Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama
Judul di atas sengaja saya samakan dengan judul buku yang menjadi
inspirasi tulisan saya ini. Buku tersebut ditulis oleh Moh. Shofan, seorang
peneliti di Yayasan Wakaf Paramadina. Sedikit saya perlu mengulas tentang Bung
Shofan (panggilan yang dipakai oleh Sa’duddin Sabilurrasad saat memberi kata
pengantar buku) ini. Ada yang menarik dari Bung Shofan ini. Bung Shofan pernah menjadi dosen di
Universitas Muhammadiyah Gresik yang akhirnya dipecat gara-gara pemikiran-pemikirannya
yang dianggap telah menyalahi semangat ke-Muhammadiyahan. Hal senada juga
pernah dialami oleh Dawam Rahardjo, yang dikeluarkan dari jajaran Muhammadiyah
akibat dari pemikirannya yang dianggap telah melenceng dari Islam.
Tentu, fenomena seperti ini bukanlah hal yang baru dalam Islam.
Selain dua tokoh yang saya sebutkan di atas, adalah Nurcholis Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Ibnu Rusyd, dan Farag
Fauda merupakan beberapa tokoh yang pemikiran-pemikirannya dinilai bersebrangan
dengan Islam. Tak hanya dipecat atau dikeluarkan dari keanggotaan ormas Islam,
bahkan tudingan-tudingan kafir, murtad, musyrik dan preseden-preseden buruk
lainnya juga mereka terima dari sesama umat Islam. Bahkan yang terakhir saya
sebutkan akhirnya tewas ditembak oleh orang Islam yang disilanyir akibat dari
dikeluarkannya fatwa sesat atas pemikiran Farag Fauza (kebangsaan Mesir) yang
dituangkannya dalam kitab al-Haqiiqah al-Ghaaibah, yang di dalamnya
menguak sejarah-sejarah kelam sistem pemerintah ala khilafah dari zaman
Khulafaurrasyidin sampai pada bani Abbasiyah. Karena dianggap kitab karangannya
tersebut menghina serta menjatuhkan martabat Islam, maka ulama Mesir akhirnya
mengeluarkan fatwa sesat bagi pemikiran Farag Fauza, yang berakhir pada
penembakan terhadap Farag Fauzi.
Buku yang ditulis oleh Bung Shofan ini berbicara – sesuai judul –
tentang pluralisme. Sedikit menengok ke belakang, bahwa pada tahun 2002, MUI
(Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram atas trilogi pemikiran yang
dianggap sesat, yaitu pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Banyak yang
menganggap fatwa tersebut adalah merupakan fatwa yang sangat disayangkan, meskipun
tidak sedikit pula yang menganggap fatwa tersebut adalah langkah bijak untuk
menyelamatkan akidah umat Islam. Bagi yang menyayangkan munculnya fatwa ini karena
faktanya, Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat pluralitas yang sangat
tinggi, di mana sebuah toleransi adalah sebuah harga mati, tapi menjadi sesuatu
yang – setidaknya – menjadi sangat sulit
untuk mencapainya dengan adanya fatwa tersebut, maka secara tidak langsung MUI
telah membuat jurang yang panjang dan dalam bagi terciptanya kerukunan umat
beragama.
Ada beberapa poin penting yang ditulis oleh Bung Shofan, yang
menurut – sepemahaman – saya sudah mulai dilupakan oleh sebagian umat Islam.
Salah satunya adalah bahwa ia tidak sependapat dengan MUI dalam memandang
realitas pluralisme. Ia menyatakan bahwa pluralisme itu bukanlah seperti apa
yang didefinisikan oleh MUI yang menyamakan semua agama itu sama, akan tetapi
lebih kepada sikap menghargai terhadap agama dengan penghargaan yang aktif.
Artinya, penghargaan tersebut tidak hanya sekedar basa-basi saja.
melainkan memang penghargaan yang aktif, yang mampu mengantarkan pada kedamaian
serta kerukuna dalam beragama dan bernegara.
Bung Shofan – dalam bukunya – sering mengutip pernyataan dari
Nurcholis Madjid, diantara yang menyatakan bahwa Islam yang tunggal hanya ada
dalam ide, sedangkan dalam realitanya, Islam tidaklah tunggal. Mungkin
pernyataaan tersebut agak rancu bagi sebagian orang yang dalam beragama – bisa
dikatakan – kurang terbuka. Rancu karena secara dlohirnya, bagaiman bisa Islam
yang satu bisa berwajah banyak. Tapi, jika kita mau menengok tidak hanya pada
dlohirnya saja, maka pendapat tersebut tidaklah rancu. Karena pada
kenyataannya, keislaman orang Jawa dengan orang Batak, itu baru lingkup
Indonesia. Belum lagi dalam lingkup dunia, pasti keislaman tiap-tiap negara itu
dalam beberapa hal berbeda.
Bung Shofan juga mengkritik atas beberapa golongan Islam yang sudah
mulai engan melakukan dialog-dialog keagamaan. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa dialog-dialog keagamaan merupaka salah satu sarana mencapai suatu
kerukunan umat beragama, tapi justru mulai tidak nampak serta terdengar lagi
gaungnya. Tiap individu dewasa ini seakan-akan merasa yang paling dekat dengan
Tuhan Semesta Alam, dan menganggap siapa saja yang tidak sepaam dengannya
adalah sesat. Dengan pemikiran seperti, maka wajar saja pen-takfiran kini
bukan lagi menjadi perkara yang tidak wajar, jika tidak mau disebut sebagai
sesuatu yang aneh.
Terkait dengan ini, saya teringat kepada salah satu teman yang
beralasan enggan berdialog tentang agama karena takut akan terjerumus pada
pemikiran yang salah, menurut kacamata dan standar keislaman mereka. Tidak
hanya enggan berdialog, ia juga enggan membaca buku-buku yang – jika dalam
musik – bergenre pluralisme, sekularisme, dan liberalisme dengan alasan yang
sama, yaitu takut pendirian goyah. Inilah yang oleh Bung Shofan dengan
kegoyahan keyakinan. Ia mengutip pernyataan Kautsar Azhari Noor, bahwasanya
sikap menutup diri dari dialog itu bukan merupakan kekokohan dasar sejati dalam
beriman, tapi merupakan kegoyahan. Karena kekokohan yang sejati tidak memerlukan
“benteng” ketertutupan.
Hal tesebut memang masuk akal. Kita sederhakan saja dengan
mengibaratkan keimanan kita adalah sebuah pondasi rumah. Apakah rumah yang
dengan pondasi yang sangat kuat akan mudah roboh apabila diterjang angin? Iman pun
demikian, jika sudah tertanam dengan kuat, maka sekencang apapun pemikiran
sekuler, liberal, atau yang paling liberal dari yang liberal sekalipun tak akan
mampu menggoyahkan iman yang ada dalam dada.
Lantas apa relevansinya antara pluralisme dengan menyelamatkan
agama-agama? Relevansinya adalah bahwa pluralisme – dengan arti tidak
menyamakan semua agama, tapi lebih kepada penghargaan terdapat semua agama dan
keyakina dalam mencapai tujuan yang satu, yaitu damai – di samping sekuler dan
juga liberalisme mempunyai semangat untuk tetap menjaga eksistensi antara akal
dan juga wahyu dari langit. Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan wahyu dari
langit bukanlah kumpulan tata aturan baku dalam menjalani kehidupan di dunia,
di mana di dalamnya memuat semua jawaban atas permasalah sosial yang ada,
melainkan berisi tanda-tanda, atau jika meminjam istilah Quraish Shihab adalah
isyarat-isyarat yang masih perlu dicari maksud dari isyarat-isyarat tersebut
menggunakan apa yang telah Allah berikan pada manusia berupa akal, yangmana
dengan akal tersebut Allah memuliakan manusia diantara makhluk-makhluk lainnya.
Tulisan ini sangat mungkin mengandung arti yang berbeda dengan apa
yang ingin disampaikan Bung Shofan dalam bukunya. Tapi, setidaknya saya – saat menulis
ini – masih sesekali membuka tulisan-tulisan Bung Shofan dengan maksud untuk
menjaga keotentikan tulisan Bung Shofan yang menjadi inspirasi dari tulisan
saya ini. Meskipun demikian, saya rasa sangatlah bijak jika para pembaca
membaca buku karya Moh. Shofan ini untuk mendapat gambaran yang utuh dalam
memahami pluralisme yang menyelamatkan agama-agama, bukan pluralisme yang
menyamakan agama.[]
0 Response to "Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama"
Post a Comment