Galau "K-13"
Sore itu, ada tiga anak-anak (usia
sekitar 3-5 tahun) sedang bermain sepeda. Terlihat satu anak yang sedang naik
sepeda roda tiga. Sedangkan 2 anak lainnya mendorong sepeda yang dinaiki anak
pertama tadi, hanya saja yang menggelikan dari dua anak yang mendorong sepeda
itu adalah si anak yang berusia sekitar 5 tahun merasa terganggu dengan ulah
anak yang berusia 3 tahun. Apa pasal? Karena si anak 3 tahun itu bukannya
memegang sepeda dan mendorongnya, melainkan memegangi badan si anak 5 tahun
yang juga mendorong sepeda. Berkali-kali si anak 5 tahun merasa jengkel karena
bukannya membantunya mendorong sepeda melainkan si anak 3 tahun justru
membebaninya.
Sesampainya di kos, kemudian saya
tersenyum sendiri menginagt ketiga anak tadi. Saya menyadari, terkadang saya
dan mungkin beberapa orang yang sudah tidak bisa dikatakan anak kecil lagi
sering berlaku seperti anak kecil di atas, yang maksud hati ingin membantu,
tapi ternyata malah mengganggu. Bukankah maksud anak yang berusi 3 tahun itu
ingin membantu temannya – atau mungkin kakaknya – yang sedang mendorong sepeda,
tapi bagi temannya – atau kakaknya – itu, tingkah anak 3 tahun ini malah
menjengkelkan.
Itulah manusia, yang terkadang terlalu
egois yang bahkan dalam melakukan kebaikan masih menggunakan standar diri
sendiri, misalnya saja membantu orang di sekitar kita. Bahkan tidak hanya
individu saja yang egois, ketika berkoloni pun juga keegoisan itu tetap muncul.
Entah yang akan saya sampaikan ini sesuai dengan kenyataan atau hanya perasaan
saya sendiri. Dunia pendidikan kita saat ini, khususnya yang formal sedang
memasuki masa transisi dari kurikulum KTSP ke kurikulum 2013 (selanjutnya
K-13). Meskipun pada dasarnya, sesuatu yang akhir muncul itu merupakan
penyempurnaan dari sesuatu yang muncul sebelumnya, karena bagaimana pun juga
teori yang muncul belakangan merupakan pembaruan dari teori sebelumnya. Begitu
pun K-13 ini – bisa jadi dan bisa dianggap pasti – merupakan pembaharuan dari
KTSP. Tapi apakah benar demikian? Jangan-jangan maksud baik itu, yakni
perubahan kurikulum ini bukannya membantu untuk mengefektifkan serta
mengefisienkan proses pendidikan, tapi malah menjadikan pendidikan itu makin
tidak efektif.
Secara pribadi, saya memang belum
pernah terjun ke dalam implementasi K-13 ini, tapi dari bayangan saja saya
melihat banyak kecacatan di dalam K-13 ini. Bukankah ini tidak normal? Di
mana-mana, sesuatu – yang katanya – baik itu dalam dunia ide saja – setidaknya
– memukau dan kita akan begitu semangat untuk memperkenalkannya kepada khalayak
banyak. Tolok ukurnya, kita akan begitu expert
dalam menerangkan konsep-konsep atas hal yang baik itu. Tapi, bagaimana
dengan K-13 ini?
Bukan wilayah saya untuk mengkritisi
K-13 ini lebih dalam. Hanya saja saya cuma khawatir jika K-13 layaknya anak
umur 3 tahun di atas yang justru mengganggu, bukannya membantu. Kemudian,
kegelisahan selanjutnya karena saya merasa kecewa. Apa pasal? Karena apa yang
saya dapati di bangku kuliah (strata 1), yang saat itu intens bersinggungan
dengan KTSP kini nampaknya sia-sia saja, meskipun ada sebagian yang menghibur saya
bahwa tidak ada yang sia-sia dalam belajar. Tapi bagaiamna pun juga bukankah
memang demikian kenyataannya? Belum sempat saya mempraktikkan itu, tapi kini
kebijakannya berubah. Padahal kita semua tahu, biaya pendidikan tinggi sekarang
bukan lagi bisa dikatakan murah (meskipun mahal atau murahnya itu relatif). Pertanyaan
yang selalu muncul dalam benak saya, “kenapa harus ada kurikulum?” yang
selanjutnya pertanyaan itu melabar menjadi “kenapa harus ada perubahan
kurikulm?”. Memang, jawaban pertanyan-pertanyaan itu akan mudah kita dapati di
beberapa literatur-literatur yang ada. Tapi, meski ada jawabannya, tetap saja ada
sesuatu yang mengganjal dalam hati. Kenapa dan kenapa?
Saya teringat pernyataan dari putri
sulung Gus Dur (Alisa Wahid), ia menyatakan bahwa sosok Gus Dur adalah sosok
yang selalu berpegang pada prinsip. Adalah kemanusian yang merupakan prinsip
utama yang dipegang oleh Gus Dur, adapun yang nampak di luar, baik itu tindakan
atau perkataan beliau, itu adalah merupakan strategi. Karenanya, Gus Dur dari
tampilan luar akan terlihat kontroversi, tapi sebenarnya yang nampak
kontroversi hanya strateginya, dan strateginya ini bisa berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi. Lantas bagaimana dengan dunia pendidikan, khususnya
K-13 ini? Saya kira ada pengaburan mana yang disebut prinsip pendidikan dengan
strategi pendidikan. Bukankah kita, termasuk para ahli pendidikan mengakui
bahwa kurikulum itu adalah sebuah alat yang dipakai untuk memudahkan para
pendidik untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan. Dan karenanya
alat, upaya penyeragaman dalam hal kurikulum kiranya kurang efektif, jika
enggan menyebutnya dengan tidak efektif, apalagi di negara yang majemuk ini, di
samping juga keadaan geografi serta demografi yang berbeda. Bagaimana mungkin
bisa kurikulum ini diseragamkan?
Mungkin ada yang bertanya, lantas apakah
kurikulum itu ditiadakan? Jika iya, bagaimana cara kita untuk mencapai tujuan
pendidikan? Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa bukan berarti ketika saya
mengatakan ketidaksetujuan akan sesuatu, itu menandakan kalau saya menginginkan
sesuatu itu dihilangkan, bukan! Termasuk dalam hal kurikulum ini, khususnya
K-13. Kurikulum itu sangat penting dalam mengawal proses pendidikan, karena
selain sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan, kurikulum juga bisa
dijadikan kompas yang menuntun kegiatan pendidikan itu tetap pada jalur yang
benar, dalam arti jalur yang mengarah pada tujuan akhir pendidikan. Hanya saja,
jika kemudian alat atau sarana ini diseragamkan dari satu daerah ke daerah
lain, apalagi jika kemudian semuanya disediakan dari pusat, maka kurikulum yang
hakikatnya sebagai alat, kini sudah menjelma sebagai bagian dari tujuan. Terkesan
bahwa kurikulum ini melekat dengan tujuan, lebih parah lagi jika kemudian
timbul kesan tujuan pendidikan akan sulit tercapai tanpa kurikulum ini. Kenapa saya
katakan demikian? Ya dari fenomena K-13 ini, para pendidik diberikan bimbingan
dan pelatihan-pelatihan terkait dengan K-13 (yang memakan dana sangat
fantastis, informasi yang terakhir saya terima adalah sekitar 3 Triliyun). Jika
demikian, nampaknya wajar-wajar saja ketika kemudian saya mengatakan kurikulum
dewasa ini nampak melekat/menjadi bagian dari tujuan pendidikan.
Di balik itu semua, secara pribadi saya
melihat K-13 ini – meski masih dalam bayangan – kurang efektif. Saya juga
khawatir jika ternyata K-13 ini layaknya anak usia 3 tahun di atas, maksud hati
ingin menjadikan pendidikan lebih berkualitas, tapi malah kenyataannya sebaliknya.
Apalagi peralihan kurikulum ini menelan dana yang besar. Belum lagi
ketidaksiapan para pendidik di sekolah dengan kehadiran kurikulum baru ini.
Sedikit menengok ke belakang, bahwa
latar belakang peralihan kurikulum dari KTSP ke K-13 ini karena di lapangan
para pendidikan melakukan copy-paste RPP
yang seharusnya dibuat sesuai dengan keadaan tempat di mana ia mengajar. Maka,
dalam K-13 ini para guru ini lantas dibuatkanlah itu semua bahan-bahan
pembelajaran. Tapi, apakah dengan demikian semuanya akan beres? Saya kira tidak
semudah itu. Itulah kenapa di atas saya katakan adanya pengaburan mana yang
menjadi prinsip utama dan mana yang merupakan strategi. Seharusnya yang menjadi
prinsip utama itu adalah tujuan pendidikan yang sudah terkonsep dalam
Undang-undang, sedangkan kurikulum adalah strategi. Yang harus sama dari semua
lembaga pendidikan adalah prinsip pendidikan yang terjabarkan dalam tujuan
pendidikan, adapun untuk cara atau strategi pencapaiannya tergantung situasi
dan kondisi daerahnya masing-masing. Jika seperti ini, jujur saja kurikulum
yang saya anggap sangat ideal – setidaknya pada tataran konsep – adalah KTSP. Salah
satu dosen saya mengibaratkan bahwa kurikulum ini ibaratnya pemerintah pusat
hanya menyediakan penthol bakso saja,
untuk bahan pelengkapnya, sekolah-sekolah diberi wewenang untuk menentukan
sendiri sesuai dengan “cita rasa” daerah masing-masing. Bukannya menyediakan
semangkuk bakso yang sudah lengkap dengan bumbu-bumbunya, iya kalau sesuai
dengan cita rasa daerahnya, lha kalau tidak? Di buang sayang, di makan tapi
tidak suka, akhirnya? Dipaksa! Apa iya K-13 ada pemaksaan di dalamnya? Lha itu
adanya pelatihan-pelatihan. Bukannya ini pemaksaan secara halus? Memaksa para
pendidik untuk tahu, paham dan juga bisa mengaplikasikan K-13. Akhirnya, dunia
pendidikan sekarang ini terasa rumit dengan aturan-aturan yang njlimet. Maksudnya memang baik, tapi apa
harus mempersulit diri jika ada yang mudah? Toh,
orang-orang zaman dulu tanpa ada apa itu kurikulum-kurikulum yang konkret
tetap bisa mengajar, dan hasilnya juga tidak bisa kita katakan jelek.
Semoga apa yang saya pikirkan tentang
K-13 ini hanyalah sebuah kekhawatiran yang semu, dalam arti kenyataannya tidak
demikian. Karena jika kenyataannya demikian, maka saat ini dunia pendidikan
kita akan lebih jauh lagi dari cita-cita pendidikan yang berkualitas, padahal
terdapat hubungan resiprokal antara pendidikan dan masyarakat. Bukankah masyarakat
yang baik itu adalah yang mempunyai pendidikan yang berkualitas, sama halnya
dengan pendidikan yang berkualitas itu berasal dari masyarakat yang baik? Meskipun
anggapan tersebut tidaklah benar sepenuhnya, tapi bukan berarti itu salah
semuanya. Bahwa pendidikan untuk manusia adalah pendidikan yang memanusiakan
manusia dengan fitrah kebebasan di dalamnya. Semoga yang sedikit ini bisa
bermanfaat. []
0 Response to "Galau "K-13""
Post a Comment