Refleksi Dari Argumen Islam untuk Pluralisme
“Menurut kamu, bagaimana hukumnya mengucapkan ucapan selamat Natal kepada orang Kristen?”
Setidaknya seperti itulah salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang dosen yang menjadi penguji Skripsi mahasiswa yang skripsinya membahas tentang sikap keberagamaan (pluralisme) di sekolah. Jawaban yang diberikan oleh mahasiswa itu adalah bahwa sah-sah saja mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen selama itu hanya sekedar ucapan dan tidak sampai meyakini akidah orang Kristen. Namun, jawaban tersebut kemudian ditanggapi oleh dosen penguji, bahwasanya ketika mengucapkan Selamat kepada mereka, sama halnya mereka meyakini akidah umat Kristen juga (pen. Trinitas).
Kemudian, beberapa tahun yang lalu, di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam dihebohkan dengan beredarnya foto beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi berbasis Islam yang menghadiri Misa Natal di salah satu Gereja. Komentar-komentar negative pun bermunculan, ada yang beristighfar, ada yang keheranan, dan ada pula yang dengan emosi yang menggebbu-gebu mengatai mereka (yang menghadiri Misa tersebut) telah rusak akidahnya, dan komentar-komentar lainnya yang bernada menghujat.
Berdasar dari dua kisah di atas, setidaknya penulis masih belum bisa mengatakan bahwa kesadaran akan pluralisme beragama di lingkungan akademisi masih jauh dari maksimal. Di sini, penulis bukan mencoba menghakimi siapapun di samping juga bukan bermaksud mengatakan bahwa apa yang penulis yakini adalah sesuatu yang paling paling benar.
Seperti dalam beberapa literature tentang pluralisme, memang kebanyakan dari umat Islam (khusunya di Indonesia) masih sensitive dengan istilah pluralisme ini. Kenyataaan bahwa banyak yang menganggap bahwa pluralisme menganggap semua agama sama masih menjadi pemahaman yang diyakini kebanyakan umat Islam di negeri ini. Apalagi, pasca dikeluarkannya fatwa MUI yang melarang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, di mana pluralisme dalam fatwa MUI ini juga menyebutkan bahwa menganggap semua agama sama adalah definisi dari pluralisme. Fatwa ini bagaikan pupuk yang semakin menyuburkan pandangan setiap individu yang dari awal memamng tidak setuju dengan pluralisme.
Penulis menyadari, bahwa bukan maqam penulis untuk mengatakan mereka salah karena menganggap pluralisme adalah semua agama sama, atau mengatakan benar bagi mereka yang mengatakan bahwa Indonesia – dengan segala keragamannya, termasuk agama – harus mengembangkan pemahaman pluralisme agama. Hanya saja, setelah penulis mencoba memahami pluralisme agama, terlebih dalam Islam melalui tulisan BUdhy Munawar Rachman dalam “Argumen Islam untuk Pluralisme”, penulis menemukan bahwa memang pluralisme dalam agama nampaknya sangat perlu dikembangkan di Indonesia. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak lagi mempermasalahkan keimanan kita dengan mereka yang tak sepaham dengan kita. Sejenak kita tinggalkan kecongkakan kita yang merasa paling benar dan paling berhak mendapat ridlo dari-Nya. Mari kita perteguh dalam diri kita, bahwa kita hanya manusia, mereka juga manusia, kita adalah khalifah fi al-ardli, mereka pun demikian. Kita ingin dicintai, mereka pula ingin di cintai, kita ingin dihargai, mereka pula demikian ingin dihargai. Karena kita manusia dan mereka juga manusia, maka pada dasarnya apa yang kita inginkan (sebagai bagian dari hak manusia) juga mereka inginkan pula. Jika demikian, maka bagaimana mungkin kita dengan seenak hati mengatakan mereka sesat, mereka kafir, mereka tak berhak masuk surga, dan sebagainya. Padahal ketika hal itu (klaim sesat, kafir dan tidak berhak masuk surga) dialamatkan pada kita, kita tak akan terima.
Beberapa orang yang dengan mudah mengatakan mereka – yang tidak sesuai dengannya – sesat dan sebagainya, biasa menggunakan pembenar berupa dalil-dalil yang sudah mereka hafal di luar kepala. Mereka merasa benar hanya karena secara scriptual dari al-Qur’an dan hadist mengatakan mereka yang paling benar. Dengan berbekal beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist saja, mereka sudah berani men-judge salah-benar, lurus-sesat, surga-neraka. Seakan lupa, bahwa bukanlah kuasa manusia men-judge siapapun.
Menganggap bahwa apa yang kita yakini adalah yang paling benar adalah suatu keharusan, tapi bukan berarti karena yang kita yakini adalah yang paling benar kemudian mengatakan apa yang di luar keyakinan kita adalah salah. Kita umat Islam memang berhak meyakini umat Islamlah yang akan masuk surga berdasarkan al-Qur’an dan Hadist, tapi bukankah dengan mereka yang beragama Kristen atau Yahudi atau lainnya? Yang berdasarkan kitab Suci mereka, golongan merekalah yang akan mendapat surga dari Yang Maha Pengasih. Jika demikian, bukankah benar jika dikatakan semua agama akan masuk surga, sama halnya semua agama adalah baik dan benar, dengan catatan “menurut pemeluknya masing-masing”. Klausul “menurut pemeluknya masing-masing” inilah yang sering kita lupakan, atau sengaja kita anggap tidak ada, sehingga kemudian ketika ada yang mengatakan bahwa semua agama benar dan sama, kita serta merta menghukumi mereka sesat, mereka salah, dan tak pantas masuk surga, seakan kita lupa batasan kita sebagai manusia, seakan kita lupa pula untuk melakukan tabayun atas apa yang kita dapatkan.
Konfusius pernah mengatakan bahwa “janganlah kamu melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang itu kamu tidak suka jika dilakukan kepadamu kamu”. Bukankah ini juga sejalan dengan ajaran-ajaran agama lainnya, tak terkecuali Islam. Lantas kenapa kita harus menyakiti sesama manusia yang juga saudara kita dengan mengatai mereka sesat, kafir dan sebagainya? Apakah kita akan rela jika mereka mengatai kita sesat dengan apa yang kita yakini benar?
Dalam tulisan Budhy Munawar Rachman, terdapat kisah pengalaman religious dari seorang Hindu/Budha (penulis lupa akan pastinya, apakah dia Hindu/Budha), yang mengatakan bahwa agama ini adalah ibarat sungai-sungai yang memiliki karakter masing-masing. Tapi diantara sekian banyak sungai ini semua bermuara di lautan yang begitu luas. Ketika di permukaan, bisa jadi kita hanya melihat satu sungai yang begitu luas dengan air yang begitu menyegarkan, yang menjanjikan kesegaran dan kesejukan. Namun, ketika kita melihantnya dari atas, maka akan nampak sungai-sungai lainnya yang ke semuanya itu akan kita temukan bertemu di lautan lepas. Bisa jadi, keberagaam yang ada juga seperti sungai-sungai ini, semua bermuara pada Dzat Yang Satu. Bahwa kita jangan sampai melupakan bahwa pengalaman spiritual tiap-tiap manusia itu berbeda. Ada yang menemukan Dzat Tertinggi melalui Ekaristi dan Liturgi-liturgi yang ada dalam agama Kristen, ada yang menemukan-Nya dalam olah-jiwa dalam agama Budha, atau juga bisa dalam Sholat, puasa dan juga dzikir dalam Islam. Setiap orang berbeda dalam pencapaian spiritualnya, dank arena berbeda itulah maka menyatakan diri paling benar dan lain salah merupakan bentuk “kesombongan tak sadar” yang menakutkan.
Beberapa memang salah paham dengan pluralisme, termasuk MUI yang menyalahpahami pluralisme sebagai menyamakan agama, merelatifkan kebenaran agama. Padahal bukanlah itu yang diinginkan pluralisme, melainkan persamaan agama dalam hak-haknya dalam kehidupan bersama. Bagaimana setiap agama berlomba untuk melakukan yang terbaik. Bukankah fastabiq al-khairat itu lebih penting dari pada menentukan siapa yang paling benar? Tuhan tak perlu campur tangan kita untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, Dia hanya menyuruh hamba-Nya untuk memakmurkan bumi (khalifah fi al-ardli) dan beribadah kepada-Nya (‘abdullah). Bagaimana bisa kita mampu memakmurkan bumi, jika kebencian dan bukannya cinta yang kita tebarkan? Bagaimana bisa kita memakmurkan bumi, jika kita dengan mudahnya mengatakan sesat bagi sesame manusia yang juga mengemban amanah yang sama? Sementara itu, tugas untuk ibadah juga dibebankan kepada semua manusia. Intinya semuanya memiliki kewajiban beribadah, hanya saja dalam bentuk eksoterisnya berbeda satu dengan lainnya, tergantung pengalaman spiritual masing-masing. Sementara diterima atau tidaknya itu adalah hal prerogative Allah yang kepada-Nya kita semua akan kembali dengan amal-amal yang telah kita perbuat. Insyaallah.
Dari semua itu, semoga kita senantiasa terlindung dari kesesatan akidah yang tak kita sadari. Akhirnya, semua kebenaran hanya milik Allah, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui apa yang benar dan salah, apa yang tersembunyi dalam hati dan apa yang nampak dalam laku dan ucapan. Wallaahu A’lamu bi al-Shawaaaab.
Malang, 13/11/14, 09.58
Setidaknya seperti itulah salah satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang dosen yang menjadi penguji Skripsi mahasiswa yang skripsinya membahas tentang sikap keberagamaan (pluralisme) di sekolah. Jawaban yang diberikan oleh mahasiswa itu adalah bahwa sah-sah saja mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen selama itu hanya sekedar ucapan dan tidak sampai meyakini akidah orang Kristen. Namun, jawaban tersebut kemudian ditanggapi oleh dosen penguji, bahwasanya ketika mengucapkan Selamat kepada mereka, sama halnya mereka meyakini akidah umat Kristen juga (pen. Trinitas).
Kemudian, beberapa tahun yang lalu, di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam dihebohkan dengan beredarnya foto beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi berbasis Islam yang menghadiri Misa Natal di salah satu Gereja. Komentar-komentar negative pun bermunculan, ada yang beristighfar, ada yang keheranan, dan ada pula yang dengan emosi yang menggebbu-gebu mengatai mereka (yang menghadiri Misa tersebut) telah rusak akidahnya, dan komentar-komentar lainnya yang bernada menghujat.
Berdasar dari dua kisah di atas, setidaknya penulis masih belum bisa mengatakan bahwa kesadaran akan pluralisme beragama di lingkungan akademisi masih jauh dari maksimal. Di sini, penulis bukan mencoba menghakimi siapapun di samping juga bukan bermaksud mengatakan bahwa apa yang penulis yakini adalah sesuatu yang paling paling benar.
Seperti dalam beberapa literature tentang pluralisme, memang kebanyakan dari umat Islam (khusunya di Indonesia) masih sensitive dengan istilah pluralisme ini. Kenyataaan bahwa banyak yang menganggap bahwa pluralisme menganggap semua agama sama masih menjadi pemahaman yang diyakini kebanyakan umat Islam di negeri ini. Apalagi, pasca dikeluarkannya fatwa MUI yang melarang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, di mana pluralisme dalam fatwa MUI ini juga menyebutkan bahwa menganggap semua agama sama adalah definisi dari pluralisme. Fatwa ini bagaikan pupuk yang semakin menyuburkan pandangan setiap individu yang dari awal memamng tidak setuju dengan pluralisme.
Penulis menyadari, bahwa bukan maqam penulis untuk mengatakan mereka salah karena menganggap pluralisme adalah semua agama sama, atau mengatakan benar bagi mereka yang mengatakan bahwa Indonesia – dengan segala keragamannya, termasuk agama – harus mengembangkan pemahaman pluralisme agama. Hanya saja, setelah penulis mencoba memahami pluralisme agama, terlebih dalam Islam melalui tulisan BUdhy Munawar Rachman dalam “Argumen Islam untuk Pluralisme”, penulis menemukan bahwa memang pluralisme dalam agama nampaknya sangat perlu dikembangkan di Indonesia. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak lagi mempermasalahkan keimanan kita dengan mereka yang tak sepaham dengan kita. Sejenak kita tinggalkan kecongkakan kita yang merasa paling benar dan paling berhak mendapat ridlo dari-Nya. Mari kita perteguh dalam diri kita, bahwa kita hanya manusia, mereka juga manusia, kita adalah khalifah fi al-ardli, mereka pun demikian. Kita ingin dicintai, mereka pula ingin di cintai, kita ingin dihargai, mereka pula demikian ingin dihargai. Karena kita manusia dan mereka juga manusia, maka pada dasarnya apa yang kita inginkan (sebagai bagian dari hak manusia) juga mereka inginkan pula. Jika demikian, maka bagaimana mungkin kita dengan seenak hati mengatakan mereka sesat, mereka kafir, mereka tak berhak masuk surga, dan sebagainya. Padahal ketika hal itu (klaim sesat, kafir dan tidak berhak masuk surga) dialamatkan pada kita, kita tak akan terima.
Beberapa orang yang dengan mudah mengatakan mereka – yang tidak sesuai dengannya – sesat dan sebagainya, biasa menggunakan pembenar berupa dalil-dalil yang sudah mereka hafal di luar kepala. Mereka merasa benar hanya karena secara scriptual dari al-Qur’an dan hadist mengatakan mereka yang paling benar. Dengan berbekal beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist saja, mereka sudah berani men-judge salah-benar, lurus-sesat, surga-neraka. Seakan lupa, bahwa bukanlah kuasa manusia men-judge siapapun.
Menganggap bahwa apa yang kita yakini adalah yang paling benar adalah suatu keharusan, tapi bukan berarti karena yang kita yakini adalah yang paling benar kemudian mengatakan apa yang di luar keyakinan kita adalah salah. Kita umat Islam memang berhak meyakini umat Islamlah yang akan masuk surga berdasarkan al-Qur’an dan Hadist, tapi bukankah dengan mereka yang beragama Kristen atau Yahudi atau lainnya? Yang berdasarkan kitab Suci mereka, golongan merekalah yang akan mendapat surga dari Yang Maha Pengasih. Jika demikian, bukankah benar jika dikatakan semua agama akan masuk surga, sama halnya semua agama adalah baik dan benar, dengan catatan “menurut pemeluknya masing-masing”. Klausul “menurut pemeluknya masing-masing” inilah yang sering kita lupakan, atau sengaja kita anggap tidak ada, sehingga kemudian ketika ada yang mengatakan bahwa semua agama benar dan sama, kita serta merta menghukumi mereka sesat, mereka salah, dan tak pantas masuk surga, seakan kita lupa batasan kita sebagai manusia, seakan kita lupa pula untuk melakukan tabayun atas apa yang kita dapatkan.
Konfusius pernah mengatakan bahwa “janganlah kamu melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang itu kamu tidak suka jika dilakukan kepadamu kamu”. Bukankah ini juga sejalan dengan ajaran-ajaran agama lainnya, tak terkecuali Islam. Lantas kenapa kita harus menyakiti sesama manusia yang juga saudara kita dengan mengatai mereka sesat, kafir dan sebagainya? Apakah kita akan rela jika mereka mengatai kita sesat dengan apa yang kita yakini benar?
Dalam tulisan Budhy Munawar Rachman, terdapat kisah pengalaman religious dari seorang Hindu/Budha (penulis lupa akan pastinya, apakah dia Hindu/Budha), yang mengatakan bahwa agama ini adalah ibarat sungai-sungai yang memiliki karakter masing-masing. Tapi diantara sekian banyak sungai ini semua bermuara di lautan yang begitu luas. Ketika di permukaan, bisa jadi kita hanya melihat satu sungai yang begitu luas dengan air yang begitu menyegarkan, yang menjanjikan kesegaran dan kesejukan. Namun, ketika kita melihantnya dari atas, maka akan nampak sungai-sungai lainnya yang ke semuanya itu akan kita temukan bertemu di lautan lepas. Bisa jadi, keberagaam yang ada juga seperti sungai-sungai ini, semua bermuara pada Dzat Yang Satu. Bahwa kita jangan sampai melupakan bahwa pengalaman spiritual tiap-tiap manusia itu berbeda. Ada yang menemukan Dzat Tertinggi melalui Ekaristi dan Liturgi-liturgi yang ada dalam agama Kristen, ada yang menemukan-Nya dalam olah-jiwa dalam agama Budha, atau juga bisa dalam Sholat, puasa dan juga dzikir dalam Islam. Setiap orang berbeda dalam pencapaian spiritualnya, dank arena berbeda itulah maka menyatakan diri paling benar dan lain salah merupakan bentuk “kesombongan tak sadar” yang menakutkan.
Beberapa memang salah paham dengan pluralisme, termasuk MUI yang menyalahpahami pluralisme sebagai menyamakan agama, merelatifkan kebenaran agama. Padahal bukanlah itu yang diinginkan pluralisme, melainkan persamaan agama dalam hak-haknya dalam kehidupan bersama. Bagaimana setiap agama berlomba untuk melakukan yang terbaik. Bukankah fastabiq al-khairat itu lebih penting dari pada menentukan siapa yang paling benar? Tuhan tak perlu campur tangan kita untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, Dia hanya menyuruh hamba-Nya untuk memakmurkan bumi (khalifah fi al-ardli) dan beribadah kepada-Nya (‘abdullah). Bagaimana bisa kita mampu memakmurkan bumi, jika kebencian dan bukannya cinta yang kita tebarkan? Bagaimana bisa kita memakmurkan bumi, jika kita dengan mudahnya mengatakan sesat bagi sesame manusia yang juga mengemban amanah yang sama? Sementara itu, tugas untuk ibadah juga dibebankan kepada semua manusia. Intinya semuanya memiliki kewajiban beribadah, hanya saja dalam bentuk eksoterisnya berbeda satu dengan lainnya, tergantung pengalaman spiritual masing-masing. Sementara diterima atau tidaknya itu adalah hal prerogative Allah yang kepada-Nya kita semua akan kembali dengan amal-amal yang telah kita perbuat. Insyaallah.
Dari semua itu, semoga kita senantiasa terlindung dari kesesatan akidah yang tak kita sadari. Akhirnya, semua kebenaran hanya milik Allah, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui apa yang benar dan salah, apa yang tersembunyi dalam hati dan apa yang nampak dalam laku dan ucapan. Wallaahu A’lamu bi al-Shawaaaab.
Malang, 13/11/14, 09.58
0 Response to "Refleksi Dari Argumen Islam untuk Pluralisme"
Post a Comment