Mesir dan Al-Azhar
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Piramida, bangunan segitiga yang merupakan salah satu keajaiban
dunia bisa dikatakan sebagai icon dari Mesir. Selain itu, piramida juga
menjadi magnet yang menarik para wisatawan untuk bertandang ke Mesir. Wolfgang
Amadeus Mozart (1756-1791) saat mengunjungi pyramid menyatakan, seperti yang
dikutip oleh Zuhairi,[1]
bahwa Mesir merupakan sumber kearifan primordial. Yaitu kearifan yang melampau
kearifan Filsafat Yunani dan Etika Yahudi.
Apa yang dinyatakan oleh Mozart di atas tentu bukan tanpa alasan. Karena pada kenyataan, terdapat
satu diktum yang menyatakan bahwa “Mishr umm al-dunya”, Mesir adalah
induknya dunia. Diktum ini ditopang oleh dua fakta tak terbantahkan, bahwa
Mesir memiliki Piramida yang merupakan symbol dari kadiluhungan dan Universitas
al-Azhar sebagai menara ilmu. Di samping itu, Mesir juga merupakan testimony
dari sejarah para Nabi. Diantaranya, Nabi Yusuf, yang di masa mudanya ditunjuk
sebagai wakil raja Mesir. Nabi Musa yang di masa mudanya menjadi raja di
keluarga Fir’aun, dan kemudian menjadi pahlawan dalam kisah eksodusnya Bani
Israel dari Mesir. Kisah ini pun dikonfirmasi oleh Kitab Suci agama-agama
Samawi, baik itu Perjanjian Lama maupun al-Qur’an. Selain itu, diktum “Mishr umm
al-dunya” juga dikonfirmasi oleh para sejarawan. Salah satunya adalah Jason
Thompson dalam A History og Egypt: From Earliest Time to The Present, jika
banyak kota dan Negara yang hilang karena tidak dapat dikonfirmasi sejarawan,
maka tidak dengan Mesir, yang merupakan salah satu negara yang transmisi
sejarahnya dapat dikonfirmasi. Fakta tak terbantahkan ini menunjukkan bahwa
Mesir memang mempunyai keunikan dan keistimewaan yang dalam perjalanan
sejarahnya menjadi perhatian setiap orang dari berbagai penjuru dunia.[2]
Kemudian, dari segi keilmuan. Mesir juga memiliki peran penting
dalam pengembangan khazanah keilmuan. Kota Fusthat (yang kini dikenal Kairo)
mempunyai kemampuan yang sangat besar dalam mengembangkan ilmu pngetahuan, yang
saat Daulah Amawiyah dan Abasiyah berpusat di Masjid Amr bin Ash. Pada zaman
Dinasti Fathimiyah, dibangun pula Jami’al-Azhar. Kota Fusthat memiliki peran
yang sangat penting bagi Dunia Islam dalam pengembangan ilmu.[3]
Universitas al-Azhar, merupakan sebuah lembaga pendidikan terdepan
yang telah mampu menjadikan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi
kemajemukan berpikir dan berpendapat.[4]
Selain itu, tak kalah dengan daya tarik Piramida, Universitas Al-Azhar ini juga
sampai saat ini masih menjadi rujukan para penuntut ilmu dari berbagai belahan
dunia. Setidaknya, pada tahun 1989/1990 tercatat mahasiswa yang dimiliki oleh
Universitas Al-Azhar sebanyak 83.864 mahasiswa dengan rincian 81.108 mahasiswa
sarjana S1, 1.703 mahasiswa Magister, dan untuk Doktoral S3 sebanyak 1.053
mahasiswa,[5]
yang semuanya tentu bukan merupakan warga asli Mesir melainkan juga berasal
dari berbagai pendatang di seluruh belahan bumi.
Melihat kegemilangan pendidikan yang ada di Mesir ini, tentu
memunculkan pertanyaan baggaimana perkembangan pendidikan yang ada di Mesir
ini? Sehingga universitas, seperti Universitas Al-Azhar mampu bertahan hingga
sekarang meski telah berusia lebih dari 1000 tahun. Padahal dalam rentang waktu
tersebut situasi dan kondisi Mesir mengalami berbegai perubahan. Hingga saat
gelombang modernisasi tidak bisa dihindari, Mesir pun tidak luput darinya.
Lantas bagaimana pendidikan menyikapi arus moderniasai ini?
Makalah ini, meskipun tidak di susun berdasarkan tema utama
Universitas Al-Azhar, namun secara umum akan tetap menggunakan pijakan sejarah
Universitas Al-Azhar. Karena, bagaimana pun ketika hendak melihat sisi
pendidikan yang ada di Mesir, utamanya Pendidikan Islam akan sangat sulit untuk
tidak menyinggung Universitas al-Azhar. Oleh sebab itu, al-Azhar akan menjadi
pijakan utama dalam makalah ini untuk melihat sejarah “Mesir menunju sistem
pendidikan modern dalam sebuah masyarakat revolusioner.”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berdirinya Universitas Al-Azhar
Membahas cikal bakal Universitas Al-Azhar tentu tidak dapat
dipisahkan dari sejarah Dinasti Fathimiyah. Dinasti Fathimiyah ini adalah satu
diantara beberapa dinasti yang muncul saat Dinasti Abbasiyah di Baghdad
melemah. Dinasti ini merupakan dinasti islam beraliran Syi’ah Ismailiyah.[6]
Kemunculannya pada tahun 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan Dinasti
Aghlabiyah di Sijilmasa.[7]
Kekuasaan Dinasti ini membentang dari al-Maghrib sampai Mesir yang kemudian
merembes ke Syam, Palestina, dan Hijaz serta Yaman. Pusat pemerintahannya
terletak di Mesir (Kairo) yang menjadi pusat pengendali pemerintahan yang luas
itu.[8]
Dari segi sosial, masyarakat Mesir di bawah kepememimpinan Dinasti
Fathimiyah terdiri dari kelompok ahli Sunnah dan Syi’ah, di mana kelompok ahli Sunnah
menjadi kelompok mayoritas yang tinggal di Mesir sejak masa Dinasti Thulun.
Namun, pada perkembangan setelahnya banyak pengikut sunni yang berpindah
ke madzhab Fathimi. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kedudukan
dan jabatan yang ditawarkan oleh Dinasti Fathimiyah ini.
Kelompok kedua adalah orang-orang Afrika yang dalam Dinasti
Fathimiyah ini memiliki kedudukan sebagai tentara-tentara. Kelompok ini tidak
pernah menimbulkan konflik terhadap pengikut sunni maupun Syi’ah.
Kemudian kelompok ketiga ialah ahl Dzimmah yang terdiri dari
Yahudi dan Nashrani. Dinasti Fathimiyah dalam jabatan-jabatan pemerintahan
tidak mengecualikan ahl Dzimmah, sehingga banyak yang dari kelompok ahl
Dzimmah ini yang memegang jabatan di pemerintahan. Kebijakan ini pada
akhirnya juga menjadikan sebagian ahl Dzimmah ini masuk Islam dan
mengikuti Madzhab Ismailiyah. Dalam kesehariannya, hubungan antara orang
Fathimiyah dengan ahl Dzimmah ini sangat baik, toleransi mewarnai atas
keberagaman yang ada. Kelompok keempat adalah orang-orang Turki yang
telah menetap di Mesir sejak Dinasti Thuluniyah. Dan kelompok terakhir (kelima)
adalah orang-orang Sudan yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti
Ikhsyidiyah hingga masa Khalifah al-Hakim yang menyelamatkan mereka dari turki.[9]
Dari sini nampak betapa Dinasti Fathimiyah tidak menjadikan masalah atas
realita masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda.
Selain itu, perkembangan kebudayaan Islam yang dicapai oleh Dinasti
Fathimiyah ini sangatlah mengagumkan. Ini disebabkan berkembangnya
penerjemahana dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing
seperti Bahas Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab yang mendorong
para wazir, sultan dan umara’ untuk melahirkan para tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan dan sastra.[10] Diantara
lembaga-lembaga pendidikan pada Dinasti fathimiyah adalah: 1) Masjid dan
Istana; 2) Perpustakaan; dan 3) Dar al-‘Ilm.[11]
Hasan Ibrahim Hasan mengungkapkan, seperti yang dikutip oleh
Suwito,[12]
bahwa begitu giatnya usaha penerjemahan buku ilmiah dan propaganda mazhab yang
didukung oleh pemerintah tergambarkan sebagaimana diriwayatkan oleh al-Maqrizy
sesungguhnya di idtana terdapat 40 lemari di mana setiap lemari memiliki 18.000
volume buku. Dan di dalam perpustakaan Dinasti Fathimiyah dikatakan oleh Abi
Syamah sebagai asalah satu keajaiban dunia yang di dalamnya juga dinyatakan
terdapat sebanyak 1.220 naskah dari Tarikh Thabari.
Dari sini nampak bahwa Dinasti Fathimiyah menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Para pemimpin dinasti ini juga
mendukung adanya kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga tidak mengherankan jika
kemudian dari dinasti ini lahirlah lembaga pendidikan yang begitu tersohor,
yang bermula dari masjid dan kemudian menjadi lembaga perguruan tinggi.
Al- Muiz li Dinillah Abu Tamim Muid (953-975) adalah sosok yang
berjasa besar dalam lahirnya al-Azhar. Ia adalah pemimpin besar dengan ide dan
ambisi yang besar. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan dan politisi ulung yang
mampu membangun kepercayaan di mata publik di kawasan Afrika Utara.[13]
Ia berhasil menguasai Mesir yang saat itu menjadi menjadi tempat mayoritas
penganut sunni, melalui seorang tentara yang sangat gagah, Jawhar
al-Siqilli. Al- Muiz li Dinillah pertama kali memasuki Mesir pada bulan Juni
973 M.[14]
Sebagai salah satu komitmen untuk menghidupkan peradaban Islam dan
sebagai salah satu kekuasaan dan kekuatan, Jawhar al-Siqilli atas restu dari
al-Muizz membangun masjid Al-Azhar. Proyek pembangunan ini dimulai pada bulan
April tahun 970 M dan selesai pada bulan Juni tahun 972 M.[15]
Sepeninggal
Al-Muizz (975 M), tampuk kepemimpinan Dinasthi Fathimiyah dipegang oleh
putranya, Al-Aziz. Di tangan Al-Aziz inilah masjid al-Azhar[16]
mulai dipakai sebagai tempat pengajian, tepatnya pada tahun 976 M. Pengajian
yang diselenggarakan tersebut berbentuk halaqaah, dengan materi utama
tafsir al-Qur’an dan dialog keagamaan dalam ranah fikih.[17]
Dan pada tahun 988 M, al-Aziz mulai meresmikan pendidikan formal di masjid
al-Azhar.[18]
B.
Universitas Al-Azhar dalam Lintasan Sejarah
Sejak pertama
kali didirikan, Universitas Al-Azhar kini telah berusia lebih dari seribu
tahun. Artinya, lembaga pendidikan ini telah melewati berbagai perkembangan
zaman. Berikut perjalanan Universitas al-Azhar yang terklasifikasikan menjadi
empat fase, yaitu: Pertama, fase Dinasti Fathimiyah. Kedua, fase
Dinasti Ayyubiyah. Ketiga, fase Dinasti al-Mamalik al-Bahriyah dan
al-Syarakisah. Dan keempat fase era modern.
1.
Al-Azhar di bawah Dinasti Fathimiyah
Pengajaran yang ada di Al-Azhar,
oleh Dinasti Fathimiyah dijadikan sebagai momentum untuk mengenalkan paham
Syi’ah Ismailiyah yang berbeda dengan paham Ahlusuunah wal Jamaah, yang
dianut oleh mayoritas warga Kairo.[19]
Tiga tahun setelah didirikan[20]
barulah dimulai kegiatan ilmiah sederhana seperti kuliah-kuliah yang diberikan
di masjid ‘Amr, masjid al-‘Askar dan masjid Ibn Tulun. Kuliah pertama
disampaikan oleh Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin al-Nu’man al-Qirawani yang
bergelar Qadi al-Qudah, suatu gelar tertinggi di kerajaan Fathimiyah
pada saat itu. Materi yang disampaikan ialah prinsip fiqh Syi’ah yang
terkandung dalam buku al-Ikhtisar atau al-iqsar.[21]
Seri kuliah kedua yang terkenal
adalah yang diajarkan oleh Ibn Killas, yang kemudian seri itu disebut seri Ibn
Killas yang beralan di bawah pemerintahan al-Aziz. Kajian Ibn Killas ini juga
berjalan menurut garis Syi’ah. Kemudian, dari Ibnu Killas muncul gagasan
terkait dengan menghimpun sekelompok ahli-ahli fiqih (fuqaha) yang
berkewajiban menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Ibn
Killahdi Al-Azhar, pada hari Jum’at sesudah shalat Jum’at sampai waktu Asar.
Orang-orang ini haruslah ditanggung oleh pemerintah dari segi keuangan,
makanan, dan tempat tinggal berdekatan dengan masjid al-Azhar. Atas usulan ini,
kemudian Khalifah al-Aziz memilih kumpulan pertama (first batch)
sebanyak 35 orang.[22]
Peristiwa penting lainnya yang perlu
menjadi catatan adalah didirikannya Dar al-Hikmah yang mucul bersamaan
dengan al-Azhar. Dar al-Hikmah ini kemudian ditujukan untuk mengambil
tugas al-Azhar dalam menyebarkan paham Syi’ah. Singkatnya, dar al-Hikmah bertujuan untuk mengeluarkan pemimpin Syi’ah
dalam berbagai bidang ilmiah. Dari sinilah kemudian al-Azhar menemukan ciri-ciri
ilmiahnya di mana pelajar-pelajar diangkat untuk emndalami ilmu-ilmu tertentu
tanpa harus sibuk mencari rizki, karena semuanya telah dijamin oleh
pemerintah..[23]
Dari sini kemudian al-Azhar menjadi lembaga pendidikan yang benar-benar – bisa
dikatakan – murni, murni dalam arti tidak menyentuh ranah di luar pendidikan,
termasuk aliran kegamaan yang ada dalam Islam. Ahli sejarah ‘Anan mengatakan
bahwa peristiwa ini adalah peristiwa akademik yang tulen, karena semenjak saat
itu al-Azhar menemukan identittasnya sebagai lembaga pendidikan yang teratur,
yang kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa yang datang kemudian.[24]
2.
Al-Azhar di bawah Dinasti Ayyubiyah
Pasca kejatuhan Dinasti Fathimiyah,
al-Azhar kemudian berada di bawah Dinasti Ayyubiyah.[25]
Namun, selama kepemimpinan Ayyubiyah al-Azhar ditutup baik sebagai masjid untuk
shalat Jum’at atau pun sebagai universitas. Alasan penutupan ini cukup kuat,
sebab Dinasti Fathimiyah
mempropagandakan madzhab Syi’ah dengan media utamanya adalah al-Azhar.
Sedangkan Salahuddin al-Ayyubi dan seluruh penguasa di Dinasti Ayyubiyah adalah
penganut madzhab Sunni.[26]
Meskipun demikian, bukan berarti
Dinasti Ayubiyah tidak menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan. Karena
faktanya, kegiatan kependidikanan yang dikembangkan oleh Dinasti sangat pesat,
terutama dalam membangun sekolah-sekolah (madrasah) yang dulunya telah dimulai
oleh Dinasti Saljuqiyah, namun tidak di bawah naungan al-Azhar. Ini juga dalam
rangka melemahkan pengaruh Syi’ah yang selama ini dipelopori al-Azhar. Gaston Weit,
dalam Hasan Langgulung menyebutkan bahwa tidak kurang terdapat 25 kulliyah
(tahap universitas) didirikan oleh Dinasti Ayyubiyah . diantara
kulliyah-kulliyah yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyah
al-‘Adiliyyah, al-Kulliyah al-Arsufiyah, al-Kulliyah al-Fadiliyah, al-Kulliyah
al-Azkasyiyah, dan al-Kulliyah al-‘Asyuriyah.[27]
Al-Azhar memang ditinggalkan oleh
guru-guru dan muridnya disebabkan oleh Dinasti Ayyubiyah yang tidak memberi
sedikit pun perhatian terhadap al-Azhar. Namun pada zaman ini al-Azhar pun
mendapat kunjungna dari ulama-ulama terkenal, seperti Abd. Latif al-Baghdadi
yang datang ke Mesir pada tahun 589 H. (1193 M.) yang ssat itu Dinasti
Ayyubiyah di bawah kepemimpinan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Utsman putra
Sultan Salahuddin. Akhirnya al-Baghdadi pun mengajar (mantiq dan bayan)
di al-Azhar hingga wafatnya Sultan al-Malik al-Aziz. Adapun ulama-ulama lain
yang ikut menetap di al-Azhar pada zaman ini adalah Ibn al-Farid ahli sufi
terkenal. Begitu juga al-Syekh Abu Qasim al-Manfaluti, Syekh Jamaluddin
al-Suyuti, Syekh Syahabuddin al-Sahruri, dan ahli sejarah terkenal Syamsuddin
bin Khallikan pengarang kitab Wafiyyat al-A’ayan.[28]
3.
Al-Azhar di bawah Dinasti al-Mamalik al-Bahriyah dan al-Syarakisah
Seperti yang telah disebutkan, bahwa
saat Dinasti Ayyubiyah berkuasa menggantikan Dinasti Fathimiyah. Al-Azhar tidak
difungsikan lagi baik fungsinya sebagai masjid atau pun sebagai universitas.
Meskipun kemudian pada akhirnya kegiatan
pendidikan pun dimulai lagi. Hanya saja, sebagai masjid al-Azhar tidak dipakai
untuk shalat hingga 17 tahun setelah kejatuhan Dinasti Ayyubiyah, yakni setelah
kekuasaan dipegang oleh Dinasti al-Mamalik.[29]
Artinya, masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat selama 98 tahun (567-665 H.
/ 1171-1267 M.)[30]
Pada tahun 665 H. seorang amir yang
tinggal di dekat al-Azhar mengusulkan kepada Sultan al-Zahir Beibers untuk
membolehkan kembali umatb Islam melakukan shalat Jum’at di al-Azhar. Kemudian
Sultan dan Juga Amir itu mengeluarkan uangnya sendiri untuk melakukan perbaikan
pada masjid al-Azhar. Sejak saat itulah masjid al-Azhar difungsikan kembali dan
menempati kedududkannya yang pernah dipunyai saat Dinasti Fathimiyah berkuasa.[31]
Semenjak itu banyak ulama-ulama dari
berbagai penjuru dunia berkunjung ke Mesir untuk belajar atau mengajar di
al-Azhar. Beberapa diantara yang terkenal adalah filosof dan ahli sejarah Ibn
Khaldun yang datang ke Mesir pada tahun 784 H. (1382 M.) di bawah Sultan yang
pertama Negara Syarakisah, yaitu Sultan al-Malik al-Zahir Saifuddin Abu Sa’id
Barquq bin Anas al-Syarkasi al-‘Utsmani al-Yalbughawi. Beliau diangkat oleh
Sultan untuk mengajar madzhab Maliki di Kulliyah Qambiyah dekat masjid ‘Amr ibn
‘Ash. Sesudah itu, beliau menduduki berbagai kedudukan kehakiman, namun tidak
lama sebab banyaknya fitnah terhadap dirinya sehingga berkali-kali ia dipecat
dari jabatannya. Oleh sebab itu, ia pindah ke al-Azhar untuk Hadist dan fiqh
Maliki.Diantara murid-muridnya adalah ulama terkenal seperti al-Hafidz bin
Hajar al-Asqallani, ahli hadist dan sejarah’ al-Maqrizi, ahli sejara; dan
lain-lain. Ibn Khaldun tinggal di Mesir selama 23 tahun hingga wafatnya pada
bulan Ramadlan 808 H. (1406 M.)[32]
Selain Ibn Khaldun, al-Azhar pun
juga didatangi oleh ulama terkenal dari Maghribi, Muhammad Taqiyuddin al-Fasi. Berikut
beberapa ulama terkenal yang dalam sejarah Mesir sendiri belum pernah berkumpul
begitu banyak ilmuwan dan ulama dalam berbagai bidang dalam suatu waktu,
diantaranya:
a.
Abu
al-‘Abbas Ahmad al-Qalqasyandi (w. 821 H. / 1418 M.)
b.
Taqiyuddin
Ahmad al-Maqrizi (w. 845 H. l 1441 M.)
c.
Ibn
Hajar al-Asqallani (w. 852 H. / 1448 M.)
d.
Badruddin
Mahmud al-‘Aini (w. 855 H. / 1451 M.)
e.
Sirajuddin
al-Balqimi (w. 868 – 1464 M.)
f.
Syarafuddin
al-Mennawi (w. 871 H. / 1467 H.)
g.
Abu
al-Mahasin bin Taghi Bardi (w. 874 H. / 1470 M.)
h.
Syamsuddin
al-Syakhawi (w. 902 H. / 1497 M.)
i.
Jalaluddin
al-Suyuti (w. 911 H. / 1505 M.)
j.
Muhammad
bin Ahmad bin Ilyas (w. 930 H. / 1523 M.)
Perlu disebutkan bahwa karya
ulama-ulama dan ilmuwan-ilmuwan di atas sampai saat ini masih digunakan sebagai
bacaan dan juga rujukan di berbagai perguruan-perguruan tinggi di dunia.[33]
Dan sangat dimungkinkan jika ini kemudian menjadi daya tarik yang menjadikan
universitas ini sangat dimininati bahkan hingga saat ini.
4.
Al-Azhar pada masa Modern
Sebenarnya pembahasan ini melompat
sangat jauh dari seb-tema sebelumnya. Karena ada beberapa abad yang vakum
diantara masa Dinasti al-Syarakisah dengan masa modern[34] yang
dalam pembahasan Abuddin Nata pada kurun waktu tahun 1872-1995 M.[35] Ditambah,
jika dalam tiga pembahasan sebelumnya lebih berfokus pada ranah ke-Dinastian,
dalam arti lebih menyorot sisi eksternal dari al-Azhar. Maka, dalam masa ini
akan lebih dibahas dari sisi internal al-Azhar. Bagaimana lembaga ini
menghadapi gelombang kemodernian saat ini.
Sebelum tahun 1872 M, prosedur
pemberian ijazah yang ada di al-Azhar tanpa melalui ujian, melainkan menjadi
hak prerogatif masing-masing guru, berdasarkan sistem pendidikan yang diatur
sebagai berikut:
a.
Untuk
satu mata kuliah tertentu terdapat satu guru besar. Mahasiswa berusaha
mendampingi guru besar hingga guru besar meningeal dunia. Tujuannya untuk
mencapai tingkat ketinggian ilmiah seperti yang dimiliki oleh gurunya.
b.
Mahasiswa
mungkin mendapat ijazah untuk mata kuliah tertentu, sedangkan mata kuliah lain.
Penundaan mata kuliah lain ini tidak menghalangi mahasiswa ini untuk menjadi
guru pada mata kuliah yang telah lulus, di samping juga tetap menjadi murid
pada mata kuliah yang belum lulus.
c.
Setiap
mahasiswa yang merasa punya kemampuan untuk mata kuliah tertentu diberikan
kesempatan untuk mengajarkannya dan bila ia dapat berfatwa dalam kaitan dengan
ilmu yang bersangkutan, maka ia berhak memperoleh ijazah.
d.
Setiap
mahasiswa dibebaskan memilih mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait dengan
daftar kehadirannya.[36]
Selanjutnya, di bawah kepemimpinan
Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi yang menjadi rektor ke-21. Al-Azhar
mengalami pengembangan-pengembangan, diantaranya adalah pada bulan Februari 1872
M. memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-Azhar. Calon alim harus
berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 syaikh yang ditunjuk oleh syaikh
al-Azhar untuk menguji bidang studi ushul, fiqih, tauhid, hadits, tafsir dan
ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, saraf (ilmu tentang pembentukan kata), ma’ani,
bayan, badi’, dan mantiq. Bagi mahasiswa yang lulus akan mendapat ash-syahadah
al-‘alamiyah (ijazah kesarjanaan).[37]
13 tahun kemudian, yakni pada tahun
1885 M. dikeluarkan undang-undang terkait pengaturan tenaga pengajar di
al-Azhar. Seseorang dapat menjadi pengajar setelah ia menyelesaikan buku-buku
induk 12 bidang studi yang telah disebutkan di atas. Kandidat yang lulus
mendapat ad-darajah al-‘Ulya (tingkat pertama), ad-darajah al-Saniyah
(tingkat dua), dan ad-darajah as-Tsalisah (tingkat tiga). Lulusan
nilai pertama dapat bekerja sebagai pengajar untuk buku-buku tingkatan tinggi, [38]
Kemudian, untuk pertama kalinya
al-Azhar memiliki Idarah al-Azhar, yakni Dewan Administrasi al-Azhar yang
dibentuk pada tahun 1896 M. di mana usaha pertama yang dilakukan oleh dewan ini
adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di al-Azhar menjadi dua
periode, yaitu Pendidikan Dasar Iasy-syahadah al-ahliyah/ijazah
kualifikasi) dengan masa belajarnya 8 tahun dan Pendidikan Menengah dan Tinggi
(asy-syahadah al-‘alamiyah) dengan masa belajarnya selama 6 tahun.[39]
Al-Azhar pada tahun-tahun berikutnya
selalu mengalami pengembangan-pengembangan baik itu berupa
penambahan-penambahan atau pengurangan di berbagai aspek. Semisal usaha
penghilangan uraoan pelajaran bertele-tele yang dikenal dengan Syarah
al-Hawashi dibawah kepemimpinan Syaikh al-Nawawi. Selain itu, dimasukkan pula
kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah.[40]
Pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud
Syaltut, rektor ke-41 al-Azhar dibentuk organisasi untuk mengatur “pemeliharaan
al-Qur’an” dan lahir pula fakultas-fakultas baru, diantaranya Fakultas
Kedokteran, Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik.
C.
Refleksi Sejarah Al-Azhar dalam Masyarakat Revolusioner
Al-Azhar, yang telah bertahan lebih dari 1000 tahun telah mengalami
berbagai pengembangan-pengembangan di dalamnya. Mulai dari awal kemunculannya,
selain sebagai tempat belajar, ia juga digunakan sebagai media untuk propaganda
madzhab Syi’ah. Ini berlangsung hingga Dinasti Ayyubiyah menggantikan Dinasti
Fathimiyah, di mana Dinasti Ayyubiyah juga melancarkan misi pengembangan
ke-Sunni-an melalui pendidikan pula. Ini menunjukka jika pendidikan dalam suatu
komuniatas, katakanlah suatu Negara, sangat dipengaruhi oleh siapa yang
berkuasa dan ideologi yang dianut. Ini hampir di semua Negara, tidak hanya
Mesir.[41]
Meskipun kepentingan yang melatarbelakangi sebuah lembaga
pendidikan mengalami dinamika, bukan berarti lembaga ini harus merubah
bentuknya mengikuti perkembangan penguasa. Adagium “menjaga sesuatu yang
dulu yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang paling baik” kiranya
perlu dijadikan landasan dalam rangka beradaptasi dengan perubahan-perubahan
yang terjadi. Setidaknya itu yang nampak dari sejarah perkembangan kependidikan
al-Azhar. Dengan beberapa pengembangan di dalamnya, ia tetap menjadi lembaga
pendidikan yang secara usia sudah tidak bisa dibilang muda lagi, namun sampai
saat ini masih bisa bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan kenamaan lainnya
yang muncul belakangan di era modern ini. Untuk melengkapi refleksi sejarah
Universitas al-Azhar ini, perlu kita ketahui tujuan dari universitas ini. Berikut
adalah tujuan Universitas al-Azhar:
a.
Mengemukakan
kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan
jaminannya terhadap kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
b.
Memberikan
perhatian penuh terhadap kebangkitan turas ilmu, pemikiran, dan
keruhanian bangsa Arab Islam.
c.
Menyuplai
Dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang beriman, percaya terhadap diri
sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu yang mendapat tentang akidah,
syari’ah, dan bahasa al-Qur’an.
d.
Mencetak
ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan dan
menjadi contoh yang baik, serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan
yang sanggup aktif dalam dakwah Islam yang dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan dan pelajaran yang baik
di luar dan di dalam Republik Arab Mesir.
e.
Meningkatkan
hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di
luar negeri.[42]
Berdasarkan
tujuan-tujuan tersebut, bukan hal yang aneh jika kemudian al-Azhar mampu
bertahan dan tetap menjadi tujuan utama para pencari ilmu dari berbagai penjuru
dunia. Prinsip keseimbangan begitu nampak antara ulama (yang identik dengan
ahli agama) dan ilmuwan (ahli keilmuan) dan cenderung menyatukan keduanya.
Jika
dihubungkan dengan sejarah Mesir sendiri, tidak menutup kemungkinan bahwa etos
revolusioner[43]
memang ada dalam masyarakat Mesir. Sehingga tidak mengherankan jika dalam dunia
pendidikan, yang dalam hal ini mengekspose universitas al-Azhar, juga nampak
hal-hal revolusioner. Bahkan, dari universitas ini pula lah muncul para
pembaharu-pembaharu Islam, seperti at-Tahtawi (1801-1873 M.), Muhammad Abduh
(1849-1905 M.), dan Rasyid Ridha (1865-1935).[44]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang Mesir, terlebih saat membahas Pendidikan Islam,
akan sangat sulit untuk dilepaskan dari Universitas al-Azhar. Lembaga
pendidikan kenamaan di Mesir yang telah berusia lebih dari 1000 tahun ini
awalnya adalah sebuah masjid yang selesai pada bulan Juni tahun 972 M di kota
Fusthat (sekarang Kairo), yang saat itu Mesir di bawah kekuasaan kepemimpinan
al-Muizz li Dinillah dari Dinasti Fathimiyah.
Rentang waktu yang begitu panjang sejak didirikannya hingga
sekarang ini, membuat universitas ini mengalami beberapa perkembangan dan
perubahan-perubahan. Perkembangan dan perubahan yang meliputi aspek eksternal
atau pun internal. Dari aspek eksternal misalnya, yaitu bagaimana
pemahaman/ideologi penguasa atau pimpinan al-Azhar ikut mempengaruhi
materi-materi yang diajarkan di al-Azhar. Kemudian dari aspek internalnya ialah
terkait dengan sistem yang di pakai dalam pembelajaran. Sebut saja saat era
modern, terjadi beberapa perkembangan di dalam diri al-Azhar, seperti prosedur
untuk mendapatkan ijazah yang awalnya tanpa ujian, kemudian berubah menjadi
adanya kewajiban mengikuti ujian agar memperoleh ijazah. Termasuk adanya
penambahan-penambahan fakultas yang bisa digolongkan di luar ilmu agama seperti
Fakulktas Kedokteran, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Teknik.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata.
2010. Sejarah Pendidikan Islam. Cet.
2. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Achmad Mubarak, Relevansi tasawuf
dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern. (165-180). Dalam Ahmad Najib Burhani,
ed. 2002. Manusia Modern Mendamba
Allah: Renungan Tasawuf Modern. Jakarta:
Penerbit IIman & Penerbit Hikmah
Fadil SJ. 2008.
Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN-Malang
Press
Hasan
Langgulung. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta:
Pustaka Al-Husna
http://landsune.blogspot.com/2009/05/sejarah-perjuangan-mesir.html, diakses tanggal 6 Desember 2014, pukul 10.38 WIB
Ira M. Lapidus.
1999. Sejarah Sosial Umat Islam,
Bagian Kesatu dan Dua. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Joesoef Sou’yb.
1978. Sejarah Daulat Abbasiyah III. Jakarta:
Bulan Bintang
M. Abdul Karim.
2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher
Masri Elmahsyar
Bidin. Pengalaman Belajar di Mesir. Dalam Ismatu, et.al., Belajar Islam di
Timur Tengah. (39-62). Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Agama
Islam. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam Departemen Agama
RI. Tanpa Tahun.
Suhadi, dkk.
2014. Politik Pendidikan Agama, Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah. Yogyakarta:
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada
Suwito. 2005. Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Zuhairi
Misrawi. 2010. Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Jakarta:
Kompas Media Nusantara
[1] Zuhairi
Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 44
[2] Ibid., hlm.
45-47
[3] Fadil SJ, Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), hlm. 158
[4] Zuhairi
Misrawi, Op. Cit, hlm. 15
[5] Masri
Elmahsyar Bidin. Pengalaman Belajar di Mesir. Dalam Ismatu, et.al., Belajar
Islam di Timur Tengah, (Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Agama Islam,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam Departemen Agama RI,
tanpa tahun), hlm. 54
[6] Kelompok
Syi’ah Ismailiyah yang ada di Afrika Utara dapat mengonsolidasikan gerakannya
di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti Fathimiyah
yang terlepas dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Lihat Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 122
[7] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), hlm. 190
[8] Ibid., hlm.
195
[9] Suwito, Op.
Cit.,hlm. 123
[10] Ibid., 125
[11] Ibid., hlm.
125-130
[12] Ibid., hlm.
128
[13] Zuhairi
Misrawi, Op. Cit, hlm. 121
[14] Ibid., hlm.
125
[15] Ibid., hlm.
127
[16] Masjid ini
dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang melambangkan sifat ketinggian
para imam dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah sebagai sebuah
cara pemuliaan terhadap khalifah lantaran kesungguhannya dalam berbakti kepada
Tuhan dan kepada Islam. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999), hlm. 537
[17] Zuhairi
Misrawi, Op. Cit, hlm. 130
[18] Ibid., hlm.
132
[19] Ibid., hlm.
130
[20] Hasan
Langgulung menyebutkan bahwa tiga tahun di sini terhitung dari 970 H. Artinya,
pengajaran pertama di Al-Azhar adalah pada tahun 973 M. Lihat Hasan Langgulung,
Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988), hlm. 45. Ini berbeda dengan yang dipaparkan oleh Zuhairi Misrawi yang
menyebutkan bahwa Al-Azhar memulai pengajian perdananya pada tahun 976 M. Lihat
Zuhairi Misrawi, Op. Cit, hlm. 130. Artinya, jika mengacu pada pendapat
pertama, maka pengajaran di Al-Azhar dimulai ketika kepemimpinan Dinasti
Fathimiyah masih dipegang oleh al-Muizz. Sementara pendapat kedua menandakan
bahwa pengajaran pertama dilaksanakan saat kepemimpinan Dinasti Fathimiyah
dipegang oleh al-Aziz, putra dari al-Muizz yang wafat pada tahun 975 M.
[21] Hasan
Langgulung, Op. Cit., hlm. 45
[22] Ibid.,
[23] Ibid., hlm.
46
[24] Dalam Hasan
Langgulung, Op. Cit., hlm. 46
[25] Penaklukan
Mesir oleh Salahuddin pada tahun 1171 M., dan ini membuka jalan bagi
pembentukan madzhab-madzhab hukum Sunni di Mesir. Lihat Ira M. Lapidus, Op.
Cit., hlm. 545
[26] Hasan
Langgulung, Op. Cit., hlm. 46
[27] Ibid., hlm.
47
[28] Ibid.,
[29] Mamalik atau
terdapat pula yang menyebutnya dengan mamluk, bermakna “yang dimiliki”. Itu
adalah sebutan yang lebih halus untuk mengganti sebutan “abdun” (budak-belian).
Sebutan itu lahir disebabkan para penguasa pada daulat yang baru terbentuk pada
anak benua itu terdiri dari Panglima demi panglima, bukan bersifat warisan, dan
para panglima pada pasukan Emir Shihabuddin Muhammad itu berasal dari
budak-budak belian yang dibelinya dan dilatihnya. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah III, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), h. 256. Dinasti ini memerintah di Mesir dengan waktu yang
panjang (1249-1517 M), menghiasai catatan panjang dalam sejarah Islam. Lihat M.
Abdul Karim, Op. Cit., hlm. 284
[30] Hasan
Langgulung, Op. Cit., hlm. 48
[31] Ibid.,
[32] Ibid.,
[33] Ibid., hlm.
49
[34] Era modern
ini, ditandai dengan dua hal, yaitu: (1) penggunaan teknologi dalam berbagai
aspek kehidupan manusia; (2) berkembangnya intelektual sebagai wujud dari
kemajuan intelektual manusia. Lihat Achmad Mubarak, Relevansi tasawuf dengan
Problem Kejiwaan Manusia Modern. Dalam Ahmad Najib Burhani, ed., Manusia
Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf
Modern, (Jakarta: Penerbit IIman & Penerbit Hikmah, 2002), hlm. 167
[35] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, cet. 2, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.
190
[36] Ibid., hlm.
190-191
[37] Ibid., hlm.
191
[38] Ibid.,
[39] Ibid.,
[40] Ibid.,
[41] Sebagai
perbandingan, di Indonesia misalanya. Perjalanan pendidikan nasional mengalami
dinamika yang itu dipengaruhi oleh penguasa dan juga ide yang dimilikinya. Pada
tahun 1950-an ide utama pendidikan adalah “kesusilaan”, kemudian bergeser ke
“sosialisme” di tahun 1960-an. Setelah peristiwa G-30-S PKI tahun 1965,
sosialisme tidak dimunculkan kembali, yang kemudian ideology Pancasila lah yang
diperkuat. Baru di era Soeharto, tahun 1980-an, ide tujuan iman dan takwa
menggantikan ide sebelumnya tentang kesusilaan, sosialisme dan Pancasila
sebagai tujuan pendidikan. Lihat Suhadi, dkk., Politik Pendidikan Agama,
Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah, (Yogyakarta: Program Studi Agama
dan Lintas Budaya Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2014), hlm. 13
[42] Abuddin Nata, Op.
Cit., hlm. 193
[43] Dalam
sejarahnya, Mesir telah melalui beberapa revolusi. Diantaranya revolusi pada
tahun 1919 dan tahun 1952 M. Lihat http://landsune.blogspot.com/2009/05/sejarah-perjuangan-mesir.html, diakses 6
Desember 2014, pukul 10.38 WIB
[44] Lihat Fadil
SJ, Op. Cit., hlm. 252-257
0 Response to "Mesir dan Al-Azhar"
Post a Comment