Sukses? Kenapa tidak kita jemput bersama?
Saat mulai
menginjak usia 20 tahun, manusia mulai masuk ke dunia yang sangat jauh berbeda
di banding saat berusia di bawah 20 tahun, setidaknya itu yang penulis rasakan.
20 tahun adalah ibarat seseorang masuk ke dalam dunia yang lebih menakutkan.
Pemakaian istilah “menakutkan” ini sebenarnya masih penulis pikirkan kembali
apakah ia memang cocok untuk menggambarkan kondisi memasuki usia 20 tahun atau
justru tidak sesuai. Tapi sampai saat ini penulis masih belum menemukan istilah
lain selain istilah “menakutkan” ini yang kiranya mampu mewakili persepsi
penulis tentang usia 20 tahun ini.
Memang,
banyak yang acuh pada saat memasuki usia 20 tahun. Tidak seperti saat memasuiki
usia 17 tahun. Di usia 17 tahun ini, seseorang merasa istimewa saat memasuki
usia “sweet seventeen” yang setelah memasuki usia ini itu kita mulai
mendapatkan beberapa hak-hak yang mungkin bisa dikatakan untuk orang dewasa
seperti memperoleh KTP, SIM, dan mendapatkan hak sebagai pemilih dalam
Pemilihan Umum (PEMILU) baik tingkat desa sampai pada tingkat pemerintahan.
Singkatnya, ketika seseorang sudah memasuki usia 17 tahun sudah mulai
diperhitungkan keberadaannya dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga.
Akan
tetapi, menurut penulis, ada usia di mana seseorang mulai dihadapkan tidak
hanya sekedar memilih dalam PEMILU saja yang hanya coblos sana coblos sini.
Pilihan yang tidak perlu berpusing-ria atau bahkan bersusah-payah menentukan
mana yang akan dipilih. Karena pada saat memasuki usia ini, seseorang akan
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dan tidak bisa asal-asalan untuk
menentukan pilihan. Ibarat ketika kita sedang dalam kondisi berperang, yang
jika kita sekali salah dalam melakukan pilihan, maka nyawa menjadi taruhannya.
Meskipun perumpamaan tersebut agak menakutkan atau memang menakutkan, tapi itu
justru tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan pilihan-pilihan yang kita
hadapi setelah menginjak usia 20 tahun. Ya, adalah usia 20 tahun ke ataslah
usia yang setiap orang dihadapkan pada beberapa pilihan yang sulit. Mungkin
dalam hati Anda bertanya-tanya, “sebenarnya apa sih maksud tulisan ini? kog mbulet-mbulet
gak jelas gini?”. Ok, sederhananya seperti ini, memasuki usia ini kita
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mau tidak mau, rela atau tidak rela akan
menghampiri kita yang saat ini berusia sekitar 20 – 30 tahun, salah satunya
adalah pernikahan. Ketika seseorang
sudah mulai menginjak usia 20 tahun, maka bukanlah hal yang aneh untuk
mendapatkan pertanyaan seputar pernikahan. Minimal akan ada yang bertanya,
“kapan nikah?”, setelah pertanyaan itu terjawab, pasti akan ada pertanyaan
selanjutnya. Jika kita sudah menentukan kapan kita akan nikah, maka pertanyaan
selanjutnya – minimal – “dengan siapa?”. Nah, kalau kita belum tahu kapannya,
maka pertanyaan selanjutnya “kog belum tahu? Apa belum ada calon?” Bukankah pertanyaan-pertanyaan
itu semua adalah pilihan? Setidaknya adalah pilihan untuk “mau” atau “enggan”
untuk menjawabnya.
Usia 20
tahun memang usia di mana seseorang sudah dianggap pantas untuk melaksanakan
pernikahah, setidaknya itu yang penulis rasakan. Oleh karenanya, mungkin saja
di usia-usia ini seseorang akan mencurahkan sebagian waktunya untuk memikirkan
pernikahan untuk dirinya. Dan yang dipikirkannya pun dalam rangka menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas, “kapan aku harus nikah? dengan siapa? Apakah
dengan dia? atau siapa? apakah aku akan
memilih sendiri pasangan hidupku atau biarlah orangtua yang memilihkan?” dan
banyak lagi pertanyaan yang akan menyita waktu untuk menemukan jawabannya dan
parahnya lagi pertanyaan itu tak akan benar-benar selesai terjawab sebelum kita
benar-benar naik ke pelaminan.
Suatu hari,
penulis pernah berbincang dengan teman penulis, sebut saja Anam. Tema saat itu
tentang pernikahan. “Mau nikah kapan?” adalah pertanyaan yang mengawali
perbincangan kami. “Nantilah, yang penting mapan dulu”, kurang lebihnya seperti
itulah jawaban Anam. Jadi ia akan menikah jika sudah mapan, dan ketika penulis
menanyakan lebih lanjut tentang maksud dari mapan yang seperti apa, Anam pun
menjelaskan bahwa indikator kemapanan adalah minimal sudah punya pekerjaan
tetap, syukur-syukur sudah punya rumah.
Memang,
setiap orang punya standar masing-masing kapan ia merasa siap untuk menjalin
rumah tangga. Termasuk juga standar atau kriteria seseorang yang hendak kita
jadikan pendamping hidup ini. Apakah ia harus cantik? Haruskah tampan? Haruskah
ia seorang pengusaha? Haruskah yang mempunyai banyak gelar? Haruskah ia
keturunan bangsawan? Bahkan pada haruskah ia berusia di bawah kita atau di atas
kita? Semua orang pasti memiliki kriteria yang berbeda.
Mungkin
akan ada yang mencibir tulisan ini. Bahwa tulisan ini memandang pernikahan teramat
rumit. Pernikahan ya pernikahan, cukup ada kedua mempelai, wali, mas kawn dan
saksi. Maka terjadilah apa yang sering kita sebut dengan “ikatan suci
pernikahan”. Iya, memang pernikahan itu tidak sulit kalau yang kita maksud
adalah prosesinya. Tapi, pasca prosesinya itu lah yang tidak semudah saat
berlangsungnya akad nikah. Setelah menikah, kita mau tidak mau harus berbagi
dengan orang yang telah kita pilih menjadi pendamping hidup ini. Belum lagi
ketika kita dihadapkan pada adanya perbedaan-perbedaan dengan pasangan kita.
Jika sebelumnya kita bebas melakukan ini itu, maka setelah menikah kita tidak
bisa melakukan ini itu seenaknya. Kita punya pasangan yang berhak tahu
aktifitas kita, dan itu bukan berarti kita lantas menuduhnya tidak bisa
menghormati privasi kita, tapi justru itu adalah bentuk dari kepedulian
pasangan kita akan apa yang kita kerjakan. Jika seperti itu, maka tidak ada
salahnya jika kita memikirkan dengan sungguh-sungguh apa itu pernikahan. Karena
bagaimana pun juga kita yang hidup di dunia sekali, dan kelak mati pun sekali
ini ingin mengucapkan “janji suci” dalam pernikahan hanya sekali seumur hidup.
Kembali ke
perbincangan dengan Anam di atas. Penulis secara pribadi juga sangat setuju
dengan jawaban Anam yang menyatakan akan menikah setelah mapan. Meskipun
akhir-akhir ini prosentase kesetujuan penulis itu mulai menurun. Menurut
penulis, standar seperti itu terlalu membelenggu diri. Pasalnya kita akan
terjebak pada pembatasan pada materi dalam melihat pernikahan. Apalagi dari
sudut pandang penulis, itu kurang mengesankan. Tapi, bukan berarti penulis
mengatakan bahwa menikah saat sudah mapan itu tidak mengesankan, karena
bagaimana pun kerasnya penulis memikirkan itu, penulis tetap berkesimpulan
bahwa kemapanan tetap harus ada saat menikah, atau setidaknya saat menikah
kemapanan itu sudah terlihat. Kemapanan yang dimaksud di sini juga termasuk kemapanan
yang diberikan orangtua.
Ada fakta
menarik yang menjadikan kesetujuan penulis menurun. Saat kita mengisi BBM di
kendaraan di SPBU, kita sering di sapa petugas dengan “Di mulai dari nol ya ...
“. Coba kita renungkan dan kita bayangkan jika itu diterapkan dalam rumah
tangga akan sangat-sangat-sangat dan sangat mengesankan. Ketika kita membangun
rumah tangga “dimulai dari nol”. Kita raih kesuksesan dengan pasangan hidup
kita menggapai sukses berdua dan dimulai dari nol. Suka duka dijalani bersama,
lapar bersama, kenyang bersama, berpegangan tangan selalu dalam menghadapi
segala situasi. Bukankah Nabi saw pernah bersabda bahwa pernikahan itu membuka
pintu rizki? Bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-hamba-Nya yang taat
kepada-Nya baik di dunia dan akhirat. Selama pernikahan itu memang dalam jalur
ketaatan, kenapa kita harus menanti kemapanan terlebih dahulu untuk memilih
menikah? Kenapa tidak kita jemput kemapanan itu bersama dengan pasangan kita?
Meskipun
demikian, perlu penulis sampaikan bahwa mengesankan atau tidaknya pernikahan
bukan ditentukan oleh faktor mapan sebelum menikah atau sesudah menikah saja.
ada banyak faktor lainnya yang akan menjadikan pernikahan menjadi mengesankan,
minimal bagi diri kita sendiri atau bahkan mengesankan sampai pada anak-cucu
kita.
Lantas apa
kesimpulan dari semuanya? Penulis rasa tidak ada yang perlu disimpulkan dari
tulisan ini. karena bagaimana pun juga tulisan ini sebenarnya belum selesai.
Mungkin ada yang bertanya, “kenapa tidak diselesaikan saja?”. “Sulit”, itulah
jawaban yang bisa saya berikan. “Kenapa sulit?”, ya karena pernikahan itu
adalah sesuatu yang sangat sakral dan begitu agung, sehingga tak akan bisa dituliskan
dalam beberapa lembar saja. Tulisan ini hanya sekedar uraian apa yang penulis
rasakan tentang “pernikahan”. Kesulitan ini ditambah lagi dengan fakta bahwa
penulis belum melewati gerbang pernikahan itu. Baru ini saja, penulis merasa
sangat naif karena berkelekar tentang sesuatu yang belum pernah penulis alami. Penulis
takut jika ada yang berceloteh “ngomong-ngomong tok, kakehan teori”.
Jika ada yang berpikir seperti itu, penulis mohon maaf yang sebesar-sebesarnya.
Bukan maksud menggurui, tapi hanya ingin berbagi saja.
Wallaahu A’lam. []
0 Response to "Sukses? Kenapa tidak kita jemput bersama?"
Post a Comment