Part 1: Kita dan Pengemis
Di kota-kota besar, menemukan para pengemis, pengamen dan gelandangan bukanlah hal yang sulit. Khusus untuk pengemis, bahkan hampir setiap sudut kota pasti ada. Bahkan pengemis ini bervariasi, ada yang sudah sangat tua hingga sampai anak-anak pun bisa kita temui. Tulisan ini bukan hendak membahas tentang pengemis yang ada baik di jalan-jalan atau yang datang ke rumah-rumah atau juga di tempat-tempat umum lainnya. Melainkan ingin sedikit membahas tentang sikap beberapa orang terhadap fenomena pengemis ini.
Harus kita akui, bahwa terkadang kita begitu egois dalam menilai orang lain. Kita memakai standar yang kita miliki untuk menilai, menghakimi atau menghina orang lain yang kebetulan nampak berada di bawah kita baik dalam pendidikan, ekonomi atau status sosial. Katakanlah pada fenomena pengemis, khususnya pengemis yang masih muda. Kerap kali kita mencibirnya "masih muda kog ngemis" atau cibiran lainnya yang pada intinya kita menyayangkan pengemis itu kenapa tak mencari kerja dan berusaha dengan tubuh yang masih segar bugar. Akhirnya, kita enggan memberikan selembar uang ribuan yang ada di dompet kita dengan dalih " mendidik mereka agar tidak mengemis". Jika dikasih nanti malah tidak mau bekerja dan terus menerus mengemis.
Yah, di balik kesuksesan kita yang diperoleh dengan susah payah pada akhirnya menjadikan kita pribadi yang mudah berprasangka buruk hanya demi selembar ribuan. Terkadang kita - seakan - lupa, bahwa dibalik usaha yang kita lakukan terdapat kuasa Ridlo Ilahi yang menjadikan kita hari ini sukses. Kemudian, ketika kita diuji oleh-Nya melalui pengemis muda yang nampak segar bugar itu, kita ternyata lalai. Lebih dari itu, kita pun kemudian menggerutu dalam hati. Apakah kita begitu membanggakan kesuksesan kita ini sehingga menjadikan kita pantas menilai bahwa pengemis itu tidak mau berusaha sungguh-sungguh. Karena kita berusaha dan kemudian berasil, lantas menjadikan kita beranggapan bahwa jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh, maka kesuksesan pasti datang. Seakan kita lupa bahwa di balik itu semua, Kasih Sayang Ilahi menyertai kita.
Sukses memanglah bukan kebetulan, tapi dia adalah hasil dari proses yang panjang. Maka, beberapa orang mungkin akan tidal setuju jika saya mengatakan "Kebetulan kamu sukses dan kebetulan dia tak sukses" karena mrmang itu tadi, sukses adalah srbuah perjalanan penuh liku-liku. Jadi tak bisa ia dikatakan kebetulan. Tapi di balik itu, kesuksesan memiliki beberapa faktor pendukung seperti pendidikan, ekonomi dsb. Yang diantara faktor-faktor pendukung itu tidak semuanya diusahakan, melainkan karena faktor "kebetulan". Kebetulan anda dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kaya raya, maka di kemudian hari anda mendapatkan pendidikan layak, gizi cukup dan kehidupan terjangkau. Sehingga, kesuksesan anda pun terjamin. Tapi bagaimana dengan mereka yang lahir daru keluarga tak mampu, jangankan pendidikan, bangun tidur bisa makan saja sudah bersyukur.
15 tahun kemudian, kita yang terlahir dari keluarga kaya atau keluarga yang cukup kaya pasti sudah memiliki ijazah SD dan SMP, bahkan sudah berda di bangku SMA dengan masa depan yang cerah. Tapi bagaimana dengan yang lahir dari keluarga tak mampu? 15 tahun setelah lahir pun dihabiskan dalam kerja membantu orangtua dan mrnyambung hidupnya. Jika kerjaan tak dapat (karena tidak bersekolah misalnya), akhirnya ia mengemis dan mengamen. Nah, saat mereka mengamen dan mengemis pada kita kemudian kita menilai mereka malas, bisanya cuma minta-minta dan sebagainya. Kita seakan lupa bahwa kita dan mereka berangkat dari awal yang berbeda.
Terlepas dari itu semua, kenapa kita tak coba positive thinking kepada para pengemis ini......
(To be Continue...)
Harus kita akui, bahwa terkadang kita begitu egois dalam menilai orang lain. Kita memakai standar yang kita miliki untuk menilai, menghakimi atau menghina orang lain yang kebetulan nampak berada di bawah kita baik dalam pendidikan, ekonomi atau status sosial. Katakanlah pada fenomena pengemis, khususnya pengemis yang masih muda. Kerap kali kita mencibirnya "masih muda kog ngemis" atau cibiran lainnya yang pada intinya kita menyayangkan pengemis itu kenapa tak mencari kerja dan berusaha dengan tubuh yang masih segar bugar. Akhirnya, kita enggan memberikan selembar uang ribuan yang ada di dompet kita dengan dalih " mendidik mereka agar tidak mengemis". Jika dikasih nanti malah tidak mau bekerja dan terus menerus mengemis.
Yah, di balik kesuksesan kita yang diperoleh dengan susah payah pada akhirnya menjadikan kita pribadi yang mudah berprasangka buruk hanya demi selembar ribuan. Terkadang kita - seakan - lupa, bahwa dibalik usaha yang kita lakukan terdapat kuasa Ridlo Ilahi yang menjadikan kita hari ini sukses. Kemudian, ketika kita diuji oleh-Nya melalui pengemis muda yang nampak segar bugar itu, kita ternyata lalai. Lebih dari itu, kita pun kemudian menggerutu dalam hati. Apakah kita begitu membanggakan kesuksesan kita ini sehingga menjadikan kita pantas menilai bahwa pengemis itu tidak mau berusaha sungguh-sungguh. Karena kita berusaha dan kemudian berasil, lantas menjadikan kita beranggapan bahwa jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh, maka kesuksesan pasti datang. Seakan kita lupa bahwa di balik itu semua, Kasih Sayang Ilahi menyertai kita.
Sukses memanglah bukan kebetulan, tapi dia adalah hasil dari proses yang panjang. Maka, beberapa orang mungkin akan tidal setuju jika saya mengatakan "Kebetulan kamu sukses dan kebetulan dia tak sukses" karena mrmang itu tadi, sukses adalah srbuah perjalanan penuh liku-liku. Jadi tak bisa ia dikatakan kebetulan. Tapi di balik itu, kesuksesan memiliki beberapa faktor pendukung seperti pendidikan, ekonomi dsb. Yang diantara faktor-faktor pendukung itu tidak semuanya diusahakan, melainkan karena faktor "kebetulan". Kebetulan anda dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kaya raya, maka di kemudian hari anda mendapatkan pendidikan layak, gizi cukup dan kehidupan terjangkau. Sehingga, kesuksesan anda pun terjamin. Tapi bagaimana dengan mereka yang lahir daru keluarga tak mampu, jangankan pendidikan, bangun tidur bisa makan saja sudah bersyukur.
15 tahun kemudian, kita yang terlahir dari keluarga kaya atau keluarga yang cukup kaya pasti sudah memiliki ijazah SD dan SMP, bahkan sudah berda di bangku SMA dengan masa depan yang cerah. Tapi bagaimana dengan yang lahir dari keluarga tak mampu? 15 tahun setelah lahir pun dihabiskan dalam kerja membantu orangtua dan mrnyambung hidupnya. Jika kerjaan tak dapat (karena tidak bersekolah misalnya), akhirnya ia mengemis dan mengamen. Nah, saat mereka mengamen dan mengemis pada kita kemudian kita menilai mereka malas, bisanya cuma minta-minta dan sebagainya. Kita seakan lupa bahwa kita dan mereka berangkat dari awal yang berbeda.
Terlepas dari itu semua, kenapa kita tak coba positive thinking kepada para pengemis ini......
(To be Continue...)
0 Response to "Part 1: Kita dan Pengemis"
Post a Comment