Suudzonisasi Cadar
Saya teringat percakapan dengan salah satu teman kuliah, sebut saja
Anggi. Karena saya kuliah di Perguruan Tinggi Islam, IAIN Surakarta, maka sudah
pasti semua mahasiswinya memakai jilbab. Entah berawal dari mana tiba-tiba
perbincangan kami mengarah pada perihal “cadar” yang masih bisa kami temuai di
kampus dan beberapa tempat di daerah sekitar kami.
Suatu hari terdapat pasangan suami-istri yangmana si istri memakai
cadar. Kemudian ketika si istri beranjak meninggalkan sang suami, ada orang
(sebut saja Ahmad) yang menghampiri si suami dan bertanya, “itu istri bapak?”,
sang suami menjawab singkat “iya”, kemudian Ahmad bertanya lagi “apakah bapak
yang meminta istri bapak memakai cadar?”, mungkin merasa terganggu dengan
pertanyaan itu, si suami pun menjawab alakadarnya “iya, saya yang menyruh dan
dia (istrinya) juga tidak keberatan”. Dengan tanpa perasaan sungkan, Ahmad
kembali bertanya, “kenapa harus pakai cadar ya pak?”. Sang suami tadi diam
sejenak, dan setelah beberapa saat bukannya menjawab pertanyaan Ahmad, tapi
suami tadi justru balik bertanya, “kalau mas punya sesuatu yang sangat
berharga, apa yang akan mas lakukan?”, “menjaganya
pak” jawaban si Ahmad. “Nah, itu lah mas, saya menyuruh istri saya memakai
cadar karena bagi saya dia sangatlah berharga, dan dengan cadar itulah saya
menjaga istri saya”. Seakan tak puas dengan jawaban sang suami tadi, Ahmad
kembali bertanya “maaf ya pak, menjaga dari apa yang bapak maksud?”. Belum
sempat menjawab, si istri yang tadi meninggalkan sang suami pun datang, dan tanpa
menjawab pertanyaan Ahmad tadi, sang suami pun melenggang pergi bersama sang
istri meninggalkan Ahmad yang dalam benaknya masih menggelayut pertanyaannya
yang belum terjawab.
Anggi pun mempunyai cerita yang kurang lebihnya sama seperti cerita
di atas, yang menggambarkan bahwa cadar itu adalah bentuk dari “penjagaan” atas
wanita yang sangat berharga. Ibarat sebongkah permata yangmana si empunya
permata itu tak akan menaruhnya di sembarang tempat. Tentu permata – yang
sangat berharga – itu ditempatkan di tempat yang aman, dan salah satu indikasi
tempat itu aman adalah tempat yang tidak mudah dilihat oleh orang lain, bahkan
mungkin hanya yang punya dan Tuhan sajalah yang tahu. Sepintas saya setuju
dengan argumen tersebut, tapi lama kelamaan setelah logika saya bermain dengan
tanpa komando, saya pun merasa bahwa argumen yang disebutkan di atas terlalu
berlebihan atau istilah gaulnya lebay.
Setahu saya, sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Meskipun
itu adalah perbuatan yang terpuji, tetap saja jika dilakukan berlebih-lebihan
maka itu menjadi tidak baik, apalagi yang jelas-jelas tercela. Di sini saya tidak
bermaksud mengatakan bahwa memakai cadar itu tidak baik, hanya saja jika alasan
pemakaiannya didasari dengan argumen di atas, maka saya melihatnya sebagai sesuatu
yang berlebihan. Itulah mengapa saya ketika bercakap dengan Anggi mengatakan
bahwa di satu sisi saya begitu mengagumi para wanita bercadar. Saya tidak
bermaksud mengatakan bahwa saya jatuh hati atau yang semacam itu ketika saya
mengaguminya, tapi lebih kepada kekaguman yang kemudian menjadikan saya berkata
baik dalam hati atau secara lisan “hebat ya, kog bisa betah memakai pakaian
yang begitu tertutup”. Mungkin anda menganggap aneh terhadap pernyataan saya
itu, tapi terlepas dari itu, memang itulah yang saya rasakan. Saya saja yang
terkadang hanya berpakaian alakadarnya, asalkan bagian-bagian “penting” sudah
tertutup saja terkadang masih merasa kegerahan di saat cuaca begitu menyengat. Nah,
ketika saya merasakan hal yang demikian, melihat ada seseorang yang berpakaian
begitu tertutup, yang bahkan hidungnya pun yang merupakan alat pernapasan juga
ikut tertutup, kemudian saya merasa kagum bukankah itu hal yang wajar?
Kemudian kenapa saya mengatakan lebay? Dalam paragraf ini saya
tidak bermaksud menjawab pertanyaan itu. Saya hanya teringat pada salah satu dawuh
kiai yang menyinggung tentang aksi FPI yang melakukan sweeping warung-warung
makanan yang buka di bulan puasa. Menurut sang kiai, tak perlulah itu melakukan
sweeping segala, jika keimanan kita sudah mapan, jangankan melihat
warung-warung yang buka di siang hari saat bulan puasa, bahkan ketika kita
hanya berada dalam sebuah ruangan yang begitu panas seorang diri di saat kita
sedang berpuasa, dan di depan kita terdapat macam-macam es yang terlihat begitu
segar ketika perlahan-lahan es itu masuk melewati tenggorokan kita yang begitu
kering, kita tetap tidak akan bergeming sedikit pun untuk meminumnya karena
kita tahu bahwa “Gusti mboten sare”. Jadi, intinya bukan permasalahan
buka atau tidaknya warung makan di siang hari bulan puasa yang menjadikan
banyak orang muslim tidak berpuasa, tapi lebih kepada – yang saya sebut sebagai
– moral keagamaan masing-masing. Jika banyak orang Islam yang tak berpuasa, di
mana ketidakpuasaannya itu bukan disebabkan udzur syar’i , maka yang
harus ditanyakan adalah “ada apa dengan diri kita saat ini?”.
Nah, saya kira tidak jauh berbeda dengan kasus di atas. Argumen
yang terpaparkan terkait cadar yang – katanya – sebagai bentuk penjagaan
terhadap sesuatu yang dianggap berharga itu secara tidak langsung menyinggung
hati saya, apa pasal? Pasalnya, saya merasa dicurigai sebagai lelaki hidung
belang yang tidak tahan melihat wanita yang mungkin bisa dikatakan kurang
tertutup dalam berpakaian. Mungkin ada yang mencibir bahwa saya terlalu
sensitif. Terserah jika ada yang mengatakan demikian, tapi kenyataannya memang
itulah yang saya rasakan. Sama halnya ketika anda mempunyai emas, kemudian anda
dengan segala cara berusaha agar emas itu tidak terlihat oleh saya. Berarti secara
tidak langsung anda mencurigai saya akan berniat buruk pada emas yang anda
miliki, sama halnya ketika sang suami – dalam cerita di atas – mengatakan “saya
menyuruh istri saya memakai cadar karena bagi saya dia sangatlah berharga, dan
dengan cadar itulah saya menjaga istri saya”. Menjaga dari apa pak? Dari lelaki
hidung belang? Terus yang dianggap lelaki hidung belang yang mana pak? Saya? Tetangga
anda? Rekan kerja anda? Atau bahkan keluarga anda yang sudah tidak mahram lagi
dengan istri anda?
Kemudian, saya juga tambah gerah jika ada suami yang seperti di
atas, yang mengatakan bahwa istrinya adalah sesuatu yang sangat berharga yang
harus ditutupi agar tidak dilirik lelaki lain yang “sudah di suudzoni sang
suami duluan”, tapi kemudian dengan percaya dirinya menikah lagi dengan wanita
lain. Lantas, letak keberhagaan si istri tadi di mana dan kemana? Apalagi kemudian
beralasan bahwa ia menikah lagi karena mengikuti Nabi? Bukankah banyak sekali
perilaku Nabi yang bisa kita teladani selain berpoligami? Saya bukan bermaksud
mengatakan bahwa poligami Nabi itu tidak baik, tapi apa kita sudah mampu
bersikap adil dengan istri-istri kita seperti adilnya Nabi saw terhadap
istri-istrinya? Dan satu hal yang nampaknya mulai hilang dari ingatan kita atau
– mungkin memang sengaja dihilangkan – bahwa dari sekian banyak istri Nabi,
hanya Aisyah ra lah yang ketika dinikahi Nabi merupakan gadis yang masih
perawan. Selain Aisyah, istri-istri Nabi adalah janda. Sementara dewasa ini,
fenomena yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak yang berpoligami berdalih
mengikuti Nabi, tapi pada keikutannya itu hanya setengah-setengah atau jika
menurut saya hanya 1 : 32,75 saja (silahkan hitung sendiri hasilnya berapa),
karena para istri mudanya adalah gadis-gadis yang dari segi umurnya bisa
terpaut jauh sekali. Aneh bukan? Katanya berharga? Katanya supaya tidak dilirik
orang lain? Katanya ini, katanya itu, tapi kok malah nikah lagi?
Tapi terlepas dari itu semua, cadar atau sejenisnya bukanlah
sesuatu yang buruk. Yang saya coba tampilkan dalam tulisan ini adalah perasaan
ketidaknyamanan atas alasan yang diberikan terkait dengan memakai cadar ada
kesan “suudzonisasi” terhadap para lelaki di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini. Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa bercadar bukanlah ajaran Islam, melainkan
budaya. Dan jangan salah untuk memahami bahwa ada Islam teologis, ada Islam
sosiologis. Jika keduanya disalahpahami bisa jadi layaknya kita memakai “celana
dalam” di kepala dan meletakkan peci di daerah “terlarang” (apa mungkin? Tau aaaah...).
[]
Cadar itu sunnah. Bisa dipakai bisa tidak.
ReplyDeleteDalam hal ini, kita kaitkan kepada hal mencintai.
Saat manusia mencintai seseorang, segala hal yg diinginkan dan dilarang kekasihnya pasti akan ia lakukan. Walaupun tak dibayar. Jika suami katakan jangan kerja, maka kita berusaha untuk tidak bekerja. Jika kekasih sarankan, kamu pakai baju pink nampak sejuk dimata. Pasti semua baju berwarna pink pasti akan kita pakai setiap hari. Tak perlu dengar pendpat orang kalo warna pink seperti anak-anak, pasti asla kekasih kita seanang pasti akan kita pakai.
Begitu juga islam, kita mencintai Allah dan rasul saw, . Rasul menyarankan kita untuk memakai cadar agar terlihat indah dimata Allah. Karena allah tahu wanita itu mulia. Seperti mutiara wajib untuk dijaga.
Ketika cinta dihati kepada Allah dan rasulnya lebih besar kepada dunia, maka saran Rasulullah pasti akan dilaksanakan. Tak perduli manusia memgakatakn teroris atau setan.
Karena mereka tak tau, seberapa besar rasa cinta ini kepada Sang pencipta.
Maka benarlah
Dan cadar bukan budaya, melainkan ada ramai mazhab yg mendebatkan masalah cadar itu.
Wabillahi taufik walhidayah. Wassalamualaikum wr wb