Mahasiswa dan Santet
Dua stasiun televisi nasional, yaitu
Metro TV dan TV One bisa dikatakan sebagai stasiun televisi yang fokus pada
pemberitaan-pemberitaan atas isu-isu yang ada baik dalam skala lokal, regional,
nasional, dan juga Internasional. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan
stasiun-stasiun televisi yang ada saat ini yang dipenuhi dengan
sinetron-sinetron bak permainan
di dalam labirin besar, yang selalu berputar-putar alur ceritanya dan tak
pernah tahu dimana akhirnya. Tak hanya
itu, stasiun televisi saat ini juga dipenuhi dengan pertunjukan-pertunjukkan
musik yang sarat dengan kebohongan. Hampir setiap hari, masyarakat Indonesia
disugui pertunjukan musik yang menampilkan lipsink.
Ini berbeda dengan dua stasiun
televisi yang telah disebutkan di atas berani tampil beda, dengan tidak pernah
sekalipun mencoba menampilkan sinetron-sinetron dengan beratus episode, dan
hampir tak pernah pula menampilkan acara musik yang berbau pembohongan publik.
Keduanya selalu menampilkan acara-acara yang – setidaknya – mencerdaskan bangsa.
Akan tetapi, tulisan ini tidak akan membahas panjang
lebar tentang fenomena pertelevisian Indonesia. Melainkan penulis hanya sekedar
ingin menampilkan apa yang – menurut penulis – menarik dari acara televisi yang
penulis saksikan di Metro TV dan TV One.
Dua stasiun televisi ini jarang
menampilkan acara yang bertemakan sama dalam satu waktu. Tapi tidak pada hari
Selasa malam (26 Maret 2013), keduanya dalam waktu yang hampir sama, menyajikan
acara dengan tema yang sama, yaitu tentang RUU kontroversi santet yang akan
dimasukkan dalam KUHP, yang masih diperselisihkan sampai saat ini. TV One waktu
itu menampilkan acara ILC (Indonesia Lawyer Club) dan Metro TV
menayangkan acara yang hampir sama, yakni semacam diskusi terbuka (sayangnya
penulis lupa nama acara tersebut).
Yang sangat menarik dari apa yang ada
di TV One adalah pendapat dari Sujiwo
Tedjo yang merupakan seorang budayawan dan seniman. Kurang lebihnya ia
mengatakan bahwa jika RUU tentang santet itu disahkan, itu berarti pemerintah
telah menjadikan santet yang merupakan perkara ghaib menjadi hal yang bersifat
meteri. Tidak cukup sampai disitu, Sujiwo Tedjo juga mengatakan jika saja santet
benar-benar masuk dalam KUHP, konsekuensinya adalah pemerintah melegalkan hal
yang ghaib masuk dalam tatanan kepemerintahan. Artinya, masih menurut Sujowo
Tedjo, sah-sah saja jika ia atau beberapa paranormal datang menemui pak SBY
untuk memintanya turun dari kursi kepresidenan dengan alasan ia mendapatkan
bisikan ghaib yang menyatakan pak SBY harus turun. Bukankah pemerintah telah
mengakui dan melegalkan perkara ghaib, seperti santet dalam KUHP, maka sah-sah
saja jika berdasarkan bisikan ghaib seseorang bisa menjatuhkan atau mengangkat
siapa saja dalam pemerintahan.
Dalam acara ILC tersebut, hampir
semua yang hadir menolak Santet masuk dalam KUHP dengan alasan yang
berbeda-beda, yang jika penulis tidak salah menarik benang merah, semua argumen
penolakan tersebut adalah dimensi santet dan KUHP yang sangat jauh berbeda.
Santet merupakan dimensi yang amat ghaib yang sulit diindera, sedangkan pidana
yang diatur dalam KUHP haruslah berupa kejahatan yang nyata, yang dapat
diindera oleh manusia.
Semantara itu, acara yang ditayangkan
di Metro TV juga membahas santet. Akan tetapi, penulis hanya menyaksikan di
menit-menit akhir acara tersebut. Acara tersebut di hadiri oleh beberapa
mahasiswa, anggota DPR dan juga tokokh-tokoh agama. Di menit-menit terakhir
acara ini, dilakukan jajak pendapat yangmana mahasiswa sebagai respondennya.
Pertanyaan pertama, apakah mereka yakin bahwa santet itu memang ada. Mayoritas
responden menjawab yakin. Kemudian dilanjutkan apakah perlu santet itu
dimasukkan dalam KUHP, dan hasilnya sekitar 64% responden menjawab perlu, 25%
menjawab tidak, dan 11% menjawab tidak tahu. Lalu, pertanyaan selanjutnya apakah
akan efektif jika santet dimasukkan dalam ketentuan pidana? Jawabannya adalah
50% menjawab ya, dan 50% menjawab tidak.
Jika kita amati, hasil jajak pendapat
yang dilakukan Metro TV ada yang – setidaknya bisa disebut janggal. Kenapa janggal? Pertama, pertanyaan
kedua dan ketiga menunjukkan adanya ketidak percayaan atas efektifitas
undang-undang yang ada. 64% responden menjawab perlu memasukkan santet dalam
KUHP, tapi ketika ditanya tentang efektifitasnya justru hasilnya 50:50 antara
yang menjawab efektif dan tidak efektif.
Yang menarik selanjutnya adalah
jawaban atas pertanyaan kedua. Responden yang merupakan mahasiswa justru
menghendaki bahwa santet perlu dimasukkan dalam KUHP. Ini sangat berbeda dengan
apa yang ada dalam acara ILC yang kebanyakan pesertanya terdiri dari tokoh
agama, praktisi hukum dan beberapa tokoh lainnya justru menolak atas rencana
dimasukkannya santet dalam KUHP dengan berbagai alasan yang sangat-sangat
logis. Apakah ini berarti jika hari ini santet tidak jadi dimasukkan dalam
KUHP, maka santet beberapa tahun ke depan bisa jadi menjadi bagian dalam KUHP
selanjutnya dengan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa saat ini yang setuju
santet masuk dalam KUHP beberapa tahun ke depan menjadi tokoh agama, praktisi hukum, dan para wakil rakyat yang salah satu tugasnya menentukan dan mengesahkan Undang-Undang. []
0 Response to "Mahasiswa dan Santet"
Post a Comment