Belajar Dari Pohon: Sebuah Refleksi Kematian
Terkadang,
kita sebagai manusia terlalu sibuk untuk memikirkan – atau
setidaknya memperhatikan – pelajaran-pelajaran dari Sang Khaliq
yang diberikan melalui sesuatu yang bisa jadi tak pernah terlintas di
benak kita. Kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang kita anggap
sesuatu yang besar, sehingga lupa untuk menghiraukan kembali sesuatu
yang terlihat remeh, seakan kita lupa bahwa tidak ada sesuatu yang
sia-sia dari ciptaan Sang Maha Kuasa. Tulisan ini bukan bermaksud
menghakimi pihak mananpun, melainkan sebatas refleksi diri atas
pengalaman berharga yang penulis temukan beberapa hari yang lalu.
Beberapa
hari yang lalu, saya menemukan pelajaran penting tentang berkorban
dari pohon pepaya – dan akhirnya juga dari kebanyakan pohon
lainnya. Kita tentu tahu bagaimana pohon pepaya itu tumbuh dengan
besar. Awalnya, dia hanyalah sebutir biji pepaya yang seiring
berjalannya waktu, biji ini berubah menjadi – karena saya tidak
begitu paham dengan istilah-istilah ini, maka saya menyebutnya -
tunas yang dari ke hari tumbuh menjadi semakin besar. Awalnya hanya
terlihat pucuk daun yang masih keriput, tanpa adanya batang. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, daun kecil yang keriput itu pun
mulai mengembang, disusul kemunculan daun kedua, ketiga, keempat dan
seterusnya. Daun pertama, yang sebelumnya berada di atas akhirnya
tergeser oleh kehadiran daun-daun sesudahnya. Bahkan, jika tiba
saatnya, daun pertama ini akan gugur, yang nantinya akan menyusul
pula daun-daun berikutnya.
Tentu
bukanlah sesuatu yang salah jika dalam benak saya kemudian terbesit
pertanyaan “kenapa daun itu harus gugur? Bukankah tanpa adanya daun
pertama ini tak akan ada pula daun kedua, ketiga, dan seterusnya?”
Mungkin pertanyaan ini akan begitu mudah dijawab oleh mereka yang
memang ahli di bidang ilmu biologi, atau bisa jadi siswa SMP bisa
menjawabnya. Tapi, setelah saya amati lebih seksama, pohon pepaya ini
mengajarkan pada kita tentang pengorbanan. Memang benar, bahwa daun
yang gugur itu bukan lagi menjadi bagian dari si pohon, tapi bukan
berarti gugurnya itu sebatas mengurangi beban asupan makanan yang
dibutuhkan pohon. Ia gugur bukan karena merasa membebani, melainkan
ia mencoba memberi tempat bagi daun-daun muda selanjutnya untuk dapat
tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, daun pepaya yang gugur ini
tidak meninggalkan pohon tempatnya bersandar tanpa meninggalkan
sesuatu yang berharga. Ia memang gugur, tapi karena keguguranya
itulah, pohon pepaya ini menjadi semakin kuat dan besar. Tentu bisa
kita bayangkan jika pohon pepaya ini tak pernah kehilangan
daun-daunnya. Apakah akan dapat tumbuh dan berkembang?
Meskipun
terkesan agak njlimet apa yang saya sampaikan di atas,
setidaknya saya ingin menyampaikan bahwa kita bisa mengambil
pelajaran dari pohon pepaya ini. Kita tahu bahwa kematian adalah
suatu keniscayaan yang tak satu pun makhluk di alam semesta ini dapat
bersembunyi darinya. Kita pernah kehilangan orang yang begitu
berharga, begitu kita sayangi, juga cintai. Beberapa diantaranya
merasa Tuhan itu tidak adil, karena telah mengambil orang yang begitu
berharga bagi diri kita.
Tapi,
jika kita mau merenung sejenak akan hal ini, sebenarnya ada hikmah
yang begitu besar di dalamnya. Sama dengan gugurnya daun yang
menjadikan pohon semakin kuta, wafatnya seseorang juga – pada
dasarnya – juga menjadikan orang yang ditinggalkan menjadi lebih
kuat. Sebut saja bagi anak yang ditinggal wafat orangtuanya di saat
sang anak belum siap untuk menjalani hidup secara mandiri. Atau
ditinggal wafat pasangan hidupnya, katakanlah istri yang ditinggal
wafat suaminya di saat buah hati mereka masih kecil-kecil. Bagi
beberapa pihak yang – mungkin – kurang paham agama akan
menganggap ini suatu ketidakadilan dari Tuhan. Tapi apa memang
seperti itu? Apakah Tuhan tidak punya nurani sehingga tega mengambil
kebahagaian hambanya? Marilah mencoba menengok kembali pada pohon
pepaya tadi, daun yang gugur meskipun tidak lagi menyatu dengan
pohon, tapi ia masih meninggalkan kekuatan yang besar bagi si pohon.
Tak jauh berbeda dengan wafatnya seseorang, meskipun secara lahiriyah
ia sudah tak bersama kita, tapi secara batiniah ia tetap ada dan
senantiasa bersemayam dalam diri kita yang ditinggalkannya. Bukankah
cobaan yang Tuhan berikan pada hamba-Nya merupakan salah satu cara
untuk menjadikan hamba-Nya lebih kuat? Dan saya rasa, sekali lagi
bercermin pada pohon pepaya, orang yang meninggalkan kita pada
dasarnya memberikan kesempatan bagi yang ditinggalkannya untuk bisa
tumbuh dan berkembang. Karena bagaiamana pun juga, orang yang telah
meninggal dunia itu tidaklah benar-benar meninggalkan kita, melainkan
hanya pulang ke rumah asalnya.Ia tidak benar-benar meninggalkan kita,
bahkan sebaliknya, justru selalu berada di samping kita, ikut
merasakan apa yang kita rasakan, sedih, bahagia, suka, duka dapat ia
rasakan. Kepergiannya bukan untuk membuat kita lemah, melainkan
membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Bisa jadi, kita yang
ditinggalkannya ini akan tetap menjadi orang yang manja,
kekanak-kanakan, ceroboh dan sebagainya jika orang yang kita sayangi
tetap bersama kita secara jiwa dan raga.
Setidaknya,
dari pohon pepaya kita bisa belajar, bahwa hilangnya daun yang gugur
bukan berarti membuat pohon lemah, melainkan menjadikannya lebih
tinggi dan lebih kuat. Begitu pun orang yang meninggal, ia pulang ke
hadirat Ilai Rabbi bukan untuk membuat kita yang tinggalkan lemah,
melainkan menjadikan kita kuat. Dan yang pasti, gugurnya daun,
wafatnya manusia adalah keniscayaan, pun juga merupakah sunnatullah.
Entah itu sekarang, besok, lusa,
minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, kematian akan mendatangi
kita dan emua yang ada di sekitar kita, dan itu semua – sekali lagi
– bukan menjadikan kita lemah, melainkan menjadikan kita yang
ditinggalkannya lebih kuat.
Saya
teringat pesan dari kakek saya, bahwa “orang yang meninggal,
sebenarnya tidaklah benar-bnar meninggalkan kita, ia hanya berpindah
alam saja. Ia tetap bisa melihat kita yang ditinggalkannya, ibarat
orang ang meninggal itu berdiri di balik tirai bambu. Ia bisa melihat
apa yang kita kerjakan, ia juga dapat merasakan apa yang kita
rasakan. Ketika kita sedih, ia akan ikut sedih, dan ketika bahagia,
ia pun ikut merasakannya. Jadi, jika kita ingin membuat orang yang
kita sayangi itu, yang sudah dipanggil ke hadirat Ilahi Robbi
bahagia, maka kita harus bisa membuktikan bahwa kita bahagia, bahwa
apa yang telah ditinggalkannya pada kita tidaklah sia-sia, dan yang
tak kalah penting ialah tetap mendoakannya, meski ia telah meninggal,
tapi tetap saja akan bahagia jika kita selalu mengingatnya dan
mendoakannya. Jika sudah demikian, maka ia pun – yang sudah kembali
ke hadirat Ilahi Robbi – akan senantiasa mendoakan kita.”
Wallaahu A'lam
0 Response to "Belajar Dari Pohon: Sebuah Refleksi Kematian"
Post a Comment