Refleksi Dari Pendidikan Islam Humanistik
Sesuai dengan judul di atas, bahwa
tulisan ini hanyalah sebentuk refleksi dari penulis atas apa yang penulis
temukan dalam buku “Pendidikan Islam Humanistik; Alternatif Pendidikan
Pembebasan Anak”. Karenanya, tulisan ini tidak akan menampilkan tulisan ilmiah
dengan segala macam kriterianya.

Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
pendidikan yang humanis itu, terlebih dahulu harus mengetahui apa itu
pendidikan humanis. Tanpanya, tentu mustahil untuk dapat menentukan berhasil
atau tidaknya pendidikan HUmanis itu, atau jika pun bisa, maka kesimpulan itu –
penulis katakan – hanya mengada-ada. Pendidikan humanis, dalam arti
sederhananya adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan harus
memandang dan memperlakukan peserta didiknya sebagai manusia, bukan sekelompok
individu yang bisa diperlakuan dengan semena-mena meskipun dengan alasan untuk
mendidik.
Semua maksud baik akan menjadi buruk jika
dijalankan dengan cara yang buruk. Pendidikan pun demikian. Hampir di semua literature
yang membahas pendidikan, menampilkan arti pendidikan sebagai kegiatan yang positif,
yang tidak hanya mengajarkan tapi juga mendidikan anak menjadi dewasa; yang
tidak tahu menjadi tahu; yang bodoh menjadi pintar. Tapi, ketika pendidikan itu
diberikan dengan cara yang tidak baik, maka pendidikan itu bukan lagi sesuatu
yang baik. Kalau dalam fiqh thaharoh ada istilah najis li dzatihi dan
najis li ghairi dzatihi, maka
pendidikan dengan cara yang salah sama halnya dengan istilah najis li ghairi
dzatihi. Karena secara hakikatnya, pendidikan itu adalah baik, namun karena
bercampur dengan sesuatu yang tidak baik, maka pendididkan itu menjadi tidak
baik pula.
Lantas bagaiamanakah seharusnya
pendidikan yang memanusiakan manusia itu? Setidaknya dalam buku “Pendidikan
Islam Humanistik” ini memberikan sedikit jawaban. Pendidikan di sini tidak
hanya menyangkut pendidikan formal di sekolah, melain juga pendidikan di
masyarakat dan keluarga. Gagalnya pendidikan yang memanusiakan manusia ini,
salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman orang dewasa – selaku pendidik
– akan hak-hak anak yang menjadi obyek pendidikan. Selain itu, kesalahan pola
mendidik pun menjadikan pendidikan jauh dari cita-cita pendidikan yang humanis,
termasuk samarnya arti manusia itu sendiri juga berdampak pada salahnya
mendidik anak-anak. Jadi jawaban atas pertanyaan siapakah manusia itu menjadi
pintu pertama dalam mewujudkan pendidikan humanistic. Karena pandangan kita
tentang manusia itu akan sangat berpengaruh pada bagaimana kita akan
manciptakan manusia.
Penulis masih ingat. Sewaktu masih kecil,
setiap kali penulis di ajak berziarah ke makam para wali-wali atau orang-orang
yang terkenal shaleh, di mana di situ ada pengemis-pengemis. Orang tua penulis
selalu memberiakn uang untuk diberikan pada pengemis-pengemis yang ada. Kemudian,
ketika ada pengamen-pengamen di bis-bis atau peminta sumbangan di rumah-rumah,
orang tua penulis juga selalu menyuruh penulis yang memberikan uang. Awalnya penulis
hanya mengira itu biasa-biasa saja, tapi baru kemudian penulis menyadari bahwa
itu adalah salah satu bentuk cara mendidik orang tua kepada anaknya, khusunya
agar tumbuh sikap bersimpati dan empati kepada orang lain, di samping juga
menumbuhkan sikap tenggang rasa dan tolong menolong. Bukan berarti orang tua
penulis malas memberikan secara langsung uang kepada para pengemis atau pun
pengamen, melainkan mereka ingin menanamkan sikap-sikap baik itu kepada
penulis. Dan penulis yakini juga dilakukan oleh para orangtua-orangtua lainnya.
Akan tetapi, dewasa ini, di mana kita
berada di era yang serba materi. Pola pendidikan yang diberikan kepada
anak-anak nampaknya juga mengalami pergeseran menjadi serba materi. Fakta akan
terkikisnya moral para peserta didik tidak dapat dilepaskan dari pendidikan
yang di terima. Materialistik telah memegang kendali, hingga pendidikan pun
juga tak luput dari bujukan materialistic. Pendidikan hanya menciptakan
pribadi-pribadi yang mempunyai daya saing yang tinggi tanpa diimbangi dengan
sikap sosial yang memadai. Ditambah lagi, fenomena materialistic ini juga
sekan-akan di amini oleh para orangtua, mereka tidak segan-segan mengeluarkan
materi yang banyak ketika anak-anak mereka mendapat nilai buruk dalam mata
pelajaran- mata pelajaran umum, tapi tidak dengan mata pelajaran agama.
Penulis tidak akan membahas panjang lebar
tentang ini, hanya saja bukankah akan lebih baik jika di sekolah-sekolah itu
ditumbuhkan budaya yang mampu mengasah sikap berbagi dengan sesama? Apa yang
penulis dapat dari pengembaraan buku “Pendidikab Islam Humanistik” adalah sudah
saatnya kita untuk menyiapkan generasi yang bukan hanya unggul dalam keilmuan
saja, melainkan unggul dalam aspek sosial, bukan hanya manusia berakal saja
tanpa mempunyai hati nurani.
Dalam buku tersebut disinggung pola hidup
hedonis dan serba instan saat ini telah mengincar anak-anak yang merupakan
generasi penerus. Kita patut berbangga dengan kemajuan pendidikan saat ini
seiring dengan kemajuan teknologi. Di sekolah-sekolah unggulan, setiap anak
didik sudah diharuskan memiliki laptop, bahkan sebagai promosi, sudah banyak
sekolah-sekolah yang menggratiskan laptop di awal pendaftaran. Tapi kok menurut
penulis ini memprihatinkan jika tak diimbangi dengan pengembangan aspek
kepedulian sosial. Jarang sekali ada sekolah yang mempunyai kegiatan rutin bhakti
sosial yang melibatkan peserta didik, atau katakanlah agenda rutin mengunjungi
panti asuhan, ke komunitas penyandang cacat dan sebaginya. Atau bisa jadi
diadakan budaya “menyisihkan ung jajan” setiap harinya, yang kemudian di akhir
bulan diadakan kunjungan ke panti asuhan dengan setiap peserta didik membawakan
sesuatu dari uang yang mereka sisihkan setiap harinya. Kita bisa bayangkan betapa
indahnya pendidikan ini, pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia. Yang
benar-benar mencetak manusia yang seutuhnya. Momentum Kurikulum 2013 pun yang mengedepankan
pendidikan karakter nampaknya perlu memasukkan kegiatan ekstra berupa kegiatan
sosial kemasyarakatan.
Semoga tulisan yang sangat tidak teratur
ini mampu mengispirasi kita semua, tak terkecuali penulis pribadi untuk bisa
lebih menjadi pribadi yang sebenar-benarnya manusia, dan mampu mengajarkan
kepada yang lain arti dari manusia yang hakiki. Amiiiiin.
Wallaahu A’lamu Bi al-Shawaaab.
Malang, 11 Nopember 2014, 15.54 WIB
0 Response to "Refleksi Dari Pendidikan Islam Humanistik"
Post a Comment