Mengajarkan Pada Anak tentang Keberagamaan
Ada anak SD kelas 3 bertanya pada gurunya, “Bu
guru, teman saya ada yang beragama tidak Islam, apakah ia akan masuk surga?”
Pertanyaan
di atas kemudian coba saya tanyakan ke beberapa guru agama Islam, baik yang
mengajar di SD/MI, atau MTs/SMP. Dari beberapa guru, saya dapati tiga kelompok
yang persis dengan pengelompokan sikap keberagamaan, yaitu eksklusif, inklusif
dan pluralis. Ada guru yang menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan pada
siswanya bahwa hanya agama Islam saja yang akan masuk surga. Kemudian ada juga
yang menjawab antara iya dan tidak bahwa non-Islam masuk surga, da nada pula
yang dengan jawaban singkat “Insyaallah nak, jika Allah meridloinya, maka temanmu
itu juga akan masuk surga”, yang menurut saya ini termasuk pada pengamalan
keberagamaan yang pluralis.
Memang,
tidak mudah untuk memuaskan rasa penasaran anak-anak. Banyak kita jumpai
pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dari mereka, namun terkadang kita sebagai
orang dewasa nampak kesulitan menemukan jawaban yang setidaknya membuat anak
tersebut merasa puas. Terkadang,tak jarang pula kita menganggap pertanyaan sederhana itu tidak
penting, sehingga kita mengacuhkannya. Seakan kita lupa bahwa masa kanak-kanak adalah
masa paling menentukan, dimana pengalaman yang didapatkan anak saat kanak-kanak
itu akan sangat menentukannya di kemudian hari.
Saya
teringat akan sebuah kisah seorang anak yang menghina temannya. Sebut saja
Doni, anak berusia 3 4 tahun, berteman dengan Steve yang juga seumuran dengan
Doni. Keduanya berteman sangat baik, karena memang rumah mereka berdekatan,
hanya saja orangtua mereka berlainan keyakinan yang sudah tentu Doni dan Steve
juga berbeda keyakinan. Suatu hari, Doni bermain di rumah Steve, di
tengah-tengah mereka bermain, tiba-tiba terdengar suara adzan Asar. Doni pun teringat
pesan orangtuanya untuk pulang ketika adzan Dluhur, karena harus pergi ke
masjid dan mengikuti kegiatan TPA. Akhirnya Doni pamit kepada Steve hendak
pulang. Steve pun bertanya kepada Doni, kenapa Doni harus ke masjid. Singkat cerita,
dari pertanyaan Steve itu, Doni kemudian mengatakan pada Steve, bahwa menurut
gurunya dan juga orangtuanya, bahwa siapa saja tidak akan masuk Surga kalau
tidak shalat dan mengaji. Pernyataan Doni itu pun terdengar oleh orangtua
Steve, dan setelah hari itu, orangtua Steve melarang Steve bermain dengan Doni.
Dari
cerita di atas, kita dapat melihat bahwa anak-anak sangat rentan dengan apa
saja yang mereka peroleh. Mareka ibarat kanvas kosong yang bisa diwarnai apa saja
sesuai yang mewarnainya. Kita patut prihatin dengan kisah di atas, bahwa sikap
ekslusif beragama seseorang ternyata bisa merenggangkan persahabatan anak-anak.
Kita tidak bisa serta merta menganggap salah perbuatan orangtua Steve yang kemudian
melarang anaknya bergaul dengan Doni, tapi kita juga tidak bisa menganggap
benar orangtua/guru dari Doni yang mengajarkan sikap eksklusif dalam beragama. Bukan
tanpa sebab jika Doni menghakimi Steve tidak masuk surga karena tidak Sholat
dan mengaji. Adanya ia mengatakan demikian, karena memang ada yang
mengajarinya.
Hal
ini memang cukup memprihatinkan, kenyataan bahwa Indonesia adalah Negara yang
plural baik dalam suku, ras, budaya dan juga keyakinan tidak diperkenalkan
sebagai sebuah kekayaan, melainkan bencana kepada para generasi penerus. Menag,
tidak ada satu pun pendidik (entah itu guru, atau element keluarga sebagai
pendidik dalam keluarga atau masyarakat) yang secara implisit mengajarkan
membenci perbedaan, tapi dengan kita memperlihatkan sikap ekslusif dalam beragama,
misalnya, di depan anak-anak, sama halnya kita mengajarkan sikap keberagamaan
yang eksklusif kepada mereka. Dan jika ini dibiarkan, maka di kemudian hari
bisa jadi mereka akan lebih eksklusif lagi dalam beragama melebihi kita, yang –
bisa jadi – tidak segan-segan melakukan kekerasan kepada siapa yang tidak
sephaman dengannya. Ini bukan berarti melarang kita untuk menunjukkan kebenaran
akan agama yang kita yakini kepada anak kita atau peserta didik yang ada di
sekolah yang berafiliasi pada salah satu agama. Hanya saja, dalam mengajarkan
keyakinan itu tidak sampai – secara sadar atau tidak – mengajarkan benih-benih kebencian
di dalamnya terhadap pihak lain yang tak sepaham dengan kita.
Kembali
kepada pertanyaan anak SD di atas, bahwa jawaban yang diberikan oleh seorang
guru, utamanya dalam hal keyakinan, jangan sampai menimbulkan kesan benar-salah
atau sesat-lurus dalam menilai orang lain. Kita patut merenungkan kembali
jawaban salah seorang guru di atas, “Insyaallah jika Allah meridlai, temanmu
itu (yang tidak Islam) juga akan masuk surga”, mungkin juga bisa ditambahi “dan
cara untuk mendapat Ridlo itu adalah kita harus rajin beribadah, rajin membantu
sesame, suka bersedekah tidak sombong dan harus rajin belajar, maka insyaallah
kita akan mendapat Ridlo Allah, begitu anak-anak.” Bukankah itu jawaban yang
sangat bijak, karena memang bukanlah manusia yang menentukan seseorang bisa
masuk surga/tidak. Memang benar, bahwa dalam al-Qur’an dan Hadist meyebutkan
kriteria yang akan masuk surga, yang salah satunya memang harus Islam dengan
segala konsekuensinya, tapi menumbuhkan pemahaman bahwa selain Islam itu salah
kepada anak-anak sangatlah membahayakan.
Bukankah
3 perkara yang akan kita bawa ketika mati salah satunya adalah anak yang
shaleh? Lantas bagaimanakah anak yang shaleh itu? Apakah ia yang mudah
mengklaim orang lain dengan sesat? Atau yang selalu menyombongkan dirinya
dengan ke-Islam-annya? Ataukah ia yang selalu mengasihi orang-orang lemah,
menolong orang-orang fakir tanpa memandang siapa mereka dan beragama apa? Ataukah
ia yang selalu menebar senyum kedamaian kepada siapa saja yang ia jumpai? Ataukah
sosok yang dengan siapa ia bertemu, oranglain akan merasa teduh di sampingnya? Itu
semua kembali kepada kita yang merupakan designernya, jika kita tak mau
meninggalkan generasi yang gemar menebar kebencian, maka hendaknya kita
lepaskan keegoisan kita, kesombongan diri yang menganggap paling benar diantara
lainnya. Kita memang wakil-Nya (khalifah fil Ardli), tapi bukan berarti
kita juga mewakili-Nya dalam menentukan siapa pantas dan tidak pantas masuk
surga, siapa benar dan siapa salah, siapa yang berada di jalan lurus atau
sesat, karena itu benar-benar hak prerogative Tuhan Semesta Alam.
Bahwa
semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya kelak di Hari Akhir,
termasuk bagaimana kita mendesaign generasi penerus kita, apakah design itu
berupa generasi “sombong” atau generasi “penuh cinta kasih”? yang pasti, dari
semua desaign itu, kita harus mampu mempertanggungjawabkannya. Demikian, semoga
yang sedikit ini bisa bermanfaat. Akhirnya, bahwa semua kebenaran hanya tunduk
pada-Nya yang Maha Benar. Wallaahu A’lamu bi al-Shawaaaab.
Malang,
15/11/14, 11.27 WIB
ahsantum jack
ReplyDeleteMaturnuwun mas koment e...hahhahaha
ReplyDelete