Menikah dengan Mayat
Foto Hanya Pemanis belaka, mohon maaf apabila mengganggu.
Beberapa hari yang lalu, saya melihat acara "Kupas Tuntas"
di salah satu stasiun TV. Meski tidak menyimak dari awal,
tapi saya bisa menangkap tema yang dibahas saat
itu terkait dengan "Pernikahan dengan mayat", yang memang di beberapa
daerah fénoména menikah dengan mayat benar-benar
ada. Di internet, tidak perlu waktu yang lama, hanya dengan memasukkan kata kunci
"menikah dengan mayat" akan menampakkan beberapa fakta adanya
seseorang yang melangsungkan pernikahan dengan orang yang sudah meninggal.
Bagi sebagian orang, fenomena ini dianggap sebagai tindakan
yang abnormal (di luar kewajaran). Anggapan
ini cukup beralasan, karena bagaimana bisa seseorang yang masih hidup rela
menikah dengan mayat yang jangankan bisa tersenyum bahagia, bernafas saja tidak.
Dan lebih
dari itu, jika pernikahan tersebut dimaknai sebenar-sebenarnya pernikahan, dalam
arti menjalani rumah tangga yang digambarkan dengan istilah sakinah,
mawaddah, warahmah, maka akan sangat mustahil terwujud apabila salah satu
mempelainya sudah menjadi mayat.
Meskipun demikian, mengatakan bahwa menikahi orang yanyg sudah
meninggal sebagai tindakan gila dengan tanpa mempertimbangkan sebab atau minimal
latarbelakang dari seseorang yang menikahi mayat itu adalah sesuatu yang kurang
bijak. Karena bagaimanapun juga setiap
tindakan yang diperbuat oleh manusia pasti ada sebab atau alasan di baliknya, baik
itu yang terlihat normal atau tidak normal di hadapan publik, tetap saja semuanya
memiliki alasan, tak terkecuali bagi orang yang menikah dengan mayat ini.
Bukankah kita sering mendengar istilah "cinta itu buta"?
atau dalam hal ini yang lebih tepat bahwa cinta itu membutakan. Kenapa membutakan?
Ya karena segala sesuatu yang awalnya tidak mungkin
akan menjadi mungkin jika di dalamnya sudah bersemayam apa yang dinamakan cinta.
Dan ada kalanya, ketidakmungkinan itu bukan
hanya pada hal-hal yang positif, tapi juga pada hal-hal yang
oleh sebagian orang dianggap perbuatan yang negatif, yang merugikan bagi
dirinya, atau orang lain. Sudah berapa banyak kita temui seseorang yang awalnya
nakal dan pemalas, setelah dihinggapi perasaan cinta berubah menjadi anak
yang baik dan juga menjadi sangat rajin. Begitu pun
dalam hal yang negatif, misalnya karena cinta seseorang menjadi lupa makan,
sulit tidur, selalu terbayang wajah si do'i dan sebagainya yang
pada akhirnya ia jatuh sakit, galau setiap saat, stres atau bahkan menjadi
orang gila. Hal-hal
yang di luar nalar orang biasa akan menjadi hal yang sangat biasa jika perasaan
cinta sudah mulai ikut campur di dalamnya. Meskipun demikian,
untuk
yang negatif ini sebenarnya saya kurang sreg, alias
kurang setuju. Pasalnya, bagaimana pun juga yang namanya cinta itu seharusnya membawa
energi positif, bukan negatif. Jadi, menjadikan cinta sebagai alasan untuk enggal
melakukan ini atau enggal melakukan itu bukanlah pada tempatnya. Cinta tidak menyakiti, tapi menguatkan. Cinta tidak
merusak, tapi membangun. Kira-kira seperti itulah rumus cinta yang sederhana.
Arti dari buta itu sendiri secara sederhana ialah
tidak bisa melihat. Jika mendapat imbuhan mem dan akhiran an (membatalkan), maka
memiliki pengertian menjadikan tidak melihat. Nah, jika cinta itu membutakan, maka
bisa dipahami bahwa cinta itu membuat seseorang menjadi tidak bisa melihat yang
tentunya bukan tidak bisa melihat dalam arti yang sebenarnya, melainkan
tidak bisa melihat - minimal - apa yang dilakukan itu wajar atau tidak, sesuai dengan
kebiasaan halayak umum atau tidak dan sebagainya. Seakan seseorang yang
dihinggapi perasaan cinta itu hanya hidup sendiri. Karena
merasa hidup sendiri itulah, terkadang menjadikan dia melakukan hal-hal yang di
luar kewajaran manusia biasa, salah satunya ialah menikahi mayat seseorang yang
sangat ia cintai.
Sebenarnya tulisan ini hanya ingin menanggapi apa yang ada dalam
acara di atas. Dalam benak saya, ketika ada istilah Kupas Tuntas, maka
yang akan dibahas adalah sesuatu yang memang tidak mudah dipahami, tidak mudah
dipecahkan jika itu menyangkut permasalahan, atau sulit untuk menemukan titik
temu jika itu terkait dengan perbedaan. Akan tetapi, dari apa yang saya lihat
dalam acara di atas tidak menunjukan hal tersebut. Saya bukan bermaksud
mengatakan acara itu kurang bagus atau apalah itu, hanya saja saya melihat acara
tersebut cukup menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan? Acara ini melibatkan MUI,
yang secara otomatis ketika sudah melibatkan MUI, maka sudah bisa dipastikan yang
dibicarakan tentang fatwa yang dalam kesempatan kali ini terkait dengan menikah
dengan orang yang sudah meninggal. Dan pendapat MUI pun bisa ditebak,
yaitu tidak sah menikah dengan orang yang sudah meninggal dengan berbagai macam
alasan.
Sebenarnya untuk hal semacam ini, tanpa bertanya pada MUI pun sudah
tahu jawabannya. Anak SD juga tahu kalau menikah orang yang sudah meninggal itu
tidak sah. Tidak sah dalam arti tidak diakui atau dianggap tidak menikah.
Memang, jika kita melihat fénoména ada orang
yang menikah dengan mayat ini dengan kaca mata agama, atau yang lebih spesifik lagi
(dalam Islam) yaitu menurut ketentuan fiqih,
pastinya pernikahan itu tidak sah. Pasalnya?
Ya sudah jelas karena layaknya jual-beli yang mensyaratkan adanya penjual
dan membeli, dalam hal pernikahan pun demikian harus ada si mempelai pria dan wanita.
"Ada" dalam hal ini tentunya ruh dan jasadnya, tidak hanya jasadnya saja
atau rawuhnya saja. Artinya, selain tidak
dibenarkan menikahi mayat, juga tidak dibenarkan pula menikah dengan ruh,
itu pun jika memang bisa.
Akan tetapi lain halnya ketika kita mencoba memahami fénoména menikah
dengan mayat ini dari kacamata selain fiqih, semisal dari kaca mata cinta. Bukankah di atas telah
disebutkan bahwa cinta itu buta? Maka, ketika ada seseorang yang begitu mencintai kekasihnya yang ternyata kekasihnya
itu tadi sudah keburu menghadap sang Pencipta di saat hubungan mereka belum dipikat
dalam pernikahan, lantas sang kekasih yang masih hidup tetap ingin melangsungkan
pernikahan meski seseorang yang begitu ia cintai telah terbujur kaku tak bernyawa.
Bagi siapa saja yang tidak tahu, tidak pernah, atau enggan peduli dengan kekuatan
cinta ini tentu menganggapnya sebagai hal yang tidak normal, gila. Setidaknya akan
ada komentarr "bisa-bisanya, kayak nggak ada cewek/cowok lain", dan
cibiran-cibiran lainnya.
Terkadang, kita enggan menilai sesuatu dari sudut pandang yang lain.
Hanya melihat dari sudut pandang kita sendiri. Parahnya, kita kemudian menuhankan
pandangan kita dan menganggap apa yang tidak sesuai dengan kita bukanlah yang benar.
Memang benar, kita harus meyakini secara penuh akan apa yang kita yakini benar,
itu harus! Tapi bukan berarti karena kita yakin kitalah yang benar, lantas kita
memaksakannya pada oranglain di samping mengalahkan, mengolok-olok pendapat oranglain
yang tak sepaham kita. Menurut saya, acara
di atas kiranya kurang tepat jika mendatangkan. MUI. Memang MUI tidak salah jika
mengatakan menikah mayat itu tidak sah, tapi itu kemudian dijajarkan fénoména "true love"
yang begitu mengharukan ini, rasa-rasanya kurang pas. Apalagi pernikahan dengan
mayat ini hanya ceremonial saja. Dalam arti sebatan prosesi, setelah prosesi pernikahan,
mayatnya pun tetap dikebumikan. Lantas dimana masalahnya? Dan di mana bagian yang perlu di Kupas Tuntas? []
0 Response to "Menikah dengan Mayat"
Post a Comment