Kenapa Harus Mencaci?
Saya teringat
dengan ceramah sorang ustadz dalam sebuah pengajian. Dalam ceramahnya, ia
menceritakan tentang semakin gencarnya upaya “kristenisasi” yang ada di sekitar
tempat tinggalnya. Upaya kristenisasi
ini mengambil jalan yang bernama “ekonomi”, jalan yang – bukan hal yang
mengherankan – memang sangat mudah dilewati untuk misi keagamaan.
Jadi, awalnya
para misionaris yang ada memberikan bantuan-bantuan kepada penduduk sekitar. Bantuan
itu memang pure bantuan tanpa adanya ajakan atau paksaan kepada
penduduk sekitar untuk menggadaikan keyakinan
mereka yang mayoritas Islam. Bantuan demi bantuan terus diberikan kepada
penduduk setempat. Kondisi perekonomian penduduk yang terbilang rendah ditambah
dengan pengetahuan yang kurang memang menjadikan upaya kristenisasi ini
berjalan layaknya mobil yang melaju kencang di jalan bebas hambatan. Meskipun tidak
ada ajakan – dalam arti sebenarnya – untuk berpindah agama, pada akhirmya
beberapa penduduk mulai mengkonversi keyakinan mereka yang sebagian beralasan
bahwa Tuhan mereka yang baru lebih memperhatikannya dari pada Tuhan sebelumnya
(dalam ekonomi). Singkat cerita, di daerah tersebut sekarang telah berdiri
gereja yag cukup besar, dan tidak hanya berdiri, tapi tiap minggunya selalu
dipenuhi para jamaat.
Ustadz yang
berceramah menceritakan itu dengan nada yang menggebu-gebu, dan tidak jarang
menyebut para misionaris sebagai orang yang terlaknat dan sebagainya. Aroma kebencian
amat terasa dalam kata-kata yang keluar. Layaknya kucing yang kehilangan ikan
oleh seekor tikus, ustadz tersebut merasa tidak ridlo atas apa yang dilakukan
para misionaris di atas.
Di hari
saat saya mendengarkan ceramah tersebut, hati saya sependapat dengan penceramah
di atas, tapi malam ini hati saya berkata lain. Bahwa bersikap dengan mencaci,
menghina, mencela dan lain sebagainya terhadap orang lain yang berbeda dengan kita
bukanlah hal yang terpuji. Harusnya, bukan cacian serta cecaran yang kita
jadikan penghibur diri atas rasa kecolongan ini. Beribu caci maki yang
kita lontarkan tak akan mengubah kenyataan atas banyaknya orang Islam yang
berpindah agama, karena memang ini bukanlah hal yang menjadikan kita layak
untuk mengeluarkan caci maki. Seharusnya kita introspeksi diri sebagai umat
Islam, kenapa umat Islam saat ini mudah dirongrong keyakinan luar. Kenapa permasalahan
ekonomi yang menjerat beberapa umat Islam justru diselesaikan bukan dari
golongan Islam sendiri, padahal bukan hal yang sulit untuk menemukan orang kaya
yang di KTP nya beragama Islam. Kalau mereka bisa berbuat demikian, yakni
memberikan bantuan-bantuan berupa barang atau sebagainya, kenapa kita tidak? Justru
dengan mencaci dan menghina, menandakan bahwa diri kita iri atas apa yang
mereka kerjakan dan dapatkan.
Benarkah kita
iri? Nampaknya kita perlu mengingat kembali salah satu sabda nabi Muhammad yang
menyatakan bahwa diperbolehkan iri terhadap dua hal, yaitu kepada orang yang
diberi harta dan memanfaatkannya di jalan Allah dan kepada orang berilmu yang
memanfaatkan ilmunya. Lantas, bagaiman iri dengan orang non-Islam yang
menggunakan hartanya untuk membantu orang lain, apakah itu juga boleh? Secara pribadi
– dengan tanpa maksud menafsiri hadist dengan asal-asalan – saya katakan itu
boleh-boleh saja, selagi masih dalam konteks iri yang konstruktif. Bukankah kebolehan
untuk iri kepada dua orang yang disebutkan Nabi mempunyai semangat agar dengan
adanya perasaan iri kepada dua orang tersebut, akan mendorong tiap-tiap pribadi
untuk bisa menjadi orang yang berilmu yang memanfaatkan ilmunya dan berharta
yang mendermakan hartanya. Jadi, menurut saya sah-sah saja jika kita iri pada
orang non-Islam yang dermawan, atau orang non-Islam yang mengamalkan ilmunya,
selama iri itu bisa menjadi pemicu untuk membuat kita bisa melakukan seperti apa
yang mereka lakukan.
Lantas bagaimana
jika iri yang diekspresikan dengan cacian? Mungkin pertanyaan ini terlalu
vulgar. Setidaknya pertanyaan apakah yang kita dapatkan dari cacian yang kita
lontarkan cukup menjadi bahan renungan ke depan. Karena dilihat dari segi
manapun tetap tidak akan kita temukan keuntungan dari cacian.
Dalam hal
ini, saya teringat pesan guru saya bahwa ada beberapa cara untuk kita agar
dapat selamat dunia akhirat, salah satunya adalah janganlah melakukan sesuatu
kepada orang lain, yangmana jika sesuatu tersebut dilakukan kepadamu, kamu
tidak menyukainya. Pertanyaannya adalah, apakah kita suka jika kita melakukan
sesuatu yang kita anggap benar, kemudian ada orang lain tiba-tiba datang dan
menyalahkan tindakan kita diikuti dengan caci makian? []
0 Response to "Kenapa Harus Mencaci?"
Post a Comment