Integrasi Keilmuan Amin Abdullah
A.
Pendahuluan
Manusia,
dalam agama Islam mempunyai konsepsinya yang jelas, yaitu sebagai “hamba Allah”
(‘abd Allah) dan sebagai “wakil Allah
di muka bumi” (khalîfah Allâh fî al-ardh).
Dua tugas yang diemban oleh manusia ini mempunyai konsekuensinya masing-masing.
Konsep yang pertama, yaitu manusia sebagai hamba menjadikan manusia mempunyai
kewajiban menghamba kepada Allah, yang dalam istilah keagamaan biasa disebut
dengan “beribadah” kepada-Nya.[1]
Sedangkan manusia sebagai “wakil Allah di muka bumi”[2] menjadikan
manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara, melestarikan, serta membudayakan
semua yang telah diciptakan Allah SWT.
Oleh
karena itu, Islam sebagai agama, memandang hidup manusia secara utuh dan
integral, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ritual semata.
Berbeda dengan agama pada umumnya yang memisahkan hidup manusia secara tegas
dan agama hanya berkaitan dengan masalah penyembahan agama saja. Islam tidak
hanya urusan individu penganutnya, melainkan juga urusan masyarakat, Negara,
bahkan hubungan antarbangsa. Islam memandang hubungan manusia sebagai sesuatu
yang sentral. Bahkan hubungan ritual seseorang denghan Allah harus berdampak
pada hubungan antarmanusia.[3]
(QS. Al-ankabut: 45)
Pada
dasarnya, semua makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. berkewajiban untuk
menyembah kepada-Nya.[4]
Akan tetapi tidak dengan manusia, selain menyembah kepada Allah SWT., ia juga
berkewajiban menjadi khalifah di bumi, dan itu bukanlah tugas yang ringan. Lantas bagaimana agar manusia yang merupakan
sebaik-baiknya ciptaan[5]
ini dapat melaksanakan tugas tersebut? Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia maka dengan ilmu, dan
barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat maka dengan ilmu, dan
barangsiapa yang menghendaki keduanya (kehidupan dunia dan akhirat) maka dengan
ilmu.” Dengan ilmu inilah, Allah SWT meninggikan derajat manusia di atas
semua makhluk ciptaan-Nya. Dalam firman-Nya, Allah SWT menceritkan tentang
penciptaan Adam yang padanya diajarkan nama-nama benda dan seluruhnya.[6] Yang
dimaksud dengan nama-nama di sini adalah ilmu dan pengetahuan. Allah SWT menanamkan
pengetahuan yang luas dalam jiwa nabi Adam dan keinginan yang terus
mendorongnya untuk mengetahui sesuatu. Hasrat untuk menggali ilmu dan belajar
juga diwariskan kepada anak-anka nabi Adam. Inilah tujuan dari penciptaan Nabi
Adam dan inilah rahasia di balik penghormatan para malaikat kepadanya.[7]
Sementara itu, ilmu dan pengetahuan ini, di samping menjadikan manusia
lebih mulia diantara makhluk-makhluk lainnya, juga dapat mempengaruhi kemajuan
suatu kaum. Sejarah mencatat, bahwa masa keemasan Islam terjadi pada masa
Abbasiyah, yaitu sekitar abad 8 M. Salah satu kejayaan yang dicapainya ialah
berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu
ini bukan hanya ilmu agama,[8]
melainkan ilmu-ilmu umum yang datang dari luar Islam.[9]
Semua ilmu yang ada saat itu dikembangkan secara seimbang. Tidak ada istilah
pendikotomian ilmu ke dalam apa yang disebut dengan ilmu agama dengan ilmu
umum, di samping tidak ada pula sikap yang memprioritaskan satu ilmu dengan
ilmu lainnya. Semua ilmu pada saat itu dikembangkan dan saling melengkapi.
Sementara
itu masa kemunduran Islam, seperti yang oleh Zainuddin[10]
dari Sykib Arselan, yang menyatakan bahwa kemunduran umat Islam di samping
factor eksternal, juga karena adanya factor internal, yaitu hancurnya kesatuan
dan persatuan antar umat Islam, munculnya konservatisme, taklid buta dan acuh
tak acuhnya terhadap sains modern yang merupakan warisan intelektual Islam. Padahal
di dalam Islam sendiri, ilmu menjadi sesuatu yang teramat penting dalam kiprah
manusia di bumi.
Dari
dua fakta sejarah di atas, meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kemajuan atau kemunduran suatu kaum, akan tetapi perlakuan suatu
kaum terhadap ilmu bagaimana pun juga mempunyai andil besar di dalamnya. Ilmu
bisa menjadikan suatu kaum mencapai kejaannya jika ilmu itu dapat berkembang
dan terintegrasi antara satu ilmu dan ilmu lainnya. Begitu pun sebaliknya,
ketika ilmu menjadi sesuatu yang partikular, di samping juga tidak berkembang
dapat menjadikan suatu kaum mengalami kemunduran.
Beberapa
tokoh intelektual Islam , mulai melihat tren dikotomi ilmu yang
mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu agama dan ilmu umum sebagai tabir penghalang
bagi kebangkitan Islam. Oleh karena itu, upaya untuk menyingkap tabir itu bukan
lagi sesuatu yang bisa ditawar, salah satunya dalam dunia keilmuan dengan
memunculkan kembali tern ilmu yang terintegrasi. Prof. Dr. Amin Abdullah, ialah
satu diantara sekian tokoh yang beruasaha menyingkap tabir kebangkitan Islam
dengan menawarkan sebuah pendekatan yang disebut dengan pendekatan
Integratif-Interkonektif.
B.
Pembahasan
1.
Biografi Amin Abdullah
Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953.
Lulus dari SD Negeri Margomulyo pada tahun 1966, Amin Abdullah, kemudian
melanjutkan studinya di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren
Gontor, Ponorogo (lulus pada tahun 1972), dan Program Sarjana Muda
(Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) (lulus pada tahun
1977). Selepas pendidikan di Gontor, Amin Abdullah melanjutkan pendidikanya ke
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(lulus tahun 1982) dan kemudian, dengan beasiswa Departemen Agama dan
Pemerintah Republik Turki, dia bersekolah melanjutkan program doktor dalam
bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and
Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1985-1990)
dan kemudian, pada tahun 1997-1998, dia mengikuti Program Post-Doctoral di
McGill University, Kanada.[11]
Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang
berjudul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant
diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah
lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan
Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era
Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya
terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut
dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat Islam:
Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989). Selain publikasi, kompetensi
akademik Amin Abdullah juga tampak dalam aktifitas akademik yang dia ikuti,
seperti Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam
Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992,
tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya
Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari
1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996;
“Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998,
”Islam and Civil Society: Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang, 1999;
“al-Ta’ri>h} al- Islami>y wa Azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000;
“International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Seminar
“New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in
Islam”, Kuala Lumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic
Religious Authority in Contemporarry Indonesia”, Leiden, Belanda, 2003. “Interfeith
Dialogue: Conflict and Peace,” The Luthern World Federation (LWF) Kopenhagen
Denmark, Oktober 2003; “New Direction of Islamic Thought and Practice: Equality
and Plurality”, Yogyakarta, Indonesia, Juni 2004; “Religious Harmony: Problems,
Practice and Education”, Yogyakarta, Indonesia, Oktober 2004; “The Idea (L) of
an Indonesian Islamic University: Contemprary Perspectives”, Yogyakarta,
Indonesia, 9-11 Desember 2004; “University Teaching of Islamic Studies at the
International Level: Concept, Policy and Trends”, Songkla, Southern Thailand,
19-20 Maret 2005;”International Rudolf-Otto-Symposion”, Philipps Universitat
Marburg, Jerman, 8-10 Mei 2005.[12]
2.
Integrasi Keilmuan Intergatif-Interkonektif
Kata ilmu,
secara etimologis berasal dari bahasa al-‘ilm Arab yang mempunyai arti
mengetahui hakikat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Dalam bahasa Inggris,
dikenal sebagai science,[13]
dan sepadan dengan kata al-ma’rifat yang berarti pengetahuan (knowledge).
Namun, antara al-‘ilm dan al-ma’rifat biasanya dibedakan penggunaannya
dalam kalimat. Al-‘ilm digunakan untuk mengetahui sesuatu yang bersifat
universal (al-kulli), sedangkan al-ma’rifat dipakai untuk
mengetahui sesuatu yang bersifat partikular (a-juz’i).[14] dari segi definisinya saja, Islam dalam
memandang ilmu bukanlah sesuatu yang terpisah-pisah. Artinya, Islam tidak
menghendaki adanya dikotomi ilmu yang
mengklasifikannya menjadi ilmu agama dan ilmu umum.
Dikotomi ilmu
secara umum memang bukan
berasal dari Islam, melainkan dari dunia Barat. Menurut Yusuf Qardhawi dalam
Zainuddin menyatakan bahwa dikotomi lahir dari dunia Barat, khususnya Eropa
yang jauh dari nilai-nilai dan norma-norma Islam.[15]
Akan tetapi,
pada akhirnya, gelombang dikotomi ilmu ini merasuk pula dalam dunia Islam.
Gejala pendikotomian Ilmu dalam Islam mulai nampak pada masa-masa abad
pertengahan. Zainuddin[16]
mengutip Rahman yang menyatakan bahwa pada abad pertengahan terjadi persaingan
perebutan “mahkota semua ilmu” antara hokum dan teologi, ditambah dengan
penutupan pintu ijtihad yang berlangsung dalam kurun waktu 4-5 H telah membawa
pada kemandekan umum, baik ilmu hokum maupun ilmu lainnya.
Sementara itu,
menurut Azra munculnya dikotomi ilmu disebabkan oleh adanya suatu pandangan
yang meyakini bahwa ilmu agama merupakan “jalan tol” menuju Tuhan. Sebelum
kehancuran aliran Mu’tazilah pada masa Al-Ma’mun (198-218/813-833), ilmu-ilmu
kelaman dan eksakta bukannya tidak ada di dalam kurikulum madrasah atau al-jam’iah,
namun dengan runtuhnya aliran Mu’tazilah terjadilah kemudian apa yang
disebut sebagai “pemakruhan” terhadap ilmu “non agama”.[17]
Pandangan
tersebut, yang menyatakan bahwa ilmu agama sebagai “jalan tol” menuju Tuhan
akhirnya menjadikan umat Islam menganggapnya tidak terlalu penting untuk
dipelajari. Karena memang manusia semuanya akan kembali kepada Tuhan, jika ada
jalan tol menuju-Nya,[18]
kenapa harus bersusah-payah melalui jalan yang panjang dan bisa jadi banyak
hambatan. Implikasi yang terjadi setelahnya adalah anggapan bahwa keduanya,
yakni agama serta ilmu umum tidak perlu serta tidak bisa untuk disatukan,
karena memandang dimensinya yang berbeda, yakni dimensi ukhrawi dan duniawi.
Pemahaman yang
seperti itu terkesan melupakan salah satu tujuan islam yang memberi tuntunan
sehingga manusia dapat meningkatkan taraf hidup yang modern dan lebih maju.
Islam tidak melarang untuk memikirkan masalah teknologi modern atau ilmu
pengetahuan yang sifatnya menuju modernisasi pemikiran manusia genius,
profesional, dan konstruktif, serta aspiratif terhadap permasalahan yang timbul
dalam kehidupan sehari-hari.[19] Oleh
karenanya, dikotomi ilmu yang masih masif dikalangan umat Islam – tak
terkecuali dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam – membawa kegelisahan bagi
pemikir-pemikir Muslim modern. Kemudian muncullah beberapa upaya untuk – yang
dalam Islam Amin Abdullah – membuka tabir yang meisahkan antara keilmuan agama
dan keilmuan umum (non-agama), salah satunya adalah pendekatan
intergatif-interkonektif yang dipelopori oleh Amin Abdullah.
Amin Abdullah
merasa bahwa kegiatan aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi
Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air dewasa ini mirip-mirip seperti
pola kerja keilmuan abad renaissance hinggan era revolusi informasi.
Yangmana hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah mengauasai
perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela.
Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust pun
mewabah dimana-mana.[20]
Ini menandakan adanya jarak yang cukup jauh antara dua aspek keagaam yang
sering dipahami sebagai normative dan historis. Dari aspek normatifnya, agama
mewajibkan pemeluknya untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi
larangannya. Akan tetapi, jika pada kenyataannya perilaku pemeluknya berbeda
dari yang perintahkan oleh agama. Maka itu mengindisikasikan adanya
keterputusan atau ketimpangan dalam beragama. Jika sudah demikkian,
pertanyaannnya adalah di mana peran pendidikan, utamanya pendidikan agama?
Di era global
ini, para agamawan terkesan tidak dapat menjadi pelaku perubahan, melainkan
hanya penonton dalam kemajuan teknologi dan sebagainya. Begitu pun sebaliknya,
para ilmuwan-ilmuwan, termasuk para cerdik pandai semakin jauh dari moral dan
etik. Akhirnya, timbul tipologi antara agamawan saja dan ilmuwan saja. Padahal
jauh sebelumnya, dalam kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan
yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
dan Ibnu Khaldun.[21]
Yang selain mereka adalah agamawan juga ilmuwan-ilmuwan yang sudah barang tentu
selain memahami agama dengan berbagai moral dan etiknya, juga memnguasai
keilmuan-keilmuan lainnya yang notabenenya di luar lingkup agama. Para tokoh
ini berhasil memadukan serta mengkorelasikan keilmuan-keilmuan yang mereka
miliki.
Untuk
mengembalikan paradigma pendidikan yang integrative ini dengan pendekatannya
yaitu integratif-interkonektifnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya
segera adanya interaksi dan interkomunikasi dengan teori-teori dan
metodologi-metodologi yang telah digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang
lain yang berada di luar lingkarannya batasnya sendiri. Dengan mencangkokkan
teori-teori tersebut, memungkinkan terjadi perluasan horizon dan wawasan
keilmuan seseorang. Ketika interaksi dan interkomunikasi antar dispilin ilmu
ini berlangsung, akan ada perubahan besar pada cara kita mempertanyakan
problem-problem akademik.[22]
Dan bukan tidak mungkin – yang juga menjadi harapan – dengan adanya interaksi
serta interkomunikasi ini bisa mengembalikan kembali peradigma keilmuan yang
integrative yang mampu menjadikan manusia sesuai dengan perannya di muka bumi,
yang selain sebagai sebagai seorang hamba juga sebagai khalifah di bumi.
Selain itu,
paradigma interkoneksitas ini memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi
kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan
komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu
keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu
kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan
merasa cukup dengan kekuatan sendiriini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang
terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme
disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan
lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang
dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma
integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan
kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara
meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara
meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma
interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul
yakni modest, humility dan humanis.[23]
Paradigma
interkonektif-integratif ini dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama
yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga
terjadi komunikasi efektif membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan,
baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan
untuk mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan
konsep gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima
keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut
juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Lebih lanjut,
Amin Abdullah memberi catatan, bahwa:
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar
menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
holistic-integralistik), itu tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan
(sekuralisme) atau mengucilkan manusia teraleniasi dari dirinya sendiri dari masyarakat
sekitar dan lingkungan sekitarnya.[24]
Artinya,
terjadinya integrasi keilmuan yang oleh Amin Abdullah didekatinya dengan
pendekatan integratif-interkonektif ini bukan berarti antar satu keilmuan
dengan keilmuan lainnya saling bersaing untuk saling mendominasi dan
mempengaruhi. Bahkan sebaliknya, yang dikehendaki adalah antara satu keilmuan
dengan keilmuan lainnya saling melengkapi. karena sama halnya dengan manusia
yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, ilmu pun demikian yang tidak
bisa berdiri sendiri tanpa bertegur sapa dengan ilmu lain.
Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini, selain
dihadapkan padafenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan pada
tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang mendorong
kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman. Kevakuman ini salah satunya
disebabkan karena pengaburan antara apa yang oleh Fazlur Rahman disebut dengan
“Islam Normatif” dengan “Islam Historis”. “Islam Normatif” ini dalam istilah
Lakatos disebut sebagai “hard core”, sedangkan “Islam Historis” sendiri
disebutnya sebagai “protective belt”. Wilayah “hard core” ini memang akan sulit untuk
dikembangkan. Hal ini tentu berbeda dengan domain protective belt yang
merupakan hasil olah dari domain hard core merupakan fokus yang nyata
dan wilayah konkret untuk program rekonstruksi dan reformulasi ilmu-ilmu
keislaman, utamanya pada era modern ini.[25]
Jadi, upaya pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam rangka
menjawab permasalahan-permasalahan zaman yang selalu berkembang ini, hendak
dapat diperjelas mana domain-domain keislaman yang merupakan “hard core” dan
mana yang merupakan “protective belt”.
Epistemologi
Teoantroposentris
Dalam
sumber pengetahuan yang merupakan jiwa dari ilmu, dikenal istilah teoantroposentris.
Yangmana istilah ini dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber
pengetahuan yang didapatkan dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari
manusia (melalui proses berpikir). Contoh dari perpaduan ini adalah agama
menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al-mudhârabah),
dan kerjasama (al-musyârakah). Di mana terjadi proses objektifikasi dari
etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua
penganut agama, non-agama, atau bahkan anti-agama.[26]
Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan hubungan jarring laba-laba yang
bercorak teoantroposentris-integralistik.
Alur
di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang
disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat
diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk terus
dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan
kondisi zaman yang senantiasa menyertainya Tergambar di atas bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan
integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam
perikehidupan sector tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu
ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era
informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam)
yang terampil dalam menangani serta menganalisis isu-isu yang menyentuh problem
kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya
berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science),
ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities)
kontemporer. Di atas itu semua, pijakan utama dari semua keilmuan yang ada
dilandaskan pada etika-moral keagamaan dalam setiap langkah yang ditempuh.
Terlepas dari apakah itu keilmuan yang bercorak agama atau non-agama haruslah
mempunyai landasan yang kuat pada Al-Qur’an dan Hadistyang dijadikan pandangan
hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan
nafas keilmuan dan keagamaan.[27]
Dari gambar di
atas, nampak jelas bahwa dalam Islam tidak ada pendikotomian ilmu yang
menjadikan ilmu terklasifikasikan menjadi ilmu agama dan non-agama dengan
konsekuensinya saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan antara satu keilmuan
dengan keilmuan satunya. Karena bagaimana pun semua pengetahuan, pada dasarnya
berasal dari satu Tuhan, meski dalam berbagai cara penyampaiannya kepada
manusia. Selain itu, nampak pula bahwa dari ilustrasi
di atas, al-Qur’an dan Sunnah menjadi “hard core” keilmuan keislaman,
sementara lingkar-lingkar pada lapis di luarnya menjadi domain “protective
belt” yang sangat mungkin dikembangkan sebagai upaya menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia yang selalu berkembang ini.
Dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah, keilmuan-keilmuan yang ada
dapat dikembangkan berdasarkan semangat keislaman.
Reintegrasi
Keilmuan Era UIN
Dalam rangka menindaklanjuti hal di atas, Amin Abdullah memberikan
pemahaman dalam ranah pendidikan di perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum
dan silabi dengan menggunakan pendekatan etos dan nafas reintegrasi
epistemologi keilmuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pitfall atau
jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa memiliki kepastian dalam
wilayah sendiri-sendiri dan tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar
dirinya. Yakni dalam menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah di UIN
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar berikut, yaitu: adanya saling
melengkapi antara hadarah al-nash,[28]
hadarah al-ilm,[29]
dan hadarah al-falsafah.[30]
Hadarah al-nash, (penyangga budaya teks), memang tidak biasa berdiri
sendiri, terlepas sama sekali darib hadarah al-ilm (teknik, komunikasi)
dan juga tidak bisa lepas dari hadarah al-falsafah (etik) dan begitu
sebaliknya. Hadarah al-ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang
menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya “karakter” yang berpihak
pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh Hadarah
al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, Hadarah
al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam
kombinasinya dengan hadarah al-ilm (sains dan teknologi), tanpa mengenal
humanities kontemporer sedikit pun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati
akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radicalism-fundamentalism. Untuk
itu diperlukan hadarah al-falsafah (etik yang bersifat
transformatif-liberatif). Begitu juga, hadarah al-falsafah (budaya
filsafat) akan terasa kering, jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang
termuat dalam budaya teks, terlebih jika menjauh dari problem-problem yang
ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-ilm (budaya ilmu-ilmu
empiris-teknis). Karenanya, pendidikan dituntut untuk mampu mengkomunikasikan
antar masing-masing hadarah yang ada. Di samping karena memang tidak
bisanya berdiri sendiri, masing-masing domain juga memiliki kekurangan serta
kelebihan yang jika ketiganya mampu berkomunikasi dengan baik,
kekeurangan-kekurangan yang dimiliki satu domain akan mampu dilengkapi dengan
kelebihan domain yang lain. Berikut skema reintegrasi epistemologi keilmuan
UIN.
C.
Kesimpulan
Cara memperlakukan ilmu menjadikan salah satu faktor yang dapat
menjadikan suatu kaum menjadi maju atau terbelakang. Dikotomi ilmu menjadi ilmu
agama dan ilmu agama yang berdiri sendiri-sendiri pada kenyataannya menjadikan
suatu kaum menjadi terbelakang, baik itu terbelakang dalam segi teknologi atau
pun moral. Seseorang yang hanya menguasai ilmu agama tanpa mengetahui ilmu umum
akan sulit bersaing dalam era yang serba canggih ini. Begitu pun sebaliknya,
bagi yang menguasai ilmu umum tanpa pernah bersinggungan dengan nila-nilai
agama akan menjadikannya seorang cerdik pandai yang berlaku sesuka hati tanpa
ada kontrol dalam bertindak. Jika ini dibiarkan, maka yang akan muncul adalah
sikap saling memusuhi satu pihak dengan pihak lain, pihak agamawan akan memandang
salah bagi para ilmuwan dengan temuan-temuannya, begitu pun para ilmuwan
memandang agama sebagai penghambat kemajuan.
Pendekatan integrative-interkonektif yang diusung oleh Amin
Abdullah merupakan pendekatan yang mencoba menjawab fenomena dikotomi ilmu yang
terjadi. Pendekatan ini mencoba untuk menjelaskan bahwa antara satu keilmuan
dengan keilmuan lainnya mempunyai hubungan yang saling melengkapi, bukan saling
mengungguli. Dengan pendekatan ini, antara satu keilmuan dengan keilmuan
lainnya diharapkan dapat saling bertegur sapa serta berkomunikasi dengan baik.
Selain itu, dikenal juga istilah teoantroposentis-integralistik,
dimana agama – yang dalam hal ini diwakili oleh Al-Qur’an dan Hadist –
menjadi poros utama dari semua keilmuan yang berimplikasi pada keharusan bagi
setiap keilmuan untuk menjadikan moral-etik agama sebagai landasan untuk
berpijak. Karena meskipun sumber pengetahuan itu terdiri dari dua sumber, yakni
dari Tuhan (wahyu) dan dari manusia (berpikir), pada kenyataannya semua itu
tetap dari Tuhan Yang Maha Esa.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Amin.
2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Intergatif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amin, Samsul
Munir. Sejarah Peradaban Islam. cet. 3. Jakarta: Amzah
Azra, Azyumardi
Dalam Chareles Michael Stanton. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj.
Afandi dan Hasan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Bahjat, Ahmad. 2001. Sejarah Nabi-Nabi Allah. terj. Muhammad Alkaf. Jakarta:
Lentera Basritama
Jani, Umar A. 2004. “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif
Pemikiran Islam” dalam Amin Abdullah, dkk., Integrasi
Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. Yogyakarta: Pilar Religia
Masruri, M.
Hadi dan Rossidy, Imron. 2007. Filsafat
Sains dalam Al-Qur’an: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama.
Malang: UIN-Malang Press
Rohadi dan
Suharsono. 2005 Ilmu dan Teknologi dalam Islam. cet. 3. Jakarta : Departemen
Agama RI
Yusuf, Ali
Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern. Bandung: Pustaka
Setia
Zainuddin, M. 2010. Paradigma
Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab. Malang: UIN-MALANG PRESS
[1] Qs.
Al-Baqarah: 21, QS. Al-Bayyinah: 5
[2] QS.
Al-Baqarah: 30
[3] Ali
Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 67
[4] Qs.
Al-Ra’d: 15
[7] Ahmad Bahjat, Sejarah Nabi-Nabi Allah, terj. Muhammad Alkaf,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2001), h. 46
[8] Diantaranya
ilmu Al-Qur’an, qira’at, hadist, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Selain
itu, muncul pula empat madzhab dalam fiqih yang tumbuh dan berkembang pada masa
Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (W. 150H/677 M) pendiri Mazhab Hanafi. Imam malik
bin Anas yang banyak menulis hadist dan pendiri mazhab Maliki (W. 179 H/795 M).
Muhammad bin Idris Ash-Syafi’I (W. 204 H/819 M). Ahmad bin Hanbal pendiri
mazhab Hanbali (W. 241 H/855 M). Lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Amzah, 2013, cet. 3), hlm. 145
[9]
Ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia
ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India. Lihat Ibid.,
[10] M.
Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab, (Malang:
UIN-MALANG PRESS, 2010), hlm. 18
[11] [11]Suharyanta dan Sutarman, “Relevansi
Epistemologi Keilmuan Integratif- Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu
Pendidikan Islam”, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012, hlm. 57
[13] Science – tanpa ada keterangan lebih
lanjut – adalah natural sciences atau
“ilmu-ilmu kealaman” yang mempelajari fenomena-fenomena alam semesta dengan
segala isinya. Yang termasuk dalam natural
sciences ini adalah “ilmu-ilmu dasar (basic
sciences), yang disebut juga sebagai “ilmu-ilmu murni” (pure sciences), seperti biologi, kimia,
fisika, dan astronomi dengan segala cabangnya. Adapun derivasi dari basic sciences ini adalah applied sciences atau ilmu-ilmu terapan
seperti farmasi, kedokteran, pertanian, kedokteran-gigi, optometri, dan
lain-lain. Lihat Umar A Janie, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif
Pemikiran Islam, dalam Amin Abdullah, dkk., integrasi
Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, (Yogyakarta: Pilar
Religia, 2004), hlm. 121
[14] M.
Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an: Melacak
Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama, (Malang: UIN-Malang Press, 2007),
hlm. 35
[15] M.
Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab, (Malang:
UIN-MALANG PRESS, 2010), hlm. 15
[16] Ibid.,
hlm. 16
[17]
Azyumardi Azra Dalam Chareles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994),
hlm. vii
[18] QS.
Al-Baqarah: 156
[19]
Rohadi dan Suharsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta :
Departemen Agama RI, 2005, cet. 3), hlm. 56
[20] Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Intergatif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 94
[21] Ibid,.
hlm. 95
[22] Ibid.,
hlm. 58
[23]Suharyanta dan Sutarman, “Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif- Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam”, Mukaddimah,
Vol. 18, No. 1, 2012, hlm. 62
[24]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Intergatif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 104
[26] Ibid,
hlm. 105
[27] Ibid,.
hlm. 106
terimakasih atas informasinya..
ReplyDelete