Al-qur'an Memuliakan Pembacanya

Suatu ketika penulis sedang bercakap-cakap dengan seorang ibu yang kebetulan mempunyai seorang putra semata wayang. Sang  ibu mengungkapkan keinginannya agar si anak tadi dapat membaca al-Qur’an, meskipun tidak bagus, minimal bacaannya sudah sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan al-Qur’an. Alasan kenapa si ibu ingin anaknya tersebut dapat membaca al-Qur’an dengan baik adalah karena ibu itu tahu bahwa “dengan dapat membaca al-Qur’an, seseorang akan lebih bermakna dan lebih dihargai ketika terjun di masyarakat”. Ibu itu mengatakan pada anaknya itu bahwa ketika ia dapat membaca al-Qur’an dengan benar, meskipun agak nakal, ia akan tetap disegani orang lain. Begitu sebaliknya, ketika ia menjadi orang yang hebat, orang pintar, orang yang berpangkat dan keunggulan-keunggulan lainnya tapi tidak bisa membaca al-Qur’an, maka ibarat buah manggis yang begitu mulus, begitu sempurna dari luar, tapi terdapat cacat yang begitu besar di dalamnya.”
Percakapan dengan ibu tersebut kembali menghampiri benak penulis saat sedang bercengkrama dengan tulisan Quraish Shihab tentang kemukijizatan al-Qur’an dengan judul “Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Akan tetapi, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengomentari, merangkum atau apalah itu tentang buku ini. Hanya saja, apa yang penulis bincangkan dengan ibu di atas, bisa penulis pahami sebagai salah satu mukjizat al-Qur’an, tentunya kesimpulan ini hasil dari ijtihad paling sederhana dari pribadi penulis sendiri.
Quraish Shihab dalam buku tersebut di atas menjabarkan secara panjang lebar tentang apa itu mukjizat, yang salah satunya ada sub-bab yang membahas unsur-unsur yang terkandung dalam mukjizat, diantaranya: 1) hal atau peristiwa yang luar biasa, 2) terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi, 3) mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian, dan 4) tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
Berhubung dari awal penulis sudah katakan bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan merangkum buku tersebut, maka keempat unsur mukjizat itu tidak akan penulis bahas panjang lebar di sini. Penulis hanya ingin memfokuskan pada unsur pertama, yang kemudian coba untuk disinkronkan dengan pernyataan ibu di atas.
Mungkin sebagian orang Islam, termasuk penulis, kurang memperhatikan apa yang diungkapkan oleh ibu tersebut yang menyatakan bahwa seseorang yang bisa membaca al-Qur’an dengan baik itu akan berbeda kedudukannya dalam suatu masyarakat. Tapi, penulis kemudian menyadari bahwa selama ini – secara pribadi – penulis telah melupakan salah satu keluarbiasaan al-Qur’an yang sebenarnya sudah begitu jelas hadir setiap saat di sekitar kita – sebagai orang Islam. penulis bertanya pada diri sendiri, bukankah pernah terdengar ada orang yang berkata “oh, ternyata si A itu meskipun terlihat nakal dan tidak berpendidikan, tapi bacaan al-Qur’annya bagus”, atau ada juga yang berkomentar “si B itu pintar, kaya, berpangkat tapi ternyata tidak bisa membaca al-Qur’an”.
Jika kita perhatikan, kedua ungkapan tersebut sama-sama mengandung keherenan terhadap dua orang yang berbeda. Hanya saja, keheranan yang pertama, yaitu pada si A, lebih kepada keheranan – yang menurut istilah penulis – positif, yaitu perubahan sikap seseorang menjadi lebih baik dalam melihat seseorang. Bagaimana dengan yng kedua? Penulis menyebut yang kedua ini dengan “keheranan negatif”. Apa pasal? Karena di dalamnya terkandung sebuah kekecewaan dalam melihat seseorang, dan kekecewaan ini penulis maknai sebagai perubahan yang negatif. Dan di balik kekecewaan itu biasanya terdapat idealita yang tak tercapai. Jadi, bisa jadi kalau diteruskan, komentar untuk si B akan seperti ini “si B itu pintar, kaya, berpangkat tapi ternyata tidak bisa membaca al-Qur’an, andai dia itu bisa baca al-Qur’an betapa benar-benar sempurna”.
Meskipun apa yang penulis paparkan terlalu sederhana dan terlalu ngawur untuk menyebutnya sebagai bukti mukjizat al-Qur’an, tapi setidaknya kita harus mengakui bahwa bagaimana pun juga seseorang yang bisa membaca dan yang tidak bisa membaca al-Qur’an akan mendapat perlakuan yang berbeda di masyarakat. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa? Dan bukankah luar biasa adalah salah satu unsur mukjizat? Jadi, selain membaca al-Qur’an terhitung sebagai ibadah dan akan mendapat pahala 10 kebaikan di setiap hurufnya, al-Qur’an juga dapat menjadikan orang yanmg membacanya menjadi orang yang mulia, mulia di mata manusia juga makhluk-makhluk lainnya. Bagaiaman tidak? Bukankah al-Qur’an adalah firman Allah swt? Dan bukankah Allah swt adalah Tuhan Semesta Alam? Maka, penulis rasa tidaklah berlebihan jika dikatakan ketika kita membaca al-Qur’an yang merupakan firman Tuhan Semesta Alam dengan benar akan menjadikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya menjadi senang dan kemudian memuliakan kita? Andai pun tidak demikian, setidaknya Allah, Tuhan Semesta Alam inilah yang akan memuliakan kita yang mau membaca firman-Nya dengan benar.
Tulisan ini penulis tutup dengan pesan orangtua penulis tentang al-Qur’an, di mana pesan ini didaptkannya dari guru beliau. Beliau mengatakan bahwa “al-Qur’an kui barang keramat, yen mbog rumat yo awakmu bakal kerumat, tapi yen gak mbog rumat, uripmu bakal temporatí” (al-Qur’an itu benda keramat, jika kamu merawatnya, maka kamu pun akan dirawat [olehnya], tapi jika tidak kamu rawat, maka hidupmu akan berantakan). Apakah maksud merawatnya itu adalah menaruh al-Qur’an di almari saja? Atau membersihkannya tiap hari? Merawat al-Qur’an itu bukan demikian, minimal kita rajin membacanya dengan baik, sesuai kaidah bacaannya. Tapi bagaimana jika belum bisa membaca dengan baik? Maka cara merawatnya adalah dengan belajar membaca al-Qur’an kepada ahlinya. Wallaahu A’lam. []

0 Response to "Al-qur'an Memuliakan Pembacanya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel