Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Alam semesta, dalam sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam adalah merupakan ciptaan Allah SWT., dan diurus pula oleh kehendak dan perintah-Nya. Jika Allah sekejap saja tidak memberikan perhatian, maka seluruh alam semesta akan binasa seketika. Alam semesta ini tidak diciptakan dengan sia-sia[1] atau bukan untuk senda-gurau.[2] Sistem yang ada pada alam semseta adalah sistem yang paling baik dan paling sempurna. Sistem ini memanifestasikan keadilan dan kebenaran, dan didasarkan pada serangkaian sebab dan akibat. Di mana setiap akibat merupakan konsekuensi logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan akibat yang khusus. Takdir Allah mewujudkan sesuatu melalui sebab khususnya saja, dan serangkaian sebablah yang merupakan takdir Allah untuk sesuatu.[3]
Seiring berkembangnya waktu dan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan juga sains. Sistem-sistem yang disebutkan di atas sebagai sistem yang terbaik dalam keberaturan alam semesta – termasuk penciptaan alam semesta itu sendiri – mulai dapat dipahami dan diuraikan. Dengan ditemukannya penemuan-penemuan mutakhir tentang alam semesta membuat sebagian orang mulai abai terhadap Kuasa Tuhan dan sebagian lagi menjadi semakin takjub dengan ke-Maha Kuasa- an Dia yang Maha Besar.
Terlepas dari semakin tambah beriman atau ingkarnya seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ditemukannya fakta-fakta sains dalam alam semesta, al-Quran sebagai Kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang lalu ternyata sudah memuat informasi-informasi tentang alam semesta baik itu terkait penciptaannya atau pemeliharaan alam semesta. Memang, dalam al-Qur’an tidak dimuat secara rinci tentang bagaimana alam semesta ini terwujud, kapan dan bagaimana selanjutnya ia berjalan tanpa terjadi benturan antar satu planet dengan planet lainnya atau satu bintang dengan bintang lainnya. Hal itu bukan berarti al-Qur’an memuat informasi yang tidak jelas, melainkan karena memang al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang harus merinci detail demi detailnya penciptaan alam semesta ini.
Planet bumi adalah satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta, dan ia pun tak luput dari al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak sekali disebutkan tentang bumi dan diantaranya terdapat informasi tentang bumi, dan belakangan apa yang terdapat dalam al-Qur’an ini dapat dibuktikan secara sains murni. Karena itu, dalam makalah ini akan dibahas terkait dengan bumi dalam pandangan sains al-Qur’an dan sains murni dengan harapan semoga apa yang ada dalam pembahasan ini dapat semakin menambah keimanan kita terhadap Allah SWT., Tuhan Semesta alam yang Maha Besar dan Maha Kuasa.




Foto Hanya Pemanis belaka.. mohon maaf apabila mengganggu..


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bumi Menurut Sains dan Al-Qur’an
1.      Keistimewaan Bumi
Bumi merupakan satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta. Karenanya, di awal pembahasan ini perlu disinggung terlebih dahulu terkait penciptaan alam semesta. Proses kelahiran alam semesta ternyata telah dimulai sekitar 18 miliar tahun yang lalu, yaitu sebelum terjadinya ledakan kosmis yang sangat dahsyat dari sebuah titik singularitas. Ledakan ini dikenal dengan peristiwa Big Bang[4] yang terjadi pada 13, 7 miliar tahun yang lalu.[5]
Bumi sering disebut sebagai planet kehidupan. Penyebutan ini bukan tanpa sebab, karena faktanya memang di bumilah hidup berbagai makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia.[6] Kondisi seluruh alam semesta cenderung tidak mendukung adanya kehidupan. Jika kita membandingkan bumi dengan yang lainnya maka tak ada yang sebanding dengan bumi dari segi kelayakan adanya kehidupan. Kita hidup dalam lingkungan yang istimewa yang menyediakan segala kebutuhan kita. Di bumi terdapat udara, makanan, kondisi stabil, dan lainnya sehingga bumi ini seperti “Jasad Raksasa” dengan sistem yang menopang makhluk-makhluknya untuk terus bertahan.[7]
Ternyata, fakta bahwa bumi adalah planet yang istimewa dengan segala kelebihannya yang memungkinkan adanya kehidupan telah tersirat dalam firman-Nya:
|·sÜøîr&ur $ygn=øs9 ylt÷zr&ur $yg9ptéÏ ÇËÒÈ   uÚöF{$#ur y÷èt/ y7Ï9ºsŒ !$yg8ymyŠ ÇÌÉÈ   ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ   tA$t7Ågø:$#ur $yg9yör& ÇÌËÈ   $Yè»tGtB ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌÌÈ  
Artinya: “Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Al-Nâzi’ât [79]: 29-33)

Hamka memaknai ayat /ä3ÏJ»yè÷RL{ur /ä3©9 $Yè»tGtB dengan “Bekalan bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu.” Ini menurutnya memberi penegasan bahwa adanya air mengalir dan rumput-rumputan, ditambah dengan jaminan adanya gunung-gunung, tumbuhlah bahan makanan yang dibutuhkan sebagai bekal manusia. Rumputnya untuk binatang ternak, sayurnya dan buah-buahannya untuk makanan manusia yang memelihara binatang itu. Pendeknya asal yang bernyawa, disediakanlah makanan dari bumi yang hidupnya bergantung pada air.[8]
Ayat di atas, sekali lagi menegaskan bahwa kejadian-kejadian seperti gelap, terang, penghamparan bumi, pancaran mata air, kehadiran tumbuh-tumbuhan, penancapan gunung-gunung dengan teguh di planet bumi ini adalah untuk kepentingan manusia agar dapat hidup nyaman dan harmonis di dalam planet bumi yang selalu dinamis.[9] Misalnya saja adalah kehadiran bulan[10] sebagai satelit bumi. Adanya bulan juga tidak lain untuk kenyamanan kehidupan di bumi. Jika bulan tiba-tiba menghilang, maka dapat diprediksikan  manusia (dan makhluk hidup lainnya) di muka bumi akan mengalami kekacauan. Efek pertama yang akan muncul adalah tidak adanya kendali dari bulan. Hal ini menyebabkan keadaan laut menjadi kacau seperti dulu sebelum bulan berbentuk. Gelombang air pasang yang dahsyat akan membanjiri seluruh pantai di muka bumi. New York, London, dan Tokyo akan lenyap seperti Atlantis.[11]
Bersamaan dengan hilangnya bulan, bumi pun akan terlempar keluar dari orbitnya karena didorong oleh energi gerak yang masih tersisa sesaat sebelum bulan menghilang. Akibatnya, orbit bumi terhadap matahari akan berubah, di mana kemiringan poros bumi juga akan berubah sehingga mempengaruhi perubahan musim di muka bumi untuk selamanya. Kita yang berada di belahan bumi tertentu akan mengalami musim dingin yang membeku. Ada pun di belahan bumi lainnya akan mengalami musim panas yang mendidih. Karena bulan hilang, maka cuaca akan terus berlangsung seperti itu.[12] Al-Qur’an telah menyiratkan hal ini sebagai berikut:
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# ßkÏ9qムŸ@ø©9$# Îû Í$yg¨Y9$# ßkÏ9qãƒur u$yg¨Y9$# Îû È@øŠ©9$# t¤yur }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur @@ä. ü̍øgs #n<Î) 9@y_r& wK|¡B žcr&ur ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇËÒÈ  
Artinya: “Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Luqman [31]: 29


Terkait dengan ayat di atas, Al-Qurthubi menjelaskan Dan Dia tundukkan matahari dan bulan adalah menundukkan keduanya dengan terbit dan tenggelam sebagai pengukur waktu dan penyempurna manfaat. Sedangkan “Masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan”, ialah sampai pada Hari Kiamat. Sedangkan Qatadah menyebutkan “sampai waktu terbitnya dan waktu tenggelamnya. Tidak melebihinya dan tidak kurang darinya.[13] Sementara Hamka memaknainya bahwa waktu tersebut adalah waktu yang telah ditentukan bila akan berhentinya itu tidaklah ada seorang pun yang tahu, bahkan malaikat pun tidak tahu, hanya Allah saja yang tahu.[14] Meskipun prediksi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan tentang akhir dari alam semesta ini, termasuk akan saling bertabrakannya planet-planet dan benda langit lainnya, namun pada akhirnya itu hanya sebatas prediksi yang kebenarannya hanya milik Allah SWT. sajalah yang mengetahuinya.
Di akhir ayat disebutkan bahwa “dan sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah sangat teliti” merupakan peringatan terhadap manusia bukan saja dengan teliti Allah menguasai dan menundukkan perjalanan falak sampai sehalus-halusnya, sampai kepada menit dan detik perjalanan matahari, bulan dan bintang-bintang, bahkan perbuatan kita manusia sendiri pun dilihat dan diperhatikan oleh Allah dengan teliti sekali. Karena memang teliti adalaha salah satu sifat dan nama Allah.[15]
Demikian satu dari sekian banyak fakta ilmiah yang akhir-akhir baru ditemukan yang sebenarnya telah terungkap dalam al-Qur’an yang telah diturunkan ke bumi pada 14 abad yang lalu. Selain fakta tentang bulan, masih banyak lagi faktor-faktor lainnya yang menjadikan bumi pantas dan layak untuk dihuni oleh manusia dan juga makhluk hidup lainnya. Diantaranya adalah keseimbangan gravitasi bumi yang jika lebih kuat, atmosfer akan menahan terlalu banyak amonia dan metana, jika terlalu lemah atmosfer planet akan terlalu banyak kehilangan air;[16] jarak dengan matahari, jika terlalu dekat planet akan terlalu panas bagi siklus air[17] yang stabil dan jika terlalu jauh planet akan terlalu dingin untuk siklus air yang stabil; ketebalan kerak bumi, jika terlalu tebal akan banyak oksigen yang berpindah dari atmosfer ke kerak bumi, dan jika terlalu tipis aktivitas tektonik dan vulkanik[18] akan terlalu besar; periode rotasi, jika lebih lama perbedaan suhu pada siang dan malam hari terlalu besar, dan jika lebih cepat kecepatan angina pada atmosfet terlalu tinggi; medan magnet,[19] jika lebih kuat bagai elektromagnetik terlalu merusan, dan apabila terlalu lemah, perlindungan dari radiasi bintang yang membahayakan akan berkurang;[20] dan banyak lagi keseimbangan-keseimbangan yang menjadikan bumi layak untuk dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.

2.      Penciptaan Bumi
a.      Masa Penciptaan Bumi
Penemu teori astronomi kontemporer berpendapat bahwa bumi termasuk benda langit (jism samawi), artinya bumi merupakan subordinat matahari, atau termasuk satelit matahari yang mengelilingi matahari dengan jarak yang berlainan dengan planet lainnya. Hal ini kemudian mereka sebut dengan istilah “tata surya”.[21]
Dalam sistem tata surya, bumi adalah termasuk planet ketiga, dan meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, usia bumi diperkirakan 4,6 miliar tahun. Berjarak sekitar 150 juta km dari matahari dan memiliki massa sekitar 5,9736 x 1024 Kg.[22] Planet berbentuk bulat ini memiliki radius ± 6.370 km.[23]
Terkait dengan bumi ini, di dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan tahap atau masa penciptaan langit dan bumi.
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& ¢OèO 3uqtGó$# n?tã ĸöyèø9$# ( $tB Nä3s9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB <cÍ<ur Ÿwur ?ìÏÿx© 4 Ÿxsùr& tbr㍩.xtFs? ÇÍÈ  
Artinya: “Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy.  tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.  Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS. Al-Sajadah [32]: 4)

ö@è% öNä3§Yάr& tbrãàÿõ3tGs9 Ï%©!$$Î/ t,n=y{ uÚöF{$# Îû Èû÷ütBöqtƒ tbqè=yèøgrBur ÿ¼ã&s! #YŠ#yRr& 4 y7Ï9ºsŒ >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÒÈ  
Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam’”. (QS. Fushshilat [41]: 9)

Tafsir dari enam masa (sebagian menafsirinya dengan hari) pada ayat pertama di atas mengalami beberapa dinamika. Sayyid Quthb lebih memberi penegasan bahwa enam hari yang dimaksud dalam al-Qur’an tersebut adalah masih dalam perkara gaib yang tidak mungkin diketahui secara pasti. [24] Meskipun demikian bukan berarti tidak ada upaya dalam menafsiri ayat tersebut.
Sebelum berkembangnya pengetahuan seperti saat ini, ada yang menafsiri bahwa hari tersebut adalah layaknya hari yang kita alami. Salah satu argumen yang diajukan dalam tafsiran ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasâiy, diterima dari Abi Hurairah dengan sanadnya: “Bahwa Allah menciptakan semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya dalam masa enam hari dan di hari ketujuh Tuhan bersemayam ke atas ‘Arsy. Tanah diciptakan hari Sabtu, gunung-gunung hari Ahad, pohon-pohon kayu hari Senin, barang-narang yang buruk hari Selasa, Nur (cahaya) pada hari Rabu, bintang-bintang pada hari kamis, dan Adam diciptakan pada hari Jum’at sesudah waktu Asar, dan Adam itu dijadikan dari kulit bumi, ada tanah merah da nada tanah hitam, ada tanah bagus dan  ada tanah busuk. Lantaran itu maka terjadi anak-anak Adam ada yang baik da nada yang buruk.” Namun, hadits ini dikritik oleh Imam al-Bukhariy dalam “at-Tarikh al-Kabîr”.[25]
Setelah ilmu pengetahuan mulai berkembang, penafsiran yang menyatakan bahwa hari yang dimaksud dalam penciptaan langit dan bumi adalah sama halnya dengan hari di bumi tidak dipakai lagi oleh para penafsir yang datang belakangan. Orang sudah dapat memahamkan bahwa enam hari tersebut hanyalah menurut ilmu Allah.[26] Terkait dengan ini, Hamka mengomentari sebagai berikut:
“Apakah yang sehari itu 1000 tahun? Sebagai yang akan disebutkan pada ayat ke 5 sesudah ini? Ataukah sehari itu 50.000 tahun sebagai tersebut pada ayat ke-70, Al-Ma’ârij? Atau lebih dari itu? Benar-benar Tuhanlah yang tahu. Maka lebih baiklah kita terima bunyi ayat dengan langsung tidak memakai “kaifa” (betapa), karena masih banyak rahasia alam ini akan tetap tertutup bagi manusia.”[27]

Setidaknya, terdapat dua pesan yang terkandung dalam pernyataan Hamka tersebut. Pertama, bahwa kita sebagai manusia tidaklah mempunyai wewenang untuk memutlakkan penafsiran kita akan firman-Nya, karena keterbatasan yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang tak akan mungkin mampu membatasi Dia dan juga firman-Nya yang tak terbatas. Kedua, meskipun terbatas bukan berarti kita hanya diam saja meyakini apa yang disebutkan dalam al-Qur’an tanpa berusaha mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung di dalam al-Qur’an.
Kemudian dalam ayat lainnya, penciptaan bumi diperinci lagi dalam 2 hari (QS. Fushshilat [41]: 9). Hamka lebih memaknai ayat ini lebih menekankan betapa kuasanya Allah yang telah menciptakan bumi dalam dua hari saja dan menegaskan bahwa tak sepatutnya mengadakan sekutu bagi Allah yang dalam penciptaan bumi ini hanya dua hari saja.[28]
Kemudian Hamka melanjutkan tafsirannya atas ayat selanjutnya dari Surat yang sama (QS. Fushshilat [41]: 10). Bahwa “Dan Dia menjadikan padanya gunung-gunung pengokoh di atasnya” mempunyai maksud bahwa di bumi ini juga diciptakan gunung-gunung yang tinggi. Gunung ini sebagai penghambat angin dan laksana katalisator pembagi strom listrik agar jangan langsung saja, serta sebagai penampung hujan supaya dia mengalir dengan teratur dari puncak gunung itu membelah bumi tempat air lalu menjadi sungai. Artinya membuat bumi ini bisa didiami dan tempat tinggal tetap bagi manusia, dengan menentukan kadarnya, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Mukminun [40]: 64. Maka, bumi ini bukanlah semata-mata dijadikan saja, namun oleh Allah bumi ini dipersiapkan sedemikian rupa untuk manusia yang dijadikan khalifah-Nya. Dipersiapkan pula di dalamnya kadar makananuntukm manusia dan untuk semua makhluk bernyawa yang hidup di permukaan bumi. Semuanya sudah ditaksirkan dan kita artikan sudah dikadarkan. Kemudian maksud dari “Di dalam empat hari” ialah bahwa jumlah masa menciptakan bumi adalah dua hari dan ditambah dengan persiapan penampungan segala makhluk yang bernyawa tadi disediakan dua hari pula, jadi berjumlah dalam masa empat hari.[29]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata yaum/hari dalam penggunaan bahasa Arab tidak selalu harus dipahami dalam pengertian 24 jam. Ia bahkan digunakan untuk menunjukkan satuan waktu bagi selesainya kegiatan, baik pendek maupun panjang.[30] Karenanya, kata yaum dalam dua ayat di atas bisa bermakna lebih dari 24 jam ukuran hari di bumi atau mungkin kurang. Terkait dengan penciptaan bumi ini, sebagian kemudian ada yang memaknai hari dalam penciptaan bumi dan juga alam semesta sebagai suatu masa. Seperti yang digunakan oleh Agus Haryo yang mengartikan yaum dengan pemaknaan masa dan bukannya hari.[31]
Baik itu dua hari atau dua masa, kedua pemaknaan itu tidak ada yang salah karena keduanya memiliki dasar yang dipakai. Adapun pemkanaan dua masa ini memiliki kaitan dengan fakta sains yang ditemukan terkait dengan penciptaan bumi. Agus Haryo memaparkan fakta sains tersebut sebagai berikut.
“Semua proses pembentukan bumi tersebut telah dimulai sejak 4,5 miliar tahun yang lalu.
Pada masa 3,5 miliar tahun lalu planet bumi masih dipenuhi lautan dan masih dihujani meteor. Pulau-pulau vulkanis baru terbentuk disertai aktivitas-aktivitas vulkanis yang terus terjadi terus-menerus memenuhi permukaan bumi dan benua-benua masih sangat kecil. Udara sangat panas dan tidak mengandung oksigen.
Kurang lebih sejak 3,5 miliar tahun lalu planet bumi mulai mengalami pendinginan. Bumi harus ‘bersendawa’ untuk mengeluarkan gas CO2 agar bisa bereaksi dengan unsur-unsur kimia lainnya, seperti H2O, O2, S, CO2, N2, Ne, He, CH4, Kr dan Ar. Tujuan aktivitas tersebut adalah untuk mengurangi tekanan yang meningkat dalam interior planet bumi.
Setelah bersendawa terus menerus melalui lubang magma di muka bumi, gunung-gunung berapi muncul satu per satu dan aktif bersamaan. Pada saat itulah bumi mengeluarkan gas-gas dari dalam perutnya.
Semua aktivitas sendawa tersebut ternyata demi menciptakan sebuah tekanan 1,37 juta atmosfer dalam inti bumi dan mempertahankan temperaturnya setinggi 3700 derajat celcius. Kondisi tersebut sangat dibutuhkan agar planet ini daoat mendukung kehadiran sebuah kehidupan dengan harmonis.
Reaksi gas-gas yang dikeluarkan oleh aktivitas gunung berapi selama kurang lebih puluhan hingga ratusan juta tahun, menjadi sebuah reaksi berantai biokimia dan biofisika pada planet bumi ini.
Inilah yang dimaksud dengan masa kedua oleh Allah SWT. dalam penciptaan bumi, yaitu masa ketika embrio kehidupan terwujud. Pada masa ini reaksi berantai gas-gas yang dimuntahkan oleh gunung-gunung api menyediakan bahan makanan bagi sebuah lingkungan embrio kehidupan.[32]
Itulah paparan dari penemuan sains tentang penciptaan bumi yang terbagi ke dalam dua fase atau masa. Masa pertama, yaitu terbentuknya bumi secara fisik. Masa kedua, yaitu masa di mana bumi mengalami aktivitas-aktivitas berantai yangmana pada akhirnya ini menjadikan bumi layak untuk dijadikan tempat adanya kehidupan. Atau menurut Agus Haryo dimaknai dengan masa sebelum ada kehidupan dan setelah adanya kehidupan.[33]
Jika demikian, pertanyaan yang mucul adalah siapa yang ada di balik penyiapan bumi untuk tempat tinggal para makhluk hidup ini? Tentu tidak ada jawaban yang tidak bisa dibantah kecuali bahwa semua yang terjadi itu adalah di bawah Kuasa dan kehendak Allah SWT., dan ini juga terdapat pada firman-firman-Nya, bahwa penciptaan langit dan bumi bukanlah main-main.[34] Karena ia diciptakan dengan sangat teliti[35] dan sempurna oleh-Nya yang Maha Teliti dan Maha Sempurna.
Tidak kalah menakjubkannya dengan fakta sains tentang bumi yang sudah dipaparkan di atas. Ternyata perkiraan umur bumi menurut sains tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diinformasikan oleh al-Qur’an. Berikut penjelasannya:
“Allah SWT. menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (QS. Al-Sajadah [32]: 04, serta menciptakan bumi dalam dua masa (QS. Fushshilat [41: 09. Berdasarkan umur meteorit tertua yang ditemukan di bumi, para ahli geologi menyatakan bahwa umur bumi adalah 4,56 X 109 tahun.
Perbandingan umur bumi dan langitadalah 2 : 6 = 1 : 3. Umur langit dapat kita cari dari perhitungan 4,56 X 109 X 3 = 13,68 X 109 tahun atau 4,56 X 109 : 2 = 2,28 X 109 tahun.
Terbukti:
Versi sains mengatakan bahwa umur alam semesta sejak peristiwa Big Bang adalah 13,7 X 109 tahun.
Terdapat selisih sekitar 20 juta tahun antara penghitungan versi sains al-Qur’an dan sains murni (Big Bang Theory). Namun, perbedaan ini dapat ditolerensi dalam penghitungan kosmologi.

b.      Penghamparan Bumi
Al-Qur’an menyebut kata “hampar” untuk konteks bumi sebanyak 10 kali, yaitu dalam QS. Al-Baqarah ayat 22, QS.Al-Hijr ayat 19, QH. Thâ Hâ ayat 53, QS. Qâf ayat 7, QS. Al-Dzâriyât ayat 48, Nûh ayat 19, Al-Naba’ ayat 6, Al-Nâzi’ât ayat 30, Al-Ghâsyiyah ayat 20 dan Al-Syams ayat 6.tentunya, penyebutan kata “hampar” berulang-ulang merupakan ungkapan untuk manusia yang berakal.[36]
Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)

Terkait dengan ayat di atas, al-Thabari mengutip beberapa pendapat/tafsiran dari apa yang dimaksud dengan “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan”, diantaranya ialah Musa bin Harun al-Hamdani yang menceritakan kepadanya (al-Thabari): Amru bin Hamad menceritakan kepada kami, katanya: Asbath menceritakan kepada kami dari as-Suddi tentang berita yang disebutkannya dari Malik, dan dari Abu Shalih ibnu Abbas, dan dari Murrah al-Hamdani, dari Mas’ud dan dari sejumlah sahabat Rasulullah SAW.: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan” yaitu hamparan sebagai tempat jalan kaki dan tempat tinggal.[37] Keterangan ini juga sesuai dengan riwayat Bisyr bin Mu’adz al-Aqadi[38] yang memaknai hamparan sebagai tempat tinggal, dan dari riwayat al-Mutsanna bin Ibrahim[39] yang mengartikannya dengan tempat tinggal.[40]
Meskipun ayat di atas telah mendapatkan penjelasan dari Rasulullah bukan berarti sudah tidak tidak ada kemungkinan baginya untuk dicari makna yang lebih dari itu. Belakangan, Geologi telah membuktikan bahwa memang kita hidup di atas lembaran atau lempengan benua (lithosphere/crust) yang telah mendingin dan ter-hampar. Bentuk lempengan ini bagaikan hamparan karpet yang bergerak-gerak di atas cairan bubur padat panas (upper/shalle mantle) yang temperatur intinya kurang lebih 3700° C dengan tekanannya mencapai 1,37 juta Atm.[41]
Kemudian dari dua informasi di atas, yakni dari Hadits nabi dan juga penemuan Geologi dapat didapatkan satu titik temu. Bahwa bumi ini dihamparkan ialah untuk tempat tinggal makhluk hidup, di mana hamparan ini berupa lempengan yang telah membeku dari yang awalnya adalah meleleh. Tentunya tidak akan ada kehidupan di atas bumi jika tidak ada proses pendinginan lempengan tersebut. Lebih dari itu, penghamparan bumi ini oleh Sayyid Quthb dimaknai sebagai pemberian aneka warna kemudahan dalam kehidupan manusia di muka bumi, dan menunjukkan bahwa bumi ini memang disediakan bagi mereka untuk menjadi tempat tinggal yang menyenangkan dan tempat berlindung yang melindungi bagaikan hamparan.[42]
c.       Tujuh Lapis Bumi
Beberapa hal tentang bumi ternyata telah termuat dalam al-Qur’an yang diturunkan 14 abad yang lalu, dan yang menakjubkan adalah informasi yang termuat dalam al-Qur’an ini sesuai dengan temuan-temuan sains mutakhir. Maka patutkah kemudian kita mengingkari Dia yang Maha Benar ini? Bukti kebenaran yang selanjutnya adalah terkait dengan unsur bumi yang terdiri dari tujuh lapis. Berikut informasi yang termuat dalam al-Qur’an:
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿxœ z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGtƒ âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ  
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Thalaq [65]: 12)
Hamka di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Fakhruz Razi menyalinkan dari sesoeorang sebuah tafsir tentang tujuh lapis langit tersebut yang dalam tafsiran tersebut dikomentarinya sebagai tafsiran yang tidak bisa diterima oleh akal. Karena dalam tafsir dongeng itu dikatakan bahwa langit pertama adalah gelombang awan menutup penglihatan. Langit kelima perak, langit keenam perak, dan langit ketujuh adalah intan. Di mana jarak antara satu langit dengan langit lainnya adalah 500 tahun perjalanan dengan tebal masing-masing langit 500 tahun perjalanan.[43]
Kemudian terkait dengan bumi yang disebutkan dalam ayat tersebut juga terdiri dari tujuh lapis. Terdapat beberapa riwayat tafsir, di mana riwayat itu hanya sekedar pengetahuan yang ada saat itu, diantaranya ada yang mengatakan memang bumi itu tujuh banyaknya dan tiap-tiap bumi ada Nabinya sendiri. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bumi hanya satu, tetapi terbagi menjadi tujuh lapisan: Dasarnya terbagi tiga, pertama inti bumi, yang kedua atau di tengah tanah semata, ketiga tanah terbuka yangmana pada bagian inilah hidup segala kehidupan.[44]
Akan tetapi, Hamka kemudian mengingatkan bahwa tafsiran yang ada itu tidaklah sesuatu yang mutlak. Bertambah usaha dan ikhtiar manusia menyelidiki alam ini, dengan berbagai kemajuan alat-alat penyelidik disertai dengan ketekunan, maka akan terungkap betapa besar dan luasnya malakûtis samâwâti wal-ardhi (Kerajaan yang meliputi langit dan bumi).[45]
Seperti yang telah disampaikan di awal-awal bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang memuat detail teori-teori di dalamnya. Meskipun demikian, bukan berarti ia (al-Qur’an) sama sekali terlepas dari hal-hal terkait ilmu pengetahuan dan sains. Apa yang dikemukakan Hamka adalah upaya menyadarkan betapa luasnya kandungan al-Qur’an jika ia didekati dengan berbagai sudut pandang.
Fakta sains menyebutkan bahwa ternyata bumi yang kita tempati ini berlapis-lapis mulai dari kerak bumi terluar sampai intinya yang padat.[46] Dan belakangan juga ditemukan fakta bahwa bumi terdiri dari tujuh lapisan, di mana setiap lapisnya memiliki karakteristik dan tugas masing-masing. Demikian pula dengan dengan langit yang memiliki tujuh lapis atmosfer.[47] Ketujuh lapis bumi tersebut ialah: Lithosphere/crust (0-60 km), Upper/shallow mantle/astenosfer (60-400 km), Transition Region (400-650 km), Lower mantle (650-2700 km), Discontinuity (gutenburg) (2700-2890 km), Outer core (2890-5150 km) dan Inner core (5150-6378 km).[48]
Namun, sebelum sampai kepada kesimpulan tujuh lapis bumi, perlu diketahui bahwa secara garis besar, struktur bumi dibagi menjadi tiga:[49]
1)      Kerak bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar dari bumi yang bersebelahan dengan mantel bumi yang memiliki ketebalan 85 km. kerak bumi ini dapat bergerak pada pergerakan tektonik lempeng.[50] Inilah yang menyebabkan gempa bumi yang disebabkan adanya pergeseran lempeng ini. Kerak bumi memiliki beberapa unsur kimia diantaranya: Oxygen (O2) 45,5%; Silicon (Si) 27,2%; Aluminium (Al) 8,3%; Iron (Fe) 6,2%; Calcium (Ca) 4,66%; Magnesium (Mg) 2,76%; Sodium (Na) 2,27%; Potassium (K) 1,84%; Titanium (Ti) 0,63%; dan lain-lain 1 %.[51] .
2)      Mantel bumi
Mantel bumi terletak di antara kerak dan inti bumi yang tersusun atas batuan-batuan yang mengandung magnesium dan silicon. Suhu yang terdapat pada mantel bumi bagian atas sekitar 1.300° C-1.500° C dan suhu pada bagian dalam matel sekitar 1.500° C-3.000° C.
3)      Inti bumi
Berdasarkan sifat material pembentukannya, inti bumi terdiri dari lapisan litosfer, astenosfer, mesosfer, inti bumi bagian luar (outer core) dan inti bumi bagian dalam (inner core). Inti bumi bagian luar melindungi inti bumi bagian dalam. Susunan inti bumi bagian luar adalah nikel cair dengan suhu 3.900° C. Adapun inti bumi bagian dalam tersusun atas besi dan nikel yang pada dengan suhu mencapai 4.800° C.
Demikianlah fakta sains menyebutkan bahwa struktur bumi terdiri dari tiga bagian, yang dari ketiga bagian itu dapat diperoleh kesimpulan bahwa bumi ini terdiri dari tujuh lapis. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT. dalam al-Qur’an (QS. Al-Thalaq [65]: 12).
Mengakhiri pembahasan ini, menarik untuk merenungkan apa yang dikatak oleh Sayyid Quthb, bahwa tujuh lapis langit dan juga bumi merupakan sesuatu yang belum kita ketahui tentang hakikatnya. Ia menegaskan bahwa apapun maknanya, tidak dibutuhkan dan diperlukan pencocokan teks-teks ayat ini dan mengujinya dengan ilmu-ilmu yang telah kita temukan. Karena ilmu kita sangat terbatas dan tidak meliputi seluruh seluruh alam semesta sehingga kita berasumsi dengan meyakinkan bahwa teori ilmiah itulah yang dikehendaki oleh teks-teks Al-Qur’an.[52] Meskipun kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia adalah hal yang perlu bahkan penting, namun bukan berarti kita lantas menerima begitu saja apa yang tersurat dalam ayat-ayat al-Qur’an tanpa ada usaha untuk mengungkap kandungan yang tersirat di dalamnya. Sayyid Quthb mengingatkan bahwa seiring dengan perkembangan ilmu, kita setidaknya dapat menggunakan ilmu-ilmu lain dalam memahami dan mencari kandungan-kandungan terdalam dalam ayat-ayat al-Qur’an. Seperti halnya dalam penciptaan bumi, dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah belakangan ini tentang struktur bumi yang terdiri dari tujuh lapis ini merupakan tafsiran empirik dari apa yang telah dinyatakan dalam QS al-Thalaq [31]: 12. Dan dari tafsiran empirik ini kita bisa menyatakan bahwa maksud dari ayat ini dan itu adalah seperti ini, seperti temuan ilmiah. Wallâhu A’lamu Bish-Shawâb.


B.     Refleksi Penciptaan Bumi dalam Sains dan Al-Qur’an
Menarik memperhatikan penilaian Zainal Abidin Bagir tentang pandangan Golshani[53] terkait tentang al-Qur’an. Di mana al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber ilmu. Golshani tidak menganggap ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber langsung teori-teori ilmiah, yang dapat digunakan untuk mendukung atau mengkritik teori ilmiah secara langsung. Sebagai sumber ilmu, al-Qur’an berada pada level filosofis/metafisis, bukan pada level teori-teori sain. Al-Qur’an bisa memberikan prinsip-prinsip umum dalam pengkajian ilmiah (misalnya, tentang keteraturan alam; hukum sebab-akibat). Atau ketika menyebutkan fenomena-fenomena alam, ia memberikan motivasi kuat bagi pembacanya untuk mengamati dan memahami alam, tanpa berbicara cukup terperinci atau bahkan “teknis” mengenai fenomena-fenomena tersebut. Karena pembacaan yang terlalu teknis justru akan mengaburkan pesan-pesan al-Qur’an.[54]
Jika kita perhatikan, dari ayat-ayat penciptaan bumi seperti yang telah di bahas di atas. Ditemukan bahwa tafsiran dari satu ayat, dapat berbeda dari masa ke masa. Kembali mengulang apa yang dinyatakan oleh Hamka, bahwa seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka akan semakin nyata akan kekuasaan Allah SWT. Semisal pada istilah penghamparan bumi, sebelum berkembangnya ilmu pengetahun dengan berbagai alat (dalam istilah Hamka) penyelidiknya diambil kesimpulan bahwa bumi ini datar, karena ia terhampar. Namun setelah ditemukan ilmu astronomi, barulah terungkap bahwa bumi ini bukannya datar namu ia berbentuk elips. Sekilas kemudian nampak adanya ketidakcocokan antara apa yang terkandung dalam al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Namun pada akhirnya, dengan berbagai penelitian-penelitian diperoleh kesimpulan bahwa memang bumi ini yang meskipun berbentuk elips, ternyata kehidupan yang ada di bumi adalah berdiri di atas lempengan yang teribaratkan seperti karpet yang menghampar.
Inilah kenapa disebutkan bahwa al-Qur’an adalah sumber ilmu yang di dalamnya memuat teori-teori umum. Sehingga, al-Qur’an senantiasa relevan dari masa ke masa. Ia bukan sesuatu yang terlalu canggih, juga tidak terlalu kuno. Bisa kita bayangkan jika ternyata al-Qur’an memuat informasi tentang penciptaan bumi seperti apa yang ditemukan oleh sains saat ini, dengan berbagai macam kompleksitasnya kepada masyarakat yang hidup pada abad ketujuh Masehi, di mana ilmu pengetahuan dan sains belum berkembang begitu pesat. Tentu ia (al-Qur’an) akan semakin sulit diterima.
Dinamika tafsir al-Qur’an (khususnya ayat-ayat tentang semesta) tidak berhenti pada penemuan ilmiah saat ini saja. Ke depan, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, al-Qur’an akan tetap terbuka lebar untuk dicari kandungan-kandungan terdalamnya. Ia senantiasa mampu berkomunikasi dengan berbagai zaman. Karenanya, tidak seharusnya kita menyatakan apa yang nampak saat ini sebagai titik akhir dari apa yang ungkapkan al-Qur’an, karena itu sama halnya dengan membatasi al-Qur’an. Padahal al-Qur’an ini tidak lain adalah firman-Nya yang Maha Tak Terbatas.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bumi merupakan satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta yang sering disebut sebagai planet kehidupan. Penyebutan ini bukan tanpa sebab, karena faktanya memang di bumilah hidup berbagai makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia. Dalam sistem tata surya, bumi adalah termasuk planet ketiga, dan meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, usia bumi diperkirakan 4,6 miliar tahun.
Bumi, sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya ternyata tidak luput dari al-Qur’an yang diturunkan ke bumi turun pada kurun 14 abad yang lalu. Semisal, dalam penciptaan bumi, kemudian pemeliharaan bumi dan bahkan sampai pada struktur susunan bumi – begitu pun dengan langit – ada dalam al-Qur’an. Meskipun memang tidak memuat secara terperinci, namun tidak dapat dibantah bahwa informasi yang ada dalam al-Qur’an – seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains – telah terbukti secara ilmiah. Semisal dalam hal umur bumi, dari apa yang dinyatakan oleh sains bahwa bumi berumur sekitar 4,56 X 109 tahun dengan apa yang terkandung dalam QS. Fushshilat [41]: 09 dan QS. Al-Sajadah [32]: 04 ditemukan selisih yang tidak terlalu jauh. Kemudian dari dua ayat tersebut juga diperoleh kesimpulan bahwa masa penciptaan bumi versi al-Qur’an sama dengan apa yang dikemukakan oleh sains, yaitu terdiri dari dua masa: pertama, yaitu penciptaan bumi sebelum adanya kehidupan dan masa kedua yaitu penciptaan bumi setelah adanya kehidupan.
Fakta selanjutnya tentang bumi adalah terkait dengan struktur susunan bumi. Dalam al-Qur’an (QS. Al-Thalaq [65]: 12) disebutkan bahwa Allah menciptakan bumi ini – layaknya langit – berlapis tujuh. Belakangan, penemuan ilmiah juga menyatakan bahwa struktur susuna bumi terbagi ke dalam tiga bagian; kerak bumi, mantel, dan inti bumi. Tiga bagian ini terdiri dari tujuh lapisan, di mana tiap lapisnya memiliki karakter dan tugasnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. 2007. Tafsir Ath-Thabari. Terj. Ahsan Askan. Vol. 1. Jakarta: Pustaka Azzam
Agus Haryo Sudarmojo. 2009. Menyingkap  Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an. Cet. 3. Bandung: Mizania
Dyayadi. 2008. Alam Semesta Bertawaf, Keajaiban Sains dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lingkaran
Hamka. 1979. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXI. Surabaya: Yayasan Latimojong
______. 1981. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIV. Cet. 2. Surabaya: Yayasan Latimojong
______. 1981. Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII. Surabaya: Yayasan Latimojong
______. 1979. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXX. Cet. 2. Surabaya: Bina Ilmu Offset
Hendra Wisesa. 2010. Serba-serbi Bum: Ensiklopedi Mini Lengkap dan Detail. Yogyakarta: Garailmu
Idatul Fitri dan Cori Sunna. 2011. Buku Pintar Tata Surya. Yogyakarta: Harmoni
Jenal Wisoyo. 2008. Awal Mula Alam Semesta. Jakarta: Buku Kita
Murtadha Muthahhari. 2002. Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera Basritama
Nataresmi Abd. Hanan. 2009. Perjalanan Kosmos Memahami Alam Semesta. Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
Retno Susilowati dan Dwi Suheryanto. 2006. Setetes Air Sejuta Kehidupan. Malang: UIN-Malang Press
Sayyid Quthb. 2000. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin Abdul Aziz Basyarahil, dkk. Vol. 1. Jakarta: Gema Insani Press
___________. 2004. Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, di bawah Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin, dkk. Vol. 9. Jakarta: Gema Insani Press
___________. 2004. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As’ad Yasin, dkk. Vol. 11. Jakarta: Gema Insani Press
Syaikh Imam Al-Qurthubi. 2009. Tafsir Al-Qurthubi.  Terj. Fathurrahman Abdul Hamid, et.al. Jakarta: Pustaka Azzam
Thomas T. Arny. 2004. Explorations : Stars, Galaxies, and Planets. McGraw-Hill Higher Education
Triton PB. 2009. Mengenal Sains Sejarah Bumi dan Bencana Alam. Yogyakarta: Tugu Publisher
Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;’an. Vol. 12. Jakarta: Lentera Hati
Zainal Abidin Bagir, Pengantar. (xi-xxiii). Dalam Mehdi Golshani. 2004. Melacak Jejak Tuhan dalam Saisn: Tafsir Islami atas Sains, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2004


[1] QS. Ali Imran [3]: 190-191
[2] QS. Al-Dukhan [44]: 38, yang artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.”
[3] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 58
[4] Teori ini dikenalkan oleh Lemaître pada tahun 1930. Penggambaran terciptanya alam semesta ini ibarat telur kosmis yang meledak menjadi kembang api. Lihat Nataresmi Abd. Hanan, Perjalanan Kosmos Memahami Alam Semesta, (Surabaya: Selasar Surabaya Publishing, 2009), hlm. 68
[5] Agus Haryo Sudarmojo, Menyingkap  Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an, cet. 3, (Bandung: Mizania, 2009), hlm. 8
[6] Idatul Fitri dan Cori Sunna, Buku Pintar Tata Surya, (Yogyakarta: Harmoni, 2011), hlm. 66
[7] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 34
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXX, cet. 2, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1979), hlm. 34
[9] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 44
[10] Bulan bergerak mengelilingi bumi menurut garis orbitnya berbentuk elips dengan jarak rata-rata dari bumi 390.000 km, pada titik apogee atau titik terjauh dari bumi 400.000 km, dan pada titik perigee atau titik terdekat dengan bumi 352 km. Lihat Jenal Wisoyo, Awal Mula AlamSemesta, (Jakarta: Buku Kita, 2008), hlm. 23. Jarak bulan dengan bumi ini makin menjauh dari pertama kali bulan terbentuk. Pada awalnya bulan hanya berjarak 23.000 km dari bumi. Diperkirakan pada 15 miliar tahun lagi bulan akan menghilang dan bisa saja lebih cepat jika bulan ditabrak oleh asteroid. Lihat Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 60-61
[11] Ibid., hlm. 61
[12] Ibid., hlm. 62
[13] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj. Fathurrahman Abdul Hamid, et.al., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 187-186
[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXI, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), hlm. 179
[15] Ibid., hlm. 180
[16] Kandungan air di bumi sangat meilmpah, volume seluruhnya mencapai 1.400.000.000 km3. Kurang lebih 97% merupakan air laut (air asin) yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung dalam kehidupan manusia. Dari 3% sisanya, 2% berupa gunung-gunung es di kedua kutub bumi dan selebihnya 0,75% merupakan air tawar yang mendukung kehidupan makhluk hidup di darat, terdapat di danau, sungai dan di dalam tanah. Lihat Retno Susilowati dan Dwi Suheryanto, Setetes Air Sejuta Kehidupan, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hlm. 18
[17] Sikluas air terjadi akibat pengaruh sinar matahari. Matahari memancarkan seluruh energi panasnya ke permukaan bumi, kemudian terjadilah penguapan air dari sungai, danau, rawa dan laut yang disebut evaporasi. Sedangkan penguapan yang terjadi dari tumbuhan disebut transporasi. Lihat Hendra Wisesa, Serba-serbi Bum: Ensiklopedi Mini Lengkap dan Detail, (Yogyakarta: Garailmu, 2010), hlm. 13
[18] Aktivitas keluarnya magma dari perut bumi. Magma adalah batuan lelehan yang panas yang dihasilkan dari proses pelelehan sebagian dari kerak dan mantel bumi. Lihat Triton PB, Mengenal Sains Sejarah Bumi dan Bencana Alam, (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2009), hlm. 107.  Magma ini bersuhu 9.000-14.000 derajat Celcius. Lihat Hendra Wisesa, Op. Cit., hlm. 105
[19] Kekuatan medan magnet bumi ini 100 kali lebih besar dari Merkurius. Medan magnet ini bertugas melindungi bumi dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Magnetosfer bumi memiliki ekor yang selalu menjauhi matahari. Lihat Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 69
[20] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 40-41
[21] Dyayadi, Alam Semesta Bertawaf, Keajaiban Sains dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lingkaran, 2008), hlm. 268
[22] Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 66
[23] Hendra Wisesa , Op. Cit., hlm. 166
[24] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, di bawah Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk., vol. 9, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 196
[25] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXI, Op. Cit., hlm. 192
[26] Ibid., hlm. 192
[27] Ibid., hlm. 193
[28] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIV, cet. 2. (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981), hlm. 231
[29] Ibid., hlm. 232
[30] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;’an, vol. 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 382
[31] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 111
[32] Ibid., hlm. 108-111
[33] Ibid., hlm. 107
[34] QS. Al-Dukhan [44]: 38
[35] QS. Luqman [31]: 29)
[36] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 53
[37] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Ahsan Askan, vol. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 439
[38] Bisyr bin Mu’adz al-Aqadi menceritakan kepada Ath-Thabari: Yazid bin Zurai’ menceritakan kepada kami dari Sa’ad dari Qatadah.
[39] Al-Mutsanna bin Ibrahim menceritakan kepadaku (Ath-Thabari): katanya Ishak bin Hallaj menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Abi Ja’far, dari bapaknya dari Rabi’ bin Anas.
[40] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., hlm. 440
[41] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 54
[42] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin Abdul Aziz Basyarahil, dkk., vol. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 56
[43] Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XXVII, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981), hlm. 342
[44] Ibid., hlm. 342
[45] Ibid., hlm. 342
[46] Triton PB, Op. Cit., hlm. 41
[47] Atmosfer yang terdapat dalam bumi mempunyai berbagai kegunaan, terutama untuk kelangsungan hidup berbagai makhluk hidup yang ada di dalamnya. Atmosfer ini mampu menghancurkan meteor yang mendekati bumi sehinga tidak jatuh dan melukai makhluk yang hidup di bumi. Selain itu, atmosfer juga berfungsi sebagai pelindung bumi dari suhu dingin ruang angkasa yang berkisar 270° C di bawah nol. Lihat Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 67. Ketujuh lapis atmosfer tersebut yaitu: Troposphere, Stratosphere, Ozonosphere, Mesosphere, Ionosphere, Exsosphere dan Magnetosphere. Lihat Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 166
[48] Agus Haryo Sudarmojo, Op. Cit., hlm. 57
[49] Idatul Fitri dan Cori Sunna, Op. Cit., hlm. 75-76
[50] Lempeng tektonik adalah satu kepingan dari Sembilan kepingan yang besar dan selusin kepingan yang lebih kecil. Kepingan yang keras membangun lithosphere bumi dengan bergerak saling menjauhi, saling mendekati satu sama lain, atau melewati satu lain. Berdasarkan teori hanyutan benua, semua daratan besar (benua-benua) yang tampak sekarang ini, pada masa lalu adalah suatu daratan raksasa yang disebut Pangea. Lihat Triton PB, Op. Cit., hlm. 81
[51] Thomas T. Arny, Explorations : Stars, Galaxies, and Planets, (McGraw-Hill Higher Education, 2004), hlm.  370
[52] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di bawah Naungan Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, dkk., vol. 11, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 323
[53] Mehdi Golshani adalah Guru Besar Fisika di Universitas Teknologi Syarif, Iran. 
[54] Zainal Abidin Bagir, Pengantar. Dalam Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Saisn: Tafsir Islami atas Sains, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. xiv

0 Response to "Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel