Gus Dur, Salah apa Sampeyan?
Apakah
ada video atau sejenisnya yang meskipun sudah anda tonton berpuluh-puluh kali,
anda tetap antusias menyaksikannya dari menit pertama hinggamenit terakhir? Saya
pribadi, jika mendapat pertanyaan tersebut akan memberikan jawaban “Ya, ada. Ada
video yang meskipun saya sudah menontonnya berpuluh-puluh kali, saya tetap
antusias menyimak detik demi detiknya.” Yaitu video wawancara Gus Dur dengan
Andy F. Noya dalam acara “Kick Andy” yang tayang pada tahun 2009 (video ini
bisa dilihat di Youtube). Entah mengapa, video ini tak pernah membosankan dari
waktu ke waktu. Biasanya, kalau kita menonton video atau film yang sudah kita tonton
berkali-kali, maka akan terasa membosan, dan meskipun tidak sampai membosankan,
kita tetap akan mempercepat beberapa bagian yang kita rasa tidak terlalu asyik
untuk tetap disimak. Video yang berdurasi kurang lebih 40 menit itu menampilkan
wawancara eksklusif dengan Presiden keempat Indonesia, yang sering kita sebut
dengan Gus Dur. Sosok yang begitu bersahaja, humoris, kontroversial, humanis,
pluralis, demokrat sejati yang pernah dimilki bangsa ini.
Bisa
dikatakan kalau saya ini adalah pengagum Gus Dur yang “terlambat”. Kenapa saya
katakan demikian? Karena saya baru menyadari bahwa beliau sangat mengagumkan
baik dalam pemikiran-pemikiran beliau dan juga tindakan-tindakan beliau yang
memang tak jarang menimbulkan kontroversi. Namun di balik kekontroversiaannya
itu, ia mempunyai cita-cita yang sangat luhur untuk bangsa ini, dan lebih luas
lagi, ia memiliki cita-cita luhur bagi kemanusiaan. Saya terlambat menyadari
itu semua, karena saya mulai mencoba mengenal beliau setelah beliau berpulang
ke Hadirat Ilahi Rabbi, dan melalui tulisan ini saya mencoba untuk mengenang
beliau.
Berawal
dari pemberitaan wafatnya Gus Dur di penghujung tahun 2009 di media-media,
khususnya media elektronik.hampir di semua stasiun televisi menampilkan ribuan
massa di berbagai daerah di Indonesia menyelanggarakan aksi berbela sungkawa
atas kepergian Bapak Bangsa ini ke Hadirat Ilahi. Ribuan pelayat memadati
kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Intinya, saya merasa takjub dengan
apa yang saya saksikan dari semua itu. Hingga akhirnya ketakjuban dan keheranan
saya ini mendorong saya untuk mencoba mengenal sosok Gus Dur melalui beberapa
tulisannya dan juga beberapa tulisan tentang beliau yang ditulis oleh beberapa
sahabat, atau pengagum beliau lainnya. Di samping beberapa tulisan yang pernah
saya baca, juga terdapat beberapa tulisan yang berisi hal negatif tentang Gus
Dur, salah satunya yang masih sangat saya ingat adalah buku “Cukup 1 Gus Dur
Saja” yang ditulis oleh Abu Muhammad Waskito yang memaparkan beberapa kejelekan
Gus Dur yang ternyata berani ditulis setelah Gus Dur wafat. Namun buku itu
bukannya menjadikan saya mengoreksi dan merubah rasa kagum saya terhadap Gus
Dur, melainkan menjadikan saya lebih penasaran dengan sosok yang satu ini.
Terakhir,
dua hari ini saya membaca tuisan tentang Gus Dur yang ditulis oleh Muhammad AS
Hikam “Gus Dur Ku, Gus Dur Anda,Gus Dur Kita” dan tulisan Agus N. Cahyo dengan
judul “Salah Pakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya”. Selesai membaca
dua buku ini, lagi-lagi saya tidak bisa menyembunyikan rasa kagum saya terhadap
Gus Dur. Namun di balik itu juga terdapat rasa jengkel setelah membaca buku
tulisan Agus N. Cahyo. Rasa jengkel ini bukan tertuju pada Gus Dur, namun pada
pihak-pihak yang mencoba segala cara untuk melengserkan Gus Dur dari kursi
kepersidenan. Membaca tulisan Agus N. Cahyo serasa mengikuti babak demi babak
peristiwa yang memalukan yang pernah, dan akan selamanya menjadi sejarah hitam
bangsa ini, di mana Gus Dur didlolimi oleh para lawan politiknya yang beberapa
diantaranya adalah kawannya yang kemudian menjadi lawan. Maka, pernyataan Gus Dur
yang begitu tegas dalam acara Kick Andy serasa terngiang kembali dalam benak
saya, bahwa “Bangsa ini penakut. Bangsa ini penakut karena tidak berani menindak
yang salah.” Ya, harus kita akui bahwa kita ini penakut, penakut karena tidak
berani menindak yang melanggar hukum.
Dalam
buku Agus N. Cahyo disebutkan juga beberapa pelanggaran yang dilakukan baik
oleh DPR atau MPR dalam rangka melengserkan Gus Dur dari tampuk kekuasaan. Beberapa
aturan dilanggar, meskipun mereka (para lawan Gus Dur) mengangapnya tidak
melanggar UU. Disebutkan pula oleh Agus konspirasi-konspirasi yang – menurut saya
– sangat memalukan, kenapa? Bukankah mereka itu pribadi-pribadi yang paham
hukum? Tapi kog bisa kayak gitu ya? Nampaknya
memang mereka itu paham, namun tidak sadar hukum. Pertanyaan saya kemudian,
bagaimanakah yang mereka (yang melakukan berbagai cara untuk melengserkan Gus
Dur) rasakan saat ini? Apakah fine-fine saja
atau menyesal bahwa pernah melengserkan seorang presiden secara inkonstitusional? Karena saya saja yang
tidak tahu dan tidak paham hukum, setelah membaca buku Agus N. Cahyo, yang
mengutip beberapa ahli yang mengatakan bahwa pelengseran itu mengandung cacat
hukum merasa resah dan kecewa. Namun pertanyaan
yang muncul itu seakan mendapat jawaban langsung dari Gus Dur melalui video
wawancara di Kick Andy, yaitu ketika Gus Dur ditanya apakah mereka yang
bertanggung jawab dalam pelengseran Gus Dur (yaitu Amien Rais dan Megawati) pernah
meminta maaf pada Gus Dur? Gus Dur menjawab “tidak pernah, karena mereka menganggap
dirinya benar”.
Mungkin
ada yang kemudian mencoba mendebat saya dan mengatakan bahwa saya membaca drama pelengseran Gus Dur dari
satu pihak saja, yakni dari pihak Gus Dur. Seharusnya selain dari pihak Gus
Dur, juga perlu melihat dari pihak lawan sebelum memperoleh kesimpulan
mengatakan bahwa pelengseran Gus Dur adalah inkonstitusional.
Memang saya akui bahwa saya baru membaca peristiwa itu dari satu kacamata,
namun saya tidak setuju jika dikatakan bahwa saya telah menyimpulkan ini dan
itu. Karena bagaimana pun juga tulisan saya ini bukanlah hasil akhir dari
penilaian saya atas pelengseran ini, tulisan ini hanya sekedar refleksi dari
apa yang telah saya baca. Bisa jadi tulisan saya ini akan saya bantah sendiri
dalam tulisan berikutnya, seiring informasi yang akan saya dapatkan nanti.
“Nanti
sejarah yang akan membuktikan mas..” itulah yang dinyatakan oleh Gus Dur
menanggapi drama pelengserannya itu. Saya, dan juga anda saat ini hanya bisa
menunggu pembuktian sejarah atas apa yang pernah terjadi di Indonesia ini. Segala
kekontroversialan Gus Dur saat itu, perlahan-lahan mulai terjawab, yang tak
jarang jawaban itu membuat kita merasa kecil di mata bangsa ini. Kita merasa
malu, karena pernah mengamini kritikan-kritikan yang ditujukan oleh Gus Dur
atas kontroversinya. Misalnya tentang usulan mengadakan hubungan diplomatik
dengan Israel yang hendak dibangun pada pemerintahan Gus Dur. Sebagian besar
dari kita (umat Islam) menolak terang-terangan usulan itu dengan alasan bahwa
Israel adalah penjajah Palestina, sedangkan dalam pembukaan UUD 1945 saja
menyatakan bahwa penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Jika demikian,kenapa
justru kita hendak membuka hubungan baik dengan penjajah?
Memang
benar jika argumen penolakannya demikian. Tapi nanti dulu, apakah kita pernah
bertanya kepada Gus Dur apa maksud dari usulan itu? Meskipun tidak ada yang
bertanya, tapi kini kita bisa menyadari bahwa justru itu adalah upaya Gus Dur
mewujudkan apa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 itu yang dijadikan dasar
untuk menolak usulan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Justru dengan
melakukan hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur hendak mengupayakan
perdamaian antara Israel dan Palestina. Coba kita renungkan bersama, ketika
kita dihadapkan pada dua kubu yang bertikai, katakanlah dalam suatu keluarga
ada kakak dan adik bertikai memperebutkan harta warisan orang tua. Kita sebagai
orang luar keluarga itu, bukankan kita bisa mendamaikan keduanya jika kita
mampu merangkul keduanya? Kenapa saya memakai analogi kakak dan adik pada kasus
Israel dan Palestina? Ya, kita semua tahulah apa yang melatarbelakangi
pertikain Israel-Palestina. Jadi, dengan melakukan hubungan diplomatik dengan
Israel, Gus Dur sebenarnya ingin merangkul keduanya sehingga memungkinkan untuk
kita bangsa Indonesia berkontribusi secara riil
dalam mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel. Dan ini tentu bisa
kita rasakan sampai saat ini, meskipun berkali-kali di negeri kita ini terdapat
aksi dukungan-dukungan terhadap Palestina dan aksimengecam Israel, tetap saja
Israel bergeming. Karena apa? Kita – seakan – tidak diperhitungkan, karena kita
bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Kontroversi
tentang Israel ini juga disampaikan oleh Agus N. Cahyo dalam bukunya. Dan ini
hanya satu dari berbagai penjelasan terkait kontroversi-kontroversi Gus Dur
yang pada akhirnya – benar apa yang dikatakan Gus Dur – sejarah kini telah
membuktikan betapa besar cinta beliau terhadap bangsa ini. Namun, kini Gus Dur
sudah tidak ada lagi di sekitar kita (secara ragawi). Ia telah beristirahat
dengan tenang dan mungkin sambil menyaksikan drama-drama politik di negeri ini
yang semakin amburadul. Namun tetap kritis, seperti wawancara imajiner yang ditulis oleh Muhammad As Hikam dengan judul
yang telah saya sebut di atas, Gus Dur tetap memberikan perhatian penuh pada
bangsa ini.
Memang
benar, bahwa kita akan merasakan betapa berharganya seseorang bagi kita di saat
kita telah kehilangannya. Persis dengan bangsa ini, bangsa ini kini menyadari
betapa berharganya Gus Dur justru di saat bangsa ini telah kehilangan Gus Dur
untuk selama-lamanya. Saya yakin, ada banyak kerinduan-kerinduan yang
bersemayam dalam benak manusia-manusia yang ada baik di Indonesia atau pun di
dunia ini yang sangat merindukan Gus Dur. Karena memang ia bukan hanya
memperjuangkan manusia Indonesia, namun juga semua manusia di jagad ini. Mengutip
apa yang ditulis oleh Agus N. Cahyo:
“... rakyat sekarang sadar, penggulingan Gus
Dur ternyata inkonstutusional. Malah,
banyak yang merindukan kepemimpinannya, meski sebentar namun membawa banyak
perubahan signifikan bagi bangsa ini.”
0 Response to "Gus Dur, Salah apa Sampeyan?"
Post a Comment