Part 2: Pengemis dan Kita
Suatu ketika, anda sedang bepergian ke
suatu kota. Saat berada di lampu merah, terdapat seorang pengemis yang
meinta-minta kepada anda. Pengemis itu berumur sekitar 30-an. Apakah yang akan
anda lakukan pada pengemis itu? Sebagian mungkin akan menyisihkan selembar
ribuan untuknya, namun tak sedikit pula yang enggan memberikan rupiah kepada
pengemis ini. Beberapa alasan pun dipakai untuk membenarkan tindakan tidak
memberikan uang pada pengemis yang masih muda ini.
Lantas apakah keengganan itu salah? Tidak,di
sinisaya bukan hendakmenghakimi benar atau salah. Karena jujur saya katakan
bahwa saya juga terkadang enggan menyisihkan lembaran ribuan yang ada di dompet
untuk saya berikan kepada pengemis yang masih muda ini, dengan alasan – yang
nampaknya juga dipakai oleh sebagian besar orang – bahwa memberikan uang kepad
pengemis yang notabene nya masih muda itu akan mendidik sikap malas untuk
bekerja. Memang, maksud tersebut sangat mulia. Namun, dalam benak saya
kadang-kadang bergejolak. Apakah pantas bagi kita untuk menghakimi mereka
dengan malas bekerja, dan memilih meminta-minta. Kepada yang masih muda kita
enggan memberi, namun ketika ada pengemis yang tua renta, kita – yang terkadang
diiringi sikap bangga – segera memberikan nominal rupiah kepadanya. Apakah dalam
memberi kita harus mempertimbangkan usia?
Tulisan ini sedikit menyambung tentang
tulisan sebelumnya, yang mana terkadang kita sebagai manusia terlalu egois
dalam memberikan penilaian terhadap orang lain,yang dalam hal ini terfokuskan
dalam hal fenomena pengemis. Terkadang kita tanpa sadar telah menyombongkan
diri kita atas hasil jerih payah kita yang menjadikan kita sukses, yang
kemudian di saat ada anak kecil, remaja dan siapa saja di usia prosuktif justru
memilih jalan mencari nafkah dengan mengemis. Saya rasa tidak ada satu pun
manusia yang ketika lahir bercita-cita menjadi pengemis, begitu pun tak ada
satu pun orang tua yang menaruh harapan pada buah hati mereka untuk menjadi
pengemis. Karena,sesukses apapun seseorang yang diperoleh dari pengemis –
seperti beberapa fenomena pengemis dengan gaya hiup mewahnya – tetap saja tidak
ada yang bisa dibanggakan dari semua itu. Artinya apa? Yang perlu kita pahami
sebagai pijakan/prinsip dasar adalah bahwa semua manusia berkeinginan untuk
menjadi orang sukses (dalam hal ekonomi),meskipun pada relaitanya kemudian
sukses ini menjdi hal yang relatif bagi tiap orang.
Di balik sukses itu pun ada beberapa
faktor yang melatarbelakanginya, tidak hanya karena berusaha kemudian sukses. Jika
yang dijadikan acuan hanya itu akan
menjadi sangat tidak adil, sehingga kemudian menimbulkan pengemis itu tidak mau
berusaha, tidak mau cari kerja, pemalas, kerjaannya hanya minta-minta, dan
sebagainya. Seakan kita lupa, bahwa dibalik sukses kita ini juga terdapat
beberapa faktor pendukung yang – bisa jadi – tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti
yang sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya, bahwa faktor keluarga yang
cukup, kemudian pendidikan yang tinggi, termasuk juga kecukupan gizi dan
sebagainya juga mempengaruhi apa yang kita miliki saat ini. Jika melihat dalam
konteks seperti ini,maka akan sangat kejam jika kemudian kita menyatakan bahwa
para pengemis itu pemalas, enggan berusaha,bisanya minta-minta dan sebagainya. Bagaimana
bisa dikatakan malas? Kita lihat saja, mereka tak pernah takut melawan teriknya
matahari, tak mempedulikan asap kendaraan yang begitu pekat, di mana jika asap
ini terus menerus dihisap akan mengakibatkan gangguan pernapasan. Sedangkan kita,
dengan mobil ber-AC, dengan kemewahan-kemewahan interior di dalamnya terkadang
sering jengkel saat terjadi macet, klakson-klakson seenak hati, dengan bangga
melambaikan tangan pada pengemis yang meminta-minta. Bahkan lebih dari itu,kita
malah mengatainya pemalas.
Selain itu, sering juga muncul
penilaian-penilain “egois” kepada pengemis-pengemis di bawah umur. Ada saja
yang mengatakan itu adalah suruhan orangtuanya atau sebagainya yang berakhir pada
kengganan kita menyisihkan lembar ribuan kepada mereka. Terlepas dari itu,
bukankah amat kejam jika kita mempunyai anggapan seperti itu? Siapa sih anak
yang bercita-cita mengemis di jalan-jalan di saat ia seharusnya bermain bersama
teman-teman sebaya. Bercanda, bersekolah, pulang sekolah disambut oleh makanan
yang telah disiapkan orangtua kita. Siapa sih anak yang bercita-cita
berpanas-panas di perempatan-perempatan jalan sambil meminta-minta? Kita bisa
lihat, betapa menyayatnya keadaan mareka. Bandingkan dengan masa kecil kita,
dan bayangkan jika yang sedang berada di depan anda itu, yang sedang
mengulurkan tangannya pada kita di tengah terik adalah diri kita di masa kecil.
Beberapa kali saya enggan menatap wajah anak-anak seperti ini, bukan berarti
saya jijik atau malas melihatnya, tapi hati ini terkadang tak kuasa melihat
mereka. Saya tak kuasa membanyangkan jika saja itu saya, apakah saya akan
sekuat mereka? Entahlah.
Meskipun demikian, bukan berarti ketika
saya menulis ini, saya merasa diri saya adalah paling mulia atau setidaknya
merasa sudah tidak egois, bukan. Hanya saja ini merupakan pengingat bagi diri
saya pribadi yang coba saja ungkapkan dalam bahasa tulis. Kesimpulannya adalah
kenapa kita harus menilai orang lain dengan keegoisan kita? Kenapa tak kita
coba menjadikan diri kita ini sebagai pribadi yang memegang prinsip “orang yang
ada di depan kita adalah diri kita”. Artinya, ketika kita melihat kemiskinan di
sekitar kita, maka sebenarnya diri kita – sekaya apapun materi yang kita miliki
– adalah miskin pula. Kemudian terkait dengan pengemis, kenapa pula kita
mempermasalahkan dia anak-anak, remaja, dewasa atau tua? Bukankah beginilah
seharusnya dunia ini berjalan? Ada yang kaya,ada yang miskin, ada yang memberi,
ada yang menerima. Jika yang menerima itu mendatangi kita, bukankah itu justru
menjadikan mudah bagi kita untuk berbagi. Kita tak perlu jauh-jauh ke
lembaga-lembaga penyalur sedekah atau semacamnyalah yang bisa jadi jauh dari tempat kita berada. Tapi
saat pulang kerja, atau pulang sekolah dan ada uang saku yang lebih keudian ada
peminta-peminta, maka kita bisa berbagi di sini. Jadi, ibarat kata jika kita
hendak makan, kita tak perlu pergi ke warung makan, karena warungnya sudah
mendatangi kita.meskipun agak ngawur perumoaan
ini tapi bagitulah realitanya. Dan semoga kita tidak lupa, bahwa terkadang
hal-hal kecil yang kita lakukan bisa menjadi sesuatu yang besar di sisi-Nya
yang mampu mengangkat derajat kita sebagai hamba-Nya. Termasuk hal-hal yang
nampaknya kecil, seperti menganggap reeh pengemis ini, bisa menjadikan alasan oleh-Nya
untuk merendahkan derajat kita. Wallaahu A’lamu
bish-Showaaab.
0 Response to "Part 2: Pengemis dan Kita"
Post a Comment