Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu dalam Tafsir Al-Qur'an

PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam,
adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dari Allah SWT. untuk
seluruh alam, tidak hanya untuk satu atau dua umat tertentu saja, seperti
Nabi-nabi sebelumnya. Nabi
Muhammad lahir dari keluarga bani Hasyim di Mekah, tepatnya pada hari senin,
tanggal 12 Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun dari Peristiwa
Gajah, sehingga tahun ini dikenal dengan
Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur
kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerang Kota Mekah untuk
menghancurkan Ka’bah. Bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April
tahun 571 M.[1]
Menjelang usianya yang keempat
puluh, dia sudah terlalu terbiasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat,
berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di Utara Makkah. Di sana
Muhammad saw. mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakkur. Tepatnya
pada tanggal 17 Ramadlan tahun 611 M, malaikat Jibril muncul di hadapannya guna
menyampaiakan wahyu Allah SWT. yang pertama.[2]
Dengan turunnya wahyu pertama ini, maka Muhammad saw. telah dipilih sebagai
Nabi. [3] Setelah
peristiwa penerimaan wahyu yang pertama ini, Nabi Muhammad – selama kurun waktu
22 tahun, 2 bulan, 22 hari – selalu menyerukan agama Islam ke segala penjuru.
Wahyu demi wahyu ia terima dari malaikat Jibril, hingga sampai pada puncaknya,
yaitu pada peristiwa haji wada’. Rasulullah
mendapatkan wahyu berupa firman dari Allah SWT.
اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ َلَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا.......(المائدة: ۳)
|
Sebelum Nabi Muhammad saw. wafat,
ia juga mewasitkan dua pusaka kepada umat Islam yang dengannya dapat
mengantarkan pada keselamatan dunia dan akhirat, yaitu al-Qur’an dan Hadist.[4]
Keduanya mengandung ajaran-ajaran Islam, dan merupakan dua sumber ajaran-ajaran
Islam yang paling utama, yang tidak akan tersesat apabila mematuhi apa yang
terkandung di dalam dua pusaka tersebut.
Melihat wahyu terkahir yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw., serta jaminan tidak akan tersesatnya seorang muslim yang menjalankan apa yang ada di dalam
al-Qur’an dan Hadist ternyata tidak menjadi sebuah ketentuan bahwa setiap
muslim dapat merepresentasikan Islam sebagai rahmat seluruh alam.[5]
Sejarah mencatat, bahwa telah terjadi beberapa kali perpecahan di antara
umat Islam ini. Perpecahan ini dimulai dari peperangan antara pengikut Ali bin Abi Thalib
dengan pengikut Mu’awiyah, yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Pada
peperangan tersebut tentara Ali tewas 35.000 orang dan tentara Mu’awiyah tewas
45.000 orang. Kemudian disusul dengan peristiwa
jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa Mongol (pasukan Tartar yang dikenal
sebagai bangsa yang bengis dan tidak berperikemanusiaan). Ini terjadi karena
perbedaan pandangan antara khalifah yang orang Sunni dengan wasir besar
(perdana menteri) yang orang Syi’ah. Perkelahian penganut
Mazhab Syafi’i dengan Mazhab Hanafi juga telah menghancurkan Negeri Merv sebagai
pusat ibukota wilayah Khurasan. Di abad ke-15 M, terjadi
pertarungan
Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak
mengatakan bahwa mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka
masing-masing. Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab
Syi’ah.[6]
Belum lagi ketika menengok sejarah teologi/ilmu kalam dalam Islam, dimana
akan nampak banyaknya perpecahan-perpecahan umat Islam dalam memaknai Islam, di
samping juga dalam mengamalkannya. Padahal acuan dasar dalam beragama adalah
sama. Tidak hanya sekedar berselisih, mereka juga tidak segan-segan mengklaim
pihak yang tidak sesuai dengan ideologinya sebagai seorang kafir, dan
sebutan-sebutan negatif lainnya.
Seakan tidak belajar dari sejarah, umat Islam dewasa ini masih
terjebak pada perpecahan-perpecahan yang bersifat internal, yakni antara muslim
satu dengan muslim lainnya. Bahkan tidak jarang, perpecahan ini berujung pada
klaim kafir (takfir) yang dilakukan oleh kelompok Islam satu kepada
kelompok lain yang tidak sepaham dengan ideologinya. Di Indonesia sendiri,
perpecahan dalam Islam juga terjadi baik itu yang nampak jelas di permukaan
atau samar-samar saja. Sebut saja kasus penyerangan warga yang
dilancarkan oleh seribuan warga Desa Cikeusik terhadap jemaah Ahmadiyyah di
Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten,
pada hari Minggu, 6 Februari 2011.[7] Selain itu, masih banyak perpecahan-perpecahan lainnya yang
melibatkan sesama umat Islam, seperti penyerangan terhadap kaum Syi’ah di
Sampang Madura pada tanggal 26 Agustus 2012,
Sejarah perpecahan ini juga menyajikan fakta bahwa tiap kelompok
yang saling berselisih, tetap mengacu pada al-Qur’an dan Hadist yang sama. Tiap
kelompok dapat menyajikan argumennya masing-masing baik itu berupa ayat dalam
al-Qur;’an atau matan Hadist Nabi Muhammad saw. Pertanyaannya adalah bagaimana
bisa dari rujukan yang sama menimbulkan sikap yang berbeda dalam umat Islam?
Apakah kedua sumber utama tersebut terlalu ambigu ataukah ketidakmampuan umat
Islam dalam menangkap pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadist yang
akhirnya menjadikan pemahaman yang tidak sejalan, bahkan terkadang sangat
bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya? Jika merujuk pada firman
Allah SWT. dalam Q.S Al-Maidah: 48,[8]
maka anggapan bahwa al-Qur’an – dan Hadist – adalah ambigu sangatlah tidak
dapat dapat diterima. Jika demikian, maka keterbatasan manusia dalam memahami
Kalam Ilahi inilah yang menjadikan perpecahan-perpecahan dalam Islam.
Toshihiko Izutsu, seorang Profesor Emeritus
di Universitas Keio di Jepang melihat fenomena perpecahan umat ini sebagai
suatu akibat dari tidak adanya Weltanschauung dalam al-Qur’an, utamanya
terhadap kata-kata yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menandai
catatan dominan, menembus dan menguasai seluruh pemikiran al-Qur’an.[9]
Oleh karena itu, Toshihiko Izutsu menawarkan pendekatan dengan tujuan untuk
menemukan Weltanschauung al-Qur’an, sehingga diperolehlah itu apa yang menjadi world
view al-Qur’an, khususnya istilah-istilah
yang oleh Toshihiko Izutsu disebut sebagai “kata kunci” dalam al-Qur’an. “Kata
kunci” inilah yang sering memicu terjadinya perpecahan. Pendekatan yang
ditawarkan oleh Toshihiko ini adalah pendekatan semantic dalam rangka
merumuskan Weltanschauung al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah biografi Toshihiko Izutsu?
2. Apa pengertian semantik dan fungsinya
dalam kajian Islam?
3. Bagaimanakah pendekatan semantik
Toshihiko Izutsu dalam Kajian Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui biografi Toshihiko Izutsu
2. Mengetahui pengertian semantik dan
fungsinya dalam kajian Islam
3. Mengetahui pendekatan semantik Toshihiko
Izutsu dalam Kajian Islam


PEMBAHASAN
A.
Biografi Toshihiko Izutsu
Toshihiko
Izutsu adalah Profesor Emeritus di Universitas Keio di Jepang dan penulis
banyak buku tentang Islam
dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institut Studi Budaya dan
Bahasa di Keio University di Tokyo , dengan lembaga
Iran Filsafat di Tehran , dan McGill
University di Montreal , Kanada. Dia fasih dalam lebih dari 10 bahasa, termasuk bahasa Arab,
Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani.

Toshihiko
Izutsu lahir di 4 Mei 1914 di sebuah keluarga kaya di Tokyo, Jepang. Sejak usia dini, ia akrab dengan meditasi zen dan koan , karena ayahnya juga kaligrafi dan berlatih berbaring Zen Buddha. Ia masuk fakultas ekonomi di Universitas Keio, tapi
dipindahkan ke departemen sastra Inggris yang ingin diminta oleh Profesor Junzaburō
Nishiwaki . Setelah gelar sarjana, ia menjadi asisten peneliti pada tahun
1937.
Pada tahun
1958, ia menyelesaikan terjemahan langsung pertama dari Al-Qur'an dari bahasa Arab ke Jepang. Terjemahannya masih terkenal untuk akurasi
linguistik dan banyak digunakan untuk karya ilmiah. Dia sangat berbakat dalam belajar bahasa asing, dan selesai
membaca Al Qur'an sebulan setelah mulai belajar bahasa Arab. Antara 1969-1975, ia menjadi profesor filsafat Islam di
McGill University di Montreal. Dia adalah guru
besar filsafat di lembaga Iran dalam filsafat, sebelumnya Imperial Iran Academy
of Philosophy, di Teheran, Iran. Dia datang
kembali ke Jepang dari Iran setelah Revolusi tahun 1979.[10] Beberapa karya yang berhasil ia selesaikan, diantaranya:
1.
Ethico-Religious Concepts in the Quran
2.
Concept of Belief in Islamic Theology
3.
God and Man in the Koran
4.
|
5.
Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic
Mystical Philosophy
6.
Toward a Philosophy of Zen Buddhism
7.
Language and Magic. Studies in the Magical Function of Speech (1956) Keit Institute of Philological Studies
8.
The Metaphysics of Sabzvârî, tr. from the Arabic by Mehdi Mohagheg and Toshihiko Izutso,
Delmar, New York, 1977.
9.
Mollā Hādī Sabzavārī’s Šarḥ ḡorar al-farāʾed, maʿrūf be-manẓūma-ye ḥekmat,
qesmat-e omūr-e ʿāmma wa ǰawhar wa ʿaraż, ed. and annotated by Mahdī Moḥaqqeq and Toshihico Izutso, Tehran,
1348 Š./1969.[11]
B.
Pengertian Semantik dan Fungsinya dalam Kajian Islam
Kata semantik, pada dasarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada
studi tentang makna[12]
(arti, Inggris: meaning).[13]
Kata ini berasal dari bahasa Yunani sema (kata
benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Sedangkan kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. Kata semantik ini
kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu
tentang makna atau arti.[14]
Ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Wagiman Adisutrisno,[15]
yang menyatakan “semantics is the study
of meaning in language”.
Lebih luas lagi, semantik tidak
hanya ilmu yang berbicara tentang makna saja, melainkan dibicarakan pula di
dalamnya bagaimana mula adanya makna sesuatu (mis., sejarah kata, dalam arti
bagaimana kata itu muncul), bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi
perubahan makna dalam sejarah bahasa.[16]
Berdasarkan pada kenyataan ini, maka bisa dipahami bahwa semantik bukanlah ilmu
yang hanya melihat makna sebuah kata dari sisi terluarnya, dalam arti makna
sekedar memberi makna suatu kata secara pragmatis, melainkan juga melacak
sejarah kata tersebut, kemudian perkembangan maknanya dan juga melacak sebab
terjadinya perubahan makna.
Sejarah munculnya semantik ini
tidak lepas dari seorang tokoh ahli klasik bernama C.Chr.Reisig, yang pada
tahun 1825 dalam kuliah-kuliahnya di Halle tentang filologi bahasa Latin
mengemukakan sebuah konsep tentang tata bahasa, yaitu semasiologi, studi tentang makna, yang merupakan satu diantara tiga
bagian ilmu dalam tata bahasa. Dua bagian lainnya ialah etimologi dan sintaksis.
Ia menganggap bahwa semasiologi ini
sebagai disiplin historis yang hendak mencari “prinsip-prinsip yang menguasai
perkembangan makna”.[17]
Meskipun C.Ch.Reisig tidak
menyebutkan istilah semantik dalam konsepnya tentang disiplin ilmu yang
membicarakan perkembangan makna suatu kata, melainkan dengan istilah semasiologi, akan tetapi melihat prinsip
yang dipakai dalam semasiologi tersebut,
maka bisa dikatakan bahwa semasiologi –
yang muncul pada tahun 1825 – ini merupakan cikal bakal ilmu semantik.
Lantas, bagaimanakah kemudian jika
ilmu semantik ini dibawa ke dalam ranah kajian keislaman? Apakah cukup relevan
mengkaji Islam menggunakan disiplin ilmu yang concern utamanya berbicara tentang arti makna suatu kata?
Dalam agama Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad saw. terdapat dua sumber pokok ajarannya, yaitu al-Qur’an dan
Hadist. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama dalam ajaran Islam, adalah kitab
suci yang merupakan firman Allah SWT., yang diturunkan secara bertahap melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw., susunanya dimulai dari surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas, bagi yang membacanya bernilai
ibadah, fungsinya antara lain menjadi Hujjah atau bukti yang kuat atas
kerasulan Nabi Muhammad saw., yang keberadaanya masih terpelihara dengan baik
hingga kini, dan pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi
kegenerasi lain denga tulisan maupun lisan.[18] Sedangkan
Hadist yang merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam, ialah segala sesuatu
yang dinisbahkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir-nya
(atau selain itu).[19]
Realitanya, kedua sumber utama
dalam Islam tersebut – seperti yang terlihat dalam definisi al-Qur’an –
sama-sama menggunakan bahasa Arab. Yakni bahasa yang dipakai oleh penduduk
Mekah dan sekitarnya, dimana – seperti bahasa-bahasa lainnya – bahasa Arab juga
memiliki sejarahnya dan juga perkembangannya sendiri, di samping juga tingkat
kompleksitasnya. Karena bahasa Arab lebih dulu hadir dalam masyarakat Arab saat
itu dibanding turunnya al-Qur’an[20]
dan juga munculnya hadist (lebih khusus yang berupa perkataan dan taqrir Nabi Muhammad saw.), maka secara
tidak langsung dalam redaksi ayat al-Qur’an atau matan hadist memakai bahasa-bahasa yang sudah umum digunakan oleh
masyarakat Arab saat itu.
Al-Qur’an, termasuk juga Hadist,
telah menghimpun segala ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman dalam
mencari keselamatan dunia akhirat. Akan tetapi, mengingat keterbatasan manusia
dalam memahami tema-tema al-Qur’an yang sedemikian luas dan mendalam, maka mau
tidak mau diperlukan pelbagai upaya manusia untuk melakukan penyederhanaan,
sehingga tema-tema al-Qur’an itu dapat dipahami secara, sesuai dengan tingkat
pemahaman dan pengalaman latar belakang kehidupannya.[21]
Maka muncullah itu apa yang disebut dengan tafsir al-Qur’an, yaitu penjelasan
atau keterangan untuk memperjelas maksud yang memahaminya dari ayat-ayat
al-Qur’an. Dengan demikian, menafsirkan al-Qur’an iadal menjelaskan atau
menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut,[22]
yakni ayat yang sukar dipahami.
Dalam perkembangannya, metode yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ini bermacam-macam, sebut saja
metode Ijmali,[23]
metode Tahlili,[24]
metode komparatif (muqarin),[25] dan
metode tematik (maudhu’i).[26]
Akan tetapi, dari sekian banyak
kitab tafsir yang ada, dengan berbagai pendekatannya yang ada, belum ditemukan
sebuah Weltanschauung al-Qur’an yang bisa dijadikan pengikat atau pemersatu
umat Islam di manapun mereka berada. Bahkan tidak jarang, antara satu tafsir
dengan tafsir yang lainnya tidak sepaham dalam menyikapi suatu firman. Perbedaan
ini, pada tahap-tahap awal tidak menimbulkan perselisihan yang berarti. Namun
seiring berkembangnya zaman, perbedaan-perbedaan ini mulai menimbulkan
perselisihan dan perpecahan dalam intern umat Islam. Kondisi ini diperparah
lagi dengan – apa yang disebut oleh Machasin[27] –
pemilhakan teologis yang diambil oleh umat Islam. Misalnya, orang-orang Sunni
kebanyakan tidak terbuka terhadap khazanah kaum Syi’ah dan Mu’tazilah. Kajian
keislaman menjadi semacam pewarisan ajaran yang dibakukan dalam aliran
tertentu. Model kajian seperti ini, tidak diragukan lagi menjadikan kesenjangan
antara ajaran yang dianggap benar dan sesuai dengan zaman dan tempat dengan
kenyataan kehidupan makin hari makin lebar saja. Maka tidak mengherankan jika
perpecahan intern dalam Islam tidak kunjung selesai.
Inilah kemudian pendekatan baru
dalam memahami al-Qur’an diperlukan. Pendekatan semantik – sementara ini –
dapat dikatakan berusaha mempersempit kesenjangan di atas dengan menggunakan
al-Qur’an sebagai obyek kajiannya. Semantik yang ditawarkan Toshihiko Izutsu
ini mencoba menganalisis al-Qur’an dengan tanpa terikat oleh ideologi mana pun,
karena memang ia adalah seorang outsider. Dengan pendekatan semantik, ia
menganalisis istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk menangkap secara
konseptual pandangan dunia (Weltanschauung) dari orang-orang yang
menggunakan bahasa itu sebagai alat tidak hanya dalam berbicara dan berpikir,
namun lebih penting lagi dalam menangkap dengan pikiran dan menerjemahkan dunia
yang mengelilinginya.[28]
Lantas, apa pentingnya serta
relevansinya dapat menjelaskan konsepsi istilah kunci yang dijadikan
Weltanschauung al-Qur’an dalam kajian Islam? Toshihiko Izutsu melihat bahwa
perpecahan dalam intern Islam salah satunya disebabkan tidak adanya konsepsi
yang jelas terhadap kata-kata kunci dalam al-Qur’an. Sebut saja perselisihan
yang muncul dalam memaknai kata kafir yang bermakna ingkar, antonim dari
iman. Dalam salah satu karyanya, Toshihiko Izutsu mencoba menampilkan
bukti tidak tidak adanya Weltanschauung dalam al-Qur’an tentang kafir ini dengan
mengutip pendapat Malati:
Semua
madzhab Mu’tazilah, entah itu dari madzhab Baghdad atau pun Basrah, bahkan
semua masyarakat muslim (People of Qiblah) satu sama lain tidak berbeda dalama
masalah ini. Orang yang meragukan kafir tidaknya seseorang, maka sesungguhnya
ia sendiri seorang kafir, karena “seseorang yang ragu-ragu”shak tentang kufr jelas-jelas tidak
memiliki iman. Dengan demikian di seluruh masyarakat muslim, entah itu
Mu’tazilah atau lainnya, tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini,
yakni bahwa seorang yang ragu-ragu tentang kafir adalah seorang kafir. Namun
demikian Mu’tazilah dari Baghdad, jauh melampaui Mu’tazilah Basrah dengan
penegasannya yang mengatakan bahwa orang yang meragukan tentang orang yang
ragu-ragu (terhadap seorang kafir) adalah juga seorang kafir, demikian pula
orang yang ragu-ragu terhadap orang yang ragu-ragu, dengan demikian ad infinitum. Mereka semua, mereka mengatakan, adalah kafir sepanjang orang yang yang
ragu-ragu pertama adalah seorang kafir. Terhadap Mu’tazilah dari Basrah ini,
yang kebetulan menganggap Mu’tazilah Baghdad sebagai kafir! – nerpendapat bahwa
orang – yang ragu pertama kali adalah kafir karena ia meragukan apakah seorang
kafir adalah kafir, tetapi peragu yang kedua, yang hanya meragukan apakah
peragu yang pertama adalah seorang kafir , bukanlah seorang kafir, tetapi
nhanyalah seorang “pendosa besar” (fasiq) karena ia tidak meragukan bahwa kufr adalah kufr, atau tidak. Maka ia tidak harus diperlakukan
dengan cara yang sama sebagai mana peragu yang ketiga, keempat, dsb. Ad infinitum. [29]
Ilustrasi
yang diberikan oleh Toshihiko Izutsu ini sudah cukup memberikan penjelasan
mengapa dalam kata-kata kunci al-Qur’an diperlukan Weltanschauung al-Qur’an
yang dapat meminimalisir terjadinya perpecahan yang disebabkan tidak samarnya –
jika enggan menyebut tidak ada – konsepsi yang menjadi world view al-Qur’an terkait kata kunci tersebut.
C. Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Dalam Kajian Islam
Toshihiko
Izutsu, menulis dalam sebuah bukunya, bahwa perlu adanya cara pandang yang baru
dalam menyikapi masalah-masalah lama yang dihadapi oleh umat Islam.[30]
Pendekatan baru ini adalah dengan melakukan analisis semantik terhadap
al-Qur’an, dalam rangka memahami dan menentukan Weltanschauung al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwa tujuan dari analisis ini adalah untuk memunculkan tipe
ontology hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan
metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya
memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam
semesta.[31]
Bahwa Toshihiko Izutsu melihat dalam al-Qur’an (baca: Islam) terdapat
konsep-konsep pokok atau konsep dasar yang mana konsep ini dapat saling
mempengaruhi terhadap konsep-konsep lainnya. Maka, dalam pendekatan semantik
ini, ia mencoba merumuskan apa yang disebutnya “kata kunci” yang menjadi konsep
dasar dalam Islam. Secara sederhana, “kata kunci” ini adalah kata-kata yang
sangat familiar dan sering diucapkan oleh umat Islam, seperti Allah, Nabi,
Iman, Kafir, Surga, Neraka,dan lain sebagainya.
Pemaknaan
yang salah terhadap kata-kata tersebut dapat berakibat pada salahnya pemaknaan
kata-kata lainnya. Ibarat hendak bepergian ke suatu tempat, ketika dari awal
keberangkatan sudah salah dalam memahami rute awal, maka selanjutnya akan
selalu salah sebelum kembali ke titik awal keberangkatan dan memahami secara
sungguh-sungguh terlebih dahulu rute yang akan dilalui. Oleh karena itu,
Toshihiko Izutsu memfokuskan kajiannya pada “kata kunci” al-Qur’an yang menjadi
konsep pokoknya, dengan asumsi bahwa pemaknaan yang tepat dan komprehensif
dapat mempermudah dalam memaknai konsep-konsep turunan dari yang pokok.
Pada
pembahasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa dalam semantik, suatu kata tidak
hanya dicari maknanya saja, melainkan juga dilacak sejarah kemunculan kata itu,
bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam kata.
Dalam perkembangannya, makna dari sebuah kata bisa dibedakan menjadi makna
dasar dan makna relasional. Toshihiko Izutsu, dalam hal ini menuliskan:
Makna dasar kata adalah sesuatu yang
melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di mana pun kata itu
diletakkan. Sedangkan makna relasional kata adalah sesuatu yang konotatif yang
diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu
pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua
kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.[32]
Jadi,
tidak bisa memaknai dua kata dengan makna dari tiap kata yang digabungkan.
Karena makna relasional tidak didapat diperoleh dari gabungan makna dasar dari
dua kata tersebut. Selain itu, makna relasional memungkinkan pemaknaan yang
berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain, atau dari satu tempat ke tempat
yang lain, yang dalam istilah semantik sebagai “medan semantik”. Misalnya kata
“yaum”, mempunyai makna dasar “hari”. Akan tetapi, ketika kata ini
diletakkan dalam medan al-Qur’an, maka “hari” ini bukanlah hari biasa,
melainkan merujuk pada Hari Akhir, yaitu Hari Pengadilan.
Memahami
makna suatu kata, apakah sebagai makna dasar atau relasional adalah hal pertama
yang perlu dilakukan dalam telaah semantik. Karena kesalahan akan penentuan
makna dasar atau relasional akan berakibat pada kesalahan dalam mengambil sikap
sebagai respon dari kata tersebut. Hal ini terbukti dalam kajian Toshihiko
Izutsu ketika menerapkan analisis semantiknya terhadap “kata kunci” yang
merupakan fokus tertinggi dalam al-Qur’an, yaitu kata Allah. Secara
historis, kata Allah telah dikenal oleh orang Arab sebelum datangnya
Islam, dengan makna dasar yang sama, yaitu “Tuhan”. Hanya saja, ketika kata Allah
ini ditempatkan dalam medan yang berbeda, maka makna relasionalnya pun
berbeda. Dalam medan masyarakat Jahiliyah, kata Allah ini mempunyai
makna Tuhan tertinggi di atas tingkatan berhala-berhala. Sedangkan dalam sistem
Islam, kata Allah ini mulai dipakai sebagai nama Tuhan dalam Wahyu
Islam.[33]
Selanjutnya,
dalam menganalisis ayat-ayat Allah, perumusan makna dasar dengan makna rasional
juga didahulukan. Di mana dalam makna dasar, sebuah kata akan tetap membawa
dasarnya di mana dan kapan pun ia digunakan, tidak seperti makna relasional
yang – bisa dikatakan tergantung – pada medan di mana ia diletakkan.
Selanjutnya,
setelah berhasil memilah makna dasar dengan makna relasional suatu kata,
masuklah pada tahap yang terpenting, yaitu menjelaskan Weltanschauung
al-Qur’an. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu melacak sejarah digunakannya suatu
kosa kata yang merupakan kata-kata kunci dalam al-Qur’an. Mengambil contoh yang
sama dengan penjelasan di atas, yaitu kata Allah. Seperti yang sudah
disebutkan di atas, bahwa masyarakat Arab pra-Islam telah menggunakan kata Allah
sebagai reprsentasi dari konsep Tuhan. Lebih lanjut Toshihiko Izutsu
menyatakan:
Di
dalam sistem jahiliyah, konsep Allah
berdiri berdampingan dengan konsep alihah “tuhan-tuhan” atau “dewa-dewa”
yang secara mutlak tidakterdapat ketidaksesuaian antara kedua konsep tersebut,
kecuali pada medan yang jauh lebih sempit dan lebih khusus mengenai Allah yang
menjadi cirri khas Yahudi dan Kristen pra-Islam yang sementara ini tidak kita
bicarakan. Di dalam system jahiliyah tidak terdapat perbedaan tajam yang dapat
dilihat antara konsep Allah dan alihah bahkan ketika Allah berada pada
puncak hierarki semua makhluk supranatural. …
Seharusnya
tidak terjadi kesalahpahaman di sini. Di dalam sistem al-Qur’an juga terdapat
konsep alihah. Kita jangan sampai dibingungkan oleh aturan ontologism
dari hal-hal yang berkaitan dengan semantic. Dengan kata lain, fakta bahwa
dunia al-Qur’an yang pada hakikatnya bersifat monoteistik jangan sampai membuat
kita berpikir keliru bahwa baik secara semantic maupun secara ontologism, Allah
berdiri sendiri tanpa seorang kawan pun. Sebaliknya, ada konsep
“tuhan-tuhan” dan “berhala-berhala” dalam sistem al-Qur’an. Hanya saja,
semuanya ini berada dalam sebuah hubungan yang negative dengan Allah;
konsep-konsep tersebut semata-mata hanyalah sesuatu yang ada namun harus
ditolak secara tegas. Berbicara dengan istilah yang lebih semantik,
konsep-konsep tersebut ada dalam al-Qur’an dihubungkan dengan konsep
“kebatilan” batil, sedang konsep Allah harus dihubungkan dengan konsep
“kebenaran” haqq.[34]
Dari apa yang dinyatakan oleh Toshihiko Izutsu
ini, dapat dipahami bahwa kata Allah dalam sistem Islam, ternyata telah ada
sebelum kedatangan Islam. Hanya saja konsep yang ada di balik kata Allah itu
sendiri yang mengalami perubahan dari konsep pra-Islam ke konsep pasca-Islam.
Itu pun tidak semua unsur buruk yang ada dalam konsep pra-Islam ditinggalkan,
melainkan tetap dipakai dengan penempatannya yang berbeda yang darinya diterima
menjadi ditolak. Sampai tahap ini, ternyata apa yang menjadi tujuan dari
semantik al-Qur’an ini, yaitu menjelaskan Weltanschauung al-Qur’an – khususnya
kata Allah – belum menemukan titik terangnya. Karena untuk mengetahui world
view al-Qur’an tentang Allah, haruslah dijawab sebuah pertanyaan siapa
Allah itu? Karena yang dicari adalah Weltanschauung al-Qur’an, maka sudah
barang tentu jawaban atas pertanyaan siapa Allah itu harus dicari di dalam
al-Qur’an. Toshihiko Izutsu memaparkan jawaban atas siapa Allah itu, khususnya
dalam konsep penciptaan sebagai berikut:
Dia (Allah) adalah Pencipta manusia, dan
manusia tidak lain adalah makhluknya. Sesungguhnya Allah sang Penciptaseluruh
dunia, mulai dari malaikat-malaikat (Surah al-Zukhruf [XLIII], ayat 9),
jinn (Surah al-Rahman [LV], ayat 15), langit dan bumi (Surah Ibrahim
[XIV, ayat 19, dan lain sebagainya), matahari dan bulan, siang dan malam (Surah
Fushshilat [XLI], ayat 37, dsb), hingga ke gunung dan sungai (Surah al-Ra’d
[XIII], ayat 3 dan lain-lain), pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian,
daun-daunan (Surah al-Rahman [LV], ayat 11, 12, dsb), dan semua jenis
binatang, diantaranya ada yang melata, dan sebagian berjalan di atas dua
kakinya, sedangkan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki (Surah al-Nur
[XXIV], ayat 45). Apabila kita menyebut satu persatu tentang apa yang telah Ia
ciptakan maka tidak aka nada habisnya. Pendek kata Dia “Pencipta Segala
sesuatu”.[35]
Kini,
setelah mencari makna dasar serta makna relasional, kemudian dilanjutkan dengan
melacak kata Allah sebelum datangnya Islam, dilanjutkan dengan pelacakan
kata Allah dalam al-Qur’an yang difokuskan pada konsep penciptaan, maka
diperoleh itu apa yang disebut dengan Weltanschauung al-Qur’an yang pada
kesimpulannya menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta Segala sesuatu. Karena ini
merupakan Weltanschauung al-Qur’an, maka dimana pun kata Allah disebutkan –
dalam kapasitas Islam tentunya – akan dimaknai sebagai Pencipta Segala sesuatu.


PENUTUP
A. Kesimpulan
Toshihiko Izutsu adalah Profesor Emeritus di Universitas Keio di
Jepang dan penulis banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institut Studi Budaya dan
Bahasa di Keio University di Tokyo , dengan lembaga
Iran Filsafat di Tehran , dan McGill
University di Montreal , Kanada. Dia fasih dalam lebih dari 10 bahasa, termasuk bahasa Arab,
Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani.
Pendekatan semantik dalam kajian
Islam dapat diijadikan sebagai upaya mempersempit kesenjangan di atas dengan
menggunakan al-Qur’an sebagai obyek kajiannya. Semantik yang ditawarkan
Toshihiko Izutsu ini mencoba menganalisis al-Qur’an dengan tanpa terikat oleh
ideologi mana pun, karena memang ia adalah seorang outsider. Dengan
pendekatan semantik, ia menganalisis istilah-istilah kunci dari suatu
bahasa dengan maksud untuk menangkap
secara konseptual pandangan dunia (Weltanschauung) dari orang-orang yang
menggunakan bahasa itu sebagai alat tidak hanya dalam berbicara dan berpikir,
namun lebih penting lagi dalam menangkap dengan pikiran dan menerjemahkan dunia
yang mengelilinginya.
Dalam menganalisis al-Qur’an dengan pendekatan semantik, memahami
makna dasar dan makna relasional adalah pintu pertama yang harus ditempuh.
Karena suatu kata/bahasa bisa memiliki makna dasarnya sendiri yang akan selalu
dibawa kemana dan di mana pun kata itu ditempatkan. Ini berbeda dengan makna
relasional yang bisa jadi mempunyai makna yang berbeda dari satu waktu ke waktu
yang lain, dari tempat satu ke tempat yang lain.
|

Adisutrisno, D. Wagiman. 2008. Semantics An Introduction to the Basic
Concepts. Yogyakarta: Andi
Baidan,
Nashruddin. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. cet. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
________________. 2002. Metode
Penafsiran Al-Qur’an; Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Chaer, Abdul . 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, cet.
3. Jakarta: Rineka Cipta
Djadjasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. cet.
2. Bandung: Refika Aditama
Izutsu,Toshihiko. 2003. Relasi
Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an. terj. Agus Fahri
Husein, et al. cet. 2. Yogyakarta:
TiaraWacana
______________. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam;
Analisis Semantik Iman dan Islam, terj. Agus Fahri Husein, dkk. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Muhaimin, et al. 2012. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan
Pendekatan. cet. 3.Jakarta: Kencana Prenada Media
Nata, Abuddin. 2010. Metodologi
Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Pateda, Mansoer,.2001. Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta
Putri , Nayla. dkk. 2008. Sirah
Nabawiyah. Bandung: Pustaka Islamika
Ullman, Stephen. 2011. Pengantar Semantik, terj. Sumarsono.
cet. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
|
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah
II. cet. 16. Jakarta: RajaGrafindo Persada
http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu, diakses pada tanggal 27 April 2014
http://dialogsunni-syiah.blogspot.com/2011/03/hadis-tsaqalain-peninggalan-rasulullah.html, diakses tanggal 27 April 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyerangan_Cikeusik, diakses tanggal 27 April 2014
http://kanzunqalam.com/2010/05/17/islam-itu-satu/, diakses tanggal 27 April 2014
[1] Nayla Putri. dkk, Sirah Nabawiyah. (Bandung:
Pustaka Islamika, 2008), hlm: 71.
[2] QS.
96: 1-5
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004, cet. 16), hlm: 18
[4] Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya
Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya
kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat
Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al
Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761). Lihat
http://dialogsunni-syiah.blogspot.com/2011/03/hadis-tsaqalain-peninggalan-rasulullah.html
[5] QS.
Al Anbiya: 107
[8] Artinya: “dan kami telah menurunkan kepadamu AL-Qur’an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lainnya
itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu”
[9]
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap
Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, et al., (Yogyakarta:
TiaraWacana, 2003, cet. 2), hlm: 77
[11] Ibid.,
[12]
Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa (terutama
kata-kata). Lihat Fatimah Djadjasudarma, Semantik
1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999, cet. 2),
hlm: 5
[13]
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2001), hlm: 2
[14]
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. 3), hlm: 2
[15] D.
Wagiman Adisutrisno, Semantics An
Introduction to the Basic Concepts, (Yogyakarta: Andi, 2008), hlm: 1
[16]
Fatimah Djadjasudarma, Semantik 1:
Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999, cet. 2), hlm:
14
[17]
Stephen Ullman, Pengantar Semantik,
terj. Sumarsono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, cet. 3), hlm: 6
[18]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hlm: 68
[19]
Muhaimin, et al., Studi Islam dalam Ragam
Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012, cet. 3),
hlm: 127
[20] Al-Qur’an sendiri di dalamnya terdiri dari kata-kata yang
berjumlah 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323.015 huruf yang seimbang jumlah
kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata
dan dampaknya. Lihat Anwar Nurul Yamin, Taman
Mini Ajaran Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2004), hlm: 98
[21] Ibid,. hlm; 98
[22]
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an; Kajian Kritis terhadap
Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm:
40
[23]
Metode ini menjelaskna ayat-ayat al-Qur’ansecara ringkas tapi mencakup, dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Seperti Kitab Tafsir
al-Qur’an al-karim karangan Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith
terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, danTafsir al-Jalalain serta Tal al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-Mirghani. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. 3),
hlm: 13
[24]
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Seperti dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan
‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari dalam bentuk al-ma’tsur,
dan Tafsir Khazin karangan al-Khazin dalam bentuk al-Ra’y. Lihat
Ibid., hlm: 31
[25]
Metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, karena tidak hanya
membandingkan ayat dengan ayat lainnya, melainkan memperbandingkan ayat dengan
Hadist serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
Lihat Ibid., hlm: 65
[26]
Yaitu membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Lihat Ibid., hlm: 151
[27]
Machasin, Kata Pengantar, dalam Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan
Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003, cet. 2), hlm: xiii
[28] Ibid.,
hlm: xiv
[29] Toshihiko Izutsu , Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam;
Analisis Semantik Iman dan Islam, terj. Agus Fahri Husein, dkk.,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm: 22
[30]
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap
Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, et al., (Yogyakarta:
TiaraWacana, 2003, cet. 2), hlm: 2
[31] Ibid.,
hlm: 3
[32] Ibid.,
hlm: 12
[33] Ibid.,
hlm: 103
[34] Ibid.,
hlm: 38
[35] Ibid.,
hlm: 129
0 Response to "Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu dalam Tafsir Al-Qur'an"
Post a Comment