Berpisah? Why Not?
Setiap
pertemuan pasti ada perpisahan, dan setiap ada awal pasti ada akhir. Prinsip
itu hampir berlaku di segala aspek kehidupan (kecuali Dzat yang memberi
kehidupan tentunya, yang tidak ada awal dan akhirnya). Hari ini, di salah satu
Madrasah Ibtidaiyah merupakan hari terakhir tahun ajar 2012/2013. Artinya,
besok adalah hari pertama libur semester, tapi tidak halnya dengan siswa kelas
VI. Hari ini adalah hari terakhir bagi mereka menjadi penghuni di sekolah tersebut.
Ini juga berlaku di tingkat pendidikan lainnya seperti SMP, SMA, bahkan di
Perguruan Tinggi.
Menarik
apa yang dilakukan oleh siswa-siswi di MI tempat sepupu penulis sekolah. Di
hari terakhir ini mereka melakukan kegiatan mengepel bersama. Bukan mengepel
seperti pada umumnya, tapi mengepel yang juga melibatkan tradisi basah-basahan.
Melihat hal itu, penulis jadi teringat pada beberapa tahun yang lalu, tepatnya
ketika berada di kelas VI SD. Betapa semua kenangan yang telah sedikit kabur
akan masa-masa SD kembali lagi. Penulis kembali mengingat satu persatu wajah
teman-teman SD dulu. Keceriaan, kebahagiaan yang tanpa beban, dan senyuman yang
begitu tulus. Bahkan kenangan akan seorang pujaan hati saat masih SD juga ikut
bersilaturahmi dalam benak penulis. Memang, tak terasa waktu begitu cepat
berlalu. Penulis sudah lupa akan apa yang penulis lakukan di hari terakhir di
masa SD itu, tapi yang pasti penulis ingat adalah hari itu adalah awal dari
perjalanan baru menuju sebuah kedewasaan – maybe.
Hal
yang sama terjadi ketika penulis duduk di kelas 3 MTs. “Berpisah” dengan
teman-teman yang selama tiga tahun selalu bersama, selalu menciptakan
keceriaan, tawa, canda, dan terkadang juga luka. Rasa kehilangan perlahan
merasuki lubuh hati, bukan di saat hari perpisahan yang justru dipenuhi
tawa-canda, tapi saat kesendirian dalam hari libur yang terasa panjang. Masih
jelas teringat beberapa moment yang begitu berharga, tak terkecuali orang-orang
yang mendapat tempat istimewa dalam hati ini, dan itu semua kembali lagi di
hari ini. Serasa ingin memejamkan mata untuk mendengar lagi derap-derap sepatu
yang sedikit usang itu, gelak-tawa renyah yang menepis semua kegundahan jiwa,
bahkan sensasi bau sepatu yang begitu menyengat pun ingin kembali ku rasakan.
Oh..... indahnya saat itu.
Waktu
terus berjalan, terus, dan terus. Berpisah dengan teman SD dan bertemu dengan
teman baru di MTs. Waktu pun tak hentikan langkahnya, berpisah dengan teman MTs
dean bertemu dengan teman baru di MA. Yah, rasa kehilangan yang penulis rasakan
pasca lulus MTs akhirnya sedikit terobati
dengan hadirnya teman baru di MA. Tawa canda itu kembali mengisi
hari-hari penulis. Tapi, apa mau dikata, waktu tetap enggan berhenti. Ia tetap
berjalan dan mengancam akan merenggut kebahagiaan-kebahagiaan itu. Meskipun,
pada akhirnya penulis sadar bahwa waktu tidak pernah merenggut kebahagiaan itu,
tapi justru waktu menunjukkan pada kita bahwa kita pantas mendapatkan
kebahagiaan yang lebih dari yang kita dapatkan saat ini. dan moment perpisahan
dengan kawan-kawam pun terulang lagi.
Kini,
perpisahan itu juga telah menjemput penulis dan teman-teman penulis yang
selama kurang lebih empat tahun bersama
dalam segala suasana. Bahagia, sedih, tawa, canda, tangis, pujian, cacian,
hinaan, gunjingan sampai pada cinta dan benci, semua telah kita lewati bersama.
Yang aneh kelihatan lucu, dan yang lucu terlihat aneh. Yang menderita
ditertawakan, yang tertawa dalam penderitaan dan sebagainya adalah milik kita
bersama. Yang sedang berdiri di depan – kebingungan – justru ditertawai.
Ungkapan wajar seperti “ah, kalian itu apaan? Bagaimana bisa teman lagi
kebingungan malah diketawain” seakan tak pernah terlintas dalam benak kita.
Semua karena apa? Karena masing-masing dari kita sebenarnya ingin menciptakan
kenangan yang indah. Apa itu kenangan yang indah? Yaitu kenangan yang ketika
kita – sengaja atau tidak sengaja – mengingatnya, kita akan tertawa. Atau
kenangan yang menjadi kebanggan bagi kita untuk menceritakannya kepada anak
kita, cucu kita, bahkan kenangan yang menjadikan anak kita menceritakan kepada
anaknya, dan menjadikan cucu kita menceritakannya kepada cucunya lagi. Bukankah
ini hal yang begitu indah?
Dari
itu semua, ada beberapa poin yang penting – setidaknya menurut penulis sendiri.
Pertama, tidak ada perpisahan yang benar-benar berpisah. Artinya,
meskipun penulis pada 11 tahun yang lalu berpisah dengan teman-teman SD, tapi
itu hanya sekedar perpisahan ceremonial. Jadi, perpisahan itu hanya seperti
ungkapan “Ok guys,,,, kita berpisah sampai di sini ya”. Tapi, bukankah setelah
itu ada ucapan “kapan-kapan jika ada
waktu kita kumpul-kumpul lagi.”
Kedua,
perpisahan itu justru mengantarkan kita untuk
menemukankebahagiaan baru tanpa melupakan kebahgiaan yang telah kita rasakan.
Bukankah dengan berpisah dengan teman SD, kita bisa bertemu dengan teman-teman
di MTs/SMP? Bukankah dengan berpisah dengan teman-teman MTs/SMP, kita bertemu
dengan teman-teman baru di MA/SMA tanpa kita harus melupakan teman-teman yang
kita dimiliki saat SD dan SMP? Dan bukankah dibalik teman-teman baru itu selalu
memberikan kenangan-kenangan baru. Bisakah kita bayangkan jika kita tak pernah
berpisah dengan teman SD sampai sekarang, dalam arti tetap berada di SD, apa
kita akan punya teman sebanyak yang kita punya saat ini? []
0 Response to "Berpisah? Why Not?"
Post a Comment