Lebih Baik Mana? Kita atau Mereka?



Sore ini – tanpa sengaja – penulis memilih chanel Metro TV yang kebetulan sedang disiarkan siaran ulang Kick Andy. Sayangnya, penulis sudah ketinggalan beberapa bagian dalam acara ini. saat itu, bintang tamu yang hadir – dan yang saya sempat saksikan – adalah Romo Carolus dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Maksud dari diundangnya Romo Carolus adalah seorang tokoh yang mendapat penghargaan dari Ma’arif Institute atas jasa-jasanya dalam menyejahterakan masyarakat di Cilacap. Dalam acara tersebut, diungkapkan beberapa jasa Romo dalam membangun masyarakat, seperti pembangunan jembatan, pemberian bantuan berupa makanan dan lain sebagainya, termasuk  mendirikan – sejenis – lembaga simpan pinjam yang saat ini saldo yang dimiliki sudah mencapai 36 Milyar. Dan dalam hal ini, Romo tidak memandang apakah masyarakat yang dibantu itu adalah seiman dengannya atau tidak.          
Dari apa yang ditampilkan ini, yaitu sepak terjang seorang Romo Carolus. Penulis yakin akan ada dua penilaian yang saling bertolak belakang terhadap Romo Carolus ini. Pertama, jika yang melihat acara ini memakai pendekatan positive thinking (PT), maka akan menilai Romo sebagai seorang yang patut menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia. Karena bagaimana pun juga, apa yang dilakukannya itu tidak semua orang bisa, terlebih ia rela meninggalkan keluarga besarnya di Irlandia dan memilih untuk menjadi warga negara Indonesia guna mengabdikan hidupnya bagi masyarakat di Indonesia. Apalagi sikapnya yang bisa berbaur dengan semua kalangan, terlepas dari identitas sosial yang dimiliki, termasuk identitas agama.
Penilaian kedua akan berbeda dengan yang pertama, jika yang pertama menggunakan pendekatan PT (Positive Thhinking), maka yang kedua ini menggunakan pendekatan Negative Thinking (NT). Karena sudah berangkat dari NT, maka sebaik apapun niat Romo dan semulia apapun yang ia kerjakan, maka tetap saja dinilai sebagai suatu yang buruk. Apa yang dikerjakan Romo bisa jadi – oleh sebagian orang – dinilai sebagai aksi misionaris yang berkedok kesejahteraan umum. Hal seperti ini sudah sering penulis temukan, yaitu kecurigaan-kecurigaan orang Islam – yang terkesan lebay – saat ada orang non-Islam yang melakukan perbuatan mulia degan memberi bantuan-bantuan kepada komunitas Islam. Terma Kristenisasi pun akhirnya mereka gunakan atas kebaikan para non-Islam tersebut.
Penulis masih ingat dengan jelas bagaimana seorang Da’i sesumbar di atas mimbar dengan mengobarkan semangat kebencian terhadap non-Islam yang menjalin hubungan baik dengan komunitas orang islam di daerahnya dengan mengatakan kebaikan non-Islam itu adalah kegiatan Kristenisasi. Fenomena seperti ini sampai sekarang pun masih ada, dan mungkin cenderung meningkat. Pertanyaan besar dalam benak penulis adalah kenapa harus membenci mereka? Kalau dia bisa berbuat baik, seharusnya kita juga bisa. Terlepas dari apakah niat mereka itu untuk Kristenisasi atau apalah, selama itu mendatangkan kebaikan bagi manusia, ia tetaplah perbuatan yang patut ditiru.
Ada beberapa orang Islam yang terkesan cemburu buta dengan kebaikan yang dilakukan oleh non-Islam yang pada akhirnya menganggap mereka sedang melakukna misi pemurtadan. Jadi, sederhananya karena agama mayoritas ternyata kalah saing dengan minoritas, sehingga pada akhirnya yang besar menjelek-jelekkan yang kecil. Bukan berarti penulis menghakimi agama penulis sendiri, hanya saja nampak aneh jika melihat apa yang terjadi selama ini. Bagaimana bisa perbuatan baik dihakimi menjadi buruk hanya karena kita tidak – mampu/mau – melakukan kebaikan itu?
Setelah Romo Carolus, Kick Andi kemudian mendatangkan Ahma Syafi’i Ma’arif. Salah satu pertanyan yang diajukan pada Syafi’i Ma’arif adalah alasan kenapa Romo Carolus mendapatkan penghargaan dari Ma’arif Institute? Jawaban yang diberikan oleh Syafi’i Ma’arif kurang lebihnya karena Romo Carolus memperjuangkan prinsip kemanusiaan, meskipun yang diperjuangkan tidak seiman dengannya. 
Dalam pernyataan lainnya, Syafi’i Ma’arif juga mengatakan bahwa semua manusia berhak hidup di planet bumi ini, bahkan yang tidak beragama pun berhak menempati bumi selama saling menghormati dan tidak saling memusnahkan. Pernyataan ini dilatar belakangi atas film yang diproduksi Ma’arif Institute “Mata Tertutup” yang disutradarai oleh Garin Nugroho yang menceritakan bagaimana kinerja para kelompok Islam radikal dalam menggait anggota, khusunya para remaja. Syaf’i Ma’arif juga menentang pemaknaan pluralisme agama yang menyatakan bahwa pluralisme itu membebaskan siapa saja untuk dengan sesuka hati mengganti pakaian keagamaannya. Menurutnya, pluralisme bukanlah seperti itu, tapi lebih kepada bagaimana bisa menjalin kebersamaan dalam keberbedaan yang ada.
Mari kita coba bertanya pada hati nurani kita masing-masing. Lebih terhormat mana orang yang beragama yang melakukan kedloliman dengan yang tidak beragama yang melakukan kebaikan untuk semua manusia? Kemudian, sebagai orang Islam, lebih jahat mana orang Islam yang melakukan kedloliman dan bangga atas kedlolimannya itu dengan orang non-Islam yang berbuat kebaikan demi kemanusiaan? Tapi, bagaimana pun pertanyaannya, penulis tetap ingin mendapat jawaban bahwa yang lebbih baik dari itu semua adalah yang mampu menjunjung tinggi martabat manusia. Wallaahu A’lamu Bisshowab. []

0 Response to "Lebih Baik Mana? Kita atau Mereka?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel