The Wisdom of Life
“The
Wisdom of Life; Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama” adalah judul dari
kumpulan-kumpulan artikel yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat. Sesuai dengan judulnya, beberapa tulisan yang
ada memang mencoba menguraikan beberapa masalah kehidupan dan juga agama yang
dijadikan sebagai jalan hidup (Way of
Life).
Secara pribadi,
buku ini merupakan oase pemahaman saya
akan realita keagamaan yang ada. Karena dalam buku tersebut, terdapat beberapa
hal yang belum pernah terpikirkan dalam benak saya, padahal hal itu sangatlah penting,
utamanya dalam beragama dan menyikapi keberagaman.
Pada dasarnya,
agama menuntun manusia untuk menjadi manusia yang benar dengan kehidupan yang
benar dan dapat membangun peradaban. Akan tetapi, pada kenyataan, banyak
konflik-konflik yang disinyalir mempunyai latarbelakang agama, atau konflik
non-agama yang kemudian dimanipulasi menjadi konflik beraroma agama. Ini bukan
berarti agama telah berubah yang awalnya sebagai “Way of Life” menjadi “Way of Conflict”.
Tapi lebih kepada adanya penyempitan pemahaman terhadap agama itu sendiri.
Terdapat
dua dimensi dalam agama, yaitu dimensi spiritual dan dimensi formal. Kedua
dimensi ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang
hanya berpegang teguh pada dimensi spiritualnya saja, maka ia bisa kehilangan
identitasnya sebagai umat agama tertentu. Begitu pun sebaliknya, jika hanya
berpegang pada dimensi formal dalam agama, maka dikhawatirkan akan menjadikan
seseorang menjadi pribadi ekslusif yang mempunyai konsekuensi menganggap bahwa
dirinya dan yang sejalan dengannya adalah yang paling benar dan siapa saja yang
tidak sama dengannya adalah salah. Jika sudah seperti itu, maka konflik akan
mudah muncul ke permukaan.
Lebih lanjut,
terdapat tiga tipologi kecenderungan umat beragama. Pertama, kecenderungan mistikal yang salah satu tandanya adalah
penekanan pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan. Kecenderungan ini
memang bersifat individual, yakni hubungan makhluk langsung kepada Sang Khaliq.
Kedua, profetis-ideologikal. Tidak seperti kecenderungan yang pertama,
kecenderungan yang kedua ini penekanannya pada misi keagamaan dengan menggalang
solidaritas dan kekuatan. Oleh karena itu, kecenderungan ini memotivasi
penganut agama tertentu untuk menyebarkan agama denagn tujuan menambah
pengikut. Tapi, pada akhirnya, kecenderungan semacam ini dapat menyeret agama
masuk ke dalam ranah praktis sosial, terutama politik dalam rangka mewujudkan
misi menambah pengikut.
Ketiga, kecenderungan yang
memiliki karakter toleran dan eklektisisme. Kecenderungan ini mempunyai titik
tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan agama. Jika pada
kecenderungan yang kedua titik tekannya pada golongan – agama – masing-masing,
maka pada kecenderungan yang ketiga ini tidak lagi pada golongan masing-masing,
tapi mencakup keseluruhan manusia, terlepas dari seagama atau tidak.
Kemudian,
yang cukup menarik dari tulisan Komaruddin Hidayat adalah ketika berbicara
tentang Religion (dengan huruf besar R)
dan religion (dengan r kecil). Menurutnya, Religion
itu bersifat absolut, universal, dan metahistoris yang merupakan jalan
lurus menuju Tuhan melalui pintu gerbang yang pintunya selalu terbuka bagi
siapa saja yang ingin melakukan pendakian spiritual-esoteris.
Adapun untuk
religion, mempunyai sifat historis,
yang tumbuh berkembang dalam perjalanan sejarah. Religion yang bersifat sakral dan esoterik ketika diwahyukan atau
dikomunikasikan kepada manusia akan mengalami eksoterisasi, eksternalisasi, dan
juga fragmentasi historis dan konseptual, yang pada gilirannya memunculkan
banyak religion. Dari sini dapat
dipahamai bahwa agama selalu berkonotasi ganda, sebagai Religion yang hanya satu, tetapi eksoterisasi dan eksternalisasinya
selalu tampil dalam bentuk plural, yaitu religion.
Pemahaman
tersebut sangatlah penting untuk diketahui, karena banyak sekali yang memahami religion (dengan r kecil) dalam
pemahaman Religion (menggunakan R
besar), dan sebaliknya. Meskipun dalam hukum Islam, seseorang yang tidak tahu
tidak bisa dikenai hukum, bukan berarti kesalahpahaman anatar agama yang
merupakan religion dan Religion bisa ditolerir dengan alasan
ketidaktahuan. Esoteris dan eksoteris yang salah dipahami, pada akhirnya akan
menjadi pemicu adanya konflik-konflik yang sangat mungkin tidak hanya melibatkan
segelintir orang, tapi juga melibatkan antarkomunitas. Tentu, bukan konfliklah
yang manjadi alasan seseorang untuk beragama, tapi terciptanya kedamaian di
muka bumi. []
0 Response to "The Wisdom of Life"
Post a Comment