Dari Selamatan Sampai Valentine
Merampungkan
buku “Warna-Warni Islam” karya Abdul Kholiq, dkk., seakan memanggil kembali
pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya tentang kelompok-kelompok Islam Radikal
yang kurang lebih memiliki cita-cita melakukan purifikasi atau pemurnian Islam,
dimana Islam yang murni adalah Islam seperti yang ada di Arab (entah Arab yang
mana sebenarnya juga tidak jelas). Pertanyaan yang senantiasa bergejolak dalam
benak saya jika melihat kalangan Islam Radikal adalah seperti apa sih pola piker
mereka, sehingga dengan berpikiran sempit menganggap bahwa Islam hanya terbatas
pada apa yang ada di Arab?
Pertanyaan
itu tentu hadir bukan tanpa sebab. Karena munculnya pertanyaan yang agak
sedikit menggugat itu merupakan akumulasi dari apa yang saya saksikan selama
ini, utamanya saat saya tinggal di daerah Kartasura atau lebih luasnya daerah
Solo dan sekitarnya. Tidak sulit menemukan kelompok-kelompok Islam Radikal yang
dengan begitu percaya dirinya menganggap dialah yang paling benar, dan siapa
saja yang tidak berada dalam kelompoknya adalah salah. Menganggap bahwa apa
yang diyakininya adalah yang paling benar adalah sebuah keniscayaan, namun jika
kemudian dengan anggapa itu lantas menganggap yang di luar dirinya adalah salah
atau bahkan mengatakan sesat, maka itu menjadi sesuatu yang berlebih-lebihan.
Saya
tidak akan membahas panjang lebar tentang Radikalisme ini secara definitif. Cukup
di sini saya tampilkan contoh nyata dari bagaimana Radikalisme ini dengan
cita-citanya memurnikan Islam yang dengan harapan akan menjadikan Islam besar
justru pada kenyataannya menjadi Islam yang jangankan besar, diperhitungkan
saja tidak.
Di
lingkungan tempat saya tinggal ketika di Kartasura, ada salah seorang tetangga
yang mengikuti kajian keislaman – yang saya masukkan pada kategori – Radikal,
di mana salah satu doktrin yang diajarkan adalah menentang bid’ah, khurafat, dan tahayul
yang disinyalir telah mengakar di daerah sekitar dan di seluruh negeri pada
umumnya. Tradisi seperti mengajikan orang meninggal pada malam pertama sampai
hari ketujuh setelah meninggal, kemudian 40 harian, 100 harian, haul tahun
pertama, kedua, hingga pada perayaan 1000 hari misalnya, oleh kelompok ini
dianggap sebagai bid’ah, yang mana
status bid’ah ini – didasarkan pada
salah satu hadist Nabi saw – dihukumi haram dengan konsekuensi masuk neraka
bagi siapa saja yang mengamalkannya. Selain itu, tradisi seerti selamatan dan
sejenisnya juga dianggap bid’ah, sehingga
segala sesuatu yang ada kaitannya dengan selamatan ini dihukumi haram. Inilah kemudian
yang menjadikan tetangga saya tadi (sebut saja pak Sukimin) ini ketika diberi berkat oleh salah seorang tetangga yang
lain menolak dan memintanya dikembalikan, dengan alas an bahwa berkat itu haram, karena merupakan
bagian dari selamatan yang diyakininya sebagai bid’ah.
Sekali
lagi saya bertanya, sebenarnya seperti apa sih pola pikir para kelompok Radikal
ini? Apa yang salah dengan tradisi-tradisi ini? Belum lagi beberapa hari yang
lalu, kita melewati tanggal 14 Februari yang setiap tahunnya diperingati
sebagai hari kasih-sayang (Valentine). Di dunia maya, banyak sekali
artikel-artikel yang membahas tentang valentine ini, baik yang membahas tentang
sejarahnya, kemudian serba-serbi perayaannya, hingga sampai pada
artikel-artikel dari situs-situs Islam yang banyak mengecam perayaan ini, dan
tidak sedikit pula yang kemudian memfatwakan – secara on line – bahwa valentine itu haram.
Entah
dari mana dan atas dasar apa pengharam itu dibuat, namun sampai detik ini, alas
an yang saya terima terkait dengan pengharaman valentine adalah karena perayaan
itu berasal dari orang non-Islam (Kristen). Sedangkan seperti yang telah banyak
dari kita orang Muslim ketahuai, bahwa Rasul saw., pernah bersabda yang kurang bahwa
siapa saja yang meniru laku non-Muslim, berarti ia termasuk di dalamnya. Jika memang
pengharaman itu hanya didasarkan pada argument hadist tersebut, maka saya kira
perlu ada upaya penyadaran secara massal kepada kita semua (orang Islam). Bahwa
saat ini kita hidup di dunia yang tidak bisa dilepaskan dari budaya take and give (memberi dan menerima)
dari siapa saja. Apalagi di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebut saja adanya internet, smartphone, munculnya
berbagai jejeraing sosial dan sebagainya. Bukankah ini semua bauatan non-Islam,
lantas apakah kemudian segala sesuatunya itu hanya mereka non-Islam yang
menggunakannya? Jika ada yang mengatakan iya, maka saya berani mengatakan bahwa
orang tersebut sangat naif.
Akan
tetapi, bukan berarti dengan sikap saya seperti itu berarti saya mendukung
valentine, bukan. Saya bukan mendukung, juga bukan menolak. Tapi di sini saya
hanya ingin mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahan pribadi. Karena fenomena
valentine ini seperti drama yang selalu diputar setiap tahunnya dengan alur
cerita yang selalu sama dan sama. Coba kita perhatikan, tiap valentine, di
media sosial selalu ramai itu artikel-artikel yang dishare kemana kemari yang menyatakan kalau valentine haram. Tidak hanya
itu, kajian-kajian tentang valentine pun senantiasa digelar tiap tahun, dimana
tiap tahunnya isinya juga sama, bahwa valentine haram.
Lha
kalau sudah dikatakan haram, so what gitu?
Lalu apa? Apakah memang kita menghendaki sampai 100 tahun ke depan atau mungkin
100 abad ke depan tiap valentine kita akan menjumpai artikel keharaman ini? Mungkin
ada yang mengatakan bahwa “dakwah itu memang harus dilakukan terus menerus, dan
mengatakan valentine haram itu adalah termasuk dakwah, biaralah orang berkata
apa, yang penting kita tetap konsisten menyuarakan valentine haram”. Oke, itu
adalah hak setiap orang, tapi apakah harus dengan cara seperti itu? Apakah kita
harus menunjukkan rasa benci terhadap tradisi agama lain? Apa tidak ada cara
yang lebih halus, yang tidak menyinggung agama lain? Kenapa kita tidak coba
mencoba menilai diri sendiri, bagaimana seandainya ada orang non-Islam menghina
tradisi keagamaan kita? Apakah kita akan baik-baik saja? Kenapa harus
mengatakan haram bagi tradisi yang berakar dari agama non-Islam?
Selain
itu, ada juga yang kemudian berdalih bahwa perayaan valentine itu identik
dengan kemaksiatan. Oke, sekali lagi saya katakana itu sah-sah saja penilaian
seperti itu. Tapi jangan lantas memukul rata bahwa semua yang merayakan
valentine itu maksiat. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah berita di televise,
ada komunitas yang mengadakan acara membuat kue valentine untuk para penyandang
cacat yang bertujuan untuk memupuk rasa kasih sayang. Apakah acara seperti ini –
yang menjadi perayaan valentine – itu adalah maksiat? Jika pun memang ada para
muda-mudi yang kemudian merayakan valentine dengan maksiat itu lain hal lagi. Dan
inilah yang terkadang menjadi penyakit yang banyak diidap oleh para kaum Islam
Radikal, yaitu senantiasa menafikan kebaikan yang tidak berasal dari mereka. Jika
ada kesalahan yang begitu kecil dari orang di luar kelompoknya, maka akan
dibesar-besarkan, dikatakan bahwa ini merusaklah, menggrogoti Islam lah dan
sebagainya. Bukankah demikian itu malah mengkerdilkan Islam? Bagaimana mungkin
Islam yang telah tumbuh dan berkembang serta mengakar lebih dari 14 abad ini
tergerogoti dengan hal-hal remeh ini? Maka benar jika Gus Dur menilai bahwa
yang semacam itu adala bentuk rasa ketidakpercayaan pada diri sendiri. Melihat kemajuan-kemajuan
yang dicapai oleh non-Islam, seakan kebakaran jenggot, kita lantas mengatakan
semua yangberasal dari barat (non-Islam) itu salah. Jadi diibaratkan kita dan
tetangga kita sama-sama berjualan bakso, kemudian tetangga kita mampu
berinovasi – dalam segi rasa dan bentuk misalnya – sehingga bakso dagangannya lebih diminati
pembeli, karena kita tidak mampu berinovasi, kemudian kita menyebar isu kepada
pembeli bahwa bakso yang di jual tetangga sebelah yang kebetulan non-Islam itu
dicampuri daging celeng dan sebagainya dengan harapan agar dagangan tetangga
kita itu sepi.
Kurang
lebih seperti itulah yang ada dalam benak saya. Namun, yang ingin saya sampaikan
di sini adalah bahwa tradisi-tradisi yang ada di sekitar kita biarlah tetap
terjaga. Kita tak perlu terpengaruh dengan suara-suara
sumbang yang mengatakan apa yang telah menjadi tradisi-tradisi di sekitar kita
ini tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Hadist. Islam datang bukan
sebagai “ajaran dictator” yang memberangus tradisi-tradisi yang menjadi
kearifan local. Islam yang termanifestasi dalam al-Qur’an dan Hadist ini tidak
terbatas pada apa yang berbunyi dalam teks, karena jika kedua sumber hukum Islam
itu kita pahami hanya secata teks, maka kita akan terkungkung dalam pola pikir
yang sempit yang akan menjatuhkan kita pada paham Islam yang Radikal, yang
mudah menggunakan term sesat, salah,
kafir, neraka dan sebagainya.
Dalam
buku yang saya sebutkan di atas, yang menceritakan keragaman umat Islam di beberapa
Negara (Afrika Selatan, Anerika, Australia, Belanda, Cina, India, Indonesia,
Iran, Mesir, Prancis dan Yaman) lengkap dengan tradisinya mampu menggambarkan
kepada kita bagaimana Islam berhasil berdialog dengan budaya lokal. Dalam istilah
Gus Dur, ini disebut sebagai pribumisasi Islam yang merupakan upaya
rekonsiliasi Islam dan budaya setempat. Menurut Gus Dur (dalam M. Hanif
Dzakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur,
2010) adalah meminta agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan factor-faktor
kontekstual… Selain itu, jika agama dan tradisi dipahami secara utuh justru
akan melahirkan sikap terbuka dan dewasa. Namun kalau keduanya dipahami secara
sempit dan dangkal, maka yang muncul adalah sikap menutup diri dan overclaim yang kekanak-kanakan. Setidaknya
sikap dewasa dan terbuka inilah yang mampu menjadikan Islam mampu bertahan di
segala Negara di dunia termasuk Negara sekuler sekalipun dengan segala tradisi
yang dimiliki.
0 Response to "Dari Selamatan Sampai Valentine"
Post a Comment