Refleksi Dari Pendidikan Islam Humanistik



Sesuai dengan judul di atas, bahwa tulisan ini hanyalah sebentuk refleksi dari penulis atas apa yang penulis temukan dalam buku “Pendidikan Islam Humanistik; Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak”. Karenanya, tulisan ini tidak akan menampilkan tulisan ilmiah dengan segala macam kriterianya.
Pertama, penulis agak kurang setuju dengan penggunaan judul dalam buku tersebut. Pasalnya, Pendidikan Islam hakikatnya sudah memuat aspek humanistik tanpa harus memunculkan istilah humanistik tersebut. Justru, ketika istilah “humanistic” ditambahkan, itu akan mempersempit ruang lingkup Pendidikan Islam itu sendiri. Atau setidaknya Pendidikan Islam itu akan terdikotomi menjadi Pendidikan Islam Humanistik dan Pendidikan Islam non-humanistik. Tapi, bukan berarti penulis berprasangka bahwa pemilihan judul buku tersebut karena adanya ketidaktahuan, melainkan –setidaknya menurut pribadi penulis – untuk sekedar menarik minat pembaca, atau memang ingin menunjukkan bahwa pembahasan dalam buku tersebut lebih condong pada corak pendidikan humanistik, tanpa bermaksud mereduksi makna Pendidikan Pslam itu sendiri. Terlepas dari itu, pada kenyataannya di berbagai lembaga pendidikan, baik itu berlatar belakang agama atau umum, pendidikan yang humanis – berdasarkan pengalaman pribadi dan pegamatan lingkungan sekitar – nampaknya masih jauh dari berhasil.
Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya pendidikan yang humanis itu, terlebih dahulu harus mengetahui apa itu pendidikan humanis. Tanpanya, tentu mustahil untuk dapat menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan HUmanis itu, atau jika pun bisa, maka kesimpulan itu – penulis katakan – hanya mengada-ada. Pendidikan humanis, dalam arti sederhananya adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan harus memandang dan memperlakukan peserta didiknya sebagai manusia, bukan sekelompok individu yang bisa diperlakuan dengan semena-mena meskipun dengan alasan untuk mendidik.
Semua maksud baik akan menjadi buruk jika dijalankan dengan cara yang buruk. Pendidikan pun demikian. Hampir di semua literature yang membahas pendidikan, menampilkan arti pendidikan sebagai kegiatan yang positif, yang tidak hanya mengajarkan tapi juga mendidikan anak menjadi dewasa; yang tidak tahu menjadi tahu; yang bodoh menjadi pintar. Tapi, ketika pendidikan itu diberikan dengan cara yang tidak baik, maka pendidikan itu bukan lagi sesuatu yang baik. Kalau dalam fiqh thaharoh ada istilah najis li dzatihi dan najis li ghairi dzatihi,  maka pendidikan dengan cara yang salah sama halnya dengan istilah najis li ghairi dzatihi. Karena secara hakikatnya, pendidikan itu adalah baik, namun karena bercampur dengan sesuatu yang tidak baik, maka pendididkan itu menjadi tidak baik pula.
Lantas bagaiamanakah seharusnya pendidikan yang memanusiakan manusia itu? Setidaknya dalam buku “Pendidikan Islam Humanistik” ini memberikan sedikit jawaban. Pendidikan di sini tidak hanya menyangkut pendidikan formal di sekolah, melain juga pendidikan di masyarakat dan keluarga. Gagalnya pendidikan yang memanusiakan manusia ini, salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman orang dewasa – selaku pendidik – akan hak-hak anak yang menjadi obyek pendidikan. Selain itu, kesalahan pola mendidik pun menjadikan pendidikan jauh dari cita-cita pendidikan yang humanis, termasuk samarnya arti manusia itu sendiri juga berdampak pada salahnya mendidik anak-anak. Jadi jawaban atas pertanyaan siapakah manusia itu menjadi pintu pertama dalam mewujudkan pendidikan humanistic. Karena pandangan kita tentang manusia itu akan sangat berpengaruh pada bagaimana kita akan manciptakan manusia.
Penulis masih ingat. Sewaktu masih kecil, setiap kali penulis di ajak berziarah ke makam para wali-wali atau orang-orang yang terkenal shaleh, di mana di situ ada pengemis-pengemis. Orang tua penulis selalu memberiakn uang untuk diberikan pada pengemis-pengemis yang ada. Kemudian, ketika ada pengamen-pengamen di bis-bis atau peminta sumbangan di rumah-rumah, orang tua penulis juga selalu menyuruh penulis yang memberikan uang. Awalnya penulis hanya mengira itu biasa-biasa saja, tapi baru kemudian penulis menyadari bahwa itu adalah salah satu bentuk cara mendidik orang tua kepada anaknya, khusunya agar tumbuh sikap bersimpati dan empati kepada orang lain, di samping juga menumbuhkan sikap tenggang rasa dan tolong menolong. Bukan berarti orang tua penulis malas memberikan secara langsung uang kepada para pengemis atau pun pengamen, melainkan mereka ingin menanamkan sikap-sikap baik itu kepada penulis. Dan penulis yakini juga dilakukan oleh para orangtua-orangtua lainnya.
Akan tetapi, dewasa ini, di mana kita berada di era yang serba materi. Pola pendidikan yang diberikan kepada anak-anak nampaknya juga mengalami pergeseran menjadi serba materi. Fakta akan terkikisnya moral para peserta didik tidak dapat dilepaskan dari pendidikan yang di terima. Materialistik telah memegang kendali, hingga pendidikan pun juga tak luput dari bujukan materialistic. Pendidikan hanya menciptakan pribadi-pribadi yang mempunyai daya saing yang tinggi tanpa diimbangi dengan sikap sosial yang memadai. Ditambah lagi, fenomena materialistic ini juga sekan-akan di amini oleh para orangtua, mereka tidak segan-segan mengeluarkan materi yang banyak ketika anak-anak mereka mendapat nilai buruk dalam mata pelajaran- mata pelajaran umum, tapi tidak dengan mata pelajaran agama.
Penulis tidak akan membahas panjang lebar tentang ini, hanya saja bukankah akan lebih baik jika di sekolah-sekolah itu ditumbuhkan budaya yang mampu mengasah sikap berbagi dengan sesama? Apa yang penulis dapat dari pengembaraan buku “Pendidikab Islam Humanistik” adalah sudah saatnya kita untuk menyiapkan generasi yang bukan hanya unggul dalam keilmuan saja, melainkan unggul dalam aspek sosial, bukan hanya manusia berakal saja tanpa mempunyai hati nurani.
Dalam buku tersebut disinggung pola hidup hedonis dan serba instan saat ini telah mengincar anak-anak yang merupakan generasi penerus. Kita patut berbangga dengan kemajuan pendidikan saat ini seiring dengan kemajuan teknologi. Di sekolah-sekolah unggulan, setiap anak didik sudah diharuskan memiliki laptop, bahkan sebagai promosi, sudah banyak sekolah-sekolah yang menggratiskan laptop di awal pendaftaran. Tapi kok menurut penulis ini memprihatinkan jika tak diimbangi dengan pengembangan aspek kepedulian sosial. Jarang sekali ada sekolah yang mempunyai kegiatan rutin bhakti sosial yang melibatkan peserta didik, atau katakanlah agenda rutin mengunjungi panti asuhan, ke komunitas penyandang cacat dan sebaginya. Atau bisa jadi diadakan budaya “menyisihkan ung jajan” setiap harinya, yang kemudian di akhir bulan diadakan kunjungan ke panti asuhan dengan setiap peserta didik membawakan sesuatu dari uang yang mereka sisihkan setiap harinya. Kita bisa bayangkan betapa indahnya pendidikan ini, pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia. Yang benar-benar mencetak manusia yang seutuhnya.  Momentum Kurikulum 2013 pun yang mengedepankan pendidikan karakter nampaknya perlu memasukkan kegiatan ekstra berupa kegiatan sosial kemasyarakatan.  
Semoga tulisan yang sangat tidak teratur ini mampu mengispirasi kita semua, tak terkecuali penulis pribadi untuk bisa lebih menjadi pribadi yang sebenar-benarnya manusia, dan mampu mengajarkan kepada yang lain arti dari manusia yang hakiki. Amiiiiin.
Wallaahu A’lamu Bi al-Shawaaab.
Malang, 11 Nopember 2014, 15.54 WIB

0 Response to "Refleksi Dari Pendidikan Islam Humanistik"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel