa
perjuangannya itu dalam konteks saat ini akan tidak Nampak bahwa itu adalah
perjuangan besar dan berani, namun seperti yang saya umpamakan di atas. Ia berani
mengarungi gurun tandus kebodohan dan terik panas tradisi yang menindas untuk
membawakan kepada bangsa ini secangkir air yang meskipun tak mampu melepaskan
dahaga, namun mampu memberikan harapan untuk mampu melewati gurun kebodohan dan
teriknya tradisi yang membelenggu.
Diceritakan
dalam novel tersebut, bahwa Kartini, gadis dari Jawa yang mana Jawa saat itu
dikenal dengan daerah dengan masyarakat yang bodoh-bodoh, golongan yang selalu
diremehkan oleh orang-orang Eropa justru mampu menggoncangkan Eropa di usia
mudanya. Melalui goresan-goresan penanya, ia berjuang untuk bangsa ini. Ia sadar
bahwa saat itu bukan lagi era perlawanan dengan senjata, pedang (dalam arti
sesungguhnya)bukan lagi menjadi senjata untuk melawan kolonialisme, namun pena
adalah pedang yang harus ia gunakan untuk melawan penjajah. Melalui pena, ia
berkorespondensi dengan karibnya di Belanda, ia utarakan pemikiran-pemikiran,
kritik-kritiknya melalui karibnya itu. Hingga kemudian tulisan-tulisannya itu
dimuat dimedia-media di Belanda. Tak ada yang menyangka, bahwa dari pelosok
pulau Jawa ada perempuan yang mampu menggonan Eropa dengan
pemikiran-pemikirannya.
Sebenarnya
masih banyak yang saya dapatkan dari Novel tersebut yang amat tidak mungkin
bisa saya sampaikan, Karen memang keterbatasan bahasa tulis saya. Namun yang
bisa saya ambil pelajaran di sini adalah tidak ada perjuangan yang sia-sia, di
samping juga tak ada kepahlawanan tanpa perjuangan, dan tak ada perjuangan
tanpa perlawanan. Bahwa pahlawan itu adalah ia yang berani melawan, dan Kartini
adalah pahlawan yang menjadi simbol perlawanan terhadap kebodohan bangsa ini. Sayangnya,
simbol ini nampaknya kini memang telah menjadi simbol saja, kita hanya tahu
bahwa bangsa ini pernah memiliki pejuang perempuan bernama Kartini dan tahu
kalau lahirnya tanggal 21 April, itupun pasti tidak tahun berapa. Bahkan meskipun
di Jepara ada Museum Kartini, tetap saja tempat itu layaknya gedung tua yang
tidak menarikuntuk dikunjungi.
Di
akhir tulisan ini, saya kutipkan pernyataan yang ada di dalam novel The Chronicle of Kartini tentang
pentingnya kita jangan melupakan sejarah.
“Dari sejarah itu, kita bisa melompat ke
masa-masa silam dan mengetahui peristiwa yang terjadi di masa silm dan dapat
menjadi kaca benggala untuk kehidupan di masa mendatang. Karena sejarah tak
lain adalah pengulangan yang terjadi di masa silam dan akan terjadi di masa datang.”
0 Response to "Kartini: Simbol Perlawanan"
Post a Comment