Antara Cinta dan Taat



Terkadang tanpa kita sadari dan juga tidak kita duga, kita sering mengeluarkan kata-kata yang keluar begitu saja dari mulut kita yang pada gilirannya kita sadari bahwa kata-kata itu memiliki makna yang cukup dalam. Inilah yang saya sebut dengan “ungkapan dari alam bawah sadar”. Penyebutan inipun muncul begitu saja denga tanpa ada pertanyaan yang melatarbelakanginya, seperti kenapa atau bagaimana ungkapan itu saya sebut sebagai “ungkapan dari alam bawah sadar”, semua mengalir begitu saja, dan seakan terdapat insting yang tanpa dikomando keluar begitu saja. Sama halnya ketika saya melihat obyek yang meskipun saya tidak pernah melihatnya, tapi ketika saya bertemu untuk pertama kalinya langsung bisa menyebut bahwa itu adalah mobil atau motor dan lain sebagainya (misalnya).
Ada satu ungkapan yang tiba-tiba keluar begitu saja tanpa ada pemikiran atau keinginan bahwa saya ingin mengungkapkannya, dan ternyata setelah saya pikirkan kembali ungkapan itu, saya menemukan sebuah pemahaman baru yang juga tak terduga sebelumnya. Waktu itu saya sedang berbincang dengan salah satu teman saya, sebut saja Dhani. Perbincangan kita waktu itu adalah terkait dengan “pacaran”. Perbincangan itu secara garis besarnya yaitu ingin menjawab pertanyaan bahwa perlu tidakkah pernikahan yang diawali dengan pacaran?
Secara pribadi, pendapat saya tentang perlu atau tidaknya pacaran itu sangatlah dinamis. Artinya, di satu saat saya mengatakan itu perlu, tapi di lain waktu saya menganggap itu tidak perlu. Bahkan saya sempat beranggapan bahwa pacaran itu adalah hal yang sia-sia, karena membuang waktu, tenaga, pikiran dan tentunya materi. Toh, orang-orang dulu atau mungkin juga sekarang, banyak yang membina rumah tangga tanpa diawali dengan pacaran pada kenyataannya langgeng-langgeng saja. Bahkan ada yang baru satu bulan kenal langsung naik ke pelaminan. Begitu sebaliknya, ada yang pacaran dari yang hanya satu bulan, satu tahun, bahkan sampai ada yang puluhan tahun, pada akhirnya kandas di tengah jalan. Saat seperti inilah yang membuat saya kemudian menilai pacaran itu tidak perlu, karena merupakan hal yang sia-sia.
Tapi, ada kalanya saya menganggap pacaran itu perlu, bahkan ada saat di mana saya menganggap pacaran itu wajib sebelum menikah. Apa pasal? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajukan pengertian pacaran yang dimaksud dalam tulisan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemaknaan istilah pacaran, khususnya dalam tulisan ini. Pacaran dalam tulisan ini bukanlah pacaran yang membolehkan sepasang kekasih melakukan perbuatan yang seharusnya boleh dilakukan setelah hubungan mereka disahkan melalui sebuah pernikahan, tapi pacaran yang dimaksudkan – yang dalam istilah masa kini – untuk lebih mengenal satu sama lain, dengan tanpa ada kontak fisik. Jadi, pacaran di sini murni ingin mengenal lebih dekat, di mana sepasang kekasih ini – berdasarkan perasaan cinta – mempunyai cita-cita yang sama untuk di kemudian hari naik ke pelaminan bersama. Dan sebelum masuk pada gerbang suci berupa pernikahan ini, mereka berpacaran terlebih dahulu untuk melatih kebersamaan, termasuk dalam hal saling mengerti, memahami, menjaga komitmen, menjaga kepercayaan, dan yang tidak kalah penting adalah setia terhadap pasangan. Tidak hanya itu, pacaran juga dapat melatih sikap saling terbuka dalam menjalin hubungan. Hal-hal yang dihadapi setelah pernikahan, semuanya dilatih ketika berpacaran. Maka dalam kondisi seperti ini, saya menilai pacaran itu perlu. Apalagi akhir-akhir ini tren “bertopeng” sudah mendunia. Mengapa saya katakan demikian? Karena saat ini bukan menjadi hal yang sulit untuk menemukan pribadi-pribadi yang kelihatannya baik, tapi di kemudian hari – saat topengnya terbuka – terlihatlah keburukan-keburukannya, bahkan keburukan yang bisa jadi tidak pernah terbayangkan dimiliki orang yang terlihat baik tersebut. Bukan bermaksud untuk berburuk sangka atau terlalu paranoid, tapi kemungkinan bahwa orang yang kita cintai saat ini, yang kelihatannya baik ternyata di belakang tidak sebaik yang diperlihatkan di depan sangatlah terbuka lebar. Itulah sebabnya, ajang pacaran bisa menjadi sarana untuk mengetahui lebih dalam bagaimanakah pribadi orang yang saat ini kita damba-dambakan untuk kelak menjadi pendamping hidup kita. Karena bagaimana pun juga, setiap wanita ingin di-ijab-kan sekali seumur hidup, begitupun semua pria ingin melakukan ­qabul sekali seumur hidup. Maka, mencari sosok yang baik untuk pendamping hidup dalam suka dan duka tidak bisa ditawar lagi.
Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah sekilas argumen-argumen tentang pacaran. Sebenarnya masih banyak lagi argumen-argumen lainnya baik yang mengarah pada tidak perlunya pacaran atau pun yang menguatkan pendapat akan perlunya pacaran. Mungkin akan saya sampaikan pada tulisan selanjutnya.
Kembali ke topik awal, yaitu “ungkapan dari alam bawah sadar”. Ketika saya sedang berbincang dengan Dhani, tiba-tiba saya menanyakan pada Dhani, “kamu memilih cinta yang mendatangkan ketaatan atau taat yang mendatangkan cinta?”. Meskipun setelah saya pikirkan kembali ternyata pertanyaan itu agak janggal. Karena jika menggunakan teori sebab-akibat yang menempatkan “taat” sebagai akibat dari “cinta” atau sebaliknya menempatkan “cinta” sebagai akibat dari “taat” itu tidak akan bertemu. Karena cinta itu tidak bisa dimaknai sebagai sebuah ketaatan semata, begitu pun dengan ketaatan yang juga tidak bisa kemudian di sebut cinta. Agak membingungkan memang. Sederhananya seperti ini, ada hubungan rumah tangga yang berdasarkan cinta, ada hubungan rumah tangga yang berdasarkan taat. Lantas apa bedanya?
Sebelumnya saya katakan, bahwa apa yang akan saya ungkapkan di sini hanyalah spekulatif, pasalnya saya pribadi memang belum berumah tangga. Jadi, sifatnya memang spekultaif. Karena bersifat spekulatif, maka jika ada yang tidak setuju dengan tulisan ini silahkan saja. Karena sekali lagi saya katakan bahwa ini sifatnya spekulatif.
Menjawab pertanyaan bedakah antara cinta yang mendatangkan taat dengan taat yang mendatangkan cinta? Tentu beda. Katakanlah Ani mempunyai suami, sebut saja Dimas. Sebelumnya mereka tidak kenal satu sama lain, karena pernikahan mereka dari perjodohan oleh orangtua. Tidak ada istilah pacaran atau mengenal lebih dekat, semuanya serba orangtua yang menentukan. Orangtua Dimas menganggap bahwa Ani adalah perempuan yang cocok untuk pendamping putranya, orangtua Ani pun demikian, mereka menganggap Dimas adalah pria yang baik untuk pendamping hidup putrinya. Dalam hal ini juga berlaku adagium withing tresno jalaran kulino”.
Setelah beberapa bulan, ternyata Ani melihat keburukan suaminya, yaitu ringan tangan misalnya. Sedikit-sedikit main pukul dan sebagainya. sikap Dimas ini pada akhirnya menjadi sebuah tabir yang menghijab tumbuhnya cinta Ani karena terbiasa bersama dengan Dimas. Lambat laun bukan cinta yang tumbuh dalam hati Ani, melainkan kekecewaan kepada suaminya, Dimas. Meskipun kecewa, kewajiban Ani sebagai seorang istri tentu tidak gugur, ia tetap wajib menaati suaminya. Inilah yang saya maksud dengan taat yang mendatangkan cinta, atau lebih tepatnya justru taat tanpa cinta. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bisa cinta? Jika setiap hari mendapat pukulan?
Mungkin perumpamaan itu agak menyeramkan.Ok, katakanlah Ani dan Dimas menikah karena paksaan, atau minimal itu tadi, dijodohkan. Tidak ada perasaan cinta dalam hati mereka. Semuanya berdasarkan taat pada orangtua yang meyakinkan mereka bahwa withing tresno jalaran soko kulino. Sebagian membuktikan bahwa adagium itu benar, dan tidak sedikit pula yang meskipun sudah berpuluh tahun bersama, tapi perasaan cinta itu tidak muncul sama sekali. Jika demikian, apa yang terjadi? Ya pastinya rumah tangga yang tanpa cinta, hanya ada ketaatan. Istri melayani suami karena  memang itu kewajibannya, suami menafkahi istri karena itu memang kewajibannya. Cinta? Tidak penting!
Kehidupan Ani dan Dimas ini tentu berbeda dengan tetangganya, sebut saja Anwar dan Ana. Rumah tangga mereka dibangun atas dasar cinta. Semuanya serba cinta, Anwar menafkahi Ana bukan hanya karena itu merupakan kewajibannya, tapi karena Anwar ingin melihat orang yang dicintainya itu bahagia dan nyaman, salah satunya dengan memberinya nafkah yang cukup. Sedangkan Ana, mau mendampingi Anwar dalam suka atau pun duka karena memang Ana mencintai suaminya sepenuh hati. Karena cinta itu lebih besar dari hanya sekedar taat.  
Kesimpulannya, bahwa ketaatan itu tidak bisa kita maknai sebagai cinta. Begitu pun taat itu adalah bagian yang teramat-sangat kecil untuk dimaknai sebagai cinta. Mungkin, representasi terbaik yang dapat menggambarkan cinta dan taat ini adalah pada film India “Rabne Bana Di Jodi”. Dalam film itu ada Taani, yaitu seorang wanita ditinggal mati calon suaminya yang mengalami kecelakaan tepat di saat pernikahan hendak dilaksanakan. Kemudian di hari itu pula Taani dinikahkan oleh pria pilihan orangtuanya, yaitu Surinder. Taani menikahi Surinder bukan karena cinta, tapi taat pada ayahnya. Dan sebaliknya, Surinder amat mencintai Taani. Walhasil, Taani pun menjalankan kewajibannya sebagai istri karena memang itu adalah kewajiban seorang istri, terlepas si istri mencintai suami atau tidak.  
Apa yang dilakukan Surinder pada Taani yang ternyata tidak mencintainya? Apakah ia menelantarkan Taani? Tidak, kan Surinder cinta kepada Taani, namanya saja cinta, maka ia tidak rela melihat wanita yang ia cintai itu sedih. Akhirnya ia menyamar menjadi Raj yang menjadikan Taani kembali menjadi Taani yang ceria. Dan, bagaimana akhirnya? Silahkan tonton sendiri filmnya, maka akan nampak mana ketaatan buta tanpa cinta, dan mana cinta yang tidak hanya mendatngkan ketaatan, tapi lebih dari itu.
Lantas apa hubungannya dengan pacaran? Oh, hubungannya sangatlah jelas. Pacaran kan untuk melihat lebih dekat, ketika kita sudah melihat lebih dekat ternyata ada hal-hal yang mengecewakan, termasuk ketika pacaran ternyata pacar kita tidak setia alias selingkuh, maka itu lebih baik kita mengetahuinya ketika masih pacaran dari pada ketika telah menikah. Atau ketika pacaran kemudian terlihat sifat aslinya yaitu ringan tangan, maka beruntunglah orang yang ringan tangan itu tidak jadi menjadi pendamping hidup kita. Tapi, mungkin ada yang mengatakan “tapi, aku terlanjur cinta sama dia”. Ah yang benar? Tidak ada sakit dalam cinta guys, kalau dia selingkuh, kalau dia suka mukul, kalau dia suka menyakitimu, apa itu cinta? Beruntunglah ketika kita dibukakan mata tentang orang yang kita anggap baik untuk pendamping kita kelak sebelum kita meresmikan hubungan dalam ikatan suci pernikahan.
So, menurut Anda dalam pernikahan perlu dengan cinta atau tidak? Kalau saya pribadi, cinta itu tetap penting dan yang tidak kalah penting cinta itu harus hadir di awal. Kalau njagani tumbuhnya cinta karena terbiasa (bersama) ya itu sangat riskan. Iya kalau cinta itu akhirnya hadir, lha kalau ternyata tidak hadir bagaimana?
Semoga kelak kita termasuk orang yang senantiasa diliputi rasa cinta. Aamiiiin. []

0 Response to "Antara Cinta dan Taat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel