Cara Melihat Tuhan
Penulis teringat dengan salah satu diskusi di kelas, saat itu
terjadi perdebatan yang cukup seru antara pemakalah dengan beberapa audiens.
Jika tidak salah ingat, tema yang dibahas adalah tentang hadist-hadist
terkait dengan hewan-hewan yang tidak boleh dan sangat dianjurkan untuk di
bunuh. Namun, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membahas tema tersebut,
melainkan ada sesuatu – yang menurut penulis – menarik dari jawaban pemakalah
ketika ditanya tentang “kenapa hewan-hewan tersebut dilarang/dianjurkan untuk
dibunuh, dan kenapa tidak hewan ini atau itu, kenapa harus hewan yang ………, dst”.
Lantas, jawaban yang diberikan oleh pemakalah ialah sekurang-kurangnya seperti
ini, “untuk itu, kita tidak perlu bertanya kenapa, karena Islam sendiri itu
artinya tunduk, ketika al-Qur’an atau hadist mengatakan seperti itu, ya sudah
kita tunduk saja tanpa harus bertanya-tanya”. Seketika, perdebatan saat itu
berhenti ibarat skak-mat dalam permainan catur. Meskipun anda masih
punya pasukan yang lengkap, tapi raja yang anda miliki sudah di-skak, maka
percuma saja. Sama halnya ketika sedang berdiskusi, kemudian dijawab dengan
jawaban yang meskipun kita bisa membantah, tetap saja kita akan terdiam.
Ingatan akan diskusi tersebut muncul begitu saja ketika penulis
membaca buku “Islamic Studies”-nya Amin Abdullah yang di dalamnya
dibahas pendekatan integrative-interkonektif. Di dalamnya disebutkan bahwa Isac
Newton dkk., ketika menemukan sesuatu yang belum bisa ditemukan teori ilmiah
akan sesuatu, yang bisa diterima dengan akal serta bisa dibuktikan, maka “Kuasa
Tuhan” dijadikan jawaban. Namun, ketika dikemudian hari ditemukan kebenaran
ilmiah atasnya, maka “Kuasa Tuhan” akan digeser dengan bukti ilmiah. Artinya,
Tuhan hanya dipakai ketika tidak ada lagi sesuatu yang bisa dilaksanakan untuk
mengurai fenomena-fenomena yang ada saat itu, jika sudah dapat diurai dengan
akal pikiran, maka peran Tuhan dengan sendirinya menjadi tak dianggap. Dengan kesimpulan
yang sedikit nakal, kemudian penulis menganggap jawaban yang diberikan oleh
teman di atas yang melakukan skak-mat dalam diskusi di atas hampir-hampir mirip
dengan apa yang dilakukan oleh Isac Newton, dkk. Bagaimana tidak? Keduanya sama-sama
menggunakan Tuhan – yang dalam kasus teman di atas menggunakan doktrin agama –
sebagai jawaban atas fenomena/pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya selain
kembali ke Tuhan. Hanya saja, bedanya kalau Isac Newton – mungkin – tetap berusaha
mengurai fenomena itu, kalau teman penulis di atas cukup puas dengan jawaban
itu.
Lantas apakah penulis menyalahkan keduanya? Tentu tidak. Karena bukan
kapasitas penulis untuk mengatakn benar/salah, atau bahkan sekedar
mengoreksipun bukan maqam penulis. Penulis hanya melihat sedikit
kesamaan dari keduanya, dan pastinya perbedaan dari keduanya juga ada, bahkan
tergolong banyak sekali, diantaranya orientasi keduanya sangat beda. Isac Newton
– bisa jadi – menggunakan “Kuasa Tuhan” sebagai jalan akhir atas keputusasaannya
dalam usaha menguraikan/menjawab suatu fenomena. Sementara teman penulis
mengembalikan pada doktrin agama sebagai sebuah ketaatan penuh terhadap
otoritas Tuhan yang bukan dalam kapasitas kita – sebagai makhluk-Nya – untuk
bermain-main di dalamnya.
Akan tetapi, bukan berarti ketika penulis tidak menyalahkan lantas
mengandung pengertian bahwa penulis membenarkan. Sangat tidak sependapat jika “Kuasa
Tuhan” dijadikan pelarian sesaat ketika akal tak mampu menjawab, tapi ketika
akal bisa memcapainya, kemudian “Kuasa Tuhan” dicampakkan begitu saja. Sama halnya
ketika kita mencintai seseorang (katakan A), lama sekali kita berusaha
mendapatkannya, tapi tetap saja kita tak mampu menjangkaunya. Di saat keputusasaan
telah bersemayam dalam hati kita, muncullah si B yang sedikit bisa mengobati
keputusasaan kita, dan akhirnya kita menjalin hubungan dengannya. Namun seiring
berjalannya waktu, si A tadi mulai member harapan, tak lama kemudian kita mencampakkan
B dan kembali ke A. Bukankah ini sadis sesadis lagu Afgan?
Begitu juga penulis juga kurang sependapat jika kemudian “Kuasa
Tuhan” digunakan untuk mengekang perkembangan akal pikiran. Sama seperti kasus
perdebatan di atas, yang sedang seru-serunya mengkritisi sesuatu namun
tiba-tiba dipotong dengan “Kuasa Tuhan” yang jika tetap kita bantah, akan
muncul kesan kita melawan apa yang sudah digariskan oleh agama. Padahal, bukan
berarti ketika mempertanyakan sebuah doktrin itu berarti kita meragukannya. Karena
bisa jadi ketika bertanya-tanya itu karena kita sangat yakin dan kita peduli. Katakanlah
ketika kita memakan sesuatu yang rasanya enak sekali, kemudian kita bertanya “bagaimana
cara membuatnya? Bahnnya apa saja?, dll” Apakah dengan bertanya seperti itu,
kita menyimpulkan bahwa itu merupakan keraguan akan makanan itu, atau karena
kita jengkel ada makanan seenak itu?. Penulis rasa sebagian orang yang begitu
kritis mempertanyakan doktrin-doktrin agama – yang sudah mapan dan merupakan
kesepakan mayoritas umat – itu bukan berarti ia ragu dengannya, karena bisa
jadi dia begitu peduli dengan agama ini.
Dan penulis rasa, orang-orang yang begitu kritis itu lebih intens
berkomunikasi dengan Tuhan dengan akal yang telah diberikan Tuhan padanya. Karena menurut penulis, jika kita hanya
menelan mentah-mentah apa yang sudah menjadi doktrin agama, maka saat itu kita
akan menjadi hamba yang pasif, kita hanya berdiam dalam asrama yang di dalamnya
sudah terdapat aturan-aturan baku yang tak pernah kita berani mempertanyakan
kenapa ada aturan ini atau aturan itu. Kesannya ketika kita sedikit mengusik
aturan itu, Tuhan akan marah. Tapi, jika seperti itu, kapan kita akan
berkomunikasi dengan Tuhan? Tuhan tidak akan menghampiri kita di asrama jika
kita tak pernah bertanya, karena kita sudah tenang. Jadi tak perlu Ia
mengunjungi kita, Ia hanya memantau kita dari kejauhan. Berbeda ketika ada
beberapa hamba yang kritis yang berani bertanya ini dan itu.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada dua kubu hamba
Tuhan yang taat pada-Nya dalam dua kubu. Kenapa penulis tegaskan sebagai hamba
yang taat, karena penulis tidak memasukkan hamba-Nya yang tidak mengimani akan
Ketuhanan-Nya. Kedua kubu ini berbeda dalam menampakkan Tuhannya dalam
kehidupan sehari-hari:
1.
Kubu
yang menampakkan Tuhan mereka sebagai Tuhan yang “tertutup, galak dan sangat
otoriter”. Implikasinya, mereka enggan menggunakan pikirannya untuk
mempertanyakan, atau melakukan sesuatu yang tidak ada dalam dua sumber ajaran
Islam, al-Qur’an dan Hadist. Mereka merasa cukup happy dengan menelan apa yang
ada di dalam keduanya tanpa mau bersusah payah memikirkan hal yang diluarnya. Alasan
yang umum dipakai ialah takut jika tak sesuai dengan ketentuan Tuhan dengan
tolok ukurnya al-Qur’an dan Hadist. Komentar yang pernah penulis dengra ialah “jika
sudah ada yang pasti kenapa harus mengadakan/memikirkan sesuatu yang lain?”. Sebenarnya
sah-sah saja ketika kita beranggapan seperti itu, hanya saja akan menjadi
sesuatu yang fatal jika anggapan seperti ini kemudian dijadikan pembenaran
untuk menghakimi pihak yang tak sejalan. Akhirnya kesan yang timbul dalam
komunitas di luarnya, bahwa Tuhannya orang Islam itu galak. Nah lho… jika
demikian, bukankah kita sudah mengaburkan sifat Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang?
2.
Kubu
yang menampakkan Tuhan sebagai Tuhan yang “terbuka, yang penuh kasih sayang,
yang sangat mungkin bagi hambanya untuk bercengkrama dengan lebih intim
dengan-Nya”. Mereka bukan memandang agama sebagai sesuatu yang kaku yang tidak
bisa dikritisi dengan akal pikiran. Ibaratnya antara orangtua dengan anak. Si orangtua
memberikan aturan-aturan pada si anak, dan ada beberapa aturan yang fleksibel. Orangtua
bukannya mengekang di anak, hanya saja ia memberikan prinsip-prinsip dasar yang
harus dilakukan si anak atau yang harus ditinggalkan. Lantas jika ditemukan
kondisi yang tidak memungkinkan untuk meninggalkan/melakukan yang sudah
diperintahkan, maka si anak diperkenankan untuk berunding dengan orangtuanya. Begitu
juga dengan Tuhan yang ditampilkan oleh kubu kedua ini. Mereka tidak
segan-segan mempertanyakan sesuatu yang menarik perhatian mereka, yang sering
muncul mungkin kenapa Tuhan memerintahkan ini? Kenapa melarangnya? Apakah harus
seperti ini? Bisakah ini dijadikan seperti ini saja? Atau ada alternative lain?
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa jadi itu bukan ekspresi pertanyaan
keraguan, melainkan karena saying serta peduli dengan apa yang dititahkan Tuhan
padanya. Karena melihat Tuhan sebagai Tuhan yang terbuka, maka mereka pun akan
menjadi pribadi yang terbuka yang bisa mengakomodasi pendpat-pendapat di sekitarnya
yang berbeda, dan tidak membeda-bedakan mereka. Apakah Tuhan membeda-bedakan
kita saat Ia melimpahkan kasih saying-Nya? Jika tidak, kenapa kita harus
bersikukuh mengatakan kita yang paling benar, dan mereka salah?
Akhirnya, penulis ingin mengutip adagium satu adagium – yang tidak
salah ingat – milik Imam Syafi’i, bahwa “Pendapat kita memang benar, tapi masih
mengandung kemungkinan untuk salah. Begitu pun pendapat mereka mungkin salah,
tapi tidak menutup kemungkinan di dalamnya tetap mengandung kebenaran”. Waallaahu
A’lam. []
0 Response to "Cara Melihat Tuhan"
Post a Comment