Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Alam
semesta, dalam sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam adalah merupakan ciptaan
Allah SWT., dan diurus pula oleh kehendak dan perintah-Nya. Jika Allah sekejap
saja tidak memberikan perhatian, maka seluruh alam semesta akan binasa
seketika. Alam semesta ini tidak diciptakan dengan sia-sia[1]
atau bukan untuk senda-gurau.[2]
Sistem yang ada pada alam semseta adalah sistem yang paling baik dan paling
sempurna. Sistem ini memanifestasikan keadilan dan kebenaran, dan didasarkan
pada serangkaian sebab dan akibat. Di mana setiap akibat merupakan konsekuensi
logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan akibat yang khusus. Takdir Allah
mewujudkan sesuatu melalui sebab khususnya saja, dan serangkaian sebablah yang
merupakan takdir Allah untuk sesuatu.[3]
Seiring
berkembangnya waktu dan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan juga sains.
Sistem-sistem yang disebutkan di atas sebagai sistem yang terbaik dalam
keberaturan alam semesta – termasuk penciptaan alam semesta itu sendiri – mulai
dapat dipahami dan diuraikan. Dengan ditemukannya penemuan-penemuan mutakhir
tentang alam semesta membuat sebagian orang mulai abai terhadap Kuasa Tuhan dan
sebagian lagi menjadi semakin takjub dengan ke-Maha Kuasa- an Dia yang Maha
Besar.
Terlepas
dari semakin tambah beriman atau ingkarnya seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan ditemukannya fakta-fakta sains dalam alam semesta, al-Quran sebagai
Kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang
lalu ternyata sudah memuat informasi-informasi tentang alam semesta baik itu
terkait penciptaannya atau pemeliharaan alam semesta. Memang, dalam al-Qur’an
tidak dimuat secara rinci tentang bagaimana alam semesta ini terwujud, kapan
dan bagaimana selanjutnya ia berjalan tanpa terjadi benturan antar satu planet
dengan planet lainnya atau satu bintang dengan bintang lainnya. Hal itu bukan
berarti al-Qur’an memuat informasi yang tidak jelas, melainkan karena memang
al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang harus merinci detail demi
detailnya penciptaan alam semesta ini.
Planet
bumi adalah satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta, dan ia pun
tak luput dari al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak sekali disebutkan tentang
bumi dan diantaranya terdapat informasi tentang bumi, dan belakangan apa yang
terdapat dalam al-Qur’an ini dapat dibuktikan secara sains murni. Karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas terkait dengan bumi dalam pandangan sains al-Qur’an
dan sains murni dengan harapan semoga apa yang ada dalam pembahasan ini dapat
semakin menambah keimanan kita terhadap Allah SWT., Tuhan Semesta alam yang
Maha Besar dan Maha Kuasa.
Foto Hanya Pemanis belaka.. mohon maaf apabila mengganggu..
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Bumi Menurut Sains dan Al-Qur’an
1.
Keistimewaan Bumi
Bumi merupakan satu dari sekian
banyak planet yang ada di alam semesta. Karenanya, di awal pembahasan ini perlu
disinggung terlebih dahulu terkait penciptaan alam semesta. Proses kelahiran
alam semesta ternyata telah dimulai sekitar 18 miliar tahun yang lalu, yaitu
sebelum terjadinya ledakan kosmis yang sangat dahsyat dari sebuah titik
singularitas. Ledakan ini dikenal dengan peristiwa Big Bang[4]
yang terjadi pada 13, 7 miliar tahun yang lalu.[5]
Bumi sering disebut sebagai planet
kehidupan. Penyebutan ini bukan tanpa sebab, karena faktanya memang di bumilah
hidup berbagai makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia.[6] Kondisi
seluruh alam semesta cenderung tidak mendukung adanya kehidupan. Jika kita
membandingkan bumi dengan yang lainnya maka tak ada yang sebanding dengan bumi
dari segi kelayakan adanya kehidupan. Kita hidup dalam lingkungan yang istimewa
yang menyediakan segala kebutuhan kita. Di bumi terdapat udara, makanan,
kondisi stabil, dan lainnya sehingga bumi ini seperti “Jasad Raksasa” dengan
sistem yang menopang makhluk-makhluknya untuk terus bertahan.[7]
Ternyata, fakta bahwa bumi adalah
planet yang istimewa dengan segala kelebihannya yang memungkinkan adanya
kehidupan telah tersirat dalam firman-Nya:
|·sÜøîr&ur $ygn=øs9 ylt÷zr&ur $yg9ptéÏ ÇËÒÈ uÚöF{$#ur y÷èt/ y7Ï9ºs !$yg8ymy ÇÌÉÈ ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ tA$t7Ågø:$#ur $yg9yör& ÇÌËÈ $Yè»tGtB ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌÌÈ
Artinya:
“Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang
benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya
mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.” (QS. Al-Nâzi’ât [79]: 29-33)
Hamka memaknai ayat /ä3ÏJ»yè÷RL{ur /ä3©9 $Yè»tGtB dengan “Bekalan bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu.” Ini
menurutnya memberi penegasan bahwa adanya air mengalir dan
rumput-rumputan, ditambah dengan jaminan adanya gunung-gunung, tumbuhlah bahan
makanan yang dibutuhkan sebagai bekal manusia. Rumputnya untuk binatang ternak,
sayurnya dan buah-buahannya untuk makanan manusia yang memelihara binatang itu.
Pendeknya asal yang bernyawa, disediakanlah makanan dari bumi yang hidupnya
bergantung pada air.[8]
Ayat di atas, sekali lagi menegaskan
bahwa kejadian-kejadian seperti gelap, terang, penghamparan bumi, pancaran mata
air, kehadiran tumbuh-tumbuhan, penancapan gunung-gunung dengan teguh di planet
bumi ini adalah untuk kepentingan manusia agar dapat hidup nyaman dan harmonis
di dalam planet bumi yang selalu dinamis.[9]
Misalnya saja adalah kehadiran bulan[10]
sebagai satelit bumi. Adanya bulan juga tidak lain untuk kenyamanan kehidupan
di bumi. Jika bulan tiba-tiba menghilang, maka dapat diprediksikan manusia (dan makhluk hidup lainnya) di muka
bumi akan mengalami kekacauan. Efek pertama yang akan muncul adalah tidak
adanya kendali dari bulan. Hal ini menyebabkan keadaan laut menjadi kacau
seperti dulu sebelum bulan berbentuk. Gelombang air pasang yang dahsyat akan
membanjiri seluruh pantai di muka bumi. New York, London, dan Tokyo akan lenyap
seperti Atlantis.[11]
Bersamaan dengan hilangnya bulan,
bumi pun akan terlempar keluar dari orbitnya karena didorong oleh energi gerak
yang masih tersisa sesaat sebelum bulan menghilang. Akibatnya, orbit bumi
terhadap matahari akan berubah, di mana kemiringan poros bumi juga akan berubah
sehingga mempengaruhi perubahan musim di muka bumi untuk selamanya. Kita yang
berada di belahan bumi tertentu akan mengalami musim dingin yang membeku. Ada
pun di belahan bumi lainnya akan mengalami musim panas yang mendidih. Karena
bulan hilang, maka cuaca akan terus berlangsung seperti itu.[12] Al-Qur’an
telah menyiratkan hal ini sebagai berikut:
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# ßkÏ9qã @ø©9$# Îû Í$yg¨Y9$# ßkÏ9qãur u$yg¨Y9$# Îû È@ø©9$# t¤yur }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur @@ä. üÌøgs #n<Î) 9@y_r& wK|¡B cr&ur ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇËÒÈ
Artinya:
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah memasukkan malam ke
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan
bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Luqman [31]:
29
Terkait dengan ayat di atas, Al-Qurthubi
menjelaskan Dan Dia tundukkan matahari dan bulan adalah menundukkan
keduanya dengan terbit dan tenggelam sebagai pengukur waktu dan penyempurna
manfaat. Sedangkan “Masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan”,
ialah sampai pada Hari Kiamat. Sedangkan Qatadah menyebutkan “sampai waktu
terbitnya dan waktu tenggelamnya. Tidak melebihinya dan tidak kurang darinya.[13]
Sementara Hamka memaknainya bahwa waktu tersebut adalah waktu yang telah
ditentukan bila akan berhentinya itu tidaklah ada seorang pun yang tahu, bahkan
malaikat pun tidak tahu, hanya Allah saja yang tahu.[14]
Meskipun prediksi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan tentang akhir dari alam
semesta ini, termasuk akan saling bertabrakannya planet-planet dan benda langit
lainnya, namun pada akhirnya itu hanya sebatas prediksi yang kebenarannya hanya
milik Allah SWT. sajalah yang mengetahuinya.
Di akhir ayat disebutkan bahwa “dan
sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah sangat teliti”
merupakan peringatan terhadap manusia bukan saja dengan teliti Allah menguasai
dan menundukkan perjalanan falak sampai sehalus-halusnya, sampai kepada menit
dan detik perjalanan matahari, bulan dan bintang-bintang, bahkan perbuatan kita
manusia sendiri pun dilihat dan diperhatikan oleh Allah dengan teliti sekali.
Karena memang teliti adalaha salah satu sifat dan nama Allah.[15]
Demikian satu dari sekian banyak
fakta ilmiah yang akhir-akhir baru ditemukan yang sebenarnya telah terungkap
dalam al-Qur’an yang telah diturunkan ke bumi pada 14 abad yang lalu. Selain
fakta tentang bulan, masih banyak lagi faktor-faktor lainnya yang menjadikan
bumi pantas dan layak untuk dihuni oleh manusia dan juga makhluk hidup lainnya.
Diantaranya adalah keseimbangan gravitasi bumi yang jika lebih kuat,
atmosfer akan menahan terlalu banyak amonia dan metana, jika terlalu lemah atmosfer
planet akan terlalu banyak kehilangan air;[16] jarak
dengan matahari, jika terlalu dekat planet akan terlalu panas bagi siklus
air[17]
yang stabil dan jika terlalu jauh planet akan terlalu dingin untuk siklus air
yang stabil; ketebalan kerak bumi, jika terlalu tebal akan banyak
oksigen yang berpindah dari atmosfer ke kerak bumi, dan jika terlalu tipis
aktivitas tektonik dan vulkanik[18]
akan terlalu besar; periode rotasi, jika lebih lama perbedaan suhu pada
siang dan malam hari terlalu besar, dan jika lebih cepat kecepatan angina pada
atmosfet terlalu tinggi; medan magnet,[19]
jika lebih kuat bagai elektromagnetik terlalu merusan, dan apabila terlalu
lemah, perlindungan dari radiasi bintang yang membahayakan akan berkurang;[20]
dan banyak lagi keseimbangan-keseimbangan yang menjadikan bumi layak untuk
dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.
2.
Penciptaan Bumi
a.
Masa Penciptaan Bumi
Penemu teori astronomi kontemporer berpendapat bahwa bumi termasuk
benda langit (jism samawi), artinya bumi merupakan subordinat matahari,
atau termasuk satelit matahari yang mengelilingi matahari dengan jarak yang
berlainan dengan planet lainnya. Hal ini kemudian mereka sebut dengan istilah
“tata surya”.[21]
Dalam sistem tata surya, bumi adalah termasuk planet ketiga, dan
meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, usia bumi diperkirakan 4,6 miliar
tahun. Berjarak sekitar 150 juta km dari matahari dan memiliki massa sekitar
5,9736 x 1024 Kg.[22]
Planet berbentuk bulat ini memiliki radius ± 6.370 km.[23]
Terkait dengan bumi ini, di dalam al-Qur’an, Allah telah
menjelaskan tahap atau masa penciptaan langit dan bumi.
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ Îû ÏpGÅ 5Q$r& ¢OèO 3uqtGó$# n?tã ĸöyèø9$# ( $tB Nä3s9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB <cÍ<ur wur ?ìÏÿx© 4 xsùr& tbrã©.xtFs? ÇÍÈ
Artinya:
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya
seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS.
Al-Sajadah [32]: 4)
ö@è% öNä3§Yάr& tbrãàÿõ3tGs9 Ï%©!$$Î/ t,n=y{ uÚöF{$# Îû Èû÷ütBöqt tbqè=yèøgrBur ÿ¼ã&s! #Y#yRr& 4 y7Ï9ºs >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÒÈ
Artinya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi
dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian
itu adalah Rabb semesta alam’”. (QS. Fushshilat [41]: 9)
Tafsir dari enam masa (sebagian menafsirinya dengan hari)
pada ayat pertama di atas mengalami beberapa dinamika. Sayyid Quthb lebih
memberi penegasan bahwa enam hari yang dimaksud dalam al-Qur’an tersebut adalah
masih dalam perkara gaib yang tidak mungkin diketahui secara pasti. [24]
Meskipun demikian bukan berarti tidak ada upaya dalam menafsiri ayat tersebut.
Sebelum berkembangnya pengetahuan seperti saat ini, ada yang
menafsiri bahwa hari tersebut adalah layaknya hari yang kita alami. Salah satu
argumen yang diajukan dalam tafsiran ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Nasâiy, diterima dari Abi Hurairah dengan sanadnya: “Bahwa Allah menciptakan
semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya dalam masa
enam hari dan di hari ketujuh Tuhan bersemayam ke atas ‘Arsy. Tanah diciptakan
hari Sabtu, gunung-gunung hari Ahad, pohon-pohon kayu hari Senin, barang-narang
yang buruk hari Selasa, Nur (cahaya) pada hari Rabu, bintang-bintang pada hari
kamis, dan Adam diciptakan pada hari Jum’at sesudah waktu Asar, dan Adam itu
dijadikan dari kulit bumi, ada tanah merah da nada tanah hitam, ada tanah bagus
dan ada tanah busuk. Lantaran itu maka
terjadi anak-anak Adam ada yang baik da nada yang buruk.” Namun, hadits ini
dikritik oleh Imam al-Bukhariy dalam “at-Tarikh al-Kabîr”.[25]
Setelah ilmu pengetahuan mulai berkembang, penafsiran yang
menyatakan bahwa hari yang dimaksud dalam penciptaan langit dan bumi adalah
sama halnya dengan hari di bumi tidak dipakai lagi oleh para penafsir yang
datang belakangan. Orang sudah dapat memahamkan bahwa enam hari tersebut
hanyalah menurut ilmu Allah.[26]
Terkait dengan ini, Hamka mengomentari sebagai berikut:
“Apakah yang sehari itu 1000 tahun? Sebagai yang akan disebutkan
pada ayat ke 5 sesudah ini? Ataukah sehari itu 50.000 tahun sebagai tersebut
pada ayat ke-70, Al-Ma’ârij? Atau lebih dari itu? Benar-benar Tuhanlah
yang tahu. Maka lebih baiklah kita terima bunyi ayat dengan langsung tidak
memakai “kaifa” (betapa), karena masih banyak rahasia alam ini akan
tetap tertutup bagi manusia.”[27]
Setidaknya, terdapat dua pesan yang terkandung dalam pernyataan Hamka
tersebut. Pertama, bahwa kita sebagai manusia tidaklah
mempunyai wewenang untuk memutlakkan penafsiran kita akan firman-Nya, karena
keterbatasan yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang tak akan mungkin
mampu membatasi Dia dan juga firman-Nya yang tak terbatas. Kedua, meskipun terbatas bukan berarti kita hanya diam saja meyakini apa yang
disebutkan dalam al-Qur’an tanpa berusaha mengungkap rahasia-rahasia yang
terkandung di dalam al-Qur’an.
Kemudian dalam ayat lainnya, penciptaan bumi diperinci lagi dalam 2
hari (QS. Fushshilat [41]: 9). Hamka lebih memaknai ayat ini lebih menekankan
betapa kuasanya Allah yang telah menciptakan bumi dalam dua hari saja dan
menegaskan bahwa tak sepatutnya mengadakan sekutu bagi Allah yang dalam
penciptaan bumi ini hanya dua hari saja.[28]
Kemudian Hamka melanjutkan tafsirannya atas ayat selanjutnya dari
Surat yang sama (QS. Fushshilat [41]: 10). Bahwa “Dan Dia menjadikan padanya
gunung-gunung pengokoh di atasnya” mempunyai maksud bahwa di bumi ini juga
diciptakan gunung-gunung yang tinggi. Gunung ini sebagai penghambat angin dan
laksana katalisator pembagi strom listrik agar jangan langsung saja, serta
sebagai penampung hujan supaya dia mengalir dengan teratur dari puncak gunung
itu membelah bumi tempat air lalu menjadi sungai. Artinya membuat bumi ini bisa
didiami dan tempat tinggal tetap bagi manusia, dengan menentukan kadarnya,
seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Mukminun [40]: 64. Maka, bumi ini bukanlah
semata-mata dijadikan saja, namun oleh Allah bumi ini dipersiapkan sedemikian
rupa untuk manusia yang dijadikan khalifah-Nya. Dipersiapkan pula di dalamnya
kadar makananuntukm manusia dan untuk semua makhluk bernyawa yang hidup di
permukaan bumi. Semuanya sudah ditaksirkan dan kita artikan sudah dikadarkan.
Kemudian maksud dari “Di dalam empat hari” ialah bahwa jumlah masa
menciptakan bumi adalah dua hari dan ditambah dengan persiapan penampungan
segala makhluk yang bernyawa tadi disediakan dua hari pula, jadi berjumlah
dalam masa empat hari.[29]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata yaum/hari dalam
penggunaan bahasa Arab tidak selalu harus dipahami dalam pengertian 24 jam. Ia
bahkan digunakan untuk menunjukkan satuan waktu bagi selesainya kegiatan, baik
pendek maupun panjang.[30]
Karenanya, kata yaum dalam dua ayat di atas bisa bermakna lebih dari 24
jam ukuran hari di bumi atau mungkin kurang. Terkait dengan penciptaan bumi
ini, sebagian kemudian ada yang memaknai hari dalam penciptaan bumi dan juga
alam semesta sebagai suatu masa. Seperti yang digunakan oleh Agus Haryo yang
mengartikan yaum dengan pemaknaan masa dan bukannya hari.[31]
Baik itu dua hari atau dua masa, kedua pemaknaan itu tidak ada yang
salah karena keduanya memiliki dasar yang dipakai. Adapun pemkanaan dua masa
ini memiliki kaitan dengan fakta sains yang ditemukan terkait dengan penciptaan
bumi. Agus Haryo memaparkan fakta sains tersebut sebagai berikut.
“Semua proses pembentukan bumi tersebut telah dimulai sejak 4,5
miliar tahun yang lalu.
Pada masa 3,5 miliar tahun lalu planet bumi masih dipenuhi lautan dan
masih dihujani meteor. Pulau-pulau vulkanis baru terbentuk disertai
aktivitas-aktivitas vulkanis yang terus terjadi terus-menerus memenuhi
permukaan bumi dan benua-benua masih sangat kecil. Udara sangat panas dan tidak
mengandung oksigen.
Kurang lebih sejak 3,5 miliar tahun lalu planet bumi mulai
mengalami pendinginan. Bumi harus ‘bersendawa’ untuk mengeluarkan gas CO2
agar bisa bereaksi dengan unsur-unsur kimia lainnya, seperti H2O, O2,
S, CO2, N2, Ne, He, CH4, Kr dan Ar. Tujuan
aktivitas tersebut adalah untuk mengurangi tekanan yang meningkat dalam
interior planet bumi.
Setelah bersendawa terus menerus melalui lubang magma di muka bumi,
gunung-gunung berapi muncul satu per satu dan aktif bersamaan. Pada saat itulah
bumi mengeluarkan gas-gas dari dalam perutnya.
Semua aktivitas sendawa tersebut ternyata demi menciptakan sebuah
tekanan 1,37 juta atmosfer dalam inti bumi dan mempertahankan temperaturnya
setinggi 3700 derajat celcius. Kondisi tersebut sangat dibutuhkan agar planet
ini daoat mendukung kehadiran sebuah kehidupan dengan harmonis.
Reaksi gas-gas yang dikeluarkan oleh aktivitas gunung berapi selama
kurang lebih puluhan hingga ratusan juta tahun, menjadi sebuah reaksi berantai
biokimia dan biofisika pada planet bumi ini.
Inilah yang dimaksud dengan masa kedua oleh Allah SWT. dalam
penciptaan bumi, yaitu masa ketika embrio kehidupan terwujud. Pada masa ini
reaksi berantai gas-gas yang dimuntahkan oleh gunung-gunung api menyediakan
bahan makanan bagi sebuah lingkungan embrio kehidupan.[32]
Itulah paparan
dari penemuan sains tentang penciptaan bumi yang terbagi ke dalam dua fase atau
masa. Masa pertama, yaitu terbentuknya bumi secara fisik. Masa kedua,
yaitu masa di mana bumi mengalami aktivitas-aktivitas berantai yangmana
pada akhirnya ini menjadikan bumi layak untuk dijadikan tempat adanya
kehidupan. Atau menurut Agus Haryo dimaknai dengan masa sebelum ada kehidupan
dan setelah adanya kehidupan.[33]
Jika demikian,
pertanyaan yang mucul adalah siapa yang ada di balik penyiapan bumi untuk
tempat tinggal para makhluk hidup ini? Tentu tidak ada jawaban yang tidak bisa
dibantah kecuali bahwa semua yang terjadi itu adalah di bawah Kuasa dan
kehendak Allah SWT., dan ini juga terdapat pada firman-firman-Nya, bahwa
penciptaan langit dan bumi bukanlah main-main.[34]
Karena ia diciptakan dengan sangat teliti[35]
dan sempurna oleh-Nya yang Maha Teliti dan Maha Sempurna.
Tidak kalah menakjubkannya
dengan fakta sains tentang bumi yang sudah dipaparkan di atas. Ternyata
perkiraan umur bumi menurut sains tidak jauh berbeda dengan apa yang telah
diinformasikan oleh al-Qur’an. Berikut penjelasannya:
“Allah SWT. menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (QS.
Al-Sajadah [32]: 04, serta menciptakan bumi dalam dua masa (QS. Fushshilat [41:
09. Berdasarkan umur meteorit tertua yang ditemukan di bumi, para ahli geologi
menyatakan bahwa umur bumi adalah 4,56 X 109 tahun.
Perbandingan umur bumi dan langitadalah 2 : 6 = 1 : 3. Umur langit
dapat kita cari dari perhitungan 4,56 X 109 X 3 = 13,68 X 109 tahun
atau 4,56 X 109 : 2 = 2,28 X 109 tahun.
Terbukti:
Versi sains mengatakan bahwa umur alam semesta sejak peristiwa Big
Bang adalah 13,7 X 109 tahun.
Terdapat selisih sekitar 20 juta tahun antara penghitungan versi
sains al-Qur’an dan sains murni (Big Bang Theory). Namun, perbedaan ini
dapat ditolerensi dalam penghitungan kosmologi.
b.
Penghamparan Bumi
Al-Qur’an
menyebut kata “hampar” untuk konteks bumi sebanyak 10 kali, yaitu dalam QS.
Al-Baqarah ayat 22, QS.Al-Hijr ayat 19, QH. Thâ Hâ ayat 53, QS. Qâf ayat 7, QS.
Al-Dzâriyât ayat 48, Nûh ayat 19, Al-Naba’ ayat 6, Al-Nâzi’ât ayat 30,
Al-Ghâsyiyah ayat 20 dan Al-Syams ayat 6.tentunya, penyebutan kata “hampar”
berulang-ulang merupakan ungkapan untuk manusia yang berakal.[36]
Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
Artinya: “Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)
Terkait dengan
ayat di atas, al-Thabari mengutip beberapa pendapat/tafsiran dari apa yang
dimaksud dengan “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan”,
diantaranya ialah Musa bin Harun al-Hamdani yang menceritakan kepadanya
(al-Thabari): Amru bin Hamad menceritakan kepada kami, katanya: Asbath
menceritakan kepada kami dari as-Suddi tentang berita yang disebutkannya dari
Malik, dan dari Abu Shalih ibnu Abbas, dan dari Murrah al-Hamdani, dari Mas’ud
dan dari sejumlah sahabat Rasulullah SAW.: “Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan” yaitu hamparan sebagai tempat jalan kaki dan tempat
tinggal.[37]
Keterangan ini juga sesuai dengan riwayat Bisyr bin Mu’adz al-Aqadi[38]
yang memaknai hamparan sebagai tempat tinggal, dan dari riwayat al-Mutsanna bin
Ibrahim[39]
yang mengartikannya dengan tempat tinggal.[40]
Meskipun ayat
di atas telah mendapatkan penjelasan dari Rasulullah bukan berarti sudah tidak
tidak ada kemungkinan baginya untuk dicari makna yang lebih dari itu.
Belakangan, Geologi telah membuktikan bahwa memang kita hidup di atas lembaran
atau lempengan benua (lithosphere/crust) yang telah mendingin dan ter-hampar.
Bentuk lempengan ini bagaikan hamparan karpet yang bergerak-gerak di atas
cairan bubur padat panas (upper/shalle mantle) yang temperatur intinya
kurang lebih 3700° C dengan tekanannya mencapai 1,37 juta Atm.[41]
Kemudian dari
dua informasi di atas, yakni dari Hadits nabi dan juga penemuan Geologi dapat
didapatkan satu titik temu. Bahwa bumi ini dihamparkan ialah untuk tempat
tinggal makhluk hidup, di mana hamparan ini berupa lempengan yang telah membeku
dari yang awalnya adalah meleleh. Tentunya tidak akan ada kehidupan di atas
bumi jika tidak ada proses pendinginan lempengan tersebut. Lebih dari itu,
penghamparan bumi ini oleh Sayyid Quthb dimaknai sebagai pemberian aneka warna
kemudahan dalam kehidupan manusia di muka bumi, dan menunjukkan bahwa bumi ini
memang disediakan bagi mereka untuk menjadi tempat tinggal yang menyenangkan
dan tempat berlindung yang melindungi bagaikan hamparan.[42]
c.
Tujuh Lapis Bumi
Beberapa hal
tentang bumi ternyata telah termuat dalam al-Qur’an yang diturunkan 14 abad
yang lalu, dan yang menakjubkan adalah informasi yang termuat dalam al-Qur’an
ini sesuai dengan temuan-temuan sains mutakhir. Maka patutkah kemudian kita
mengingkari Dia yang Maha Benar ini? Bukti kebenaran yang selanjutnya adalah
terkait dengan unsur bumi yang terdiri dari tujuh lapis. Berikut informasi yang
termuat dalam al-Qur’an:
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿx z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGt âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Thalaq [65]: 12)
Hamka
di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Fakhruz Razi menyalinkan dari sesoeorang
sebuah tafsir tentang tujuh lapis langit tersebut yang dalam tafsiran tersebut
dikomentarinya sebagai tafsiran yang tidak bisa diterima oleh akal. Karena
dalam tafsir dongeng itu dikatakan bahwa langit pertama adalah
gelombang awan menutup penglihatan. Langit kelima perak, langit keenam
perak, dan langit ketujuh adalah intan. Di mana jarak antara satu
langit dengan langit lainnya adalah 500 tahun perjalanan dengan tebal
masing-masing langit 500 tahun perjalanan.[43]
Kemudian terkait dengan bumi yang disebutkan dalam ayat tersebut
juga terdiri dari tujuh lapis. Terdapat beberapa riwayat tafsir, di mana
riwayat itu hanya sekedar pengetahuan yang ada saat itu, diantaranya ada yang
mengatakan memang bumi itu tujuh banyaknya dan tiap-tiap bumi ada Nabinya
sendiri. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bumi hanya satu, tetapi terbagi
menjadi tujuh lapisan: Dasarnya terbagi tiga, pertama inti bumi, yang kedua
atau di tengah tanah semata, ketiga tanah terbuka yangmana pada bagian inilah
hidup segala kehidupan.[44]
Akan tetapi, Hamka kemudian mengingatkan bahwa tafsiran yang ada
itu tidaklah sesuatu yang mutlak. Bertambah usaha dan ikhtiar manusia
menyelidiki alam ini, dengan berbagai kemajuan alat-alat penyelidik disertai
dengan ketekunan, maka akan terungkap betapa besar dan luasnya malakûtis
samâwâti wal-ardhi (Kerajaan yang meliputi langit dan bumi).[45]
Seperti yang telah disampaikan di awal-awal bahwa al-Qur’an
bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang memuat detail teori-teori di dalamnya.
Meskipun demikian, bukan berarti ia (al-Qur’an) sama sekali terlepas dari
hal-hal terkait ilmu pengetahuan dan sains. Apa yang dikemukakan Hamka adalah
upaya menyadarkan betapa luasnya kandungan al-Qur’an jika ia didekati dengan
berbagai sudut pandang.
Fakta sains menyebutkan bahwa ternyata bumi yang kita tempati ini
berlapis-lapis mulai dari kerak bumi terluar sampai intinya yang padat.[46]
Dan belakangan juga ditemukan fakta bahwa bumi terdiri dari tujuh lapisan, di
mana setiap lapisnya memiliki karakteristik dan tugas masing-masing. Demikian
pula dengan dengan langit yang memiliki tujuh lapis atmosfer.[47] Ketujuh
lapis bumi tersebut ialah: Lithosphere/crust (0-60 km), Upper/shallow
mantle/astenosfer (60-400 km), Transition Region (400-650 km), Lower
mantle (650-2700 km), Discontinuity (gutenburg) (2700-2890 km), Outer
core (2890-5150 km) dan Inner core (5150-6378 km).[48]
Namun, sebelum sampai kepada kesimpulan tujuh lapis bumi, perlu
diketahui bahwa secara garis besar, struktur bumi dibagi menjadi tiga:[49]
1)
Kerak
bumi
Kerak
bumi adalah lapisan terluar dari bumi yang bersebelahan dengan mantel bumi yang
memiliki ketebalan 85 km. kerak bumi ini dapat bergerak pada pergerakan
tektonik lempeng.[50]
Inilah yang menyebabkan gempa bumi yang disebabkan adanya pergeseran lempeng ini.
Kerak bumi memiliki beberapa unsur kimia diantaranya: Oxygen (O2)
45,5%; Silicon (Si) 27,2%; Aluminium (Al) 8,3%; Iron (Fe)
6,2%; Calcium (Ca) 4,66%; Magnesium (Mg) 2,76%; Sodium (Na)
2,27%; Potassium (K) 1,84%; Titanium (Ti) 0,63%; dan lain-lain 1
%.[51] .
2)
Mantel
bumi
Mantel
bumi terletak di antara kerak dan inti bumi yang tersusun atas batuan-batuan
yang mengandung magnesium dan silicon. Suhu yang terdapat pada mantel bumi
bagian atas sekitar 1.300° C-1.500° C dan suhu pada bagian dalam matel sekitar
1.500° C-3.000° C.
3)
Inti
bumi
Berdasarkan
sifat material pembentukannya, inti bumi terdiri dari lapisan litosfer,
astenosfer, mesosfer, inti bumi bagian luar (outer core) dan inti bumi
bagian dalam (inner core). Inti bumi bagian luar melindungi inti bumi
bagian dalam. Susunan inti bumi bagian luar adalah nikel cair dengan suhu
3.900° C. Adapun inti bumi bagian dalam tersusun atas besi dan nikel yang pada
dengan suhu mencapai 4.800° C.
Demikianlah fakta sains menyebutkan bahwa struktur bumi terdiri
dari tiga bagian, yang dari ketiga bagian itu dapat diperoleh kesimpulan bahwa
bumi ini terdiri dari tujuh lapis. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Allah
SWT. dalam al-Qur’an (QS. Al-Thalaq [65]: 12).
Mengakhiri
pembahasan ini, menarik untuk merenungkan apa yang dikatak oleh Sayyid Quthb,
bahwa tujuh lapis langit dan juga bumi merupakan sesuatu yang belum kita
ketahui tentang hakikatnya. Ia menegaskan bahwa apapun maknanya, tidak
dibutuhkan dan diperlukan pencocokan teks-teks ayat ini dan mengujinya dengan
ilmu-ilmu yang telah kita temukan. Karena ilmu kita sangat terbatas dan tidak
meliputi seluruh seluruh alam semesta sehingga kita berasumsi dengan meyakinkan
bahwa teori ilmiah itulah yang dikehendaki oleh teks-teks Al-Qur’an.[52] Meskipun
kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia adalah hal yang perlu bahkan
penting, namun bukan berarti kita lantas menerima begitu saja apa yang tersurat
dalam ayat-ayat al-Qur’an tanpa ada usaha untuk mengungkap kandungan yang
tersirat di dalamnya. Sayyid Quthb mengingatkan bahwa seiring dengan
perkembangan ilmu, kita setidaknya dapat menggunakan ilmu-ilmu lain dalam
memahami dan mencari kandungan-kandungan terdalam dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Seperti halnya dalam penciptaan bumi, dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah belakangan
ini tentang struktur bumi yang terdiri dari tujuh lapis ini merupakan tafsiran empirik
dari apa yang telah dinyatakan dalam QS al-Thalaq [31]: 12. Dan dari tafsiran
empirik ini kita bisa menyatakan bahwa maksud dari ayat ini dan itu adalah
seperti ini, seperti temuan ilmiah. Wallâhu A’lamu Bish-Shawâb.
B.
Refleksi Penciptaan Bumi dalam Sains dan Al-Qur’an
Menarik memperhatikan penilaian Zainal Abidin Bagir tentang
pandangan Golshani[53]
terkait tentang al-Qur’an. Di mana al-Qur’an dipandang sebagai salah satu
sumber ilmu. Golshani tidak menganggap ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber
langsung teori-teori ilmiah, yang dapat digunakan untuk mendukung atau
mengkritik teori ilmiah secara langsung. Sebagai sumber ilmu, al-Qur’an berada
pada level filosofis/metafisis, bukan pada level teori-teori sain. Al-Qur’an
bisa memberikan prinsip-prinsip umum dalam pengkajian ilmiah (misalnya, tentang
keteraturan alam; hukum sebab-akibat). Atau ketika menyebutkan fenomena-fenomena
alam, ia memberikan motivasi kuat bagi pembacanya untuk mengamati dan
memahami alam, tanpa berbicara cukup terperinci atau bahkan “teknis” mengenai
fenomena-fenomena tersebut. Karena pembacaan yang terlalu teknis justru akan
mengaburkan pesan-pesan al-Qur’an.[54]
Jika kita
perhatikan, dari ayat-ayat penciptaan bumi seperti yang telah di bahas di atas.
Ditemukan bahwa tafsiran dari satu ayat, dapat berbeda dari masa ke masa.
Kembali mengulang apa yang dinyatakan oleh Hamka, bahwa seiring dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan, maka akan semakin nyata akan kekuasaan Allah
SWT. Semisal pada istilah penghamparan bumi, sebelum berkembangnya ilmu
pengetahun dengan berbagai alat (dalam istilah Hamka) penyelidiknya diambil
kesimpulan bahwa bumi ini datar, karena ia terhampar. Namun setelah ditemukan ilmu
astronomi, barulah terungkap bahwa bumi ini bukannya datar namu ia berbentuk elips.
Sekilas kemudian nampak adanya ketidakcocokan antara apa yang terkandung dalam
al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Namun pada akhirnya, dengan berbagai
penelitian-penelitian diperoleh kesimpulan bahwa memang bumi ini yang meskipun
berbentuk elips, ternyata kehidupan yang ada di bumi adalah berdiri di
atas lempengan yang teribaratkan seperti karpet yang menghampar.
Inilah kenapa
disebutkan bahwa al-Qur’an adalah sumber ilmu yang di dalamnya memuat
teori-teori umum. Sehingga, al-Qur’an senantiasa relevan dari masa ke masa. Ia
bukan sesuatu yang terlalu canggih, juga tidak terlalu kuno. Bisa kita
bayangkan jika ternyata al-Qur’an memuat informasi tentang penciptaan bumi
seperti apa yang ditemukan oleh sains saat ini, dengan berbagai macam
kompleksitasnya kepada masyarakat yang hidup pada abad ketujuh Masehi, di mana
ilmu pengetahuan dan sains belum berkembang begitu pesat. Tentu ia (al-Qur’an)
akan semakin sulit diterima.
Dinamika tafsir
al-Qur’an (khususnya ayat-ayat tentang semesta) tidak berhenti pada penemuan
ilmiah saat ini saja. Ke depan, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan,
al-Qur’an akan tetap terbuka lebar untuk dicari kandungan-kandungan
terdalamnya. Ia senantiasa mampu berkomunikasi dengan berbagai zaman.
Karenanya, tidak seharusnya kita menyatakan apa yang nampak saat ini sebagai
titik akhir dari apa yang ungkapkan al-Qur’an, karena itu sama halnya dengan
membatasi al-Qur’an. Padahal al-Qur’an ini tidak lain adalah firman-Nya yang
Maha Tak Terbatas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bumi merupakan
satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta yang sering disebut
sebagai planet kehidupan. Penyebutan ini bukan tanpa sebab, karena faktanya
memang di bumilah hidup berbagai makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan juga
manusia. Dalam sistem tata surya, bumi adalah termasuk planet ketiga, dan
meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, usia bumi diperkirakan 4,6 miliar
tahun.
Bumi, sebagai
tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya ternyata tidak luput dari
al-Qur’an yang diturunkan ke bumi turun pada kurun 14 abad yang lalu. Semisal,
dalam penciptaan bumi, kemudian pemeliharaan bumi dan bahkan sampai pada
struktur susunan bumi – begitu pun dengan langit – ada dalam al-Qur’an.
Meskipun memang tidak memuat secara terperinci, namun tidak dapat dibantah
bahwa informasi yang ada dalam al-Qur’an – seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan sains – telah terbukti secara ilmiah. Semisal dalam hal umur
bumi, dari apa yang dinyatakan oleh sains bahwa bumi berumur sekitar 4,56 X 109
tahun dengan apa yang terkandung dalam QS. Fushshilat [41]: 09 dan QS.
Al-Sajadah [32]: 04 ditemukan selisih yang tidak terlalu jauh. Kemudian dari
dua ayat tersebut juga diperoleh kesimpulan bahwa masa penciptaan bumi versi
al-Qur’an sama dengan apa yang dikemukakan oleh sains, yaitu terdiri dari dua
masa: pertama, yaitu penciptaan bumi sebelum adanya kehidupan dan masa
kedua yaitu penciptaan bumi setelah adanya kehidupan.
Fakta
selanjutnya tentang bumi adalah terkait dengan struktur susunan bumi. Dalam
al-Qur’an (QS. Al-Thalaq [65]: 12) disebutkan bahwa Allah menciptakan bumi ini
– layaknya langit – berlapis tujuh. Belakangan, penemuan ilmiah juga menyatakan
bahwa struktur susuna bumi terbagi ke dalam tiga bagian; kerak bumi, mantel,
dan inti bumi. Tiga bagian ini terdiri dari tujuh lapisan, di mana tiap
lapisnya memiliki karakter dan tugasnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. 2007. Tafsir Ath-Thabari. Terj. Ahsan Askan. Vol. 1. Jakarta: Pustaka Azzam
Agus Haryo Sudarmojo. 2009. Menyingkap Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an. Cet.
3. Bandung: Mizania
Dyayadi. 2008. Alam Semesta
Bertawaf, Keajaiban Sains dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lingkaran
Hamka. 1979. Tafsir Al-Azhar
Juzu’ XXI. Surabaya: Yayasan Latimojong
______. 1981. Tafsir Al-Azhar
Juzu’ XXIV. Cet. 2. Surabaya: Yayasan Latimojong
______. 1981. Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII. Surabaya: Yayasan
Latimojong
______. 1979. Tafsir Al-Azhar
Juzu’ XXX. Cet. 2. Surabaya: Bina Ilmu Offset
Hendra Wisesa. 2010. Serba-serbi
Bum: Ensiklopedi Mini Lengkap dan Detail. Yogyakarta: Garailmu
Idatul Fitri dan Cori Sunna. 2011. Buku
Pintar Tata Surya. Yogyakarta: Harmoni
Jenal Wisoyo. 2008. Awal Mula
Alam Semesta. Jakarta: Buku Kita
Murtadha Muthahhari. 2002. Manusia
dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Terj. Ilyas Hasan.
Jakarta: Lentera Basritama
Nataresmi Abd. Hanan. 2009. Perjalanan
Kosmos Memahami Alam Semesta. Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
Retno Susilowati dan Dwi Suheryanto.
2006. Setetes Air Sejuta Kehidupan. Malang: UIN-Malang Press
Sayyid Quthb. 2000. Tafsir Fi
Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin Abdul Aziz
Basyarahil, dkk. Vol. 1. Jakarta: Gema Insani Press
___________. 2004. Tafsir Fi
Zilalil-Qur’an, di bawah Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin, dkk. Vol. 9.
Jakarta: Gema Insani Press
___________. 2004. Tafsir Fi
Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin, dkk. Vol. 11.
Jakarta: Gema Insani Press
Syaikh Imam Al-Qurthubi. 2009. Tafsir
Al-Qurthubi. Terj. Fathurrahman
Abdul Hamid, et.al. Jakarta: Pustaka Azzam
Thomas T. Arny. 2004. Explorations
: Stars, Galaxies, and Planets. McGraw-Hill Higher Education
Triton PB. 2009. Mengenal Sains
Sejarah Bumi dan Bencana Alam. Yogyakarta: Tugu Publisher
Quraish Shihab. 2003. Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;’an. Vol. 12. Jakarta:
Lentera Hati
Zainal Abidin Bagir, Pengantar. (xi-xxiii).
Dalam Mehdi Golshani. 2004. Melacak Jejak Tuhan dalam Saisn: Tafsir Islami
atas Sains, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2004
[1] QS. Ali Imran
[3]: 190-191
[2] QS. Al-Dukhan
[44]: 38, yang artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dengan bermain-main.”
[3] Murtadha
Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, terj.
Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 58
[4] Teori ini
dikenalkan oleh Lemaître pada tahun 1930. Penggambaran terciptanya alam semesta
ini ibarat telur kosmis yang meledak menjadi kembang api. Lihat Nataresmi Abd.
Hanan, Perjalanan Kosmos Memahami Alam Semesta, (Surabaya: Selasar
Surabaya Publishing, 2009), hlm. 68
[5] Agus Haryo
Sudarmojo, Menyingkap Rahasia Sains
Bumi dalam Al-Qur’an, cet. 3, (Bandung: Mizania, 2009), hlm. 8
[6] Idatul Fitri
dan Cori Sunna, Buku Pintar Tata Surya, (Yogyakarta: Harmoni, 2011),
hlm. 66
[7] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 34
[8] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ XXX, cet. 2, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1979), hlm. 34
[9] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 44
[10] Bulan bergerak
mengelilingi bumi menurut garis orbitnya berbentuk elips dengan jarak rata-rata
dari bumi 390.000 km, pada titik apogee atau titik terjauh dari bumi
400.000 km, dan pada titik perigee atau titik terdekat dengan bumi 352
km. Lihat Jenal Wisoyo, Awal Mula AlamSemesta, (Jakarta: Buku Kita,
2008), hlm. 23. Jarak bulan dengan bumi ini makin menjauh dari pertama kali
bulan terbentuk. Pada awalnya bulan hanya berjarak 23.000 km dari bumi.
Diperkirakan pada 15 miliar tahun lagi bulan akan menghilang dan bisa saja
lebih cepat jika bulan ditabrak oleh asteroid. Lihat Agus Haryo Sudarmojo, Op.
Cit., hlm. 60-61
[11] Ibid., hlm.
61
[12] Ibid., hlm.
62
[13] Syaikh Imam
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj. Fathurrahman Abdul Hamid, et.al.,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 187-186
[14] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ XXI, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), hlm. 179
[15] Ibid., hlm.
180
[16] Kandungan air
di bumi sangat meilmpah, volume seluruhnya mencapai 1.400.000.000 km3.
Kurang lebih 97% merupakan air laut (air asin) yang tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung dalam kehidupan manusia. Dari 3% sisanya, 2% berupa
gunung-gunung es di kedua kutub bumi dan selebihnya 0,75% merupakan air tawar
yang mendukung kehidupan makhluk hidup di darat, terdapat di danau, sungai dan
di dalam tanah. Lihat Retno Susilowati dan Dwi Suheryanto, Setetes Air
Sejuta Kehidupan, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hlm. 18
[17] Sikluas air
terjadi akibat pengaruh sinar matahari. Matahari memancarkan seluruh energi
panasnya ke permukaan bumi, kemudian terjadilah penguapan air dari sungai,
danau, rawa dan laut yang disebut evaporasi. Sedangkan penguapan yang
terjadi dari tumbuhan disebut transporasi. Lihat Hendra Wisesa, Serba-serbi
Bum: Ensiklopedi Mini Lengkap dan Detail, (Yogyakarta: Garailmu, 2010),
hlm. 13
[18] Aktivitas keluarnya
magma dari perut bumi. Magma adalah batuan lelehan yang panas yang dihasilkan
dari proses pelelehan sebagian dari kerak dan mantel bumi. Lihat Triton PB, Mengenal
Sains Sejarah Bumi dan Bencana Alam, (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2009),
hlm. 107. Magma ini bersuhu 9.000-14.000
derajat Celcius. Lihat Hendra Wisesa, Op. Cit., hlm. 105
[19] Kekuatan medan
magnet bumi ini 100 kali lebih besar dari Merkurius. Medan magnet ini bertugas
melindungi bumi dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh radiasi sinar
ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Magnetosfer bumi memiliki ekor yang
selalu menjauhi matahari. Lihat Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit.,
hlm. 69
[20] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 40-41
[21] Dyayadi, Alam
Semesta Bertawaf, Keajaiban Sains dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lingkaran,
2008), hlm. 268
[22] Idatul Fitri
dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 66
[23] Hendra Wisesa
, Op. Cit., hlm. 166
[24] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zilalil-Qur’an, di bawah Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk., vol. 9,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 196
[25] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ XXI, Op. Cit., hlm. 192
[26] Ibid.,
hlm. 192
[27] Ibid., hlm.
193
[28] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ XXIV, cet. 2. (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981),
hlm. 231
[29] Ibid., hlm.
232
[30] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;’an, vol.
12, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 382
[31] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 111
[32] Ibid., hlm.
108-111
[33] Ibid., hlm.
107
[34] QS. Al-Dukhan
[44]: 38
[35] QS. Luqman
[31]: 29)
[36] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 53
[37] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, vol.
1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 439
[38] Bisyr bin
Mu’adz al-Aqadi menceritakan kepada Ath-Thabari: Yazid bin Zurai’ menceritakan
kepada kami dari Sa’ad dari Qatadah.
[39] Al-Mutsanna
bin Ibrahim menceritakan kepadaku (Ath-Thabari): katanya Ishak bin Hallaj
menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Abi Ja’far, dari bapaknya dari
Rabi’ bin Anas.
[40] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hlm. 440
[41] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 54
[42] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin Abdul Aziz
Basyarahil, dkk., vol. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 56
[43] Hamka, Tafsir
al-Azhar Juzu’ XXVII, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981), hlm. 342
[44] Ibid., hlm.
342
[45] Ibid.,
hlm. 342
[46] Triton PB, Op.
Cit., hlm. 41
[47] Atmosfer yang
terdapat dalam bumi mempunyai berbagai kegunaan, terutama untuk kelangsungan
hidup berbagai makhluk hidup yang ada di dalamnya. Atmosfer ini mampu
menghancurkan meteor yang mendekati bumi sehinga tidak jatuh dan melukai
makhluk yang hidup di bumi. Selain itu, atmosfer juga berfungsi sebagai
pelindung bumi dari suhu dingin ruang angkasa yang berkisar 270° C di bawah
nol. Lihat Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 67. Ketujuh lapis
atmosfer tersebut yaitu: Troposphere, Stratosphere, Ozonosphere, Mesosphere,
Ionosphere, Exsosphere dan Magnetosphere. Lihat Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 166
[48] Agus Haryo
Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 57
[49] Idatul Fitri
dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 75-76
[50] Lempeng
tektonik adalah satu kepingan dari Sembilan kepingan yang besar dan selusin
kepingan yang lebih kecil. Kepingan yang keras membangun lithosphere bumi
dengan bergerak saling menjauhi, saling mendekati satu sama lain, atau melewati
satu lain. Berdasarkan teori hanyutan benua, semua daratan besar (benua-benua)
yang tampak sekarang ini, pada masa lalu adalah suatu daratan raksasa yang
disebut Pangea. Lihat Triton PB, Op. Cit., hlm. 81
[51] Thomas
T. Arny, Explorations : Stars, Galaxies, and Planets, (McGraw-Hill
Higher Education, 2004), hlm. 370
[52] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk.,
vol. 11, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 323
[53] Mehdi Golshani
adalah Guru Besar Fisika di Universitas Teknologi Syarif, Iran.
[54] Zainal Abidin
Bagir, Pengantar. Dalam Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Saisn:
Tafsir Islami atas Sains, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2004),
hlm. xiv
0 Response to "Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains"
Post a Comment