Indonesia dan Drama Korea
“Apa aneh
cowok nonton drama korea?, pasti selalu diejek teman-teman gara-gara suka drama
Korea”.
“Ya kalau
aku pribadi sih bukannya aneh, Cuma ya agak aneh sedikit. Karena yang namanya
film Korea atau India itu kan mendramatisir. Jadi, kayak itu nggak cocok,
biasanya cowok sukanya film action. Tapi tenang aja, masih banyak cowok di luar
sana yang suka juga. Hihihi.”
Di atas
adalah dialog SMS singkat antara saya dengan salah seorang teman, sebut saja
Intan, yang juga sama seperti saya pecinta drama Korea. Kalau dipikir-pikir
memang agak aneh jika ada cowok yang suka drama Korea yang pastinya tidak cukup
hanya satu atau dua episode saja. Karena dari beberapa drama Korea yang sudah
saya tonton, episode yang paling sedikit adalah 14 episode. Sedangkan drama Korea
dengan episode terbanyak yang saya ketahui adalah 30 episode.
Karena
terdiri dari beberapa episode ini, lantas ada yang menyamakannya dengan
sinetron-sinetron yang ada di Indonesia. Penilaian semacam itu wajar-wajar saja
mengingat dunia pen-sinetronan Indonesia yang – bisa dikatakan – mulai
“mengular” dengan episode-episode yang selalu menyajikan substansi isi yang
selalu sama. Akan tetapi, menurut saya pribadi, drama Korea dengan sinetron ala
Indonesia tidaklah sama, meskipun sama-sama menyajikan beberapa episdode. Drama
Korea walaupun terdiri dari beberapa episode selalu menyajikan sesuatu yang
baru. Tidak ada cerita yang diulang dari episode satu dengan episode lainnya. Ini
tentu berbeda dengan sinetron Indonesia yang selalu mengulang isi cerita,
ditambah lagi fakta akan adanya penyeragaman cerita dari sinetron satu dengan
sinetron lainnya. Yang tak kalah menggelikan adalah tak jarang sinetron
Indonesia mengambil konsep dari cerita layar lebar yang kemudian diproduksi ala
sinetron layar TV. Saya kemudian bertanya-tanya, apakah hanya sampai di situ
tingkat kreatifitas insan persinetronan Indonesia? pertanyaan saya itu mungkin
bisa berbalik ke diri saya sendiri, karena memang bagaimana pun juga, sebanyak
saya mengkritik semua itu tetap saja tidak bisa memproduksi sinetron-sinetron
seperti itu.
Memang,
saya bukanlah produser film, saya juga bukanseorang sutradara, bukan pula artis
yang pintar berakting di depan kamera. Saya hanya konsumen biasa yang tidak
bisa berbuat apa-apa ketika menyaksikan tayangan televisi yang terkadang tidak
sesuai dengan – kalau tidak salah sebut – sesuai dengan hati nurani saya. Ada banyak
ketidaknyamanan ketika menyaksikan acara-acara televisi di negeri ini
akhir-akhir ini. Ada chanel yang dengan teguhnya menanyangkan
sinetron-sinetron dengan episode “mengular”, ada pula yang menayangkan
berita-berita yang memang jika dibandingkan dengan sinetron-sinetron tadi lebih
berbobot, hanya saja unsur konsistensi isinya tetap ada, yaitu berkisar korupsi
dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Bukankah sesuatu
kewajaran jika seseorang mencari sebuah kepuasaan lainnya di saat merasa apa
yang tersaji tidak mampu memberikan kepuasan tersendiri, termasuk dalam
kepuasan menyaksikan film. Jika sinetron Indonesia tidak mampu memberikan
hiburan yang memuaskan, maka kecenderungan untuk mencari hiburan atau tontonan
yang memuaskan akan ada. Nah, kebetulan hal itu saya temukan dalam film-film
atau drama Korea lainnya. Standar yang saya pakai untuk menilai puas atau
tidaknya sesuatu yang saya tonton adalah jika saya tidak merasa bosan dan dalam
benak saya timbul rasa penasaran akan kelanjutan tiap-tiap episode. Dan itu
saya temukan dalam drama Korea.
Selain itu,
dari beberapa drama Korea yang sudah saya saksikan, pasti ada di dalamnya
terdapat pelajaran yang – tanpa bermaksud melebih-lebihkan – amat berharga. Dalam
setiap drama selalu ada nilai-nilai lokal yang selalu ditonjolkan, semisal
makanan khas Korea atau budaya-budaya lainnya. Bahkan tak jarang
sejarah-sejarah bangsa ini dikemas dalam drama yang meskipun mengambil
latarbelakang tempo dulu, yakni pada zaman dinasti-dinasti kerajaan, tayangan
itu masih nyaman dilihat oleh kita yang hidup di zaman modern ini. Kesan kolosal
begitu nyata dan jika pun ada efek
visualisasinya, ia tak begitu nampak. Tentu ini berbeda dengan drama kolosal di
Indonesia yang selain memiliki episode panjang, setting tempat dan adegannya
pun terkesan asal-asalan. Asalkan laku dan bisa ditonton, saya kira itu yang
ada dalam benak Rumah Produksi yang memproduksi drama kolosal itu. Bahkan dalam
visualisasinya juga terkesan setengah hati.
Bangsa Korea
tidak setengah hati menampilkan sejarah bangsanya tempo dulu. Meskipun memang
tidak bisa dipungkiri bahwa drama Korea, khususnya kolosal belum bisa
menandingi Hollywood, tapi tetap saja itu lebih maju dibanding dengan drama
kolosal kepunyaan bangsa ini.
Kemudian,
saya melanjutkan sms dengan Intan dan mengirimkannya pesan “yang penting happy,
dibuat referensi juga bisa, yen film action-kan nggak bisa untuk referensi
dalam mengarungi hidup.” Kemudian Intan membalas “itu dia ponnya, nonton drama
itu banyak pelajarannya.” Mungkin akan ada yang mencibir, pelajaran apa? Lha filmnya
saja lebay gitu. Saya yakin yang mencibir seperti itu karena memang belum
pernah melihat drama Korea, tapi saya yakin bagi yang sudah sering menonton
akan sependapat dengan Intan, termasuk saya yang juga sependapat dengannya. Entah
kenapa, saya merasa apa yang disajikan dalam drama-drama Korea lebih realistis,
dan saya merasa banyak belajar darinya. Banyak sisi positif yang diajarkan,
sebut saja budaya menghormati dengan menundukkan kepala tiap bertemu, meskipun
itu adalah seorang musuh. Setidaknya, meskipun saya tidak tahu apakah budaya
tersebut juga berlaku dalam keseharian atau hanya dalam drama, tapi yang pasti
itu adalah sisi positif yang perlu kita renungkan bersama. Bukankah bangsa kita
ini bangsa yang berbudaya, lantas kenapa masih kita temui akhir-akhir ini
kekuranghormatan seseorang terhadap orang lainnya. Kurang apa coba kita ini?
hidup dalam negara yang berbudaya ditambah lagi kita hidup sebagai warga suatu
negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi mulai lupa dengan etika
sopan dan santun.
Saya bukan
bermaksud menjelek-jelekkan bangsa ini. Karena bagaimana pun juga bangsa ini
adalah tempat kelahiran saya, tempat dimana Tuhan menakdirkan saya untuk
menjadi kholifah. Ya, di Indonesia dan bukan Korea. Tulisan saya ini
hanya sebatas kerisauan dan kegundahan dalam hati melihat fenomena-fenomena
yang terjadi di Indonesia, entah fenomena apa yang paliang merisaukan saya
sendiri tidak tahu. Terkadang saya juga berpikir bahwa apakah kerisauan ini
merupakan akibat kekecewaan dari diri sendiri yang hanya bisa jadi penonton
yang hanya bisa berkomentar tanpa bisa melakukan hal yang konkrit. Entahlah! Saya
tidak tahu, yang saya tahu bahwa saya ingin melihat Indonesia yang kuat,
menjunjung tinggi budaya, tak pernah malu untuk mengatakan “Akulah Indonesia”. Hari
ini, esok, lusa, minggu depan, tahun depan dan selamanya saya hanya ingin
selalu bangga mengatakan “AKULAH INDONESIA”.
0 Response to "Indonesia dan Drama Korea"
Post a Comment