Pantaskah Kita Mengklaim Benar-salah?
Agama – dari beberapa literatur
yang saya jumpai – mempunyai dua wajah yang saling berlawanan. Di satu sisi
agama nemampakkan wajah yang penuh kedamaian, kasih sayang, kerukunan,
kebersamaan dan sisi positif lainnya. Akan tetapi, di sisi lain agama justru
tampil dalam kehidupan sehari-hari dengan tampilan begitu sangar, bengis dan
penuh dengan kekerasan serta paksaan.
Meskipun tampil dengan dua wajah
yang berbeda, bukan berarti agama memang ditakdirkan berwajah dua, melainkan
dari kedua wajah tersebut ada satu yang bukan wajah sebenarnya, alias hanya
topeng belaka. Lantas manakah wajah agama yang sebenarnya? Dan mana pula wajah
agama yang hanya topeng? Akan sangat naif jika kita menempatkan agama yang
berwajah bengis sebagai jawaban pertanyaan pertama dan menempatkan agama yang
berwajah damai pada pertanyaan yang kedua. Karena bagaimana pun juga tidak ada
satu agama pun yang mengajarkan kekerasan, sama halnya tidak ada satu agama pun
di muka bumi ini meniadakan terjalinnya perdamaian, kerukunan, kebersamaan,
kasih sayang, dan juga cinta.
Pertanyaanya adalah kenapa agama
yang sebenarnya memiliki satu wajah tapi kemudian menampilkan dua wajah yang
berbeda? Menurut Darius Dubut,[1]
wajah damai pada agama hadir ketika para penganutnya terbuka dan mengakui bahwa
kebenaran tidak tunggal, dan dalam agama lain terdapat juga ajaran-ajaran yang
mengajurkan kebaikan dan cinta kasih. Wajah damai dalam agama hadir ketika para
penganutnya meyakini bahwa misi agama adalah memperjuangkan keutuhan harkat dan
martabat manusia, dan bersedia bekerjasama dengan umat dari agama lain untuk
membangun kebaikan bagi semua, karena memang itulah hakikat agama. Sebaliknya,
wajah kekerasan dalam agama muncul ketika para penganut agama mengklaim bahwa
agamanyalah yang mutlak benar dan yang lain sesat atau minimal kurang benar.
Dari penjelasan Darius Dubut di
atas, dapat kita dapati bahwa pada dasarnya manusialah yang mentukan wajah dari
agama, agama menjadi sarana untuk terciptanya perdamaian, kasih sayang dan
sebagainya, serta memalui agama pulalah seseorang bisa melakukan tindak
kekerasan yang menurutnya menjadi bagian dari perintah agama. Kekerasan yang
dimaksud bukan hanya kekerasan fisik, melainkan kekerasan non-fisik seperti
paksaan, cacian, hujatan, pengucilan dan sebagainya.
Maka, bagaimana cara seseorang
beragama menentukan penampilan suatu agama. Cara beragama yang ekslusif yang
menampilkan cara berpikir yang sempit yang pada gilirannya akan menimbulkan
suatu keyakinan bahwa dirinyalah yang paling benar dan paling pantas menjadi
wakil Tuhan untuk menghakimi siapa saja yang tidak sesuai dengannya. Berbeda ketika
cara pandang seseorang pada agama yang inklusif, tetap meyakini bahwa agama
yang dianut adalah yang paling benar, tanpa harus menutup adanya kemungkinan
bahwa ada kebenaran dalam agama yang lain.
Dalam tulisannya, Darius Dubut (2009:
502) melanjutkan bahwa terkait dengan masalah kebenaran, maka harus ditegaskan
dalam konteks agama-agama – bahwa hanya Tuhanlah yang benar. ... kalau Tuhan
adalah yang Maha Benar, maka tidak boleh ada siapapun atau agama apapun jua
yang boleh mengklaim bahwa dirinya, alirannya, atau keyakinannya, bahkan
agamanyalah yang paling benar. Sebab ketika itu terjadi maka tindakan itu
adalah kemusyrikan. Sekilas memang agak janggal dengan pernyataan ini, tapi
jika kita pahami dengan seksama maka pada yang dikemukakan oleh Darius Dubut
tidak ada salahnya. Bukankah memang Tuhan Yang Maha Benar? Lantas bagaimana
bisa kita mengklaim bahwa diri kitalah yang paling benar dan yang tidak sesuai
dengan kita adalah salah? Apakah kita benar-benar memperoleh mandat dari Tuhan
untuk mengklaim siapa yang benar dan siapa yang salah? Sudah benarkah kita
menafsirkan kehendak Tuhan sehingga kita berlagak menjadi Tuhan yang mengkalim
mana yang benar dan mana yang salah? Parahnya lagi jika kemudian kita – dengan klaim
paling benar ini – melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok yang kita
anggap salah, jika enggan menyebutnya sesat, hanya karena tidak sesuai dengan
penafsiran kita akan perintah agama, maka saat itu juga sebenarnya kita sedang
mempermalukan Tuhan. Kenapa saya katakan mempermalukan Tuhan? Pertanyaan ini
akan saya jawab pada tulisan berikutnya. Insyaallah.
[1] Darius Dubut,
Dari Perbedaan Menuju Kebersamaan, dalam
Elza Peldi Taher (Ed.), Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 tahun
Djohan Effendi, Jakarta: ICRP, 2009: 501)
0 Response to "Pantaskah Kita Mengklaim Benar-salah?"
Post a Comment