Kemukjizatan Bacaan Al-Qur'an
Dalam
tulisan sebelumnya, penulis telah memaparkan sedikit tentang keutamaan orang
yang mampu membaca al-Qur’an di dalam masyarakat (baca: Al-Qur'an Memuliakan Pembacanya). Tulisan ini akan
membicarakan tema yang sama yaitu al-Qur’an, hanya saja dari sudut pandang yang
berbeda, meski masih dalam konteks yang sama, yaitu kemukjizatan al-Qur’an. Menggunakan
referensi yang sama dengan tulisan sebelumnya, yaitu buku Kemukjizatan Al-qur’an,
karya M. Quraish Shihab, yang menyebutkan bahwa bahasa yang ada dalam al-Qur’an
adalah termasuk bagian dari mu’jizat al-Qur’an. Susunan bahasa yang begitu
indah dengan nilai sastra yang tinggi, yangmana tiada satu makhluk pun yang
mampu menandingi keindahan bahasa dalam al-Qur’an, adalah bukti bahwa bahasa
yang ada dalam al-Qur’an merupakan mukjizat. Bahkan tidak hanya indah dari segi
bahasanya, tapi ketika al-Qur’an dibacakan pun akan menimbulkan perasaan
tenang. Disebutkan dalam buku tersebut, bahwa pernah diadakan penelitian yang
bertujuan untuk membuktikan apakah memang benar bacaan al-Qur’an itu dapat
membuat orang yang mendengarnya menjadi tenang. Singkatnya, al-Qur’an yang
dibaca dengan pengucapan/makhraj yang
benar memang dapat membuat kondisi psikis orang yang mendengarnya menjadi
tenang. (Untuk lebih jelasnya, silahkan anda rujuk buku tersebut).
Apa
yang dipaparkan buku tersebut mengingatkan penulis pada satu hal, bahwa memang
benar, ketika al-Qur’an dibaca dengan benar, dalam arti sesuai dengan
kaidah-kaidah bacaannya, akan membuat hati tenang, entah itu hati si pembaca
atau yang mendengarnya. Tidak perlu kita menggunakan irama-irama bacaan al-Qur’an
yang macam-macam itu, cukup membacanya dengan benar, maka keindahan al-Qur’an
itu akan nampak dengan sendirinya. Tak perlu minder dengan suara kita yang –
kebetulan – agak cempreng atau jelek
(baca: tidak enak didengar), asal bacaan kita benar, maka al-Qur’an tetap
memunculkan segi keindahan bahasanya.
Terkadang
orang salah memahami bahwa bacaan al-Qur’an yang bagus itu ketika ia
mendayu-dayu, menggunakan irama yang meliuk-liuk dan sebagainya. Penulis pernah
berbincang dengan salah seorang teman membahas masalah ini. Awalnya, ia
melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan berirama (Jawa: dilagukne). Akan tetapi, bacaan itu
bukannya menenangkan tapi malah menggelisahkan. Bukan karena suara atau
lagunya, tapi karena bacaan itu lebih berat pada lagu dari pada kaidah
bacaannya. Kemudian penulis bertanya, kenapa harus pakai lagu segala ketika
membaca al-Qur’an? Ia jawab bahwa ia ingin menirukan irama bacaan seseorang
yang memang terkenal dengan murottal
al-Qur’an-nya. Tapi penulis tidak ingin melangkah terlalu jauh dengan
menegur bahwa bacaannya itu ada yang salah atau kurang tepat.
Kemudian,
beberapa kali penulis juga menemukan orang yang sama, yakni ketika membaca
al-Qur’an lebih berat pada lagu/irama dibanding dengan kaidah bacaannya. Karena
berat dilagu, maka beberapa kali bacaan yang seharusnya dibaca panjang jadi
pendek, dan yang pendek – tak jarang – juga dipanjangkan. Bagi orang awam,
mungkin memang indah sekali bacaan yang dengan berirama, tapi bagi yang paham
dengan kaidah bacaan al-Qur’an (tajwid),
hal demikian itu bukanlah sesuatu yang indah, melainkan sebaliknya.
Kembali
merujuk pada buku yang penulis sebutkan di atas. Di dalamnya juga memabahas
tentang kompleksitas bahasa Arab, yakni bahasa al-Qur’an. Dimana dalam bahasa
Arab, perubahan makna bisa saja terjadi secara drastis – dalam beberapa
kasus bahkan bertentangan – hanya ketika
kita salah menggunakan tanda bacanya saja. Nah, jika demikian, bukankah sangat
membahayakan ketika bacaan al-Qur’an dibaca dengan mengikuti lagu/iramanya saja
tanpa mempedulikan kaidah bacaan? Bukankah akan menjadi kesalahan yang amat
fatal, ketika kita mencintai seseorang, kemudian ingin mengungkapkan perasaan
kita, tapi kita salah mengatakan “cinta” menjadi “benci”. Bukankah akan sangat
berbahaya jika kita membaca al-Qur’an, di saat ayat yang kita baca terkait
dengan pengesaan Allah, tapi – karena mengikuti irama bacaan – menjadi menyekutukan-Nya?
Secara
pribadi, penulis pernah beberapa kali takjub dengan bacaan imam sholat yang
meski bacaannya datar-datar saja, tanpa ada irama dan apalah itu istilahnya
begitu terasa menyejukkan, terasa hati ini bergetar, dan ada kalanya sampai
pada kondisi yang begitu menenangkan, sehingga meski ayat yang dibaca panjangn
itu menjadi tidak terasa. Ya, karena menenangkannya itu. Kemudian, beberapa
kali juga penulis pernah menemui bacaan imam sholat yang begitu mendayu-dayu
dengan irama bacaan yang begitu “waw”, tapi apa yang penulis rasakan justru
bukannya ketenangan melainkan kegelisahan. Kenapa gelisah? Karena imam tersebut
melalaikan beberapa kaidah bacaannya dikarenakan lebih condong pada pemenuhan
irama yang ia pakai.
Dari
dua hal yang berbeda di atas, setidaknya menyadarkan penulis bahwa al-Qur’an
itu mempunyai jati dirinya sendiri. Karena ia merupakan mu’jizat yang agung,
maka tanpa kita perlihatkan keagungannya, ia akan menampakkannya sendiri. Tak perlulah
kita bergaya, membacanya dengan mendayu-dayu jika kita memang tidak bisa
menerapkan kaidah bacaan yang benar. Bacaan al-Qur’an itu bukan indah karena
kita memakai irama saat membacanya atau tidak, tapi keindahannya akan nampak
begitu kita memperlakukannya dengan benar, tak terkecuali ketika membacanya. Ketika
kita membacanya dengan kaidah bacaan yang benar, maka dengan sendirinya al-Qur’an
itu menjadikan pribadi yang membacanya serta yang mendengarkannya menjadi
tenang dan merasa damai. Berbeda ketika kita membacanya dengan lebih
mementingkan lagu/irama bacaan dari pada kaidah bacaannya (mungkin kita bisa
kembali membuka sejarah tentang masuknya Umar ke dalam Islam, bukankah islamnya
Umar ini karena ia terenyuh saat membaca dan mendengar lantunan ayat al-Qur’an?)
Akan
tetapi, bukan berarti penulis mencoba mengatakan bahwa membaca al-Qur’an itu
yang lebih baik adalah biasa-biasa saja, tak usah pakai irama atau sebagainya. Karena
bagaimana pun juga, akan lebih bagus lagi jika kita membaca al-Qur’an dengan
kaidah bacaan yang benar dengan irama yang bagus juga. Tapi, kalau memang tidak
bisa semuanya berjalan secara beriringan, memprioritaskan kaidah bacaan al-Qur’an
adalah hal yang paling bijak. Lalu, jika keduanya – membaca dengan kaidah yang
benar/membaca dengan irama yang indah – tidak bisa? Maka hal yang paling bijak
adalah tetap belajar dengan prioritas yang utama adalah yang pertama, yaitu
belajar membaca al-Qur’an dengan kaidah yang benar. Semoga yang sedikit ini
bermanfaat. Amin. []
0 Response to "Kemukjizatan Bacaan Al-Qur'an"
Post a Comment