Reformulasi Pendidikan Agama Islam
Setelah kunjungan ke Center for Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penilaian penulis
tentang perlu adanya reformulasi Pendidikan Agama Islam (selanjutnya ditulis PAI)
khususnya di Indonesia semakin menguat. PAI yang ada selama ini, baik dalam lembaga
formal, non-formal atau pun in-formal – bisa dikatakan – masih berputar dalam
menumbuhkan sikap keberagamaan yang eksklusif.
Khususnya
di sekolah-sekolah, kesan eksklusifisme keberagamaan bisa dijumpai dari
materi-materi yang disajikan kepada peserta didik. Berikut penulis kutipkan
salah satu pernyataan yang ada pada bagian 4 dalam buku “Politik Pendidikan
Agama; Kurikulum 2013 dan Ruang Publik”, yang menyoroti Pendidikan Agama dalam
Kurikulum 2013.
“Mengenai
Pendidikan Agama Islam (PAI), jika dibandingkan dengan Kurikulum KTSP,
kurikulum PAI 2013 banyak memuat materi-materi baru. Khususnya dalam pendidikan
agama Islam kelas X, materi baru cenderung menonjolkan penegasan identittas
keislaman, seperti: (a) keharusan untuk berpegang teguh kepada al-Qur’an,
Hadist, dan Ijtihad sebagai sumber hokum Islam, (b) mengatur cara berpakaian,
serta (c) revitalisasi dakwah.”[1]
“…
Namun, PAI masih kurang dalam memberikan porsi untuk pengembangan sikap
inklusif atau keterbukaan. Kami menduga hal ini bisa jadi tidak selalu di
dorong oleh semangat eksklusif yang ingin ditransformasikan kepada siswa, tetapi dikarenakan padatnya porsi untuk
menghafal ayat suci dan memahami praktik ibadah.”[2]
Sebenarnya masih banyak lagi kajian yang membahas tentang hal
tersebut, namun di sini penulis cukupkan untuk mengambil dua kutipan di atas
sebagai pijakan dalam tulisan ini. Jika kita mau bersikap objektif, nampaknya
kita memang harus mengakui bahwa kenyataan di lapangan memang demikian, yakni
mayoritas kecenderungan PAI di
sekolah-sekolah (bahkan juga Perguruan-perguruan Tinggi) dalam beragama adalah
eksklusif. Pada tulisan sebelumnya, penulis telah memaparkan beberapa contoh riil
di lapangan bagaiamana sikap ekslusif dalam beragama itu ada dan berkembang
di sekolah-sekolah, pun juga di luar sekolah (baca: Mengajarkan pada anak tentang keberagaman). Artinya apa? Bahwa kecenderungan
seorang guru agama, juga materi yang disampaikan kepada peserta didik akan
menentukan ke arah mana sikap peserta didik itu dalam hal keberagamaan. Maka,
jika pendidikan agama menginginkan pembentukan pribadi-pribadi yang tidak mudah
curiga terhadap selainnya yang berbeda agama, maka terdapat dua hal yang perlu
menjadi perhatian utama, yaitu bagaimanakan sikap pendidik dalamk beragama, dan
juga konten materi yang diberikan kepada peserta didik.
Berbicara tentang pendidik agama, penulis akan memfokuskan pada
Fakultas Tarbiyah yang ada di beberapa PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) baik
Negeri atau Swasta. Di mana Fakultas ini adalah pencetak para guru-guru agama
yang ada di sekolah-sekolah. Asumsi yang penulis bangun di sini adalah sikap
seorang guru agama yang inklusif dan terbuka, adalah modal awal untuk
mewujudkan sikap keberagamaan yang tidak saling mencurigai antar satu agama
dengan agama lain. Guru agama adalah
pemegang kunci dalam hal ini, semisal materi yang dibuat oleh pemerintah nampak
kesan ekslusif, maka guru ini akan mengubahnya agar menjadi inklusif. Begitu pun
sebaliknya, jika materi yang telah tersaji bernuansa inklusif, namun guru yang
menyampaikannya cenderung eksklusif dalam beragama, maka yanhg disampaikannya
pun akan bernuansa ekslusif. Lantas bagaimanakah peran Fakultas Tarbiyah dalam
mengarahkan para mahasiswanya? Apakah menjadi calon guru yang bersikap
eksklusif dalam beragama? Atau inklusif?
Dari pengalaman pribadi penulis, nampaknya Fakultas Tarbiyah yang
ada di PTAI masih belum begitu peduli dengan apakah itu ekslusif/inklusif. Namun,
kecenderungan yang didapati adalah masih condong dalam ekslusif dalam beragama.
Inilah kenapa penulis menyebutnya belum begitu peduli, karena jika kita
bertanya kepada diantara mereka – entah itu dosen, mahasiswa, pejabat atau
karyawan, pasti tidak mau menyebut bahwa yang diajarkan adalah sikap eksklusif
keberagamaan, namun ketika di lapangan, nuansa eksklusif ini sangat nampak,
meskipun memang tidak semuanya demikian. Hal ini, yakni sikap eksklusif yang
ada dalam lingkup PTAI, diperparah dengan tumbuh suburnya organisasi-organisasi
keislaman yang begitu eksklusif dalam beragama, sebut saja HTI, kemudian –
seperti yang disebut dalam buku Politik Pendidikan Agama – LDK yang ada di
kampus-kampus dengan orientasi keagamaan yang khas dan secara umum lebih
tertutup atau ketat.[3]
Kita terkadang memang terlena dengan nikmat yang diberikan Allah
SWT, salah satunya adalah nikmat Iman Islam, ditambah nikmat di mana kita hidup
dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kita merasa besar, kita merasa
paling benar. Memang, tidak ada yang salah jika kita menganggap keyakinan kita
adalah yang paling benar, bahkan itu sebuah keharusan menganggap keyakinan kita
yang paling benar. Namun, jika kemudian menganggap paling benar dengan
menganggap selain kita salah adalah sebuah kesombongan nyata. Sama halnya sombongnya Iblis yang enggan
memberi hormat kepada Adam karena menganggap dirinya lebih mulia dari Adam as. Keterlenaan
kita ini seakan-akan menghilangkan rasa empati dan simpati terhadap sesama. Ok,
kita dengan masyarakat yang mayoritas Islam ini mungkin tidak aka nada masalah
jika ada satu atau dua orang non-Islam yang tidak membantu kita. Tapi bagaimana
jika kita berada dalam komunitas yang mayoritas non-Islam, apakah kita akan
tetap bersikukuh mempertahankan ke-eksklusifis-an beragama ini?
Beberapa program CRCS yang ada, nampaknya perlu untuk ditarik ke
lingkungan PTAI di seluruh Indonesia, khususnya pada Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan. Meskipun tidak sama persis, tapi dari segi konsep memiliki kesamaan. Salah
satu program yang perlu dikembangkan menurut penulis adalah program “teaching diversity” yang ada di SRCS ini. Di mana program ini mengajarkan pada para
siswa di sekolah-sekolah tentang bagaimana untuk saling menghargai dan tidak mencurigai kepada sesama teman meski
berbeda agama. PTAI seharusnya bisa mengembangkan hal demikian, yaitu
menghargai dan tidak mencurigai kepada siapa saja yang berbeda dengan
memberikan pemahaman-pemahaman yang inklusif kepada mahasiswa-mahasiswinya. Ini
tidak bisa ditawar lagi. Kenapa penulis katakan tidak bisa ditawar lagi? Karena
dari pertanyaan penulis kepada pihak CRCS terkait bagaimana jika program
tersebut ditarik ke PTAI-PTAI, mereka memberikan respon bahwa wajar saja jika
sekolah berafiliasi keagaan wajar mengajarkan kegamaan yang cenderung
eksklusif, jadi mereka memfokuskan pada sekolah-sekolah umum yang di dalamnya
terdapat berbagai pemeluk agama.
Belakangan penulis kurang setuju dengan hal tersebut. Memang benar,
bahwa lembaga pendidikan yang memang berlabel agama sah-sah saja untuk
mengajarkan pendidikan bercorak agama. Namun, jika kemudian hal ini dibiarkan,
maka para lulusan-lulusan ini dikhawatirkan ketika terjun ke dalam masyarakat
akan tetap membawa keeksklusifannya dalam berhubungan dengan sesama, yang bisa
jadi tidak semuanya sepaham, sekeyakinan dan seagama. Karenanya, PTAI perlu
mengembangkan sebuah program yang hampir sama dengan teaching diversity-nya
CRCS. Di mana program tersebut diharapkan mampu mencetak para guru agama Islam
yang tidak eksklusif dalam beragama, sehingga tidak akan kita temui sikap-sikap
saling curiga di dalam masyarakat yang plural ini. Jika saja program ini berhasil,
maka dampaknya akan begitu luas. Semisal begini, jika seorang guru yang sangat
inklusif mengajarkan pada peserta didik (katakanlah 30 peserta didik) bagaimana
ia harus bersikap kepada non-Islam dengan tidak menaruh curiga dan merasa diri
berhak menghakimi keyakinan temannya yang tak seiman. Maka, satu guru ini telah
berkontribusi mengajarkan semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an kepada 30 penerus
generasi bangsa. Bayangkan jika kemudian ada ratusan, ribuan, jutaan lulusan
Fakukltas Tarbiyah dan Keguruan yang bersikap demikian! Bahwa “Bhineka Tunggal
Ika” bukan hanya menjadi sebuah jargon, melainkan juga menjadi hal yang
benar-benar nyata dalam sebuah Negara yang
kita kenal dengan “Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Wallaahu
A’lamu bi al-Shawaaab.
Malang,
03 Desember 2014
0 Response to "Reformulasi Pendidikan Agama Islam"
Post a Comment