SABAR AWARD
Sabtu
malam (30/03/2013) telah dianugerahkan beberapa penghargaan kepada beberapa
insan pertelevisian Indonesia dalam acara Panasonic Gobel Award yang ke-16.
Sebelum diumumkannya siapa-siapa yang mendapatkan penghargaan tersebut, biasa
ditentukan dulu siapa saja kandidat yang dimungkinkan mejadi peraih
penghargaan, ini biasa disebut dengan nominasi.
Saat saya
menonton acara PGA tersebut, saya – tak sengaja – teringat pada petualangan di
Ibu Kota beberapa bulan yang lalu. Petualangan yang begitu mengasyikkan, tapi
juga menjengkelkan. Mengasyikkan karena banyak hal-hal baru yang saya temukan
di kota ini. Dan menjengkelkan karena saya merasakan sendiri apa yang sering
tersaji di media-media tentang kemacetan Ibu Kota yang telah menjadi
pemandangan wajib serta dapat dikategorikan sebagai rutinitas harian. Tak
terbayangkan sebelumnya, jarak tempuh yang biasa ditempuh dalam waktu 45 menit
di daerah luar Jakarta, menjadi 2 jam lebih ketika ada di Jakarta saat jam
berangkat dan pulang kerja. Itu saja menggunakan motor belum lagi jika
menggunakan mobil. Naik motor pun dengan mencari celah-celah sempit di jalanan,
bahkan tidak sulit menemukan pengendara motor yang lewat trotoar, tempat
pejalan kaki. Parahnya, saat saya mencoba lewat
jalan-jalan kampung – dengan maksud menghindari keacetan di jalan raya –
ternyata juga terkena macet. Dan, macet ini menghampiri siapa saja yang ada di
Jakarta, kecuali pejabat pemerinta tentunya.
Terjebak
macet saat matahari terik bukanlah hal yang mudah untuk dilalui – bagi saya
pribadi. Tapi – mungkin – tidak bagi penduduk Jakarta yang setiap hari sudah
terbiasa dengan kemacetan Ibu Kota. Andai saja ada pemberian penghargaan atas
masyarakat paling sabar di Indonesia, maka tidak ada alasan untuk mendukung
Jakarta agar dapat menyabet penghargaan tersebut, atau paling tidak masuk dalam
nominasi.
Melihat
realita di lapangan, maka tidaklah berlebihan jika menyebut masyarakat Jakarta
sebagai masyarakat paling sabar di Indonesia, kesabaran yang masif. Bukti
nyatanya adalah kemacetan Ibu Kota yang begitu dahsyat, oleh masyarakat Jakarta
dianggap hal yang wajar. Bukti lain kalau masyarakat Jakarta sabar adalah soal harga
pangan yang – menurut standar di daerah saya – tergolong mahal. Kenapa saya
mengatakan demikian? Karena saya sudah membuktikan sendiri, yaitu ketika saya
masuk ke warung makan yang kelihatannya bukan warung mahal. Meskipun kelihatan
warung yang sederhana, saya tidak mau ambil resiko memesan makanan yang neko-neko.
Selain karena ada beberapa menu yang ditawarkan belum pernah saya rasakan,
faktor harga juga menuntut saya untuk tidak memesan makanan yang – kelihatan –
mahal. Akhirnya saya dan teman saya memesan nasi pecel lengkap dengan es teh
dan telur. Prediksi saya saat itu, harga makanan yang saya pesan itu setidaknya
2 kali lipat dari makanan yang sama di daerah tempat saya tinggal (Solo). Tapi
ternyata harga dari satu porsi nasi pecel itu, jika dibuat makan di daerah
Solo, apalagi daerah kampus, mungkin bisa buat makan 4 kali.
Saya
kira, tingginya harga pangan di Ibu Kota ini sangat memberatkan masyarakat
bertingkat ekonomi rendah. Tapi, meskipun fakta berkata demikian, Ibu Kota
tetap menjadi kota yang menjadi tujuan utama para pengadu nasib yang ingin
memperbaiki ekonomi keluarga. Lantas, apakah menjadi hal yang berlebihan jika
saya menyebut masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang paling sabar. Maka,
andai saja ada pemberian penghargaan bagi masyarakat tersabar di Indonesia,
bisa jadi Jakarta akan menyabet gelar tesebut. Maybe. []
0 Response to "SABAR AWARD"
Post a Comment