Penodaan Fitrah
Sore
tadi, di salah satu pusat perbelanjaan di kota Solo terdapat acara launching
salah satu sekolah musik – lebih tepatnya sekolah drumer. Dalam acara tersebut,
beberapa anak didik yang rata-rata masih kanak-kanak menampilkan kebolehannya
bermain drum dengan didampingi para tentor mereka. Meskipun belum terlihat
mahir memukul drum, tapi setidaknya mereka sangatlah bersemangat untuk memberikan
penampilan terbaiknya.
Saat
menyaksikan kebolehan para anak didik tersebut, ada sedikit perasaan iri dalam
benak penulis. Bukan iri karena mereka bisa bermain drum, melainkan betapa
beruntungnya mereka bisa menyalurkan bakat dan mendapat dukungan dari orangtua mereka.
Karena tidak banyak orangtua yang – entah karena tidak tahu atau tidak cocok dengan
bakat yang dimiliki anak mereka – secara sadar atau tidak sadar telah mengebiri
bakat anak mereka yang sejatinya telah diberikan oleh Allah sejak lahir.
Saat
menyaksikan launching tersebut, penulis teringat salah satu sabda nabi Muhammad
SAW. Beliau pernah bersabda, bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
dan orangtua merekalah yang menjadikannnya Yahudi, Majusi atau Nasrani”. Sepintas,
hadist tersebut memang berbicara pada aspek teologi, yang menggambarkan akan
keberagamaan seseorang itu sedikit-banyak dipengaruhi oleh kecenderungan agama
yang diwariskan oleh orangtua mereka. Akan tetapi, di sini penulis mencoba
melihat hadist tersebut dari sudut pandang yang agak bergeser dari aspek
teologi, yakni lebih kepada pengembangan bakat.
Sejak
lahir, seseorang telah diberi kelebihan oleh Allah berupa bakat-bakat atau
kecerdasan bawaan. Adanya suatu bawaan inilah yang bisa dimaknai juga sebagai
fitrah. Dan seperti yang telah kita ketahui, bahwa saat ini telah ditemukan
teori tentang multiple intelligences yang
membagi tipe kecerdasan ke dalam delapan varian, dan setiap anak yang lahir
tentunya mempunyai kecerdasan yang lebih dominan, entah itu kecerdasan
verbal-linguistik, logis-matematis, visual-spasial, atau yang lainnya. Bakat atau
kecerdasan bawaan mereka inilah yang merupakan bahan mentah yang diberikan oleh
Allah untuk nantinya diolah menjadi sesuatu yang luar biasa.
Kemudian,
orangtua mengambil peran apakah mereka para orangtua dapat membantu si anak
untuk mengolah bahan mentah tersebut. Jika dalam beragama, orangtualah yang
menjadikan anak menjadi yahudi, Majusi, atau Nasrani. Maka dalam hal bakat ini,
orangtua merekalah yang akan berperan penting untuk menjadikan bahan mentah
yang anak mereka miliki agar menjadi sesuatu yang luar biasa, atau biasa-biasa
saja, atau justru menjadi sesuatu yang sia-sia?
Katakanlah
ada anak yang memilki kecerdasan berirama-musik,
yang sehari-hari selalu membuat bunyi-bunyian, entah itu dari meja yang
dipukul-pukul, atau alat-alat rumah tangga dan lain sebagainya. Karena memang
Allah tidak hanya memberikan satu tipe kecerdasan yang sama pada semua manusia.
Bagi orangtua yang menyadari hal itu, tentunya akan memberikan arahan pada buah
hati mereka untuk dapat mengembangkan kecerdasan yang dimiliki. Mungkin, orangtua tersebut memasukkan anak
mereka ke sekolah musik atau memberikan tambahan les musik atau sebagainya. Tapi,
bagi orangtua yang tidak menyadari kecerdasan anak mereka, dan cenderung tidak
tahu tentang adanya kecerdasan majemuk tentu akan menilai anak mereka – dengan segala
tingkah lakunya yang sedikit kurang wajar – sangatlah nakal.
Kesadaran
akan adanya kecerdasan majemuk ini memang sudah mulai tumbuh, ini setidaknya
dapat dilihat dengan makin banyaknya buku-buku yang membahas tentang kecerdasan
majemuk, baik itu dari segi psikologi, pendidikan atau bahkan sampai pada
filsafat. Selain itu, munculnya sekolah-sekolah berbasis kecerdasan majemuk ini
juga mulai bermunculan, terlepas dari apakah sekolah itu memang benar-benar
mempraktikkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk atau hanya menggunakan
istilah kecerdasan majemuk sebagai daya tarik agar para orangtua memasukkan
putra-putrinya ke sekolah tersebut.
Kesadaran
akan kecerdasan majemuk ini amatlah penting dalam dunia pendidikan. Karena kecerdasan
majemuk memandang semua peserta didik tidak ada yang bodoh, karena semuanya
memiliki kelebihan yang menjadi fitrahnya sejak ia dilahirkan. Sedangkan
seperti yang telah kita ketahui, dan mungkin juga kita alami, betapa para
pendidik – sebelum teori kecerdasan majemuk ini populer – dengan mudahnya men-judge anak yang mempunyai nilai rapot
merah dan juga tidak pernah mengerjakan PR dan lain sebagainya sebagai anak
yang bodoh. Ini diperparah dengan anggapan masyarakat luas yang melihat pintar
atau tidaknya seseorang dari nilai yang mereka dapatkan di sekolah yang notabene-nya
masih berkisar di ranah kognitif saja.
Akan
tetapi, jika kita kembalikan pada sabda nabi di atas, penerapan kecerdasan
majemuk di lembaga-lembaga pendidikan akan berakhir sia-sia jika orangtua si
anak tidak tahu atau tidak peduli dengan kecerdasan majemuk ini. Karena melihat
betapa pentingnya peran orangtua – seperti tersirat dalam hadist di atas –
dalam membangun kepribadian si anak, maka perlu juga kiranya memberikan
pemahaman kepada para orangtua tentang kecerdasan majemuk ini.
Ada
orangtua yang menginginkan anaknya menjadi seorang fisikawan, padahal anaknya
memiliki kecerdasan jasmaniah-kinestetik.
Jika pada akhirnya kehendak orangtua – yang seorang fisikawan misalnya – yang mengambil
alih, maka secara tidak langsung orangtua tersebut telah menghilangkan
kefitrahan si anak. Sama halnya dengan orangtua yang menjadikan anaknya Yahudi,
Majusi, atau Nasrani.
Dari
uraian yang cukup panjang, dan mungkin agak njlimet itu, ada beberapa poin yang
ingin penulis ungkapkan. Pertama, sama
seperti apa yang telah tertulis dalam buku-buku yang membahas kecerdasan
majemuk, bahwa tidak ada seorang pun yang bodoh, yang ada hanya kecerdasan yang
mereka miliki itu terakomodasi dengan baik atau tidak.
Kedua, orangtua, sebaik apapun tujuan
mereka, tetap harus bijak dalam membimbing, mendidik serta mengarahkan si anak.
Bukankah tujuan baik yang ditempuh dengan cara yang tidak baik atau kurang baik
akan mengaburkan tujuan yang baik itu? Bukankah Umar bin Khattab pernah memberi
nasihat agar mendidik anak sesuai dengan zamannya. Mungkin, beberapa dekade yang
lalu, penggunaan kekerasan adalah hal yang wajar dalam rangka mendidik. Tapi bukan
berarti itu bisa serta merta diterapkan pada masa kini. Kembali pada apa yang penulis saksikan sore
tadi, yaitu pertunjukan atau ajang penampilan bakat-bakat anak didik sekolah
musik yang selain menunjukkan para drumer-drumer cilik berbakat, juga
menampilkan para orangtua-orangtua yang medukung secara penuh bakat para buah
hati mereka, baik dukungan dari segi materi atau moril-spirituil. Andai saja
semua orangtua seperti mereka yang mendukung secara total bakat putra-putri
mereka, terlepas apakah bakat itu sesuai dengan yang mereka inginkan atau
tidak, tentu tidak ada lagi “penodaan” fitrah yang ada pada tiap-tiap manusia.
[]
0 Response to "Penodaan Fitrah"
Post a Comment