Anak Zaman Dulu vs Anak Zaman Sekarang
Perkembangan
zaman yang semakin pesat ini, menuntut kita untuk tetap selalu eksis dalam
kancah persaingan yang semakin gila. Tak hanya orang dewasa saja yang dituntut
untuk bersaing, anak-anak pun sekarang ini mau tidak mau harus ikut dalam
persaingan yang semakin ketat.
Kita
bisa lihat, anak-anak sekolah saat ini dihadapkan pada beberapa beban pelajaran
yang semakin banyak. Tidak hanya banyak sejara mata pelajarannya, melainkan
juga banyak atau tingginya standar kelulusan. Ini diperparah dengan masih
kokohnya persepsi masyarakat luas tentang anak yang pintar adalah anak yang
memilki nilai ujian tinggi. Padahal, ujian yang ada di sekolah-sekolah – sampai
saat ini – kebanyakan masih berkutat di dalam ranah kognitif.
Demi
mencapai hasil yang memuaskan dalam ujian, terutama Ujian Akhir nasional (UAN)
yang masih terpelihara di negeri ini, mereka (para anak-anak sekolah) rela berpacu dengan
waktu. Mereka, di samping mengikuti Proses Belajar mengajar (PBM) di kelas
masing-masing , juga mengikuti les-les lainnya. Dan, motivasi mengikuti les
tersebut tidak jauh dari upaya mendapat nilai yang bagus dalam UAN. Maka tidak
heran jika saat ini, lembaga-lembaga les pendidikan semakin hari semakin banyak
peminatnya. Lembaga-lembaga ini pun menggunakan janji-janji atau semacam
jaminan akan nilai rata-rata yang sangat bagus saat ujian, bahkan tak jarang
pula lembaga-lembaga tersebut rela mengembalikan uang yang telah dibayarkan
oleh orangtua siswa jika putra-putri mereka tidak lulus atau tidak mendapatkan
nilai yang di atas standar. Atau minimal dapat mengikuti program les lagi
dengan cuma-Cuma.
Sepintas
memang sangat membanggakan, melihat para anak-anak sekolah yang sangat rajin
datang berbondong-bondong mengikuti les dan sebagainya. Bagaimana tidak rajin? Mereka
dari pagi sampai siang berjibaku di bangku sekolah, kemudian sorenya mengikuti
les-les lainnya. Kalau bukan rajin, lantas sebutan apa yang pantas bagi
anak-anak yang dari pagi hingga malam selalu belajar?
Penulis
teringat pada lirik lagu yang dinyanyikan Chrisye dan Ahmad Dhani, “Jika Surga
dan Neraka, tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadanya?”. Memang sih, lagu ini
tidak ada dengan sangkut pautnya dengan tema di atas. Tapi, penulis mencoba
menggubah lagu tersebut menjadi “Jika UAN dan UAS tak pernah ada, masihkah kau
serajin itu?”.
Tulisan
ini bukan untuk mendeskriditkan atau berburuk sangka pada para anak sekolah
yang rajin-rajin itu. Tapi, lebih kepada pendapat pribadi yang mencoba
menyoroti fenomena akan-anak sekarang ini, terlebih yang hidup di kota-kota
besar, dengan anak-anak zaman dulu.
Anak
zaman dulu, meskipun tidak sepintar anak zaman sekarang, pintar dalam arti standar pencapaian nilai atau pintar di atas kertas. Akan tetapi, anak-anak zaman dulu – menurut penulis
– lebih memiliki hidup yang lebih berwarna daripada anak-anak zaman sekarang. Ketatnya
persaingan yang telah dimulai sejak masa anak-anak, mau tidak mau harus
mengorbankan hal-hal yang “dianggap” tidak menjadikan anak menjadi “pesaing”
yang tangguh, seperti banyak bermain.
Mungkin
pendapat ini terlalu subyektif, tapi terlepas dari itu, penulis merasakan
sendiri betapa masa anak-anak saat ini kurang memiliki warna. Memang, zaman
dulu tidak ada game online, tidak ada handphone, tidak ada PS (play-Station),
dan lain-lain. Tapi, anak-anak dulu punya permainan-permainan yang lebih alami.
Delik an (petak-umpet), cublek-cublek suweng, banggalan, setinan (kelereng),
dan lain sebagainya.
Hampir semua mainan anak-anak zaman dulu, tidak bisa lepas dari “kebersamaan”. Tak hanya
itu, permainan-permainan itu pun tidak membutuhkan biaya yang mahal. Singkatnya, permainan zaman dulu itu “murah meriah”. Tidak seperti permainan-permainan yang ada saat
ini, yang meskipun terlihat lebih keren dan sangar,
tapi lebih mahal dan juga lebih cenderung
pada individualitas. Artinya, jika permainan-permainan zaman dulu murah meriah,
maka permainan saat ini “mahal egois”.
Akan
tetapi, terlepas dari semua itu. Masa anak-anak, entah itu zaman dulu, atau
zaman sekarang tetaplah merupakan masa pembentukan karakter. Persaingan yang
ketat memanglah baik untuk memacu semangat, tapi persaingan tersebut tentunya
akan menjadi hal yang tidak baik, jika persaingan yang ketat itu justru
menumbuhkembangkan karakter yang tidak terpuji. Sebut saja, kasus-kasus yang
menjadi menu wajib ketika UAN berlangsung di negeri ini. Kasus-kasus menyontek
masal dan lain sebagainya sudah menjadi rahasia publik. Langsung atau tidak
langsung, persaingan yang ketat dengan standar kelulusan yang tinggi ikut
memicu munculnya kasus-kasus tersebut. Wallahu
A’lam [].
0 Response to "Anak Zaman Dulu vs Anak Zaman Sekarang"
Post a Comment