Kerajaan Mughal di India
A.
Pendahuluan
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan
Safawi. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam
pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India
terjadi pada masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Penaklukkan
wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn
Qasim.[1]
Pada fase desintegrasi, Dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya
di India di bawah pimpinan Sultan Mahmud dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan
seluruh kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus mengislamkan sebagian
masyarakatnya. Setelah Dinasti
Ghaznawi hancur, muncul Dinasti-Dinasti
kecil seperti Mamluk[2]
(1206-1290 M), Khalji[3]
(1296-1316 M), Tuglug[4]
(1320-1412 M) dan Dinasti-Dinasti lain[5]
B.
Pembahasan
Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur[6].
Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak tahun 1526 sampai tahun 1707 M. Sejarah
mencatat bahwa kerajaan ini memiliki beberapa sultan yang besar dan terkenal
pada abad ke-17, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir (1605-1627) dengan
permaisurinya Nurjannah, Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1659-1707)[7]
Sejarah mencatat, ketika Shekh Mirza (ayah Babur) meninggal dunia
pada Juni 1494 M. Babur maish berusia sebelas tahun. Dan di usianya yang muda
itu, ia langsung diangkat menjadi penguasa Fargana. Sekalipun ia masih muda,
namun semnagatnya tampak lebih matang, ini terbukti pada tahun 1496 M, walaupun
belum berhasil, ia telah mencoba menaklukkan Samarkand. Kegagalan ini tidak
membuatnya jera, karena pada tahun 1497 M, Babur akhirnya dapat menaklukkan
Samarkand. Pada tahun 1525 M, Babur meneruskan perjalanan menuju Punjab, dan
dalam pertempuran tersebut, Punjab pun dapat ditaklukkan. Kemudian kesempatan
baik pun datang bagi Babur untuk mengadakan serangan ke Delhi, di mana pada
waktu itu, sultan Ibrahim Lodi sedang berselisih dengan pamannya, Alam. Pada 21
April 1526 M, terjadilah peperangan yang dahsyat di Panipat, sultan
Ibrahim dengan gigih mempertahankan
negeri bersama 100.000 orang tentara dan 1000 kendaraan gajah. Namun Babur
mampu memenangkan pertempuran karena ia menggunakan senjata api berupa meriam,[8]
dan akhirnya Sultan Ibrahim Lodi gugur bersama 25.000 tentara pasukannya.
Dengan telah ditaklukkannya Sultan Ibrahim, maka terbukalah kesempatan
bagi Babur untuk mendirikan kerajaan Mughal di India. Selain itu, anaknya yang
bernama Humayun disuruh pula untuk menaklukkan kota terbesar kedua di India
yaitu Agra, serta kota-kota penting lainnya. Pada kesempatan yang lain, Babur
juga melakukan penaklukan-penaklukan kerajaan Hindu. Di bawah pimpinan Amir
Mahmud beserta 100.000 pasukan Islam memporak-porandakan pasukan Hindu di
Khanwa. Raja dari pasukan Hindu, Rana Sangga, mati terbunuh dalam peristiwa
yang terjadi pada tahun 1527 M tersebut.[9]
Selain itu, di Afghanistan juga terdapat golongan yang setia kepada keluarga
Lodi, mereka mengangkat adik kandung Ibrahim Lodi, Mahmud menjadi sultan.
Tetapi Sultan Mahmud Lodi berhasil dikalahkan oleh Babur dengan mudah dalam
pertempuran dekat Gogra tahun 1529 M.[10]
Lima tahun setelah memimpin kerajaan Mughal,[11]
Babur wafat (1530 M), dan pemerintahan diteruskan oleh putranya yang bernama
Humayun.[12]
Masa kepemimpin Humayun ini juga dihiasi dengan peperangan. Salah satunya
terjadi pada tahun 1535 M di Baksar dekat Banaras melawan pasukan Sher Khan.[13]
Humayun kalah dalam pertempuran tersebut. Kekalahan ini pun terulang kembali
pada pertempuran yang kedua, sehingga harta rampasan perang dikuasai oleh Sher
Khan, sedangkan pasukan yang tewas dibuang ke sungai. Sementara Humayun
melarikan diri, dan dalam pengembaraannya ia sempat kawin dengan Putri Hamidah
Banu Begum dan dalam pengembaraannya ini pula lahirlah putranya Akbar Agung
pada 23 November 1542 M. Humayun akhirnya mampu menaklukkan Kandahar dan Kabul
setelah ia berhasil mengkonsolidasikan sisa-sisa pasukannya, serta permintaan
bantuannya kepada Sultan Syafawiyah disetujui.[14]
Sementara itu, setelah wafatnya Sher Khan
(1545 M), anak-anaknya tidak dapat memelihara pusaka kerjaan yang telah
diwariskan. Mereka saling berebut kekuasaan
sehingga kekuatan kerajaan menjadi pecah. Kesempatan ini pun
dimanfaatkan oleh Humayun untuk merebut kembali kekuasaan yang pernah
diraihnya. Oleh karena itu, pada November 1555 M Lahore dapat ditaklukkan. Ia
pun melanjutkan perjalanan menuju Delhi. Di tengah jalan, ia dihadang oleh
pasukan Isykandar Shah. Akan tetapi, Humayun dan pasukannya dapat melewati, dan
Delhi pun dapat direbut kembali. Namun, tidak berselang cukup lama ia pun
wafat, tepatnya tanggal 24 Januari 1556 M.[15]
Sepeninggal Humayun, puteranya Muhammad
diangkat menjadi raja dengan Gelar Abu
Fath Jalaluddin, dan gelar yang paling terkenal adalah Sultan Akbar Agung. Ia
menjadi raja terbesar di antara-raja-raja Mughal di India. Kekuasaannya hampir
di seluruh wilayah anak benua India.
1.
Sultan Akbar Agung (1555-1603 M)
Akbar
dilahirkan di Amarkot pada tanggal 15 Oktober 1542 M ketika ayahnya, Humayun,
menjadi pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal. Pada waktu kematian
Humayun , Akbar sedang berada di medan perang di bawah bimbingan Bairam Khan,
mengambil bagian dalam peperangan melawan salah seorang kemenakan Sher Khan. [16]
Badri Yatim mengungkapkan bahwa Bairam Khan ini yang dipasrahi
urusan kerajaan, dikarenakan Akbar masih muda. Bairam Khan ini adalah seorang
Syi’i. [17]
Di awal
pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan
Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang mengancam kekuasaan
Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hemu[18]
yang memiliki keberanian, inisisatif dan rencana. Dalam masa ini, Bairam Khan
menjadi orang yang sangat berguna bagi Akbar. Dia memperlihatkan ketegasannya
menghadapi keadaan itu. Ketika Hemu maju melawan orang-orang Mughal setelah
Agra dan Delhi direbut, Bairam Khan menghadapinya di medan perang Panipat yang
bersejarah itu dalam bulan November 1556 M. Hemu berhasil menghancurkan
sayap-sayap tentara musuhnya, dan bahkan dapat memenangkan perang ketika
matanya terkena anak panah. Karena tidak ada pimpinan, kesatuan-kesatuannya
segera kacau-balau dan melarikan diri. Hemu yang terluka parah itu ditangkap
dan dipancung oleh Bairam Khan. Kekalahan Hemu dalam pertempuran Panipat kedua
menandai kemenangan yang menentukan bagi orang-orang Mughal di dalam
memperebutkan supremasi di Anak Benua Indo-Pakistan. Setelah kemenangannya di
Panipat ini, Akbar dengan cepat merebut Agra dan Delhi. Di Punjab, Sikandar Sur
dipaksa menyerah. Kemudian Akbar memperluas wilayah kekuasaannya dengan
penaklukan Gwalior, Ajmer dan Jaunpur.[19]
Mujib
menyatakan, seperti yang dikutip oleh Yatim,[20]
bahwa Bairam Khan, yang menjadi orang kepercayaan Akbar muda setelah Akbar
menjadi dewasa dinilai sudah mempunyai pengaruh yang terlalu besar, di samping
juga terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah menjadikan Akbar dewasa
ingin menyingirkannya. Bairam Khan pun memberontak, namun berhasil dikalahkan
oleh Akbar di Jullandur pada tahun 1561 M. Setelah Bairam Khan berhasil
dikalahkan, Akbar pun melancarkan ekspansinya ke beberapa daerah. Daerah yang
berhasil dikuasai diantaranya Chundar, Ghond, Chitor,[21]
Ranthabar, Kalinjar, Gujarat,[22]
Surat, Bihar, Bengal,[23]
Kashmir,[24]
Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar dan Asirgah. Wilayah yang sangat
luas ini diperintahkan dalam suatu pemerintahan militeristik.
Lebih
lanjut, disebutkan bahwa pemerintahan militeristik tersebut menempatkan sultan
sebagai penguasa yang diktator, pemerintaha daerah dipegang oleh seorang sipah
salar (kepala komandan), sedang subdistrik dipegang oleh faujdar (komandan).
Jabatan-jabatan sipil pun diberi jenjang kepangkatan yang bercorak kemiliteran.
Pejabat-pejabat itu memang diharuskan melakukan wajib militer. Selain itu,
Akbar juga melakukan apa yang dinamakan dengan politik sulakhul (toleransi
universal). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak
dibedakan karena perbedaan etnis dan agama.[25]
Lebih dari itu, berkat Akbar
pulalah para amir-amir dan sultan-sultan Islam yang selama ini berkuasa di
daerahnya sendiri dengan cara kesewenang-wenangan bersama dengan para maharaja
yang beragama Brahmana, semuanya telah menjadi tiang-tiang bagi sebuah imperium
Islam yang besar di benua India. Di samping itu, pemerintahan tidak dipegangnya
sendiri, tetapi diadakan menteri-menteri. Kepada para pemungut pajak
diperintahkan dengan keras untuk tidak memungut pajak dengan memaksa dan
memeras. Di dalam persoalan agama, beliau sangat toleran dan bagi orang yang
beragama Hindu dihormati Oleh Akbar dan tidak dipaksa untuk memeluk agama
Islam.[26]
Selain
itu, Akbar juga terkenal sebagai seorang
tokoh yang memahami perbandingan agama. Ini merupakan salah satu prestasinya,
di mana dalam pemikirannya terdapat konsep Din-e-Ilahi yang mengandung
anasir dari berbagai unsur agama, yaitu Hindu, Budha, Jaina, Islam, Parsi dan
Kristen. Inti dari ajaran tersebut adalah bahwa agama adalah gejala dari rasa
tunduk kepada satu Dzat yang Maha Kuasa. Menurut Sultan Akbar, agama-agama
tersebut pada hakekatnta adalah satu. Oleh karena itu, perlu dicari jalan
kesatuan inti agama, dan dia membuat agama baru yang disebutnya sebagai Din-e-Ilahi
(1582 M).[27]
Catatan sejarah
peradaban Islam tentang Sultan Akbar juga tak hanya sampai di situ. Karena Sultan
Akbar Agung ternyata juga terkenal sebagai pribadi yang jenius, bijaksana, ahli
berperang dan administrator negara yang ulung.[28]
Hamka, dalam Dedi[29]
menyebutkan, dalam urusan pemerintahan, Akbar
menyusun pentadbiran secara teratur yang jarang taranya, sehingga Inggris pada
satu bad kemudian setelah menaklukkan India tidak mempunyai jalan lain selain
meneruskan administrasi Sultan Akbar ini.
Dengan demikian, Akbar adalah
seorang reforman Kerajaan Mughal yang telah menata pemerintahan dengan sistem
yang lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya. Adapun di bidang
agama, ia adalah tokoh moderat yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya
untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.[30]
Dengan adanya kebijakan seperti di
atas, rakyat India sangat simpati kepadanya dan kehidupan sosial masyarakat
saling hormat-menghormati serta menjunjung tinggi toleransi. Setelah Akbar
wafat (1605 M), kerajaan Mughal digantikan oleh Salim dengan gelar Nuruddin
Muhammad Jangahir Padshah Ghazi.[31]
Perlu diperhatikan pula bahwa seiring wafatnya Sultan Akbar, Din-e-Ilahi pun
dipetaskan (dinyatakan terlarang, karena sebagian umat Islam menolak gagasan
tersebut), dan akhirnya hilang dari peredaran.[32]
2.
Sultan Jahangir (1605-1628 M)
Pangeran Salim telah ditunjuk oleh Akbar menjelang kematiannya sebagai
penggantinya, dan sekarang ia naik tahta dengan gelar Nuruddin Muhammad Jangahir Padshah Ghazi.[33] Selain
itu, ia juga dijuluki sebagai raja pelukis dari para pelukis. Hal ini
disebabkan karya-karya lukisannya yang bagus dan luar biasa.[34]
Kaisar yang
baru ini memulai karirnya dengan tindakan-tindakan yang disukai umum, dan dia
berusaha untuk mengambil hati rakyat dengan berbagai tindakan. Dia berjanji
untuk menjunjung tinggi kehormatan Islam, memaafkan mereka yang mendukung
Khusru, dan menegakkan keadilan. Usaha-usaha ini disertai dengan dua belas
peraturan yang terkenal, yang diperintahkan kaisar untuk dilaksanakan sebagai
kaidah perilaku (disturul amal) di wilayah kekuasaannya yang luas itu.[35]
Saat berkuasa,
Jengahir tetap bisa mempertahankan kemajuan yang telah dicapai ayahnya, yaitu
Sultan Akbar.[36]
Meskipun demikian, menurut Hamka, seperti yang dikutip oleh Dedi,[37] bahwa
Jangahir dalam memerintah kerajaan tidak sehebat ayahnya Akbar, ia terlalu baik
hati dan lemah terutama karena pengaruh permaisuri yang suka mencampuri
pemerintahan di belakang layar.
Permaisuri
tersebut adalah putri Persia yang bernama Mehrun Nisa’ yang setelah menikah
mendapatkan gelar Nurjanah. Karena kecintaannya dengan permaisurinya, Jengahir
pun terlena. Sang istri mulai ikut campur dalam urusan kenegaraan yang
berakibat pada kewibawaan sultan yang mulai luntur. Terjadilah pemberontakan
yang dilakukan oleh putranya sendiri yang bernama Khurram. Ia dipenjarakan
sampai menemui ajalnya.[38]
Sementara itu, sejarah mencatat, beberapa penaklukan yang dilakukan oleh
Jangahir diantaranya penaklukan Bengala (1612 M)[39],
penaklukan Mewar (1605 M),[40]
dan penaklukan Kangra.[41]
Selain
penaklukan di atas, prestasi yang berhasil di ukir oleh Sultan Jangahir ini
adalah penerapan bahasa Urdu sebagai salah satu bahasa resmi negara sebagai
akomodasi dari berbagai bahasa yang ada termasuk Sanskerta dan Praktik (bahasa
sehari-hari bagi masyarakat umum). Selain itu, bahasa Turki (kalangan istana),
bahasa Persi (pejabat kantor), dan bahasa Arab (kalangan agamawan).[42]
Abdul Malik[43]
mengutip pendapat Ali K., yang menyatakan bahwa setelah wafatnya Sultan
Jangahir (1628 M), kerajaan diperebutkan oleh kedua putranya, yaitu Shah Jahan
dan Asaf Khan. Perselisihan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Shah Jahan, yang
kemudian digelari sebagai Abul Muzaffar Shahabuddin Muhammad Sahib Qiran-e
Sani Shah Jahan Padsah Ghazi.
3.
Sultan Shah Jahan (1628-1658 M)
Ketika menjadi
raja, Shah Jahan menikah dengan Mumtaz Mahal, dan dari pernikahannya itu, ia
dikaruniai enam anak, 2 laki-laki dan 4 perempuan.[44]
Dalam tahun pertama pemerintahannya, terjadi dua pemberontakan. Dalam tahun
pertama pemerintahannya, Raja Jhujur Singh Bundela telah menunjukkan
semangatnya memberontak dan mengacau. Namun, kemudian diusir seumur hidup.
Sementara dalam tahun keduan, pemberontakan hebat terjadi, dikepalai oleh
Afghan Pir Lodi yang bergelar Khanjahan. Namun pada akhirnya, Afghan Pir Lodi
ini dapat dihukum mati, yaitu pada tahun 1631 M di Tel Sehond.[45]
Sementara itu,
pada tahun 1632 M, Shah Jahan mengepung Hughli dan akhirnya direbut. Perebutan
ini dilatarbelakangi penyalahgunaan kebaikan-kebaikan Shah Jahan oleh para
pemukim Portugis di Hughli Bengala dengan sangat mempermalukan sehingga
terpaksa Kaisar ikut campur tangan dalam urusan hak istimewa mereka. Mereka
menyinggung perasaan para penguasa Mughal dengan memungut bea yang berat dari
pedagang setempat, dan mereka menimbulkan kekhawatiran dengan menculik
anak-anak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Ditambah lagi orang-orang
portugis itu tidak segan-segan melakukan perompakan.[46]
Selanjutnya,
pada tahun 1646 M, Shah Jahan mengirimkan suatu pasukan yang besar dibawah
pimpinan pangeran Murad, dan peperangan itu pun berhasil, sehingga Balkh dan
Badakhshan dapat diduduki. Namun, Murad segera ditarik kembali karena dia
berperilaku tidak disiplin, dan Pangeran Aurangzeb dikirimkan bersama dengan
pasukan besar untuk mengonsolidasikan penaklukan-penaklukan. Namun dia gagal,
dan mengundurkan diri tahun 1647 M.[47]
Sultan Shah
Jahan wafat pada bulan September tahun 1657 M dalam sakit kerasnya. Saat itu
pula, para putranya terlibat peperangan dalam perebutan tahta, dengan Aurangzeb
sebagai pemenangnya.[48]
Yang dengan demikian, pengganti dari Sultan Shah Jahan adalah Aurangzeb.[49]
Pada masa
pemerintahannya, Shah Jahan meninggalkan hasil kebudayaan berarsitek tinggi,
yaitu Taj Mahal, yang ia persembahkan bagi permaisurinya yang telah meninggal.
Di sana pula ia akhirnya dimakamkan oleh putranya, Aurangzeb setelah ia
meninggal. Bangunan tersebut mengingatkan kepada Abdurrahman III di Andalusia
yang membangun Qasr al-Zahra untuk mengabdikan cintanya kepada sang
istri fatimah al-Zahra, yang saat ini tinggal puing-puingnya di tengah kota
Kordova karena tidak terawat.[50]
4.
Sultan Aurangzeb (1658-1707)
Aurangzeb
secara resmi dinobatkan di delhi sebagai penguasa kerajaan Mughal dengan gelar
Abul Muzaffar Mohiuddin Mohammad Aurangzeb Alamgir Padshah Ghazi dalam bulan
Mei 1659 M. Pemerintahannya yang mencapai 50 tahun itu terbagi dalam dua bagian
yang hampir sama. Dari tahun 1659 sampai dengan 1681 M dia kebanyakan berada di
India Utara dengan menyerahkan urusan-urusan Deccan kepada raja-raja mudanya;
dari tahun 1681M hingga kematiannya, ia berada di Deccan, terlibat dalam
usahanya untuk menundukkan orang-orang Maratha.[51]
Aurangzeb
adalah seorang manusia yang mempunyai watak yang luar biasa. Ketetapan hatinya,
kejujuran tujuannya, pengabdiannya terhadap kewajiban, kecintaannya kepada
Islam, kesederhanaannya dan kecendekiaannya diakui oleh semua orang. Aurangzeb
sangat menghormati kedudukannya. Dia adalah orang yang sangat adil dan tidak
mengecualikan dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun bawahannya. Sebagai seorang
cendekiawan yang terpelajar dan berwenang, dia terutama yang bertanggungjawab
atas penyusunan buku risalah Islam yang dibuat di India dan mencantumkan
namanya, Fattawi Alamgiri, yang mengatur peradilan Islam di India sejak
waktu itu.[52]
Sebagai seorang jenderal, Aurangzeb tidak ada tandingannya. “keberaniannya yang
tidak diragukan, keuletannya dalam usaha mencapai tujuannya, dan kegiatannya
yang terus-menerus merupakan sebagian dari sifat baiknya yang menonjol.[53]
Lanepoole,
seperti yang dikutip Syed Mahmudunnasir, menyatakan “Dia adalah orang yang jauh
paling berkuasa di dalam garis keluarganya; dia telah memerintah
wilayah-wilayah yang lebih besar dan menjadi panglima tentara yang lebih besar
daripada Akbar ...”.[54]
Kerajaan
Mughal Pasca Aurangzeb
Setelah wafatnya Aurangzeb, raja-raja setelahnya mulai lemah. Hamka,
dalam Abdul Malik[55]
menyebutkan bahwa Kerajaan Mughal dan rajanya saat itu tidak lebih hanya
sebagai simbol dan lambang belaka, bahkan raja hanya diberi gaji oleh kolonial
Inggris yang telah datang untuk biaya hidup tinggal di dalam istana. Akhirnya,
setelah Sultan Bahadur Shah, yang merupakan putra Aurangzeb yang terakhir
memimpin pemberontakan melawan Inggris namun gagal, ia tertangkap dan disiksa
secara keji, lalu dibuang ke Rangon (Myanmar) pada 1862 M. Raja-raja yang
memimpin Kerajan Mughal setelah Bahadur Shah diantaranya, Azimus Syah putra
Bahadur Shah (1712 M), Jihandar Shah yang kemudian digulingkan adiknya sendiri,
Farukh Syiar, putra Azimus Syah (1713-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M),
Alamghir II (1748-1754), Syah Alam (1761-1806 M).[56]
Pada tahun 1761 M, Kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari
Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak saat itu Mughal berada
di bawah kekuasaan Afgan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar
Sultan. Ketika kerajaan Mughal memasuki keadaan lemah seperti ini, pada tahun
itu juga, perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata
melawan pemerintahan Mughal. Peperangan berlarut-larut, yang pada akhirnya,
Syah Alam membuat perjanjian dengan Inggris. Sementara itu[57]
Dengan demikian, maka tamatlah riwayat kerajaan Islam Mughal di India,
setelah berabad-abad lamanya mengalami masa kejayaan dengan salah satu
peninggalannya adalah gedung-gedung
sejarah, diantaranya Tajmahal di Aqra, Benteng Merah, Jama Masjid,
istana-istana dan gedung-gedung pemerintahan di Delhi, dan sultan-sultan Mughal
juga mendirikan makam-makam yang indah.[58]
Kerajaan
Mughal: Persentuhan Islam dan Hinduisme
Sejarah mencatat, bahwa Islam masuk di
India bukan ketika Kerajaan Mughal berdiri. Bahkan ketika masa Nabi Muhammad,
Islam telah masuk di India. Penetrasi Islam ke India dilanjutkan pada masa Khulafaur
Rasyidin dan Dinasti Umayah, Dinasti Ghazni, serta Dinasti Ghuri.[59]
Oleh karena itu, hubungan antara Islam dengan agama Hindu, yang merupakan
agama yang banyak dianut orang India sudah cukup lama mengalami dialektika
sampai pada munculnya kerajaan Mughal pada abad ke-17. Asimilasi budaya pun
terjadi di sini, ini terlihat dari banyaknya buku India yang diterjemakan ke
dalam bahasa Arab pada abad ke-8 M. Begitu pula pada masa Umayyah dan Abbasiah
banyak orang-orang Hindu menterjemahkan buku-buku dari bahasa Sanskerta ke
bahasa Arab. Buku Shiddanta yang dikarang oleh Brahma Gupta, dalam
bahasa Arab diberi nama Tariche Sind wa Hind.[60]
Tak hanya itu, dalam masa pemasukan Islam ke India, banyak pula bermunculan
para ilmuwan-ilmuwan. Dalam bidang seni dan bangunan-bangunan, terlihat adanya
percampuran gaya Syria, Bizantium, Mesir dan Iran, sedangkan detilnya Hindu,
Jaina atau Budha. Kontak antara Islam dan Hindu menghasilkan evolusi gaya yang
kadang-kadang disebut Indo-Muslim. Arsitektur Indo-Muslim adalah arsitektur
muslim yang menampilkan detil sifat-sifat tertentu dari seni bangunan Hindu. [61] Dalam masa Kerajaan Mughal ini, karya seni dalam
bidang arsitektur ini ternyata juga nampak. Ini terlihat dari karya seni yang
masih bisa dinikmati dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan
Mughal. M. Ikram, dalam Badri Yatim[62] mengatakan bahwa pada masa Akbar dibangun istana
Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah
Jahan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, serta Masjid
Raya Delhi dan istana indah di Lahore.
Dalam segi bahasa pun, Hindu serta Islam mengalami
dialektika yang cukup intens. Ini terbukti dari lahirnya bahasa Urdu yang
merupakan persinggungan antara bahasa Turki yang dipakai di Istana, bahasa
Persi yang dipakai di kantor dengan bahasa masyarakat setempat, yakni Prakrit
dan Sanskerta. Sedangkan pengaruh Islam dalam bahasa Sanskerta melahirkan
bahasa Bangla.[63]
Selain dialektika di atas antara Islam dan Hindu
dalam segi seni dan bahasa. Tidak dapat dilupakan pula bahwa pada masa
pemerintahan Sultan Akbar, terdapat agama yang disebut dengan Din-e-Ilahi, yang
mengandung unsur agama Hindu, Budha, Jaina, Islam, Parsi dan Kristen.[64] Meskipun pada akhirnya konsep Din-e-Ilahi ini dipeteskan pada
masa Sultan Jangahir, tetap saja persinggungan dalam bidang kegamaan terjadi di
dalam kerajaan Mughal ini.
C.
Kesimpulan
Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur dengan telah
ditaklukkannya Sultan Ibrahim Lodi. Kerajaan Mughal mulai berkuasa sejak tahun
1526 sampai tahun 1707 M. Setelah Babur, kerajaan ini memiliki beberapa sultan
yang besar dan terkenal pada abad ke-17, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir
(1605-1627) dengan permaisurinya Nurjannah, Syah Jehan (1628-1658), dan
Aurangzeb (1659-1707). Kemajuan yang dicapai oleh kerajaan ini adalah dalam
bidang kemiliteran, administrasi negara, ekonomi, ilmu pengetahuan, seni, dan
lain sebagainya. Sementara dalam hal persinggungan
Islam dan Hinduisme pada masa Kerajaan Mughal ini terlihat dalam aspek ilmu
pengetahuan, seni, dan juga agama.
Pasca kepemimpinan Aurangzeb, Kerajaan Mughal dan
rajanya saat itu tidak lebih hanya sebagai simbol dan lambang belaka, bahkan
raja hanya diberi gaji oleh kolonial Inggris yang telah datang untuk biaya
hidup tinggal di dalam istana. Akhirnya, setelah Sultan Bahadur Shah, yang
merupakan putra Aurangzeb yang terakhir memimpin pemberontakan melawan Inggris
namun gagal, ia tertangkap dan disiksa secara keji, lalu dibuang ke Rangon
(Myanmar) pada 1862 M. Raja-raja yang memimpin Kerajan Mughal setelah Bahadur
Shah diantaranya, Azimus Syah putra Bahadur Shah (1712 M), Jihandar Shah yang
kemudian digulingkan adiknya sendiri, Farukh Syiar, putra Azimus Syah
(1713-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M), Alamghir II (1748-1754), Syah Alam
(1761-1806 M).
Daftar Pustaka
Badri Yatim. 2004. Sejarah Peradaban Islam. cet. XVI.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:
Pustaka Setia
Joesoef Sou’yb. 1978. Sejarah
Daulat Abbasiyah III. Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Hamka. 1985. Sejarah Umat
Islam III. Jakarta: Bulan Bintang
Harun Nasution. 1985. Islam
Ditinjau dari Beberapa Aspek. Jakarta: UI-Press
M. Abdul Karim. 2003. Sejarah Islam di India. Yogyakarta:
Bunga Grafies Production
M. Abdul Malik Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Syed Mahmudunnasir. 1994. Islam
Konsepsi dan Sejarahnya. terj. Adang Affandi. cet-16. Bandung: Remaja
Rosdakarya
[1] Penyebab
utamanya ialah bahwa dalam masa Khalifah Walid, beberapa perompak India
merampas delapan buah kapal yang sarat dengan hadiah-hadiah yang sangat
berharga dari penguasa Sailan untuk Khalifah Walid dan Hajjaj bin Yusuf di
dekat pantai Debal di Sind. Kemudian dikirimlah dua ekspedisi penghukuman oleh
Hajjaj pada raja Hindu di Sind, yaitu Dahir akibat dari perampasan itu.
Ekspedisi pertama gagal, dan yang kedua berhasil mengalahkan Raja Dahir dan
membunuhnya. Akhirnya, Sind, Multan, dan sebagian wilayah Punjab digabungkan ke
dalam imperium Islam. Lihat. Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi, cet. IV,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 219
[2] Mamluk
bermakna “yang dimiliki”. Itu adalah sebutan yang lebih halus untuk mengganti
sebutan “abdun” (budak-belian). Sebutan itu lahir disebabkan para penguasa pada
daulat yang baru terbentuk pada anak benua itu terdiri dari Panglima demi
panglima, bukan bersifat warisan, dan para panglima pada pasukan Emir
Shihabuddin Muhammad itu berasal dari budak-budak belian yang dibelinya dan
dilatihnya. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah
Daulat Abbasiyah III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 256
[3] Sultannya yang
termasyhur adalah Alaid Din yang telah memperluas kekuasaan Islam dengan
pembukaan dan penaklukkan yang baru. Mula-mula ditaklukkannya Bophal, dan dari
sana diteruskannya ke negeri Mahrata (sekarang Bombay). Lihat. Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1985 ), h. 131
[4] Seorang
diantara rajanya adalah Muhammad ibn Taghlak yang terkenal amat ganasnya,
sehingga rakyat India, baik yang Hindu atau pun Islam tidak tahan lagi karena
tindasannya yang tidak mengenal batas peri kemanusiaan, sehingga Maharaja-maharaja
dan Amir-amir di luar Delhi satu persatu memisahkan dirinya karena jemu melihat
perangai raja itu. Lihat Hamka, op. cit., h. 133
[5] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa
Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 82
[6] Zahiruddin
Babur dilahirkan pada hari Jumat tanggal 24 Februari 1483 M. Ayahnya, Umar
Sheikh Mirza, keturunan kelima dari Timur yang agung. Dari pihak ibunya, dia
memiliki hubungan darah dengan Jengiz Khan. Lihat Syed Mahmudunnasir, op.
cit., h. 347
[7] Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit.,h. 354, 362, 365, dan 359
[8] Sebenarnya,
perlengkapan Babur tidak cukup memadai untuk usaha ini, tetapi dia memiliki
kekuatan watak dan pengalaman sebagai jenderal veteran. Ketika pada pagi hari
tanggal 21 April 1526 M tentara Delhi maju menyerang, mereka menemukan front
tentara lawan terlindung oleh parit-parit dan rintangan-rintangan, dan
malapetaka terjadi di barisan mereka oleh meriam-meriam dan senapan lantak
Babur. Lihat Syed Mahmudunnasir, op. cit., h. 349
[9] M. Abdul Malik
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), h. 315
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, cet. XVI. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 148
[11] Bandingkan
dengan pendapat Badri Yatim yang menyatakan bahwa kepemimpinan Babur selama 30
tahun dalam kerajaan Mughal. Lihat Badri Yatim, Ibid.,
[12] Humayun adalah
orang yang rendah hati, gagah berani, cerdas, dan cakap dalam hal-hal yang
memerlukan energi yang besar, tetapi tidak dalam usaha keras yang
terus-menerus. Dia tidak memiliki kebijaksanaan politik dan keterampilan
politik, termasuk tekad yang kuat dan keuletan yang dimiliki ayahnya. Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 351
[13] Sher Khan naik
tahta dengan gelar kerajaan Fariduddin Abdul Muzaffar Shah. Waktu itu dia
adalah penguasa Bengala, Bihar, Jaunpur, Delhi, dan Agra. Lihat Syed Mahmudunnasir, op. cit., h.
353
[14] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 316
[15] Ibid.,
[16]
Syed Mahmudunnasir, op. cit., h. 354
[17] Badri yatim, op.
cit.,h. 148
[18] Seorang
menteri Hindu dari Adil Shah. Dia telah menghentikan kesetiaannya kepada
tuannya, dan merebut Agra dan Delhi dari gubernur Mughal, Tardi Beg. Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 355
[19] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 356
[20] Badri Yatim, op.
cit., h. 149
[21] Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 358
[22] Lihat Ibid.,
h. 359
[23] Lihat Ibid.,
[24] Lihat Ibid.,
h. 361
[25] Ibid.,
[26] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h. 262
[27] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 316
[28] Ibid.,
[29] Dedi
Supriyadi, op. cit., h. 262
[30] Ibid.,
[31] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 362
[32] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 317
[33] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., 362
[34] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 317
[35] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 362
[36] Badri Yatim, op.
cit., h. 150
[37] Dedi
Supriyadi, op. cit., h. 262
[38] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 317
[39] Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 363
[40] Lihat Ibid.,
[41] Lihat Ibid.,
h. 364
[42] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 317
[43] Ibid.,
[44] Ibid.,
[45] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 366
[46] Ibid.,
[47] Ibid., h.
367
[48] Aurangzeb
dapat mengalahkan saudaranya, dan membujuk ayahnya supaya diizinkan masuk ke
istana dengan membawa tentara serta berjanji tidak akan mengganggu kedudukan
ayahnya. Namun, ternyata Aurangzeb mengingkarinya. Ia memenjarakan ayahnya,
sebagaimana Shah Jahan memenjarakan Jangahir. Lihat M. Abdul Malik Karim, op.
cit., h. 318
[49] Lihat Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 368-369
[50] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 318
[51] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 370
[52] Aurangzeb juga
mengajak masyarakatnya untuk masuk islam, ia menyuruh arca-arca Hindu ditanam
di bawah jalan-jalan menuju masjid agar orang-orang islam menginjak arca-arca
tersebut. Kebijakan ini banyak menuai kritikan dari kalangan Hindu, diantaranya
adalah kerajaan Rajput yang semula mendukung Kerajaan Mughal kemudian
menentangnya. Tindakan yang sewenang-wenang itu pula yang pada akhirnya membawa
Kerajaan Mughal mengalami masa kemunduran. Lihat M. Abdul Malik Karim, op.
cit., h. 318
[53] Syed
Mahmudunnasir, op. cit., h. 374
[54] Ibid.,
[55] M. Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 318
[56] Lihat Badri
Yatim, op. cit., h. 160-161
[57] Ibid,. H.
161
[58] Nasution, op.
cit., h. 151
[59] Lihat M. Abdul
Karim, Sejarah Islam di India, (Yogyakarta: Bunga Grafies Production,
2003), h. 6-39
[60] Ibid., h.
57
[61] Ibid., h.
60
[62] Badri Yatim, op.
cit., h. 151
[63] Abdul Karim, op.
cit., h. 60
[64] Abdul Malik
Karim, op. cit., h. 316
0 Response to "Kerajaan Mughal di India"
Post a Comment