Cinta itu Gila


“Semua hiruk pikuk dunia ini disebabkan karena satu hal, yaitu eros/cinta”

Mengapa penulis menyajikan ungkapan di atas sebagai pembuka tulisan ini? Ya karena sedikit banyak tulisan ini akan membahas tema yang sebenarnya sudah banyak dibahas oleh banyak orang baik itu melalui tulisan atau lainnya. Jika anda tidak percaya, silahkan saja searching idi google dengan keyword “cinta, maka disitu akan tersaji berjuta tulisan tentang cinta. Banyaknya tulisan tentang cinta ini setidaknya menjadi satu bukti dari sekian banyak bukti tentang kebenaran ungkapan di atas, setidaknya hiruk pikuk dunia maya.
Setiap manusia tentunya punya cinta, karena bagaimana pun juga adanya manusia itu berawal dari cinta. Paling sederhanya adalah adanya kita ini karena buah cinta dari kedua orangtua kita dan jika dirunut sampai ke atas, maka faktor cinta punya andil besar dalam penciptaan manusia, bahkan juga semesta ini. Dan cinta pulalah yang selalu meramaikan tiap lembar perjalanan manusia. Bahagia, nestapa, tawa, tangis selalu mewarnai perjalanan manusia, dan itu tidak terlepas dari apa yang di sebut cinta. Ada yang menjadi orang hebat karena cinta, ada pula yang menderita karena cinta. Itulah cinta yang menjadikan dunia ini lebih berwarna.       
Akan tetapi, sekarang bukan saatnya untuk membahas tentang kaitan what is cinta dan sebagainya. Penulis hanya ingin sekedar sharing tentang pengalaman pribadi terkait dengan cinta. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, penulis sudah menyinggung bahwa pada hakikatnya cinta itu membawa kebahagiaan, bukan penderitaan. Tapi pada kenyataannya, beberapa orang – yang kebetulan kecewa dengan cinta – mengatakan bahwa cinta itu menyakitkan. Bahkan pada tingkat tertentu, rasa sakit itu dapat membuat seseorang nekat melakukan perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain, misalnya nekat bunuh diri karena ditinggal pujaan hatinya, lebih nekat lagi ada yang dengan keji membunuh kekasih yang ternyata selingkuh di belakangnya. Jika sudah demikian, maka tidak salah ketika seseorang kemudian mengatakan bahwa cinta itu “gila”.
Benarkah cinta itu gila? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita dudukkan terlebih dahulu pengertian tentang gila. Di sini penulis tidak akan bersusah payah mengutip definisi-definisi gila dari beberapa pakar atau kamus-kamus bahasa baik yang Indonesia atau yang asing, tapi cukup penulis gunakan definisi sederhana tentang gila. Bukankah orang gila itu adalah orang yang berbeda dari kebanyakan orang yang ada?  Meskipun agak ngawur dan terburu-buru, tapi bukankah memang secara kasat mata kita menyebut orang gila ketika kita melihat orang yang “tidak umum”. Misal ada orang yang tidak berpakaian di jalan, kita akan menyebutnya gila. Karena apa? Karena pada umumnya seseorang yang tidak gila pasti tidak akan bertelanjang di jalanan. Kemudian lagi, ada orang memakai celana di kepala dan baju dipakai sebagai celana, tentunya kesan pertama bagi siapa saja yang melihatnya akan mengatakan orang itu gila. Intinya, gila itu identik dengan ketidakwajaran.
Lantas bagaimana dengan istilah “cinta itu gila”? apakah itu berarti cinta itu adalah sesuatu yang tidak wajar? Ow, nanti dulu. Kalau kita memaknai secara apa adanya, maka kesan yang kita dapatkan bahwa cinta itu tidak wajar, karena gila itu tadi. Tapi bukan itu yang dimaksud dari istilah “cinta itu gila”, melainkan karena cinta itulah terkadang membuat seseorang melakukan hal-hal yang tidak wajar/gila. Dan terkadang bisa jadi seseorang yang mengaku cinta tapi tidak ada sesuatu yang tidak wajar di dalam dirinya, maka pada saat tertentu akan di[ertanyakan kecintaannya itu.
Orang yang sedang dirundung cinta, khususnya para jiwa muda yang sedang dibakar asmara kepada pujaan hatinya, pasti akan melakukan hal-hal yang gila, hal-hal yang di luar batas kewajaran. Ada yang karena rindu dengan pujaan hatinya, ia mendatangi rumahnya hanya untuk melepas rindu, padahal ia tidak bertemu pujaan hatinya, melainkan hanya melihat rumah yang sebenarnya ya seperti kebanyakan rumah pada umumnya, tidak ada yang spesial. Hanya saja karena di dalam rumah itu ada si do’i, maka ia tetap merasa bahagia. Bukankah ini sebuah ketidakwajaran? Sebagian mengatakan dengan tegas bahwa orang itu gila, penilaian ini wajar jika berasal dari orang yang tidak pernah dirundung cinta. Tapi bagi siapa saja yang pernah dihinggapi virus cinta tentunya tidak akan menyebut tindakan tersebut sebagai gila.     
Ada lagi, seseorang yang rela menyimpan sesuatu yang diberikan oleh seseorang yang ia cintai, meskipun sebenarnya barang tersebut bukanlah barang yang layak untuk disimpan, katakanlah makanan atau minuman. Padahal ia dapat mendapatkan makanan yang sama dengan mudahnya, tapi karena itu pemberian si do’i, ia enggan memakannya dan tetap menyimpannya meskipun pada akhirnya justru tidak dapat dimakan. Bukankah ini tidak wajar? Bukankah ketidakwajaran itu salah satu faktor kegilaan?
Selain dua contoh yang penulis utarakan, masih banyak lagi kegilaan-kegilaan yang dilakukan para sejoli yang sedang dirundung cinta. Tapi bukankah tadi penulis menyatakan juga bahwa terkadang ada yang menyatakan bahwa cinta itu menyakitkan, dan karena menyakitkan itulah beberapa orang rela melakukan hal-hal nekat yang – lagi-lagi – di luar kewajaran, dua contoh yang penulis sampaikan di atas adalah bunuh diri dan membunuh. Ada seorang wanita (sebut saja Mawar) ditemukan tewas gantung diri dengan sepucuk surat di tangannya yang menyatakan dia kecewa dengan pacarnya yang telah meninggalkannya, dan dia merasa tidak ada gunanya ia hidup lagi di dunia. Dari sudut pandang pecinta, hal yang dilakukan Mawar itu mungkin tidak sepenuhnya bisa dikatakan gila, meski juga tidak sepenuhnya dapat dikatakan wajar. Tapi bagi khalayak umum, apa yang dilakukan oleh Mawar adalah kegilaan yang tidak hanya gila tapi juga konyol. Bagaimana bisa seseorang rela mengakhiri dirinya karena ditinggal oleh sesorang yang belum jelas apakah yang terbaik buat dia. Tapi perlu diingat bahwa cinta itu gila, dan penulis rasa kegilaan itu selamanya gila, yang tidak bisa memilih mana yang positif dan mana yang negatif. Artinya, bunuh diri karena cinta juga bisa menguatkan keakuratan istilah “cinta itu (bisa membuat orang jadi) gila.     
Meskipun demikian, penulis tetap menempatkan pendapat pribadi tentang cinta, bahwa pada dasarnya tidak ada cinta yang menyakitkan. Karena tidak ada yang menyakitkan dalam cinta, maka segala sesuatu yang negatif yang dihubungkan dengan cinta, maka itu bukanlah sesuatu yang sepenuhnya benar. Cinta itu menyakitkan karena kita sendiri yang membuatnya sakit, bukankah nasi itu adalah makanan yang memang pada dasarnya adalah seuatu yang baik, tapi bisa jadi nasi yang kita makan itu menjadikan kita sakit jika kita memakannya terlalu berlebihan, di luar batas kemampuan perut kita. Penulis kira dalam cinta pun demikian, cinta itu adalah seuatu yang menyenangkan, menguatkan, dan sumber kebahagian. Tapi tergantung bagaimana kita memperlakukannya yang akan menjadikan cinta itu menampakkan kebaikannya, atau justru menampakkan sisi terbalik dari kodrat cinta itu sendiri.[]

0 Response to "Cinta itu Gila"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel