Refleksi Dari Masa Depan Tuhan



Penulis teringat sebuah kisah pencarian CEO baru di sebuah perusahaan (seingat saya itu ada di dalam buku “Bukan Untuk di Baca” jilid 2). Saat itu, seorang CEO perusahaan terkenal sedang mencari kandidat yang akan menggantikannya di perusahaan setelah ia berhenti dari jabatannya. Maka, suatu ketika CEO tersebut mengumpulkan anak buahnya di perusahaan tersebut guna menyampaikan keinginannya untuk berhenti dari jabatan CEO, mengingat usianya yang sudah tua. Saat pertemuan itu, sang CEO membawa segenggam biji-bijian yang kemudian CEO itu membagikannya kepada yang hadir saat itu satu persatu. Setelah semua mendapatkan bagian satu-satu, kemudian CEO itu meminta kepada anak buahnya itu untuk menanam biji yang ia berikan itu, dan satu tahun kemudian mereka harus datang dengan membawa tanaman yang telah mereka rawat selama setahun itu. Sejak saat itu, setiap karyawan merasa mempunyai kesempatan untuk menjadi CEO di perusahaan tempat mereka bekerja, apalagi syarat untuk mewujudkan impian itu begitu mudah.
Hari terus berlalu berganti minggu, minggu pun berganti bulan, dan selama itu topik tentang perkembangan tanaman ini selalu mengisi setiap pojok-pojok perbincangan di kantor. Salah satu karyawan dengan bangganya menceritakan betapa tanaman yang ia rawat sudah tumbuh begitu besar dengan daunnya yang begitu lebat. Karyawan yang lain pun tak mau kalah, ia menceritakan betapa tanamannya telah tumbuh dengan begitu kuat, dengan batang yang kokoh dan bahkan akarnya yang lebat memaksanya untuk berkali-kali ganti vas bunga. Kesimpulannya, tiap karyawan dengan semangat yang tak pernah padam selalu berbicara tentang perkembangan tanamannya masing-masing. Tapi, di balik itu semua, ada salah satu karyawan yang selalu gelisah, sebut saja Anton.  Mendengar rekan-rekannya bercerita tentang tanaman yang makin hari makin tumbuh membuatnya semakin menjadi pribadi yang tertutup. Sebisa mungkin ia tidak terjebak pada kondisi di mana ia harus berbohong pada rekannya tentang tanaman yang ia rawat. Ia harus menutup-nutupi kenyataan bahwa biji yang diberikan oleh sang CEO belum tumbuh sama sekali, meskipun segala cara sudah ia lakukan.
Hari pertama setelah mendapat biji tersebut Anton dan istrinya begitu semangat menanam biji tersebut. Hari berganti hari, biji tersebut tak menampakan perkembangan sama sekali, meskipun perawatan sudah begitu intens. Meskipun demikian, mereka berdua masih tetap semangat dan optimis untuk merawat biji tersebut. Tapi mereka mulai resah ketika sebulan kemudian, biji tersebut tak menunjukkan perkembangan, padahal dari cerita rekan-rekan di kantor, biji-biji yang mereka tanam telah mulai tumbuh. Optimisme Anton dan istrinya pun mulai terkikis seiring berjalannya waktu.
Akhirnya, satu tahun telah terlewati. Di hari yang telah ditentukan, semua karyawan yang mendapat bagian biji dari CEO datang ke kantor dengan membawa tanamannya masing-masing. Di balik tanaman yang mereka bawa terdapat harapan yang besar agar mereka lah yang nantinya dapat menjadi CEO di perusahaan itu. Lalu bagaimana dengan Anton? Apakah ia tidak hadir dalam hari pemilihan CEO baru itu? Tidak. Anton tetap datang, meskipun tak terlihat membawa tanaman, karena yang ia bawa hanyalah vas bunga kosong. Oleh karena itu, dalam pertemuan kali ini Anton memilih tempat yang kiranya sang CEO tidak terlalu memperhatikannya. Ia takut jika CEO mengiranya tidak menjalankan perintahnya untuk menanam dan merawat biji yang telah CEO berikan padanya.
Kini tibalah bagi sang CEO untuk mengumumkan siapa yang akan menjadi penggantinya di perusahaan tersebut. Sebelum ia mengutarakannya, sang CEO melirik ke tempat di mana Anton duduk. Sang CEO pun memanggilnya, “Kamu, yang duduk di pojok, siapa namamu?”. Dengan agak tergagap, Anton pun menjawab, “saya Anton Firmansyah pak”. “Kenapa kamu Cuma membawa vas bunga kosong, apakah kamu tidak menjalankan perintahku untuk menanam biji yang setahun lalu saya berikan?”, tanya sang CEO kemudian. Dengan segera Anton menanggapi pertanyaan sang CEO tersebut, “Bukan pak, saya bukannya mengabaikan perintah bapak. Karena setelah saya menerima biji dari bapak, sesampainya di rumah saya dan istri saya langsung menanamnya. Sebelum menanam, kami pilih tanah yang benar-benar subur, dan kami tempatkan di tempat yang layak, yang sinar matahari dapat mengenainya. Tak lupa kami pun menyiramnya secara rutin. Tapi sebulan kemudian, kami belum melihat biji yang kami tanam tumbuh, dan bahkan sampai saat ini, yakni setahun setelah biji ini kami tanam, tak sedikit pun nampak tanda-tanda pertumbuhannya. Meskipun, selama setahun itu pula, saya dan istri saya tak sekali pun menyerah untuk merawatnya. Tapi apa mau dikata pak, saya tidak bisa memaksakan apa yang bukan menjadi kuasa saya untuk menumbuhkan biji tersebut.” Jelas Anton pada atasannya tersebut. Mendengar penjelasan Anton, sang CEO pun hanya termanggut-manggut.
Tak berselang lama, kemudian sang CEO berbicara di depan para anak buahnya, dengan suara yang lantang, “Inilah CEO kita yang baru, namanya adalah Anton Firmansyah!” Anton yang saat itu hanya membawa vas bunga kosong. Semua yang hadir saat itu, nampak tercengang dengan pernyataan tersebut, tak terkecuali Anton. Bagaimana mungkin Anton yang terpilih? Setidaknya dalam benak para karyawan yang hadir saat itu adalah pertanyaan tersebut. Tak ingin membiarkan keheranan para karyawan itu terlalu lama, sang CEO pun mengungkapkan alasan kenapa justru Anton yang terpilih menjadi CEO selanjutnya di perusahaan tersebut. “Satu tahun lalu, saya telah membagikan kepada kalian satu biji untuk kalian tanam”, jelas sang CEO. “Perlu kalian ketahui, bahwa biji tanaman yang saya berikan kepada kalian itu telah saya masak terlebih dahulu”, semuanya masih diam mendengarkan penjelasan sang CEO, “Artinya, serajin apapun kalian menyiram, memupuk dan merawatnya, kalian tak akan bisa menumbuhkan biji yang sudah mati itu”, lanjut sang CEO, dan semua karyawannya pun hanya tertuntuk malu. “Tapi meskipun demikian, hari ini kalian membawakan kepadaku tanaman yang begitu tumbuh subur, kecuali Anton yang hanya membawa vas bunga yangn kosong, apakah kalian keberatan atas keputusan saya memilih Anton sebagai CEO yang akan menggantikan kedudukan saya di kantor ini?”. Tanpa penulis jelaskan, tentunya para pembaca sudah mampu menangkap alasan kenapa Anton yang terpilih menjadi CEO baru, dan kenapa bukannya dari karyawan-karyawan yang membawa tanaman-tanaman yang tumbuh subur?
Saat penulis menyelesaikan membaca halaman terakhir buku “Masa Depan Tuhan” karya Karen Armstrong, cerita di atas pun kembali memenuhi benak penulis. Dalam buku tersebut memang sedikit sekali yang membahas Islam, dan lebih banyak membahas tentang agama Kristen. Karenanya, beberapa kali penulis mengalami kesulitan untuk memahami peristilahan yang ada. Namun, ada kesimpulan dan beberapa pertanyaan nakal yang muncul dalam pengembaraan dalam buku tersebut. Kesimpulan yang mendasar ialah memang benar bahwa kepercayaan Islam itu berbeda dengan agama lain, akan tetapi dalam praktik keberadaan keseharian hampir tidak terdapat perbedaan yang berarti. Bahkan dalam sejarah perkembangannya pun, hampir-hampir sama antara satu agama dengan agama yang lain tidak memiliki perbedaan yang berarti, baik itu agama samawi atau ardli. Dari mulai penyangkalan agama lama atas kedatangan agama baru, kemudian persinggungan agama dengan sains, hingga sampai konsep fundamentalisme pada masing-masing agama juga memilki kesamaan. Tapi bukan itu yang ingin penulis kemukakan dalam tulisan ini, yang – bisa penulis katakan – merupakan refleksi dari cerita di atas.

Semua agama, meyakini adanya Dzat yang transenden, yang memiliki Kuasa tak terbatas, dan – dari pemaham penulis – semuanya meyakini ke-Esa-an Dzat tersebut, meskipun pada praktisnya kemudian ada yang berupa kesatuan dari yang tiga (Trinitas), tapi secara konsep semuanya itu meyakini bahwa Ia yang Maha Kuasa adalah Satu (selanjutnya penulis sebut dengan Tuhan). Tidak hanya itu, dalam upaya menemukan Yang Kuasa itu, setiap agama harus melalui perjalanan batin yang dengannya seseorang mampu bertemu dengan Tuhan, yang tak terbatas. Bahwa ibadah yang dilakukan oleh para pemeluk agama adalah merupakan sarana untuk mencapai pengalaman ekstasis (keluar dari diri sendiri), karena mustahil bagi manusia ketika ia masih berada dalam dirinya sendiri mampu bertemu dengan Tuhan. Dalam Budha, ada konsep pengosongan diri ini dengan melakukan laku rohani ini dan itu, semisal dengan bertapa dan mengosongkan diri, dalam Kristen pun juga ada, di mana seorang Kristen harus melakukan perjalanan rohani dengan banyak rintangan yang harus mereka lalui sebelum ia bertemu dengan Tuhan. Dan yang cukup mencengangkan dalam buku tersebut, terungkap bahwa masyarakat kuno sebelum hadirnya agama yang formal, dalam arti agama yang popular saat ini, juga melakukan perjalanan batin ini. Ini terbukti dengan ditemukannya gua-gua yang di dalamnya banyak terdapat gambar-gambar prosesi penyembahan, dan yang menakjubkan lagi ialah perjalanan ke dalam gua itu teramat sulit, dengan merangkak, di mana di gambarkan tidak ada celah antara kepala dan atap gua, dengan tanpa adanya penerangan dan bekal yang sangat minim. Akan tetapi, di ujung gua tersebut ada ruangan yang sangat luas, dengan dinding-dinding yang dipenuhi gambar seseorang sedang beribadah, baik berupa penyembahan akan obyek tertentu atau pengorbanan seseorang dengan dipimpin oleh kepala adat,  (untuk lebih lengkapnya, para pembaca bisa membaca langsung buku tersebut). Jadi, kesimpulannya, dalam hal pencapaian kemampuan manusia untuk mampu bertemu Tuhan haruslah diawali dengan perjalanan batin hingga mampu mencapai pengalaman ekstasis, di mana seseorang harus melakukan pengosongan diri (kenosis) dalam perjalanan batin itu. Laku-laku ibadah dalam beragama adalah sarana dalam mencapai pengalaman ekstasisi ini. Shalat, puasa, termasuk bersedekah dalam Islam misalnya ialah tak lain dari upaya mendisiplinkan diri untuk meraih pengalaman ekstatis ini.
Lantas apa kaitannya dengan cerita pemilihan CEO di atas? Sebenarnya tidak terlalu ada kaitannya cerita di atas dengan perolehan pengalaman ekstasis ini. Hanya saja, melihat fenomena truth claim (klaim kebenaran) yang sangat popular akhir-akhir ini menjadikan penulis miris. Bukannya merasa sok yes, tapi penulis hanya khawatir jika ternya kita yang melakukan klaim paling benar dan paling layak mendapat surga Allah tidak lain dan tidak bukan adalah karyawan yang melakukan segala cara untuk membawakan kepada CEO tanaman yang tumbuh subur, tapi lupa bahwa bukanlah tanaman yang diinginkan oleh CEO, melainkan kejujuran hati.  Kita merasa bahwa kitalah yang pantas menghuni surga, hingga kemudian segala cara kita lakukan untuk memperjuangkan Tuhan kita, supaya kita mendapat pujian. Seakan kita – mungkin – lupa, bahwa bisa jadi ini semua adalah ujian dari Tuhan. Bukankah bukanlah sesuatu yang sulit bagi Tuhan untuk menjadikan kita manusia menjadi umat yang satu? Tapi kenapa justru menjadikannya berbeda-beda, bahkan dalam keagamaan? Dan apakah kemudian Tuhan memihak satu kaum saja yang hendak Ia kasihi dan Ia sandingkan di sisi-Nya? Kita sebagai orang Islam meyakini orang Islamlah yang akan mendapat surge-Nya, berdasarkan Kitab Suci Al-Qur’an. Tapi apakah dalam Kitab Suci Kristiani menyebutkan demikian? Bahwa surga adalah milik orang Islam. Kemudian agama-agama lain apakah juga demikian? Kesimpulan akhirnya adalah setiap agama memiliki pedoman tentang pengakuan mereka benar dan lebih dari itu, meraka punya kriteria siapa yang akan menempati surga Tuhan.  Lantas, kenapa kita harus dengan semangat menggebu-gebu menjadi “juru putus Tuhan” tentang benar, salah, sesat, berhak surga atau neraka. Padahal Allah sendiri menyuruh untuk kita “fastabiq al-khairat”.
Daripada kita bergelut dengan sesuatu yang menjadi hak preogatif Tuhan, lebih baik kita – seperti Anton di atas – menjalankan dengan apa adanya perintah sang CEO tanpa harus merasa perlu melakukan ini dan itu agar apa yang “nampaknya” jadi tujuan akan perintah CEO dapat terpenuhi, yang akhirnya para teman Anton melakukan kecurangan-kecurangan yang anehnya mereka dengan terang-terangan merasa bangga telah melakukannya. Nampaknya, kita memang perlu mengintrospeksi diri kita kembali, apakah kita telah melakukan kecurangan yang tidak kita sadari terhadap perintah Tuhan? Apakah dengan Tuhan menyatakan bahwa orang Islam yang bertaqwa kepadanya dan Muhammad SAW. yang pantas masuk surga menjadikan kita orang Islam berhak mengatakan mereka yang non-Islam itu masuk neraka?
Di balik semua itu, dan di balik tulisan ini, penulis berlindung dari kesalahan yang tak penulis sadari. Karenannya, bagi para pembaca yang budiman, penulis harapkan kritikan dan saran atas tulisan ini. Akhirnya, dari semua kebenaran yang ada, hanya Allah lah yang paling tahu akan kebenaran itu. Wallaahu A’lamu Bi Al-Shawaab.

0 Response to "Refleksi Dari Masa Depan Tuhan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel